My 500 Words

Senin, 22 April 2013

Regenerasi Hombo Batu







Foto: Nitema Mendrofa

NBC—Methodius Zagoto (11), siswa sebuah sekolah dasar, sedang berlatih melompati tumpukan kayu di halaman  Omo Sebua (rumah raja) di Desa Bawomatuluo. Dua orang bocah kemudian menyusul mengikutinya. Itulah tahapan awal yang mesti dipenuhi oleh anak-anak sebelum benar-benar terampil melompat batu . Inilah bukti regenerasi Hombo Batu (lompat batu) di Bawomataluo masih terus berlangsung.

Awalnya, bocah yang kini memiliki tinggi badan sekitar 120 sentimeter ini melompat dengan tinggi lompatan setengah meter. Tinggi lompatan secara bertahap meningkat dengan berlatih. “Sekarang saya sudah bisa melompat setinggi satu meter,”katanya saat berbincang dengan NBC, di gerbang sebelah Timur desa Bawomataluo, 13 Mei 2011.

Ternyata Hombo Batu tidak sekedar olah raga biasa. Bagi generasi muda Nias, Hombo Batu adalah sebuah identitas. “Kalau kami sudah bisa melompat batu, kami merasa menjadi pemuda Nias sejati.” Kata bocah bernama Methodius Zagoto itu.


Generasi baru pelompat batu, Methodius Zagoto.

Methodius bersama dua puluh temannya secara rutin berlatih melompat di Omo Sebua atau lokasi lain. Mereka mendapat bimbingan oleh seorang pelatih pada sore hari.

Selain berlatih Hombo Batu, Metodius juga lancar bercerita tentang kisah nenek moyangnya. Sebuah kemampuan yang membanggakan untuk bocah seusianya. Methodius dengn seksama berkisah tentang raja pertama Bawomataluo lengkap dengan cerita-cerita ringan sekitar kebesaran desanya.
“Raja pertama adalah Lehe Luwo. Sebelumnya penduduk desa ini berasal dari desa Orahili. Salah seorang anaknya membangun rumah disini. Kemudian, setelah Orahili terbakar banyak yang pindah ke sini,”katanya lugas.

Pemahaman seperti ini diperoleh Methodius melalui proses bertutur yang berlangsung di rumahnya atau dari para tetua kampung. Methodius mewarisi cerita  itu  dari orang tuanya, kerabat dan tetua adat.

Methodius juga mampu bercerita tentang kampungnya. Dia menceritakan bahwa penduduk desa ini berburu ke hutan Lawu-Lawu di sebelah timur desa ini. Mereka berangkat jam 18.00 dan kembali pada pukul 22.00. Mereka berburu babi hutan. Sebagian ada yang berburu kelelawar untuk obat.
Festival Budaya Bawomataluo 2011 yang berlangsung 13-15 Mei lalu, memberi semangat kepada generasi muda seperti Methodius. “Kami ingin menjadi pelompat batu seperti abang-bang kami yang tampil di sana,”ujarnya.

Anak bungsu dari lima bersaudara pasangan Simara Zagoto (Ama Selviana) dan Veronika Fau ini adalah bukti dari regenerasi yang masih berlangsung di desa Bawomataluo. .

Menurut Teruna Wau, seorang Fahombo Batu (pelompat batu) senior, Hombo Batu dilakukan untuk melatih prajurit supaya handal di medan perang. Sebab pada zaman dahulu  antara desa selalu terjadi peperang.

Melompat Demi Kebanggaan


Minggu sore 15 Mei 2011, dalam rangkaian acara hari terakhir Pagelaran Budaya Bawomataluo 2011, delapan pemuda Desa Bawomataluo berhasil melintasi batu setinggi 2.1 meter. Kemudian mereka melanjutkannya dengan Faroro yakni melompat secara berurutan tanpa jeda.

Seorang pemuda yang bertinggi badan lebih dari 170 sentimeter dengan tubuh atletis menarik perhatian pengunjung ketika melakukan atraksi lompat batu. Dia adalah Darius Bulolo, selain pelompat batu yang tangguh, Darius juga seorang atlet yang berhasil menjadi Juara Lompat Tinggi tingkat Kecamatan Telukdalam pada tahun 2010 silam.


Darius Bulolo, pelompat batu Desa Bawomataluo.

NBC mengajaknya berbincang di salah satu stand di Lorong Raya, Desa Bawomataluo sebelah Timur. “Saya puas sekali bisa tampil sebagai pelompat batu pada acara pesta  budaya kali ini. Sudah lama tidak ada pesta budaya yang besar seperti ini,”ujarnya, sambil menyeka keringat setelah beberapa menit lalu berhasil melompati batu sebanyak dua kali berturut-turut.
Lompat Batu telah membawa pemuda lajang kelahiran Bawomataluo 4 Okotber 1986 ini menjelajah di berbagai tempat di Indonesia,seperti di Taman Mini, Jakarta, 6 kali ke PRSU Medan, Padangsidempuan, Tarutung, Gunungsitoli dan di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika  acara Natal 2005 di Gunungsitoli beberapa saat setelah gempa memporak-porandakan Kepulauan Nias.

Menjadi pelompat batu yang tangguh seperti Darius bukanlah hal yang gampang. Darius harus berlatih lompat batu sejak kelas VI Sekolah Dasar. “Ketika itu kami berlatih di halaman rumah menggunakan tali dan tiang bambu,”ujarnya.

Sesudah usianya menginjak 16 tahun, Darius mulai berlatih Hombo Batu di depan Omo Sebua. Hanya mencoba-coba, belum melompat yang sesunguhnya. “Kami baru pemanasan, dan terus mencoba sampai pelatih kami memperkirakan bisa melewati batu itu,”ujarnya.

Pada usia 18 tahun, akhirnya Darius berhasil melompati batu yang disusun dengan ukuran lebar 90 sentimeter dan tinggi sekitar 2.1 meter. Di bawah batu terdapat batu berukuran kecil yang berfungsi sebagai tumpuan kaki sebelum melompat.  Sebagaimana kebiasaan masyarakat desa Bawomataluo, Darius mendapat selamatan berupa pemotongan seekor ayam, suatu kebanggaan bagi orang tua.
Lulusan SMK Darma Bakti Desa Bageheno itu mengungkapkan bahwa menjadi pelompat batu adalah semata-mata kebanggaan mewariskan budaya nenek moyang. Tak terlihat sedikit pun motivasi sebagai atlit olah raga. ‘Kami cukup bangga kalau bisa melintasi batu itu. Kami berlatih terus, agar budaya ini tetap dapat kami warisi,”ujar pegawai honor di Satpol PP Telukdalam itu.

Darius berharap, pemerintah memperhatikan masa depan mereka khususnya para pelompat batu yang telah berjasa dalam melestarikan budaya daerah.

Pada hari penutupan Pagelaran Budaya Bawomataluo 2011, delapan pelompat batu Bawomataluo, Imron Manao, Elias Nehe, Ajas Bulolo, Imran Bulele, Abe Zagoto, Falo,o Bulolo, Sony Bali, serta empat pelompat batu dari desa Hiligohe, kecamatan Telukdalam turut berpartisipasi, mereka berusia antara 16-25 tahun.

Sebuah harapan yang realistis dan perlu perhatikan dari pembina olah raga setempat, agar para pelompat batu dapat dibina menjadi atlet lompat tinggi. “Saya bisa melompat lebih dari dua meter ketika lomba di Telukdalam,” kata Darius.

Satu hal yang menggembirakan, bungsu dari empat bersaudara ini adalah para pengganti mereka yang masih terus bertumbuh di Bawomataluo. “Ada sekitar 20 orang remaja yang kini terus berlatih. Saya berharap mereka dapat mengikuti jejak kami,”ujar Darius menutup pembicaraan. [Jannerson Girsang]

Sumber: http://www.nias-bangkit.com

Tidak ada komentar: