My 500 Words

Sabtu, 25 Agustus 2012

Lea Willsen: "Jangan Berdiri di Luar Pagar"


 
(Analisa/istimewa) Dari kiri ke kanan: Erlina Sari (istri penulis), penulis dan Lea Willsen.

Oleh: Jannerson Girsang. 

 "Selamat pagi, Pak. Saya Lea. Hari ini mau bertemu ya? Tapi sepertinya hari ini tidak bisa Pak. Hari Senin-Jumat biasanya keluarga kerja sampai malam dan tidak ada yang buka pintu. Bagaimana kalau hari Sabtu ini jam 10 pagi saja?". Itulah bunyi sms dari Lea Willsen saat memastikan pertemuan kami Sabtu 11 Agustus 2012.

Siapa tidak kenal laki-laki berusia 23 tahun itu. Seorang penulis buku Teknik Dasar Blogspot untuk Blogger Kreatif, menulis artikel, cerpen, membuat illustrasi gambar di berbagai media. Hati saya terharu karena Lea bukan orang seperti saya yang sehat walafiat. Dia adalah seorang yang memiliki keterbatasan fisik, tetapi memiliki prestasi luar biasa.

Dia tidak sempat mengenyam pendidikan formal walau di Sekolah Dasar sekalipun, apalagi lulusan perguruan tinggi. "Saya belajar dari kakak-kakak saya dan saudara-saudara dan selebihnya dengan membaca dan searching di internet," ujar Lea. Kisah Lea Willsen mengajarkan kita memaknai keterbatasan dengan bersyukur dan belajar terus menerus agar tidak berada di "luar pagar".

Illustrator, Desain Kaver dan Penulis


"Manusia dikenal bukan karena tubuhnya sehat atau sakit, cacat atau sempurna. Mereka dikenal dari karya-karya mereka yang bermanfaat bagi orang lain," kata Lea di awal pembicaraan kami di rumahnya di bilangan Jalan Duyung Medan.

Ungkapan di atas setidaknya memberi visi Lea yang sesungguhnya. Dia ingin dirinya dinilai dari karya-karyanya, bukan dikasihani karena kelemahan fisiknya. Dari ruang kerjanya di rumah Koppel, Lea bekerja dan meluncurkan pemikiran-pemikirannya kepada dunia sekelilingnya.

Dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya Lea tidak mempunyai banyak pilihan pekerjaan. Tapi itu tidak membuatnya larut dalam kesedihan atau rasa putus asa akibat cacat yang dimilikinya.

Awalnya, Lea bekerja sebagai illustrator free lance berbagai media cetak dan desain kaver. Di luar pekerjaan sehari-harinya itu, saat memasuki usia enambelas tahun, yakni pada 2007, Lea menceburkan dirinya dalam dunia tulis menulis dan aktif menulis fiksi di berbagai media.

Karya-karyanya meluncur tahun demi tahun. Lea menerbitkan buku antologi puisi "Suara-suara Adam" bersama para sastrawan dari 4 negara Asia Tenggara (Indonesia, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam), awal 2010. Kemudian menyusul antologi puisi "Simfoni Imaji" (12 Mei 2010) dan antologi prosa dan puisi "Imagine of Souls" bersama para sastrawan Sumatera Utara (27 Juli 2010), antologi puisi solo "Apollo’s Tears" (Maret 2011).

Pada 2011, Lea, meluncurkan buku Teknik Dasar Blogspot untuk Blogger Kreatif yang diterbitkan Elex Media Komputindo, Jakarta. Tak banyak lelaki normal seusianya di Medan menulis buku tutorial teknologi oleh penerbit terkenal dari Jakarta, Elex Media Komputindo. Lea bukan lulusan perguruan tinggi, padahal buku yang ditulisnya adalah pengetahuan baru di era internet. Tutorial Blogspot!.

Secara rutin, Lea juga diminta mengisi sebuah majalah agama Buddha dengan keahliannya membuat illustrasi gambar dari sebuah cerita. "Saya membuat gambar-gambar untuk sebuah cerita yang sudah ada," ujarnya. Selain itu Lea aktif mengisi kolom remaja di Harian Analisa, serta menulis artikel di rubrik Opini.

Catatan kami yang terakhir, dalam menyambut Hari Ulang Tahun RI ke-67, 17 Agustus 2012, Lea menulis sebuah artikel berjudul: "Bersatu untuk Satu Tujuan" (Analisa, 16 Agustus 2012). "Kita semua memiliki jiwa dan kekuatan masing-masing. Jangan hanya mau menggerutu dan bergantung kepada ‘lokomotif’. Satukanlah jiwa dan kekuatan kita untuk tiba pada satu tujuan!"

Lea juga mengelola blog:

http://myartdimension.blogspot.com,tempatnya menuangkan pikiran-pikirannya. Artikel-artikel yang ditulisnya seputar tutorial blog dan karya-karya sastranya.

Meski keluar rumah merupakan barang mahal bagi Lea, tetapi kemampuannya memonitor perkembangan sungguh mendapat acungan jempol. Dia rajin mengikuti perlombaan-perlombaan. Pada 2012 Lea memenangkan tempat kedua penulisan program Opera 12.

Jangan di Luar Pagar dan Belajar Bertahap


Secara kreatif, Lea menempatkan diri dengan tepat dan memanfaatkan bantuan orang-orang di sekelilingnya. Dia memanfaatkan peluang dari kemajuan teknologi yang dapat menghilangkan batas-batas yang menghalanginya berhubungan dengan dunia luar. Melalui internet—yang disebutnya sebagai "rumah mewah" Lea menemukan "kunci" dan membukanya menjadi sebuah sumber pengetahuan yang tak terbatas.

Kesabaran dan kejelian menilai potensi diri dan peluang yang ada merupakan kunci keberhasilan Lea. Dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya, dia tidak mungkin mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan banyak perpindahan tubuh. Dia harus tinggal di rumah, tetapi bukan menjadi penonton di tengah kemajuan zaman.

Lea mengisahkan pengalamannya. "Jangan Berada di Luar Pagar dan Belajar Bertahap,"ujarnya

Lea menyebut berada di "luar pagar", ketika dirinya belum menguasai komputer dan internet. Kesadaran ini mendorongnya belajar secara bertahap hingga mampu berprestasi seperti sekarang ini.

Dia belajar dan menemukan talentanya, hal-hal yang bisa dikerjakannya. Awalnya dia membuat gambar atau ilustrasi secara manual. Itulah kondisnya sebelum 2007, saat dirinya belum menguasai teknologi komputer dan internet.

"2007 saya membeli sebuah komputer, 2008 belajar menggunakan apa yang disebut email, dan akhir 2010 coba belajar membuat blog, dan kemudian membuat tutorial tentang blog", ujarnya di buku Teknik Dasar Blogspot untuk Blogger Kreatif.

Tapi tunggu dulu. Lea punya pengalaman unik, ketika belajar komputer dan internet. Pengalaman yang mengajarkan kita bahwa belajar bukan instan, tetapi harus melalui tahap demi tahap.

Suatu ketika, saudara sepupunya dari Taiwan berkunjung ke rumahnya dengan mengajak seorang teman yang mahir menjalankan program Photoshop. Saat itu dirinya belum tau apa-apa tentang komputer, baru bisa menggambar secara manual.

"Dia mengajar saya untuk on-off komputer. Tapi baru belajar on-off, keinginan saya sudah mau buat desain gambar. Saat itu saya sampai tidak bisa tidur, ingin secepatnya mempraktekkan sesuatu. Padahal dasarnya saja saya belum tau"ujarnya.

Pengalaman itu memberinya pembelajaran bahwa belajar sesuatu harus tahap demi tahap. "Orang bisa belajar kalau melalui tahapan-tahapan yang benar. Kita semua mampu asal kita mau langsung memulai langkah-langkah pertama, kedua, dan seterusnya hingga tiba pada pencapaian yang diinginkan,"ujar Lea yang menyukai novel .

Kemauan kerasnya untuk mencapai sesuatu, belajar tahap demi tahap merupakan proses yang harus dijalaninya, sehingga Lea tidak menjadi penonton di tengah perkembangan zaman ini.

Kepahitan dan Rasa Syukur


Bagi Lea, pengalaman pahit akan menjadi indah, tergantung orang melihat kepahitan itu. "Semua orang punya pengalaman pahit.Hidup pasti ada yang pahit. Tetapi, tergantung kepada cara kita memaknai kepahitan itu. Orang yang pesimis akan melihat persoalan kecil sepertinya besar. Tetapi orang yang bersyukur selalu berdoa dan berserah kepada Tuhan," ujarnya.

Di balik sukses yang dicapainya, Lea mengalami sejumlah kisah pahit dalam hidupnya. Tak seorangpun menyangka kalau Lea harus mengalami cacat di tubuh bagian bawah. Pasalnya, sejak lahir sampai berusia beberapa bulan, Lea tumbuh sebagai anak yang normal.

"Awalnya, dia tumbuh sebagai bayi normal lainnya. Tapi setelah berusia beberapa bulan, kakinya tidak tumbuh normal dan kepalanya tidak bertenaga," ujar ibu Lea pagi itu.

Cobaan tidak berhenti pada kondisi kelainan fisik itu. Dalam keadaan butuh kasih sayang dari seorang ayah, justru Lea kehilangan lelaki yang sangat mencintainya itu dalam usia 49 tahun. Saat itu, usia Lea baru 10 tahun.

Dalam kondisi itu, Lea harus dirawat dan dididik seorang ibu yang single parent, disamping harus membesarkan kakak-kakaknya Lilys, Liwis dan Liven yang ketika itu masih dalam usia sekolah.

Bukan hal yang mudah merawat anak seperti Lea. "Kami harus terus menerus mengawasinya, memperhatikan waktu istirahat, dan merawat kesehatannya supaya tetap prima,"ujar Ibu Lea.

Di saat kariernya mulai bersinar, tragisnya, pada 2010 Lea jatuh sakit dan cukup parah. Padahal, saat itu dia memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. "Saya berdoa dan berharap supaya bisa melakukan sesuatu. Setelah saya sembuh, saya kembali bisa melakukan banyak hal yang berguna bagi orang lain," ujar pencinta penulis novel Ilana Tan ini.

Dia tidak menutup diri, meski dalam keterbatasan. Secara tekun Lea belajar mengatasi persoalan akibat keterbatasan itu. "Saya punya sahabat-sahabat untuk berbagi. Saya punya hobbi yang sama dengan kakak saya Liven. Menulis dan membaca. Dia banyak mengajar saya. Sepupu-sepupu saya juga banyak berbagi pengetahuan," ujar Lea.

Lea beruntung karena ibunya dan ketiga kakaknya terus memberinya semangat dan bangga memiliki dirinya. "Saya bangga punya anak seperti Lea Willsen karena dia pintar. Saya tetap sabar, dan penuh harapan pada anak saya," ujarnya.

Sejak kecil Lea diasuh kakak-kakaknya Lilys, Liwis dan Liven. Mereka menjadi guru utama baginya. Mengingatkan kita pada guru Anne Sullivan yang mengajar Heller Keller yang buta dan tuli sejak usia 19 bulan, hingga akhirnya menjadi orang terkenal. Karena kondisi fisiknya, Lea tidak bisa mengikuti pendidikan formal dan hanya memperoleh pengetahuan dan bimbingan dari kakak-kakaknya atau saudara-saudaranya. "Kakak Liven adalah partner saya menulis. Dia juga banyak mengajar Matematika dan pengetahuan yang lain,"ujarnya. Liven Riawaty adalah seorang penulis yang karya-karyanya banyak dimuat di harian Analisa.

Bahkan sampai sekarang, kakaknya Liwis membuat agenda tersendiri untuk Lea. "Setiap minggu saya ke rumah mengunjunginya. Saya bangga punya adik seperti Lea. Dia pintar," ujar Liwis yang turut mendampingi Lea dalam pertemuan kami. Liwis adalah kakak Lea nomor dua, sudah berkeluarga dan tinggal di bilangan Gatot Subroto Medan.

Bersyukur adalah kata kunci bagi Lea untuk meraih prestasi dan rasa bahagia atas prestasinya. "Saya bersyukur karena mama saya dan ketiga kakak saya, keluarga dan teman-teman selalu memotivasi saya,"ujar Lea.

Di sebuah sudut blognya Lea menitip pesan dari kutipan Helen Keller: "Happiness cannot come from without. It must come from within. It is not what we see and touch or that which others do for us which makes us happy; it is that which we think and feel and do, first for the other fellow and then for ourselves. (Helen Keller)" Apa yang membuat kita bahagia adalah kalau kita melakukan sesuatu untuk orang lain lebih dahulu, baru untuk kita. Baca juga: Siapakah Lea Willsen? (Analisa, 21 Agustus 2011)***

1. Penulis Biografi, berdomisili di Medan
 (Dimuat di Harian Analisa, 25 Agustus 2012 Hal 26) 

Beberapa hari yang lalu di FB kakaknya Liven Rianawaty, saya membaca Lea Wilsen sakit. Semoga dia tetap bersemangat dan tegar menghadapi hidup. Teman-temanmu semua mendukungmu Lea. I pray for you tonight before I go to bed! 

"Tuhan saat ini Lea sedang berbaring lemah. Saya tidak tau keadaannya, tetapi Tuhan pasti akan tetap memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Ya Bapa, lindungilah temanku yang baik dan pintar ini. Dengan segala kelemahan yang Tuhan berikan kepadanya, dia mampu bersyukur. Hanya satu permintaannya. "Setelah saya sembuh, saya kembali bisa melakukan banyak hal yang berguna bagi orang lain,", seperti diucapkannya dalam pertemuan kami yang terakhir. Tuhan kami sangat membutuhkan dia sebagai teladan seorang yang senantiasa bersyukur, apapun yang Tuhan berikan kepadanya. Kami serahkan seluruh keberadaannya, kami memohon yang terbaik untuknya. Amen!".  (01.00 dinihari, 6 Peberuari 2014)  

Tidak ada komentar: