Oleh: Jannerson Girsang
Keramahan dan ketulusan melayani bisa membuat perubahan besar bagi sekelilingnya bahkan tanpa dirasakan orang yang melakukannya.
Di era 60-an sampai 70an, saat saya masih duduk di Sekolah Dasar, seorang dokter bekerja di Rumah Sakit Bethesda Saribudolok, 112 km di sebelah Selatan kota Medan. Beliau sangat berkesan dalam kehidupan saya, keluarga besar kami, dan tentunya penduduk Desa Nagasaribu, salah satu dari 33 desa yang dilayani rumah sakit itu. Kami tidak akan pernah melupakan Dr Go.
Keramahan dan ketulusan melayani bisa membuat perubahan besar bagi sekelilingnya bahkan tanpa dirasakan orang yang melakukannya.
Di era 60-an sampai 70an, saat saya masih duduk di Sekolah Dasar, seorang dokter bekerja di Rumah Sakit Bethesda Saribudolok, 112 km di sebelah Selatan kota Medan. Beliau sangat berkesan dalam kehidupan saya, keluarga besar kami, dan tentunya penduduk Desa Nagasaribu, salah satu dari 33 desa yang dilayani rumah sakit itu. Kami tidak akan pernah melupakan Dr Go.
Saat itu, setiap Senin pagi beliau sudah
berdiri di samping mobil Rumah Sakit Bethesda--milik Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), berwarna putih,dan berbincang
dengan penduduk di depan rumah pangulu (almarhum Pa Polir Girsang).
Jaraknya hanya beberapa meter dari rumah
kami. Bersama dengan beberapa suster (Suster orang Belanda, saya lupa namanya.
Ada juga suster Samianna Purba), beliau siap melakukan pelayanan kesehatan bagi
penduduk desa.
Beberapa menit kemudian, dia
sudah mendapat pasien. Dengan steteskop di tangan, diselingi ucapan-ucapan dan sapaan yang ramah, beliau memeriksa, menasehati dan memberi obat yang
diperlukan.
Meski beliau seorang dokter suku Tionghoa, tetapi sangat lancar berbahasa
Simalungun dan Karo.
Artikel ini saya tulis karena
melihat fotonya di Facebook almarhum Sita Damanik, saya memperoleh
foto terakhirnya. Saya ingat: Verba Volen Scripta Manen. (yang terucap akan
lenyap, yang tertulis tetap).
Inilah salah satu fotonya yang
saya peroleh dari Facebook bapa almarhum Sita Damanik. Foto ini begitu
menggugah saya. Pasangan ini tampak berbahagia. Saya kira usia mereka sudah di
atas 75 tahunan, tetapi masih segar dan energik. Setelah selesai bertugas di RS Bethesda, beliau ternyata sekolah di Jerman dan kemudian bekerja di sana.
Selamat berbahagia Dr Go, semoga
suatu ketika kita bisa bertemu. Kita rindu dokter yang melayani dengan hati,
dan mendidik masyarakat hidup sehat.
Saya masih ingat ketika suatu
ketika beliau dengan lembut memegang perut saya. Menekan dan bertanya “Maborit.
Ija deba maborit, (sakit, dimana lagi yang sakit)”ujarnya menyapa, saat
saya suatu ketika menderita sakit perut. “Lang pala mahua, malum do holi in
(nggak apa-apa, nanti juga sembuh ,”katanya meyakinkan.
Kemampuan Dr Go berbahasa
Simalungun sangat penting bagi kami penduduk desa, yang hanya mampu berbahasa
Simalungun. Saya sendiri, baru meninggalkan desa itu saat berusia 16 tahun, dan
baru menggunakan bahasa Indonesia sehari-sehari, ketika memasuki SMA kelas 1 di
SMA Negeri 2 Pematangsiantar.
Keramahannya, kehangatannya turut
menumbuhkan semangat,dan membantu menyembuhkan penyakit.
Beliau tidak hanya mengobati,
tetapi juga menasehatkan kami menjaga kebersihan dan rajin sekolah. Dokter Go
mengajarkan saya tidak takut disuntik. Waktu itu semua anak-anak takut
disuntik.
Dia mengajarkan cara mencuci tangan yang baik sebelum makan. Waktu itu, di luar sekolah, semua anak-anak
bekerja di ladang. Tangan kami hamper setiap hari memegang pupuk organik (kotoran
ternak). Katanya di dalam kotoran seperti itu banyak kuman yang bisa menyebabkan
perut sakit, cacingan.
Saat itu anak-anak banyak yang
cacingan. Saya mengalami sendiri. Pagi-pagi dari lubang dubur kita keluar
cacing. Aduh..geli dan jijik!.
Kami juga diberi susu gratis.
Saat itu minum susu dianggab sebagai penyebab penyakit perut. Sehingga banyak
anak-anak tidak mau minum susu meski dikasi gratis.
Empat sehat dan lima sempurna.
Itulah pelajaran penting.. Ketika itu, kami hanya makan nasi, ikan dan
sayur. Buah jarang, hanya waktu hari pekan Saribudolok saja (Rabu). Atau kalau ada pisang yang matang di ladang. Sebelum dokter Go datang,
kami kebanyakan belum mengenal susu.
Saya ingat susunya berupa tepung
dan harus diaduk di dalam air panas. Kadang tepungnya yang menggumpal mengambang di
permukaan gelas karena tidak larut. Tidak seperti susu tepung sekarang, bisa dimasak
tanpa ada gumpalan yang mengambang.
Kebaikan kecil yang telah
dibuatnya banyak merubah pandangan penduduk desa NAGASARIBU tentang kesehatan, pendidikan
yang membuka mata mereka melihat dunia yang lebih indah.
Terima kasih Dr Go. Saya tetap akan mengingat jasamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar