Oleh: Jannerson Girsang.
Di era
internet ini penulis dituntut berhati-hati dan tidak mengirimkan
artikel opini jiplakan ke media untuk diterbitkan. Anda bisa lolos dari
redaktur atau penanggungjawab opini, tetapi terjerat oleh para pembaca.
Media juga dituntut aktif dalam memberantas plagiarisme.
Profesor
dan pejabat tinggi, Prof Dr Anggito Abimanyu bulan Pebruari ini sedang
apes. Artikelnya lolos dari pengawasan redaktur, tetapi terjerat
pembaca. Seorang pembaca menemukan artikelnya berjudul ”Gagasan
Asuransi Bencana” di Harian Kompas, 10 Pebruari 2014, menjiplak
sebagian besar tulisan Hatbonar Sinaga yang berjudul “Menggagas
Asuransi Bencana” yang diterbitkan di harian yang sama pada 21 Juli
2006.
Peristiwa yang mencemarkan masyarakat intelektual
Indonesia ini, hendaknya menjadi pelajaran sangat berharga bagi
komunitas penulis, pengelola media dan pencari kebenaran di negeri ini.
Lolos
dari Redaktur, Terjerat Pembaca Redaktur Kompas bisa saja
meloloskan artikel Prof Dr Anggito Abimanyu yang dijiplak dari artikel
beberapa tahun sebelumnya, karena kurang cermat menelitinya. Tetapi
tidak demikian dengan seorang anggota media warga Kompasiana. Sang
penulis artikel begitu jeli melihatnya dan memuat ulasannya dalam
artikel berjudul: Anggito Abimanyu Menjiplak Artikel Orang? (Opini-nya
di Kompas 10 Peberuari 2014, dan memostingnya ke Kompasiana pada 15
Pebruari 2014.
Penulisnya dengan rinci membuat
perbandingan kedua artikel tersebut dengan memaparkan alinea demi
alinea, dan pembaca dapat menemukannya di
http://hukum.kompasiana.com/2014/02/15/anggito-abimanyu-menjiplak-artikel-orang-opini-nya-di-kompas-10-feb-2014-635298.html).
Berbagai
pendapat mengatakan Anggito bukan hanya menjiplak frasa, tetapi
kalimat, hingga paragraf, dan ide secara keseluruhan. Jiplakan
disamarkan dengan tambahan tulisan di bagian awal dan akhir tulisan.
Artikel
ini cepat menyebar ke media-media online, cetak maupun elektronik.
Hingga heboh soal artikel jiplakan Prof Dr Anggito Abimanyu merebak
kemana-mana, termasuk ke kampus tempatnya mengajar, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta. Anggito Abimanyu sendiri langsung menanggapinya
dengan serius dan mengajukan pengunduran dirinya sebagai dosen di kampus
tersebut.
Tragedi yang dialami Prof Dr Anggito
Abimayu ini sekaligus peringatan keras bagi para penulis dan pengelola
media. Opini di media massa tidak begitu saja lewat tanpa sensor
masyarakat pencinta kebenaran.
Pengalaman Prof Dr
Abimayu ini mengingatkan para penulis bahwa ratusan ribu pasang mata
membaca dan mengamati karyanya yang diterbitkan di media. Selain itu,
penulis harus paham bahwa dari sekian banyak pembaca, ada yang
menghargai orang-orang yang mencari kebenaran dan cinta kebenaran.
Mereka adalah pembaca yang ingatan dan kepekaan yang tajam, serta
penyuara hati nurani.
Di mata para pencinta
kebenaran, orang-orang yang melakukan kegiatan plagiat—mencuri sebagian
atau seluruh ide dari karya tulis orang lain tanpa menyebut sumbernya
harus mendapat hukuman berat, meski bukan lewat pengadilan.
Plagiator
akan menerima hukuman berat dari masyarakat pencinta kebenaran.
Pengadilannya berlangsung jujur, meski tidak di depan pengadilan.
Sakitnya tak seberapa, malunya ini!
Menyaring Ide Orisinal
Di
lain pihak, setiap pengelola media memiliki cita-cita agar artikel
yang dimuatnya menjadi trend setter. Media yang memuat artikel yang
sudah dimuat media lain, apalagi media yang sama dengan isi yang sama
oleh penulis yang berbeda, tentu tidak akan mendapat citra seperti itu.
Peristiwa
ini sekaligus mengingatkan para redaktur opini di surat kabar bahwa
menyaring artikel opini dengan ide yang orisinil dan belum pernah
dimuat di media manapun, bukan pekerjaan mudah.
Peristiwa
Anggito selayaknya menjadi pelajaran bagi seorang redaktur yang
bertanggungjawab terhadap pemuatan opini. Kekurangcermatan redaktur
Kompas memuat artikel dengan isi yang sebagian besar sama oleh penulis
yang berbeda, berbuntut sangat fatal.
Ketidakjujuran
dipadu dengan keteledoran redaktur Kompas setidaknya membuat
kredibilitas seorang Anggito hancur. Seperti disebutkan di atas Anggito
Abimanyu sudah mengajukan pengunduran dirinya sebagai dosen UGM, salah
satu univeesitas unggulan di negeri ini.
Pengelola
rubrik opini jangan hanya percaya dengan sederet gelar dan pengalaman
yang dimiliki seorang penulis. Atau sebaliknya, media jangan
mengabaikan orang awam yang tak bergelar dan berpangkat, padahal,
artikelnya cukup berkualitas dan berbobot.
Dengan
mengandalkan dua mata, dan ingatan yang terbatas, seorang
penanggungjawab opini harus melakukan beberapa kali cross check
(pemeriksaan apakah sudah pernah ditulis) sebelum meloloskan sebuah
artikel opini. Setidaknya memasukkan kata-kata kunci artikel yang masuk
ke mesin pencari Google. Sebab, ketika opini terbit, ratusan ribu
bahkan jutaan pasang mata akan membacanya.
Sikap Media Terhadap Plagiator
Media
dituntut bersikap tegas terhadap plagiator. Peristiwa seperti Prof Dr
Anggito Abimanyu pernah dialami harian The Jakarta Post, pada 2009
lalu. Saat itu Prof Dr Anak Agung Banyu Perwita menulis artikel
berjudul ‘RI as a new middle power?’ yang dimuat di harian itu pada 12
Nopember 2009. Padahal, srtikel itu sudah pernah ditulis Carl Ungerer
berjudul “The Middle Power’ Concept in Australian Foreign Policy”, yang diterbitkan the Australian Journal of Politics and History: Volume 53, Number 4, 2007, pp.538-551.
The
Jakarta Post kemudian menarik artikel profesor “plagiat” itu dan
mengumumkannya secara resmi di koran bergengsi itu, 4 Pebruari 2010
(tiga bulan setelah artikel itu dimuat).
Inilah bunyi pengumuman itu (masih bisa diakses di website The Jakarta Post): “The
article “RI as a new middle power?” by Prof. Anak Agung Banyu Perwita,
published on this page on Nov. 12, 2009, is very similar to a piece
written by Carl Ungerer titled “The *Middle Power’ Concept in
Australian Foreign Policy”, which was published in the Australian
Journal of Politics and History: Volume 53, Number 4, 2007, pp.538-551.
Both in terms of ideas and in the phrases used, it is very evident
this is not the original work of the writer. The Jakarta Post takes
claims of plagiarism and the infringement of ideas very seriously. We
hereby withdraw the offending article by Anak Agung Banyu Perwita and
apologize to our readers, most especially to Mr. Carl Ungerer, for this
editorial oversight. The Editor”.
Langkah The
Jakarta Post dalam mempermalukan plagiat perlu diikuti Kompas, demikian
juga media-media lain. Penulis, redaktur opini, dan masyarakat luas,
mari jadikan peristiwa sebagai pelajaran berharga.
Tentu,
kita prihatin atas kejadian yang menimpa Prof Dr Anggito Abimanyu.
Semua orang bisa salah. Profesor juga manusia kok, bukan malaikat! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar