My 500 Words

Rabu, 18 Februari 2015

Penggubah Lagu Melankolis (Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa, 18 Pebruari 2015)

Oleh:  Jannerson Girsang

JUTAAN penggemar Rinto Harahap dimanapun berada diliputi rasa sedih ksrena kehilangan idola­nya seorang pencipta lagu yang menghibur dan me­lem­­but­kan hati selama puluhan tahun, Meski Rinto pergi, lagu-lagu cipta­annya akan terus melegenda.

Rinto Harahap, mening­gal­kan kita untuk selama-lamanya, di Rumah Sakit Elizabeth, Singapura, 9 Pebruari 2015, kurang lebih satu bulan  menjelang usianya memasuki 65 tahun. Media mnyiarkan, Rinto meninggal karena sakit kanker sumsum tulang belakang dan infeksi paru-paru.

Membaca berita kepergian pria kelahiran Sibolga 10 Maret 1949 itu di media sosial Kamis siang, memutar memoriku di masa-masa muda. Tak tahan rasanya untuk tidak menggoreskannya sebagai bentuk penghormatan untuk seorang yang dikagumi.

Telinga Tak Bisa Luput dari Lagu Rinto

Menyaksikan Eddy Silitonga di televisi menangis sedih disamping jenazahnya, membawa saya larut ke nostalgia, kenangan pribadi saya, ke era 70an.

Sejak. 1976, di akhir masa SMP. Saya mengenal karya Rinto melalui lagu "Biarlah Sendiri", yang saya dengar dari tape recorder tetangga saya ketika itu.  Penyanyinya Eddy Silitonga belum dikenal luas sebelum menyanyikan lagu itu.

Suara Eddy Silitonga yang melengking tapi menyejukkan hati itu adalah awal saya mencintai lagu-lagu ciptaan Rinto Harahap. Lagu itu "tidak lekang oleh panas dan tidak tidak lapuk oleh hujan".
Sebelum menulis artikel ini, 38 tahun kemudian, bahkan setelah saya punya cucu, lagu itu, rasanya masih seperti baru saja ngetop, dan telinga saya masih merindukan lagu itu meski hanya melalui youtube.

Sesudah itu, setiap gerak hidup saya tak terlepas dari lagu ciptaan Rinto. Keberangkatan saya ke Jakarta pada 1978, diantar oleh lagu “Benci Tapi Rindu”, sebuah lagu ciptaan Rinto Harahap yang dipopulerkan Diana Nasution. Penyanyi wanita Band Kapal Tampomas melantun­kan lagu balada itu dengan sangat menyentuh perasaan, menghantar kapal berjalan lambat meninggalkan dermaga pelabuhan Belawan, memisahkan saya dan keluarga yang terlihat  kepanasan di terpa mata­hari di pinggir dermaga.

Di masa-masa SMA di Jakarta hingga kuliah di Bogor, lagu-lagu Rinto Harahap adalah idolaku, idola jutaan remaja, maha­siswa. Siapa yang tidak terlena dengan Rita Butar-butar yang melantunkan lagu Seandainya Aku Punya ­Sayap, Iis Soegianto dengan lagu Jangan Sakiti Hatinya.

Dimasa-masa kuliah, saya menikmati lagu Christine Panjaitan yang popular dengan lagunya Sudah Kubilang, Betharia Sonata (Kau Tercipta Hanya Untukku), Nia Daniati (Gelas-gelas Kaca), Nur Afni Oktavia (Bila Kau Seorang Diri). Tentu akan sangat panjang kalau disebut satu per satu.

Telinga saya, mungkin telinga jutaan rakyat Indonesia tidak pernah bisa terhindar dari lagu-lagu ciptaan Rinto. Lagu ciptaannya yang dinyanyikan Eddy Silitonga, Iis Soegianto, Nias Daniati, Christin Panjaitan, Nur Afni Octavia dan lain-lain, mendominasi lagu-lagu di TVRI

Rinto bukan hanya dikenang sebagai  pencipta lagu, tetapi juga seorang penyanyi yang handal, baik dalam grup band The Mercy’s maupun menyanyi solo. .

Siapa tidak kagum menyaksikan Grup Band The Mercy’s yang saat itu kerap mun­cul di TVRI. Instrumentalia lagu Mama The Mercy’s senantiasa menjadi san­tapan pulang kebaktian Minggu me­ngan­tar Film Little Town in Prairie yang sangat ngetop saat itu.

Lagu “Ayah” terus melegenda hingga sekarang karena acapkali dinyanyikan setiap ada ayah teman yang meninggal. Band ini paling banyak mengisi acara di TVRI di akhir era 1970-an.

Sederhana, Jujur dan Lembut

Saya beruntung sempat bertemu muka dengan Rinto Harahap pada sebuah Seminar Nasional Pariwisata, 1988 ketika saya menjabat Rektor di Universitas Simalungun, dan saat itu saya menjadi Ketua Pelaksana Seminar, yang diseleng­ga­rakan dalam menyambut Pesta Danau Toba.

Pembicaraan selama beberapa menit di lobby Siantar Hotel 26 tahun lalu itu, begitu mengesankan. Rinto begitu menyenangkan dalam pergaulan. Sosok­nya low profile, bicaranya lembut dan sangat sopan.

Rizaldi Siagian, seorang seniman Su­mut mendampingi beliau ketika itu, kare­na mereka diundang sebagai pemban­ding.

Senada dengan Addie MS, konduktor dan pencipta lagu klasik terkemuka di negeri ini mengaku hal yang sama. “Rinto mengajarkan kami kekuatan kejujuran dan kesederhanaan,” kata Addie MS, sepeti dikutip The Jakarta Post.

Dia menambahkan bahwa Rinto menginspirasinya karena dia membuk­tikan teknik yang tinggi sendiri tidak cukup dalam mempro­duksi karya seni yang hebat. Rinto memiliki talen­ta khusus yang mem­buatnya mampu mengeks­presi­kan cinta dan penderi­taan dengan caranya sen­diri.

Masyarakat Indonesia tentu tidak asing lagi mendengar ungkapan “Mu­ka Rambo, Hati Rin­to”. Maksudnya biarpun muka seram seperti Ram­bo, tetapi hatinya selembut hari Rinto Harahap.  Rinto simbol orang berhati yang lembut!

Pengamat Mengritiknya Cengeng

Selama hidupnya, pria yang hijrah ke Jakarta pada medio 1970 itu adalah seorang penyanyi, pencipta lagu, dan producer. Tahun 1970-an ia mendirikan grup band The Mercy's yang terdiri Charles Huta­galung, Erwin Harahap, Reynold Pang­gabean dan Rinto Harahap sendiri. Rinto adalah seorang seniman yang bernaluri bisnis. Di samping seorang komposer ia juga pemilik perusahaan recording bernama Lolypop di era 1970-an.

Sebagai pencipta lagu, sejak meng­awali kariernya di Band The Mercys pada 1969, Rinto diberitakan sudah menggu­bah sedikitnya 500 buah lagu. Sebagai pencipta lagu, Rinto mengungkapkan kega­lauannya dengan cara Rinto. Nama­nya menjadi simbol Balada Melankolis Indonesia.

Mengutip ungkapan Kalu Ndukwe Kalu, “The things you do for yourself are gone when you are gone, but the things you do for others remain as your legacy.” Rinto sudah pergi, tetapi karya-karyanya akan dikenang sepanjang masa

Sementara beberapa kritikus dengan sinis menilai karya Rinto yang berlebihan melodramatis.  Mendengar irama dan lirik lagu-lagu Rinto, banyak orang tersentuh.  Rinto bahkan sempat dijuluki sebagai musisi spesialis lagu-lagu cengeng. CNN Indonesia mencatat: “Oleh pemerintahan Orde baru, Menteri Penerangan saat itu Harmoko sempat melarang lagu Rinto dinyanyikan di televisi.

Alasannya, lagu Rinto dianggap kurang memberikan semangat. Namun toh, karier Rinto tak lantas kandas, banyak orang yang terus menantikan karya-karyanya”.

Rinto sendiri mengatakan bahwa lagu-lagunya menyentuh sesuatu yang lebih dari sakit hati dan kesedihan.  "Lagu cengeng itu konotasinya enggak bagus, yang kalau kita dengar seperti dilecehkan. Itu yang membuat saya menentang," ujar Rinto dalam jumpa pers peluncuran album The Masterpiece of Rinto Harahap with Tohpati di Jakarta, Rabu (3/11/2010), seperti dikutip Kompas.com.

Menurut Rinto, lagunya bukanlah cengeng, melainkan lebih berkesan sedih. "Kesan air mata itu yang bagus daripada cengeng. Kalau air mata itu ada sebabnya keluar. Kalau saya lebih condong ke sedih dan air mata," tandas Rinto.

Sebagian pengamat di era 80an, menyebut lagu-lagu karya Rinto sebagai lagu kacangan yang tak perlu menguras energi tinggi untuk membuatnya, karena hanya menggunakan musik tiga jurus (tiga kord), dan tema yang itu-itu saja. Gam­pang dicerna dan disukai oleh masyarakat yang ramai-ramai membeli karya Rinto bak kacang goreng.

Pengamat, penguasa tentu tidak sama dengan penggemarnya. “Mereka boleh saja memandang sinis karya-karya Rinto, tapi sebagai seorang seniman, Rinto juga berhak untuk cerdas bersiasat agar hidupnya sebagai seniman bisa sejahtera,” ungkap Kompas.com.

Penganut Pluralis

11 Pebruari 2015, Rinto Harahap sudah dimakamkan di TPU, Kampung Kan­dang, Jagakarsa, Pasar Minggu Jakarta.

Dari siaran televisi saya menyaksikan Istri Rinto, Lily Kuslolita, mengenakan kerudung. Saya juga menyaksikan  ketiga putrinya tak kuasa menahan tangis saat jenazah ayah tercinta dikebumikan. Tangis Claudia Harahap, putrid tertua Rinto adalah tangis kami semua penggmar Rinto.

Rinto adalah contoh keluarga pluralis Indoensia. Dia menikah dengan Lily yang berasal dari Solo pada tanggal 9 November 1973 silam. Hubungan itu tetap bertahan di tengah perbedaan keyakinan, hingga maut memisahkan. “Papa selalu hidup rukun dan tak pernah mempesoal­kan perbedaan agama mereka”ujar Claudia Harahap, melalui siaran sebuah televisi swasta.

Rinto adalah seorang Kristen Protestan dan bahkan ayahnya pernah berharap ia menjadi seorang pendeta. Sementara itu istrinya Lily merupakan seorang Muslim dan berasal dari keluarga Muslim.
Almarhum Rinto meninggalkan seorang istri bernama Lily Kuslolita, dan tiga orang anak yaitu Cindy Claudia Harahap, Ratna Harahap dan Astrid Harahap.

Saya sedih menghantarkanmu, jutaan penggemarmu turut sedih.

"Biar, biarlah sedih asalkan kau baha­gia. Biar, biarlah sedih usah kau kenang lagi. Biarlah kini...hidupku sendiri". Tapi lagumu Biarlah Sendiri akan selalu kukenang.

Medan, 12 Pebruari 2015

Tidak ada komentar: