Oleh: Jannerson Girsang. Berbagai media melaporkan bahwa menjadi calon yang kalah dalam pilkada akan menghadapi sebuah situasi yang bisa mengundang gangguan keseimbangan fisik dan mental. Bayangkan, sebanyak 11.215 orang memperebutkan 560 kursi DPR dan 1.109 orang bersaing mendapatkan 132 kursi Dewan Perwakilan Daerah. 5 pasangan Calon Gubernur Sumatera Utara bersaing menjadi pemenang. Empat pasangan akan kalah, padahal miliaran rupiah sudah ditabur. Pesta demokrasi memang mahal dan setiap calon harus mengantisipasi dirinya berpeluang kalah dan memiliki rencana kalah (paling tidak dalam hati atau di dalam lingkungkan kecil internal tim). Pilgubsu 7 Maret 2013 mendatang, kisah ini mungkin bisa menginspirasi para pasangan Calon Gubernur Sumatera Utara pentingnya memiliki plan B, yakni rencana kalah sesudah pesta demokrasi Pilgubsu berakhir. Artikel ini terinspirasi dari pengalaman penerbangan dari Jakarta ke Medan awal bulan Desember lalu. Saya begitu terkesima membaca Cerpen berjudul "Akhir Sebuah Pesta" karya Jemy Confido, yang dimuat di majalah perusahaan pesawat yang saya tumpangi. Kebetulan, saya baru saja menikahkan putri saya dan kisahnya benar-benar menyentuh diri saya sendiri. Rasa penyesalan usai pesta. Mengeluarkan uang demikian banyak untuk sesuatu kehormatan sesaat. Rasa itu bisa menghinggapi Anda, para calon gubernur, dan juga para pembaca dalam kasus yang berbeda. Tentu tidak untuk menakut-nakuti, tapi hanya mengingatkan. Berikut kisahnya.. Alkisah, Pak Tua baru saja melaksanakan pesta yang menghabiskan kerbau, lembu miliknya, uang yang tidak sedikit dan kelelahan anggota keluarga yang dikerahkan mensukseskan pesta. Pestanyapun luar biasa. Bayangkan, perencanaannyapun memakan waktu setahun. Pesta berlangsung meriah. Pak Tua mendapat pujian dan sanjungan. Dia menjadi orang nomor satu, "Raja Sehari" atau orang terhormat di mata 1000 undangannya. Pengorbanan yang begitu besar, berubah menjadi kebahagiaan dalam beberapa jam. Rasa bahagia itu kemudian berangsur surut ke sore harinya. Satu demi satu undangan pulang. Hanya tersisa Pak Tua bersama istrinya, serta beberapa petugas kebersihan gedung tempatnya berpesta. . Mengambil tempat di sebuah pojok, Pak Tua merenung. Teringat habis sudah ternak dan lembu. Belum lagi sepenggal tanah yang sempat digadai lima ratus ribu. Ditambah sisa-sisa hutang yang harus dibayar dan mungkin Pak Tua tidak mampu. Semua hanya untuk tujuan satu, menyelenggarakan pesta paling meriah untuk sang putri bungsu. Pak Tua terlalu bernafsu, demikian kisah di Cerpen itu menilai. Pesta itu dijadikan alasan untuk menjadi orang nomor satu, mimpi bagai raja dan ratu. Keterbatasan kemampuan ekonomi tertutup oleh gengsi dan malu. Sementara, keadaan keluarga yang akan semakin morat marit tidak dipandang perlu. Bagaimana anak menantu akan mendapat nafkah masih belum tentu. Satu atap saja dirasa sudah cukup walau harus tidur di kursi tamu. Sedihnya, "Pak Tua sadar bahwa dirinya bukan orang nomor satu. Dia hanya salah satu pengguna gedung itu. Dari tempat ia berdiri, lelaki tua dan istrinya terlihat tertawa penuh keinginan menderu. Tiba-tiba saja Pak Tua seperti melihat dirinya sendiri berbulan yang lalu. Dan ingin rasanya memundurkan waktu untuk mengubah keputusannya kala itu". Ada penyesalan diakhir pesta!. Hanya Satu Pasangan Pemenang Pesta demokrasi Pilgubsu akan berlangsung tiga bulan lagi. Lima pasangan calon Gubernur Sumatera Utara akan mengundang para pemilih yang masuk di Tempat Pemungutan Suara (TPS) memilih dirinya. Untuk menarik perhatian para pemilihnya, para calon sudah mengadakan berbagai pesta dalam masa kampanye bahkan jauh sebelum masa kampanye. Menghabiskan miliaran rupiah, menyedot waktu, tenaga ribuan relawan dan tim suksesnya. Semua calon pasti memiliki mimpi. Sederhananya, mimpinya bisa membayangkan suasana beberapa saat setelah pemilihan berlangsung. Quick count (hitung cepat) mengumumkan dirinya sebagai pemenang dan tampil bersemangat. Sang calon akan menyapa wartawan dengan senyum sumringah. Bersama pasangannya, dia saling memuji dan menjawab wartawan dengan ramah. Ingin seperti pasangan Jokowi dan Ahok ketika diumumkan menang dalam Pilkada Gubernur DKI. Dielu-elukan masyarakat sebagai pemenang. Selain itu, sang calon mungkin juga membayangkan dirinya memasuki ruangan DPRD yang megah. Disaksikan anak dan istri, dan sebagian keluarganya yang duduk di bangku terhormat di ruang sidang. Televisi menayangkan peristiwa bersejarah itu melalui siaran langsung. Pasanan yang gagah dengan seragam gubernur dan wakil gubernur berwarna putih, tampil di depan pesawat televisi dan disaksikan jutaan pemirsa. Terbayang suara hiruk pikuk para pendukungnya. Media meliput, menyiarkan atau menerbitkan acara pelantikan tersebut dengan foto berwarna, gambar-gambar yang menarik, komentar-komentar yang menyanjung dan kiat-kiat sukses kampanye. Tak perlu sibuk lagi memikirkan biaya kampanye, karena sudah rahasia umum, pemenang akan menjadi sang raja dan ratu yang memiliki banyak pendukung yang sudi membantu melunasinya kelak. Baru kemudian akan mewujudkan cita-cita yang tertuang dalam program-program yang dijanjikannya di masa kampanye. Membuat perubahan bagi masyarakat ke arah yang lebih baik! Tapi jangan salah. Yang menikmati itu hanya satu pasangan saja. Sekali lagi, satu pasangan saja. Pasalnya, Undang-undang menetapkan hanya satu pasang pemenang, tidak mungkin dua atau tiga pasang. Bagaimana dengan 4 pasangan lainnya?. Mereka akan mengalami pengalaman para calon gubernur yang kalah. Mereka akan mengalami pengalaman Foke misalnya. Media akan memberitakan mereka dengan berita yang kadang menyakitkan. Lihat saja judul berita kekalahan Foke. "Fauzi Bowo: Kokong Kalah, Ini Saat Menyedihkan", "Mengapa Foke-Nara Kalah", bahkan berita yang membenarkan prediksi yang tidak masuk akal. "Adik Ipar Sudah Prediksi Foke Bakal Kalah" Miliki Plan Kalah Fakta menunjukkan bahwa suara rakyat susah diprediksi dan para calon hendaknya tidak lantas percaya seratus persen perkiraan survey, sebelum mengujinya dengan baik. Walau hasil survey penting untuk perencanaan kampanye pencitraan. Pengalaman kesalahan prediksi survey sudah terjadi di DKI dan beberapa Pilkada di provinsi Sumatera Utara. Petugas survey juga manusia kok!. Tidak ada yang jamin lolos. Pasti menang. Suara nurani rakyat yang sangat dinamis itulah yang menentukan di tempat pemungutan suara. Selain percaya hasil survey, para calon tetaplah tawakkal, berdoa kepada Tuhan. Jangan gegabah. Tim sukses boleh membantu tetapi bukan segalanya. Para calon harus benar-benar mengenal para anggota tim sukses dan para pembisiknya. Tetap waspada kata-kata "beres bos", "suara sudah untuk kita semua". "tenang sajalah", "siram bos". Kata-kata itu mengandung makna udang di balik batu. Kata-kata sanjungan dan Anda harus menyaringnya sebelum mengambil keputusan setuju. Tim sukses akan menasehatkan Anda, pasti menang, kalau sarannya diikuti. Tapi itu belum tentu sarannya benar. Gunakan juga nurani dan pertimbangan Anda. Setiap pasangan calon gubernur mestinya memiliki Plan A menang dan Plan B kalah. Boleh optimis, tetapi tidak boleh bersikap gegabah: pasti menang. Setiap orang harus memiliki dalam hati kecil posisi "kalah". Dari awal, seluruh tim sukses dan relawan harus memperhitungkannya. Kalau tidak, maka di akhir "pesta" kemungkinan akan terjadi kesedihan yang luar biasa. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana seorang bupati yang kalah di sebuah provinsi di Jawa Timur mencoba bunuh diri. Mantan pengusaha itu mengalami gangguan jiwa karena kalah dalam pilihan bupati Ponorogo 2 tahun lalu dan terlilit hutang sebesar 3 milyar rupiah. Mirip dengan Pak Tua, uang dan harta ludes. Simaklah sebuah artikel berjudul: Rumah Sakit Khusus untuk Pasien Gila Kalah Pilkada di Palembang" yang diposting 30 Nopember 2012 lalu. "Sejumlah daerah di Provinsi Sumatera Selatan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mulai tahun 2012 dan 2013. Dalam pertarungan tersebut banyak hal yang harus dicurahkan, tak hanya materi tapi juga pikiran dan fisik. Bila gagal pada sebagian individu yang tidak resisten akan beresiko mengalami gangguan keseimbangan dalam fisik dan mentalnya". (http://www.obornews.com). Bahkan Rumah Sakit Jiwa khususpun sudah disiapkan. Doa kita semua, semoga tidak satupun calon Gubernur yang kalah menjadi pasiennya. , Menjadi calon gubernur, sebagai sebuah pengabdian, bukan pengorbanan. Kalau kalah tetap menjadi pemenang, dan bukan orang-orang yang korban. Kuncinya, Anda menerima kekalahan kalau terjadi dan memiliki plan B, yakni rencana kalau Anda kalah. Rencana ini akan sangat membantu Anda terhindar dari rasa kecewa. Pasangan bersama tim suksesnya harus mendefinsikan rencana kalah sejak awal. Walau ini kedengarannya "konyol". Rencana kalah dari Romney, kandidat Presiden yang kalah di Amerika Serikat baru-baru ini adalah bersedia bekerja sama dengan pemenang Obama. Ini yang harus dimiliki seorang pemimpin. Tim sukses dan relawan tidak lantas terbuang begitu saja. Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman dalam pelaksanaan demokrasi dan harus mendapat tempat yang layak, meskipun timnya kalah. Kalah bukan berarti Tamat!*** Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa, Jumat, 21 Sep 2012 |
"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Kamis, 14 Maret 2013
Inspirasi untuk Pasangan Calon Gubsu Siapkan Plan Menang dan Kalah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar