My 500 Words

Tampilkan postingan dengan label harus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label harus. Tampilkan semua postingan

Kamis, 11 Juni 2009

Renungan Pribadi Menjelang Pilpres Juli 2009




Pemilu dalam Persaudaraan

Oleh Jannerson Girsang



Angin lembut dan segar berhembus dari Jakarta 9 Juni 2009. Melalui media elektronik  saya dan berjuta-juta penduduk Indonesia lainnya menyaksikan Pasangan Calon presiden-calon wakil presiden Megawati Soekarno Putri-Prabowo Subianto, Soesilo Bambang Yudhoyono-Budiono, dan Yusuf Kalla-Wiranto bergandengan tangan usai mengucapkan Deklarasi Pemilu Damai 2009. Tak ada alasan bagi kami menolak bahwa merekalah putra-putra bangsa ”terpilih” dan memiliki catatan perjalanan hidup ”terunggul”. Karena alasan itulah mereka ditetapkan KPU sebagai kandidat presiden memimpin lebih dari 200 juta penduduk Indonesia lima tahun ke depan. KPU kami percayai menetapkan mereka sebagai calon pemimpin ke depan.

”Dengan semangat persatuan dan persaudaraan menyatakan siap menciptakan pemilu yang aman, tertib dan damai semi terwujudnya kemajuan dan kesejahteraan bangsa serta terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, demikian bunyi Deklarasi Pemilu Damai 2009 yang diucapkan dengan semangat oleh seluruh Capres dan Cawapres Disaksikan ratusan pengunjung pada acara yang diselenggarakan KPU itu, tentunya deklarasi ini tidak hanya diucapkan sebagai sebuah kewajiban, atau hanya lip service, tetapi sebuah tanggungjawab yang memiliki konsekensi-konsekwensi.

Bagi warga negara seperti saya, yang tak masuk hitungan dalam pertarungan kepemimpinan nasional (kecuali terdaftar di DPT), deklarasi yang berbunyi sangat indah itu bak air yang disiram kepada penonton yang kepanasan di tengah pertunjukan band Peterpan di lapangan terbuka. Sebuah siraman segar atas panasnya ”suhu” politik sejak Pemilu Legislatif dan Pencalonan Capres dan Cawapres periode 2009-2014.

Tekad persaudaraan dan menciptakan damai sebelum masuk ke gelanggang pertarungan Capres dan Cawapres meemberikan harapan bagi rakyat pemilih tidak terulang lagi cara-cara tidak sehat dalam persaingan merebut kepemimpinan nasional. Sudah cukup banyak waktu, pikiran dan tenaga yang tersita percuma karena dagelan para pemimpin yang tidak cukup dewasa memahami kondisi rakyatnya.

Para pemimpin hendaknya menyadari kalau sebuah keluarga, ayah dan ibunya tidak rukun, maka anak-anaknya akan terpengaruh. Pada pemilu legislatif lalu rakyat seperti kami sering terganggu pikirannya, pekerjaannya dan bahkan ekonominya, demi mensukseskan pemilu. Berbulan-bulan kecewa, bahkan ketika para pemimpin ramai-ramai mengatakan  boikot Pilpres, ditambah lagi dengan pernyataan-pernyataan atau melegalkan cara-cara yang tidak etis menjatuhkan lawannya. Dengan deklarasi ini, rakyat berharap saling ”caci maki” atau saling cerca diantara para pemenang tidak terjadi lagi. Hingga pemerintahan yang terbentuk akan kuat dan mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis.

Deklarasi ini  tidak memiliki kekuatan kalau para pengucapnya tidak melaksanakannya dengan konsisten. Dia harus disemaikan di hati rakyat serta seluruh pimpinan partai pendukung, penyelenggara pemilu serta aparat keamanan. Deklarasi ini menuntut para pemimpin memiliki jiwa besar dan menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.

Semua harus menyadari bahwa Pilpres membutuhkan pengorbanan yang besar. Selain biaya yang sangat mahal  saya dan jutaan rakyat lainnya harus berkorban meluangkan waktu ke TPS. Harus meninggalkan kegiatan  memenuhi nafkah keluarga untuk hadir saat hari pemilihan ataupun menyaksikan penghitungan suara.

Untuk itu, rakyat berharap usai  Pilpres  tidak lagi menghadapi kekhawatiran baru.  Perlu diingatkan, tidak mungkin tiga calon menang. Yang pasti harus ada yang kalah. Masing-masing harus siap menang dan siap kalah. Yang kalah mengakui dan mendukung yang menang secara tulus. Tidak lagi mempersoalkan apakah sistem kita ini sudah jujur atau tidak. Bagaimana kalau rakyat ikut-ikutan menyatakan sistem kita tidak bagus. Mereka tidak mau memilih. Apakah mungkin para calon presiden terpilih jadi presiden?

Kita memiliki DPR,  KPU, MK yang seluruhnya dibiayai rakyat. Kita serahkan mereka menetapkan dan mengawasi proses berlangsung sesuai dengan aturan. Susahnya, para calon-calon pemimpin kami sering tidak jujur. Ketika "kalah" mencari alasan, tetapi kalau menang diam saja.

Semua telah sepakat melalui pemimpin-pemimpin, para founding father bahwa negara ini Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) dan hidup damai dibawah Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, menuju masyarakat yang adil, makmur dan demokratis. Kita tentunya dihimbau jangan lagi mempertentangkan perbedan suku, agama, warna kulit. Justru itulah kekayaan kita dan para pemimpin hendaknya mengelola perbedaan itu menjadi kekuatan.

Deklarasi pemilu damai ini, bermakna lebih luas. Tidak hanya mewujudkan perdamaian dan persatuan dalam suasana menuju Pilpres saja, tetapi hendaknya dijadikan momentum untuk tidak mengulangi lagi kemunafikan kita. Bangsa dengan toleransi yang tinggi, ramah tamah, gotong royong, tentunya kami berharap rasa permusuhan di kalangan elit, konflik, kerusuhan dan serta berbagai pengalaman pahit lainnya tidak terjadi lagi.

Sebagai rakyat biasa kami sering merenung-renungkan kutipan yang pernah diucapkan mantan presiden Amerika Serikat, Benyamin Franklin lebih dari seratus tahun yang lalu. ”Hal terbaik diberikan kepada musuhmu adalah pengampunan, kepada penentangmu, toleransi, kepada sahabatmu, hatimu yang tulus, kepada anak-anakmu, keteladanan, kepada seorang ayah, rasa hormat, kepada ibumu, melakukan hal yang membuatnya bangga denganmu, kepadamu sendiri, rasa hormat, kepada semua orang, kemurahan hati. “The best thing to give to your enemy is forgiveness; to an opponent, tolerance; to a friend, your heart; to your child, a good example; to a father, deference; to your mother, conduct that will make her proud of you; to yourself, respect; to all men, charity”.

Ketertinggalan bangsa ini, menurut kami salah satunya adalah karena belum berhasil mewujudlan identitas bangsa kita yang cinta damai, kerukunan dalam praktek politik dan kehidupan sehari-hari. Bukan isapan jempol, kalau para pendiri negara ini menekankan persatuan dan kesatuan bangsa. Ingat, berkat tidak mengalir kepada bangsa  yang warganya atau pemimpinnya tidak rukun. ”Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!.....Sebab kesanalah Tuhan akan memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya”. Semoga!.

Medan 9 Juni 2009