My 500 Words

Selasa, 28 Agustus 2012

Menulis Kisah Masa Kecil
Mimpi Naik Kereta Api 

Oleh : Jannerson Girsang

 

Di sela-sela menulis artikel atau buku biografi orang lain, biasanya saya menulis hal-hal ringan. Kali ini kenangan-kenangan hidup saya di masa kecil soal naik kereta api.

Bagi saya, saat ini merangkai kisah masa kecil adalah latihan berkreasi untuk penulisan selepas berfikir tentang hal yang membosankan atau membahas  hal-hal yang berat.

Silakan dinikmati!

Rasa kecewa karena janji  naik kereta api tidak ditepati, masih membekas hingga sekarang. Pernahkah anda bermimpi naik kereta api, dan di usia berapa mimpi itu terwujud? Saya sudah bermimpi naik kereta api sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, tapi baru terwujud ketika saya berusia 17 tahun.

Guru Sekolah Dasar yang juga adalah ibu saya, mengajarkan Lagu ”Naik Kereta Api” di kelas 2 atau kelas 3, akhir 1960-an."Naik kereta api..tut...tut..tut. Siapa hendak turun. Ke Bandung Surabaya..".  

Syairnya sederhana, riang dan mudah dinyanyikan. Semua anak pasti mampu menyanyikan lagu itu. Bagi saya, lagu itu menginspirasi bermimpi naik kereta api.

Rasa penasaran naik kereta api begitu besar, setiap kali kami menyanyikan lagu berirama Andante itu. Maklum, Desa yang terletak 100 kilometer di Selatan Medan, hanya memiliki kereta yang ditarik lembu atau kerbau. Saya sendiri memiliki kereta kerbau. Setiap pagi saya gunakan mengangkut barang ke ladang, sebelum berangkat ke sekolah.

Bukan tidak pernah orang tuaku membawa jalan-jalan ke  Pematangsiantar atau Medan, dimana kereta api sudah beroperasi sejak abad ke-19, tetapi saya tidak pernah punya kesempatan naik kereta api. Paling-paling dari jauh melihat kereta api yang berhenti di stasion.

Mimpi naik kereta api hampir saja terwujud, ketika menginjak 12 tahun (1973), selepas ujian akhir dikelas  6 SD. Sekolah kami melakukan darma wisata dengan bus Simas, dari desa Nagasaribu berkeliling melintasi Brastagi-Medan-Pematangsiantar-kembali ke kampung kami, sejauh 300 kilometer lebih

Sebelum berangkat, guru kami menjanjikan akan mengusahakan agar kami bisa naik kereta api. Wow...!

Rasa kagum  muncul ketika pertama kali melhat kereta api berjalan di atas rel. Di beberapa ruas jalan Medan-Pematangsiantar, kami  menyaksikan kereta api melintas di atas rel yang kadang sejajar dengan bus yang kami tumpangi.  Suatu ketika kami harus berhenti saat kereta api lewat. Saat seperti itu kami bisa lebih dekat melihat kereta api, apalagi bus berhenti dekat palang kereta api.

Ingin rasanya berada di gerbong berbentuk kotak itu. Berjalan bersama ratusan penumpang.  Gerbongnya beberapa kali lebih besar dari gerobak kereta lembu/kerbau di kampung kami.

Puluhan gerbong  mengangkut ratusan  penumpang. Sesekali kami juga menyaksikan kereta barang yang mengangkut kelapa sawit. Pasti banyak sekali yang bisa diangkut. Jauh beda dengan di desa kami dimana hanya ada kereta ditarik dengan kerbau. Kapasitasnya paling-paling 300-400 kg barang. Hanya digunakan mengangkut keluarga 5-6 orang ketika pulang dari ladang.

Sama dengan perasaan saya, teman-teman juga kagum. ”Jam berapa kita naik kereta api,”ujar seorang teman menagih janji guru kami.

Tau nggak, janji guru membawa kami naik kereta api, ternyata tidak ditepati. Kita sangat kesal. Mungkin beliau hanya berjanji, tetapi bagi kami murid-murid sudah seperti mimpi. Bahkan hingga kami tiba di kampung malam hari, mimpi itu tidak pernah terwujud.

Sejak itu, guru kami diberi tambahan nama: Guru Janji Koling!.

Pelajaran bagi orang tua. Kita tidak boleh menjanjikan sesuatu kalau tidak ditepati. Rasa kesal itu membekas sampai waktu yang lama.

Buat anda tau mimpi itu baru terwujud, saat saya pindah sekolah ke SMA 22 Jakarta, sekitar 1978. Mimpi anak desa selama bertahun-tahun, ternyata sudah jadi kebiasaan bagi orang Jakarta.

Punya mimpi naik kereta api di masa kecil?. Masukkan dalam otobiografi anda!

Tidak ada komentar: