Oleh: Jannerson Girsang
Apa pelajaran penggrebekan seorang pelacur kelas tinggi dan mucikari di Polres Jakarta Selatan beberapa waktu lalu?
Hindari profesi menjual diri Rp 80 juta per jam!.
Gadis cantik yang ingin kaya tanpa moral, ingin kaya dengan cara yang tidak elegan akan jadi sampah!.
Tercatat oleh sejarah memiliki masa lalu yang gelap!
Laki-laki manapun yang mau menikah dengan perempuan seperti itu harus
berjuang berat, untuk tidak disebut laki-laki bodoh dan tak punya harga
diri. .
Anak-anak pasti tidak nyaman memiliki ibu dengan
bayaran Rp 80 juta per jam. Apalagi sudah masuk video, ditonton seluruh
dunia.
Ke depan, keluarga seperti ini sangat sulit memulihkan
citra mereka di masyarakat. Walau tidak sedikit yang kemudian bertobat.
Kita sudah menyaksikan banyak keluarga yang dulunya hidup di dunia
:hitam: di televisi. Betapa hancurnya keluarga yang hanya mendewakan
uang, dan betapa sulitnya mereka kembali ke jalan yang benar. Anak-anak
mereka mencari hiburan yang tidak sehat.
Gadis-gadis cantik Indonesia yang bersahaja!.
Anda memilki peluang besar meraih sukses dengan cara yang jitu, menuju masa depan yang gemilang!
Dua gadis berikut adalah contohnya. Keduanya tidak mencari jalan pintas
mengatasi kemiskinan orang tuanya. Mereka bekerja dan pekerjaannya
terhormat dan bersahaja.
Duma Simanjuntak, gadis cantik berusia
19 tahun memilih bekerja sebagai cleaning service di PT KAI Medan untuk
membiayai kuliahnya. Kini Duma kuliah di semester II di salah satu
perguruan tinggi di Medan.Duma bercita-cita menjadi manajer perusahaan.
Dunia akan berdoa Duma sukses!
Darwati (23)--gadis cantik
memilih bekerja sebagai pembantu di rumah seorang dokter gigi di Jawa
Tengah. Dia memohon kepada majikannya agar diberi kesempatan kuliah, dan
berhasil meraih S1 dengan predikat cum laude.
Kini Darwati
masih pembantu rumah tangga dan bercita-cita mencari pekerjaan yang
lebih baik. Dia ingin membahagiakan orang tuanya. Dunia akan berdoa,
Darwati sukses!
Kedua gadis ini tidak mencari jalan pintas untuk
mengangkat harkat dan martabat keluarganya. Keduanya berjuang, tahan
diejek, berkeringat, kerja keras, disiplin, dan memiliki harga diri yang
tinggi.
Harga diri mereka tidak ternilai, walau hanya seorang
anak orang tua yang miskin. Mereka tidak membenarkan diri melakukan
kesalahan, hanya karena alasan ekonomi!
Semoga mimpi-mimpi
mereka terwujud. Mari semua bangsa Indonesia mendoakan mereka hingga
suatu saat mereka lebih hebat dari Destry Damayanti, Ketua Tim Seleksi
KPK.
Tim seleksi KPK dan Ketua-ketua KPK membutuhkan orang
seperti Duma dan Darwati. Jujur, berdedikasi dan memiliki harga diri
yang tidak bisa dibeli oleh apapun.
Destry Damayanti, seorang wanita cantik yang cerdas, tentu tidak meraih posisi itu dengan mudah.
Kuliah dulu, meraih S1 UI, Master dari Cornell University, bekerja
beberapa tahun di berbagai kantor, kemudian terkenal. Sri Mulyani yang
kini menjadi Managing Director World Bank juga melakukan hal yang sama!.
.
Indonesia memimpikan perempuan-perempuan cantik dan cerdas.
Jangan mau jadi budak lelaki hidung belang. Perempuan seperti Duma dan
Darwati akan mampu!
Hal penting menurut saya adalah orang tua yang peduli, guru-guru sejati, serta lingkungan yang menghargai nilai baik.
Keluarga adalah nomor satu. "Keluarga harmonis dan Cinta Tuhan lebih
menjamin menghasilkan anak2 yg mampu bertahan dalam keadaan apapun
termasuk tdk menghalalkan segala cara utk mencapai tujuannya," komentar
boto Afrina Rohliharni Purba Dasuha.
Guru-guru sejati, kata Rhenald Kasali. "Kita butuh guru-guru yang
berkarakter, membimbing anak, membentuk karakter anak, mengajarkan anak
menjadi pecinta ilmu dan pengetahuan, bukan pecinta angka-angka".
Lingkungan. Peran majikan seperti dr Lely yang menghargai "pembantu"
tidak sekedar komoditi. Dia melihat Darwati, pembantunya sebagai mahluk
manusia yang seutuhnya, memandang pembantu adalah manusia sama seperti
dirinya. Berhak untuk maju, memperoleh pendidikan yang baik. Bahkan rela
memberi kesempatan kepada pembantunya mengikuti kuliah!
Lingkungan kantor seperti PT KAI Medan yang menghormati gadis cantik Duma sebagai cleaning service.
Medan, 24 Mei 2015
"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Kamis, 18 Juni 2015
Ayub: Saat Menderita, Tetap Bersyukur dan Merasa Dibela Tuhan
Oleh: Jannerson Girsang
Secara umum, orang yang sakit dan dirawat bertahun-tahun adakalanya muncul keluhan dan semangat semakin menurun, dan ragu-ragu, sehingga bisa kehilangan keyakinan, mencari pertolongan yang menyesatkan.
Beda dengan Ayub. Itulah sebabnya, Ayub menjadi satu teladan bagi kita menghadapi penderitaan. Setelah kehilangan semua harta dan anak-anak, dan menderita sakit parah, Ayub masihmampu mengatakan:
"Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah,yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu".
Orang sakit adalah orang yang sedang lemah fisiknya dan perlu dukungan dari teman-teman dan keluarga.
Baru kembali menjenguk namboru, Morianna br Girsang yang menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Adam Malik, Medan. Morianna adalah istri alm Pendeta BNKP, Pdt Harefa, adiknya PW (pens) Lermianna Girsang . Beliau seorang pensiunan guru di Gunungsitoli, Nias.
Senang karena melihat semangat namboru tidak luntur. Pada 2011 beliau menjalani kemo, dan kembali menjalani kemo sejak 3 hari yang lalu.
Kisah Ayub adalah referensiku ketika mencari kekuatan saat berada dalam penderitaan, dan juga kusampaikan bagi mereka yang sakit. (Ayub 19:1-29). Ayub adalah orang yang setia kepada Tuhan.
Tetapi suatu ketika, seluruh hartanya habis, anak-anaknya tewas karena reruntuhan bangunan akibat badai.
Setelah kehilangan harta benda dan ke sepuluh putra putrinya, dia menderita sakit kulit parah dan mengharuskannya tidur di atas debu. Istri dan teman-temannya mencibirnya. Tetapi Ayub tetap tegar dan merasa dibela Tuhan. ,
Saya membacakan ayat ini ditelinga nambori Morianna. Kubaca pelan-pelan!:
Ketika kita lemah, kadang nasehat teman-teman menyesatkan!
Tetapi Ayub menjawab (nasehat dan cibiran teman-temannya) :"Berapa lama lagi kamu menyakitkan hatiku, dan meremukkan aku dengan perkataan?
Sekarang telah sepuluh kali kamu menghina aku, kamu tidak malu menyiksa aku. Jika aku sungguh tersesat, maka aku sendiri yang menanggung kesesatanku itu.
Jika kamu sungguh hendak membesarkan diri terhadap aku, dan membuat celaku sebagai bukti terhadap diriku, insafilah, bahwa Allah telah berlaku tidak adil terhadap aku, dan menebarkan jala-Nya atasku.
Sesungguhnya, aku berteriak: Kelaliman!, tetapi tidak ada yang menjawab. Aku berseru minta tolong, tetapi tidak ada keadilan.
Dalam keadaan menderita dan lemah, kita kadang mengeluh!
Jalanku ditutup-Nya dengan tembok, sehingga aku tidak dapat melewatinya, dan jalan-jalanku itu dibuat-Nya gelap. Ia telah menanggalkan kemuliaanku dan merampas mahkota di kepalaku. Ia membongkar aku di semua tempat, sehingga aku lenyap, dan seperti pohon harapanku dicabut-Nya.
Murka-Nya menyala terhadap aku, dan menganggap aku sebagai lawan-Nya.Pasukan-Nya maju serentak, mereka merintangi jalan melawan aku, lalu mengepung kemahku.
Saudara-saudaraku dijauhkan-Nya dari padaku, dan kenalan-kenalanku tidak lagi mengenal aku. Kaum kerabatku menghindar, dan kawan-kawanku melupakan aku. Anak semang dan budak perempuanku menganggap aku orang yang tidak dikenal, aku dipandang mereka orang asing.
Kalau aku memanggil budakku, ia tidak menyahut; aku harus membujuknya dengan kata-kata manis.
Nafasku menimbulkan rasa jijik kepada isteriku, dan bauku memualkan saudara-saudara sekandungku. Bahkan kanak-kanakpun menghina aku, kalau aku mau berdiri, mereka mengejek aku.
Semua teman karibku merasa muak terhadap aku; dan mereka yang kukasihi, berbalik melawan aku. Tulangku melekat pada kulit dan dagingku, dan hanya gusiku yang tinggal padaku.
Tetapi, sadarlah dan yakinlah dan berharaplah kepada Tuhan!
Kasihanilah aku, kasihanilah aku, hai sahabat-sahabatku, karena tangan Allah telah menimpa aku. Mengapa kamu mengejar aku, seakan-akan Allah, dan tidak menjadi kenyang makan dagingku?
Ah, kiranya perkataanku ditulis, dicatat dalam kitab,terpahat dengan besi pengukir dan timah pada gunung batu untuk selama-lamanya!
Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu.
Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah,yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu.
"Tetap semangat ya namboru. Dalam keadaan lemah tak berdaya, secara alami, kita memang bisa merasa seperti ditinggalkan, kadang dilupakan, atau dilecehkan orang, sama seperti Ayub. Tetapi, Tuhan tidak pernah meninggalkan namboru. Dia merawatmu 24 jam, Namboru bersyukur karena masih bisa dirawat di rumah sakit, bukan di atas abu seperti Ayub. Tidak dijauhi keluarga, karena masih ditemani kakakmu PW Lermianna dan edamu Ny almarhum Pdt Josep Girsang"
"Terima kasih. Terima kasih," katanya, sesudah kami berdoa, sambil mengusap kepalaku
Medan, 23 mei 2015
Secara umum, orang yang sakit dan dirawat bertahun-tahun adakalanya muncul keluhan dan semangat semakin menurun, dan ragu-ragu, sehingga bisa kehilangan keyakinan, mencari pertolongan yang menyesatkan.
Beda dengan Ayub. Itulah sebabnya, Ayub menjadi satu teladan bagi kita menghadapi penderitaan. Setelah kehilangan semua harta dan anak-anak, dan menderita sakit parah, Ayub masihmampu mengatakan:
"Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah,yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu".
Orang sakit adalah orang yang sedang lemah fisiknya dan perlu dukungan dari teman-teman dan keluarga.
Baru kembali menjenguk namboru, Morianna br Girsang yang menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Adam Malik, Medan. Morianna adalah istri alm Pendeta BNKP, Pdt Harefa, adiknya PW (pens) Lermianna Girsang . Beliau seorang pensiunan guru di Gunungsitoli, Nias.
Senang karena melihat semangat namboru tidak luntur. Pada 2011 beliau menjalani kemo, dan kembali menjalani kemo sejak 3 hari yang lalu.
Kisah Ayub adalah referensiku ketika mencari kekuatan saat berada dalam penderitaan, dan juga kusampaikan bagi mereka yang sakit. (Ayub 19:1-29). Ayub adalah orang yang setia kepada Tuhan.
Tetapi suatu ketika, seluruh hartanya habis, anak-anaknya tewas karena reruntuhan bangunan akibat badai.
Setelah kehilangan harta benda dan ke sepuluh putra putrinya, dia menderita sakit kulit parah dan mengharuskannya tidur di atas debu. Istri dan teman-temannya mencibirnya. Tetapi Ayub tetap tegar dan merasa dibela Tuhan. ,
Saya membacakan ayat ini ditelinga nambori Morianna. Kubaca pelan-pelan!:
Ketika kita lemah, kadang nasehat teman-teman menyesatkan!
Tetapi Ayub menjawab (nasehat dan cibiran teman-temannya) :"Berapa lama lagi kamu menyakitkan hatiku, dan meremukkan aku dengan perkataan?
Sekarang telah sepuluh kali kamu menghina aku, kamu tidak malu menyiksa aku. Jika aku sungguh tersesat, maka aku sendiri yang menanggung kesesatanku itu.
Jika kamu sungguh hendak membesarkan diri terhadap aku, dan membuat celaku sebagai bukti terhadap diriku, insafilah, bahwa Allah telah berlaku tidak adil terhadap aku, dan menebarkan jala-Nya atasku.
Sesungguhnya, aku berteriak: Kelaliman!, tetapi tidak ada yang menjawab. Aku berseru minta tolong, tetapi tidak ada keadilan.
Dalam keadaan menderita dan lemah, kita kadang mengeluh!
Jalanku ditutup-Nya dengan tembok, sehingga aku tidak dapat melewatinya, dan jalan-jalanku itu dibuat-Nya gelap. Ia telah menanggalkan kemuliaanku dan merampas mahkota di kepalaku. Ia membongkar aku di semua tempat, sehingga aku lenyap, dan seperti pohon harapanku dicabut-Nya.
Murka-Nya menyala terhadap aku, dan menganggap aku sebagai lawan-Nya.Pasukan-Nya maju serentak, mereka merintangi jalan melawan aku, lalu mengepung kemahku.
Saudara-saudaraku dijauhkan-Nya dari padaku, dan kenalan-kenalanku tidak lagi mengenal aku. Kaum kerabatku menghindar, dan kawan-kawanku melupakan aku. Anak semang dan budak perempuanku menganggap aku orang yang tidak dikenal, aku dipandang mereka orang asing.
Kalau aku memanggil budakku, ia tidak menyahut; aku harus membujuknya dengan kata-kata manis.
Nafasku menimbulkan rasa jijik kepada isteriku, dan bauku memualkan saudara-saudara sekandungku. Bahkan kanak-kanakpun menghina aku, kalau aku mau berdiri, mereka mengejek aku.
Semua teman karibku merasa muak terhadap aku; dan mereka yang kukasihi, berbalik melawan aku. Tulangku melekat pada kulit dan dagingku, dan hanya gusiku yang tinggal padaku.
Tetapi, sadarlah dan yakinlah dan berharaplah kepada Tuhan!
Kasihanilah aku, kasihanilah aku, hai sahabat-sahabatku, karena tangan Allah telah menimpa aku. Mengapa kamu mengejar aku, seakan-akan Allah, dan tidak menjadi kenyang makan dagingku?
Ah, kiranya perkataanku ditulis, dicatat dalam kitab,terpahat dengan besi pengukir dan timah pada gunung batu untuk selama-lamanya!
Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu.
Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah,yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu.
"Tetap semangat ya namboru. Dalam keadaan lemah tak berdaya, secara alami, kita memang bisa merasa seperti ditinggalkan, kadang dilupakan, atau dilecehkan orang, sama seperti Ayub. Tetapi, Tuhan tidak pernah meninggalkan namboru. Dia merawatmu 24 jam, Namboru bersyukur karena masih bisa dirawat di rumah sakit, bukan di atas abu seperti Ayub. Tidak dijauhi keluarga, karena masih ditemani kakakmu PW Lermianna dan edamu Ny almarhum Pdt Josep Girsang"
"Terima kasih. Terima kasih," katanya, sesudah kami berdoa, sambil mengusap kepalaku
Medan, 23 mei 2015
Kasihilah Sesamamu Seperti Dirimu Sendiri
Oleh: Jannerson Girsang
Masalah hubungan sosial banyak bersumber dari ketika manusia berfikir
picik, menginginkan bahkan memaksakan manusia lain sama dengan dirinya
yang belum tentu cocok dengan orang lain..
Mengagungkan profesinya dan mengabaikan profesi orang lain, mengagungkan harta dan melecehkan mereka yang menderita dan miskin, mengagungkan agama, sukunya, serta melecehkan agama dan suku orang lain, di hadapan orang yang berbeda agama dan sukunya, masih kita jumpai dimana-mana dan dilakukan tanpa rasa bersalah.
Padahal golden verses mengatakan : "Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka".
Bukan tidak banyak pemikiran, ucapan dan tindakan yang saling mengadu domba penganut agama yang satu ke penganut agama yang lain, bahkan ada yang berbuntut kekerasan.
Anehnya, tanpa ada perasaan bersalah. Tanpa memikirkan kalau seandainya yang bersangkutan menerima perlakuan yang sama, seperti yang dilakukannya!
Sikap yang membuat manusia kehilangan kemanusiaannya. Merasa selalu benar, mencuri kemuliaan Tuhan!
Bayangkan!. Kalau seorang penulis mengharapkan orang lain berfikir seperti penulis, seorang pengusaha menginginkan orang lain berfikir seperti dia, dan berlaku seperti dia, seorang politikus berfikir orang lain sama cara berfikir dan bertindaknya seperti dia, orang kaya berfikir yang lain seperti yang dipikirkannya.
Kalau kebanyakan orang kaya merasa dirinyalah yang paling hebat, para politikus merasa dirinyalah yang paling hebat, penguasa juga demikian, aktivis merasa dirinya benar dan harus mengikuti jalan pikiran dan tindakannya, dan seterusnya dan seterusnya..
Sementara di lapangan, pikiran dan tindakan mereka tidak mampu menurunkan kemiskinan dan kesenjangan yang terus merangkak naik bagai deret ukur, sepeda motor hilang dan nyawa melayang, karena prampok ada di mana-mana.
Lantas, rakyat hanya mendengar mereka taunya menunjuk salah orang lain, hanya mampu mengoreksi tanpa solusi.
Apapun profesi kita, bagaimananpun kehebatan kita, hendaknya bersyukur--Tuhanlah melalui bangsa Indoensia memberi kesempatan kita hebat, Jika tidak, maka cepat atau lambat, kehebatan itu juga akan sirna. Paling satu keturunan, kemudian habislah kita.
Bersyukurlah, liriklah kiri kanan, mereka yang terabaikan, mereka yang masih di bawah garis kemiskinan, dan kebodohan, supaya tidak berada di atas menara yang tinggi, takut bergabung dengan masyarakat kebanyakan.
Saya dan Anda hebat, kalau menjadi berkat bagi orang lain, bukan mala petaka, atau sumber ancaman!
Belum lagi agama yang berbeda-beda. Bayangkan kalau masing-masing agama terus menerus mengumumkan kepada dunia merekalah yang paling hebat, hanya merekalah pemilik bangsa atau dunia ini?. Bagaimana dengan agama yang lain.
Bukankah agama hadir sebagai pencipta suasana damai? Anehnya, umat beragama justru cenderung membiarkan dan menambah terus orang-orang yang merasa terabaikan, terlecehkan.
"...semua agama, ajaran kebajikan dan etika moral bersumber dari pada Tuhan yang Maha Esa. Tidak ada satu agamapun yang mengatasinya dan tidak ada satu agamapun dapat dikatakan mempunyai arti jika tidak bisa menolong manusia dan membangkitkan kesadarannya dalam konflik batinnya jika Tuhan Yang Maha Esa tidak menyinari jiwanya". (Nyoman S Pendit, Bagavadgita, Gramedia, 2002).
Bagaimana dengan suku yang lain?. Suku-suku kita memiliki kearifan lokal yang luar bisa mengatur kehidupan masyarakat lokal kita sekian ratus atau ribu tahun. Sayangnya, kita cenderung melupakannya. Suku, kadang hanya digunakan sebagai alat politik, justru melupakan kearifan-kearifan lokalnya. . .
Inilah sumber gangguan komunikasi, yang menghambat mengalirnya darah kebersamaan berbangsa, bernegara dan juga akhirnya muncul baik di gereja atau tempat-tempat ibadah, di perkumpulan-perkumpulan sosial dan tempat-tempat lain.
Inilah krisis yang sedang kita hadapi di negeri ini, sedikitnya orang yang mampu melakukan keteladanan berbangsa dan bernegara yang merindukan terwujudnya cita-cita pendiri negeri ini. .
Kehebatan agama-agama dan torleransi berkumandang, pembakaran dan perusakan rumah ibadah, kekerasan mengatasnamakan agama terus berlangsung, hak azasi manusia terabaikan. Dimana hebatnya?
Manusia memerlukan bukti masa kini, bukan pernyataan-pernyataan dengan terus menerus memunculkan kehebatan di masa lalu, memunculkan kebanggaan semu, bahkan kadang bohong!.
Semua penganut agama di negeri ini salah, kalau kita tidak berhasil menciptakan perdamaian, masih ada pembakaran-pembakaran rumah ibadah. Ketika kita cuma menyalahkan sepihak, maka perdamaian, toleransi itu hanya utopia.
Mengikuti alam pikiran-pikiran picik--menganggap profesinya paling hebat, pengetahuannya paling hebat, kekayaannya paling hebat, agamanya paling hebat, sukunya paling hebat, jangan heran kalau suku-suku akan terpecah-pecah, bangsa akan terpecah, dunia akan terpecah-pecah.
Kita tidak akan memperoleh suka cita, tidak akan pernah tenteram, semuanya akan "remuk". Jangan berharap ada yang menang. Semua akan kalah, cepat atau lambat.
Untuk itulah kita harus setia pada pikiran dan tindakan yang mempersatukan. Ada organisasi, ada pijakan hidup, dan berbagai aturan sehingga semua dapat hidup berdampingan dengan damai.
Indonesia misalnya, ada empat pilar: Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Jangan pula kearifan lokal, pemikiran founding father kita punah, gara-gara kita terlalu mengagungkan pikiran-pikiran yang bertentangan dengan pendiri bangsa ini.
Kita bangga dengan bangsa Indonesia. Bukan bangga meniru-niru Arab, Israel, Jahudi, Amerika atau orang-orang dan aliran hebat dari luar sana.
Kita masing-masing memiliki buku suci yang mengajarkan cara menghormati manusia, pelajari dan jalankanlah itu. Kita memiliki kearifan lokal dari masing-masing suku, pelajari dan praktekkanlah itu dalam kehidupan.
Jangan terus mempertentangkannya, hanya supaya kelihatan paling benar, yang selalu berbuntut pada saling melecehkan, tetapi hendaknya saling memperkaya satu dengan yang lain.
Tuhan memperlakukan manusia sama. Dia memberi mata hari yang sama, bulan yang sama, bumi yang sama, bintang yang sama. Semua manusia bisa menikmatinya, tidak ada diskriminasi.
Tuhan hanya meminta manusia ciptaannya "mengasihi sesamanya seperti mengasihi dirinya". Begitu mudahnya, tetapi "otak" yang sudah kotor membuat kita sangat sulit melaksanakannya.
Mari kita hormati mereka yang selalu memikirkan ide-ide, konsep-konsep dan keteladanan mempersatukan umat manusia. Mari kita belajar dari mereka menghormati sesama.
Tuhan sudah menciptakan semuanya lengkap untuk kita. Founding Father Bangsa kita sudah meletakkan dasar berbangsa dan bernegara sungguh lengkap dalam Pancasila yang berakar dari masyarakat bangsa kita agar bangsa ini saling mengasihi satu dengan yang lain.
Masalahnya terletak pada kebodohan kita semua. Mari kita tidak bodoh!
Medan, 23 Mei 2015
Mengagungkan profesinya dan mengabaikan profesi orang lain, mengagungkan harta dan melecehkan mereka yang menderita dan miskin, mengagungkan agama, sukunya, serta melecehkan agama dan suku orang lain, di hadapan orang yang berbeda agama dan sukunya, masih kita jumpai dimana-mana dan dilakukan tanpa rasa bersalah.
Padahal golden verses mengatakan : "Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka".
Bukan tidak banyak pemikiran, ucapan dan tindakan yang saling mengadu domba penganut agama yang satu ke penganut agama yang lain, bahkan ada yang berbuntut kekerasan.
Anehnya, tanpa ada perasaan bersalah. Tanpa memikirkan kalau seandainya yang bersangkutan menerima perlakuan yang sama, seperti yang dilakukannya!
Sikap yang membuat manusia kehilangan kemanusiaannya. Merasa selalu benar, mencuri kemuliaan Tuhan!
Bayangkan!. Kalau seorang penulis mengharapkan orang lain berfikir seperti penulis, seorang pengusaha menginginkan orang lain berfikir seperti dia, dan berlaku seperti dia, seorang politikus berfikir orang lain sama cara berfikir dan bertindaknya seperti dia, orang kaya berfikir yang lain seperti yang dipikirkannya.
Kalau kebanyakan orang kaya merasa dirinyalah yang paling hebat, para politikus merasa dirinyalah yang paling hebat, penguasa juga demikian, aktivis merasa dirinya benar dan harus mengikuti jalan pikiran dan tindakannya, dan seterusnya dan seterusnya..
Sementara di lapangan, pikiran dan tindakan mereka tidak mampu menurunkan kemiskinan dan kesenjangan yang terus merangkak naik bagai deret ukur, sepeda motor hilang dan nyawa melayang, karena prampok ada di mana-mana.
Lantas, rakyat hanya mendengar mereka taunya menunjuk salah orang lain, hanya mampu mengoreksi tanpa solusi.
Apapun profesi kita, bagaimananpun kehebatan kita, hendaknya bersyukur--Tuhanlah melalui bangsa Indoensia memberi kesempatan kita hebat, Jika tidak, maka cepat atau lambat, kehebatan itu juga akan sirna. Paling satu keturunan, kemudian habislah kita.
Bersyukurlah, liriklah kiri kanan, mereka yang terabaikan, mereka yang masih di bawah garis kemiskinan, dan kebodohan, supaya tidak berada di atas menara yang tinggi, takut bergabung dengan masyarakat kebanyakan.
Saya dan Anda hebat, kalau menjadi berkat bagi orang lain, bukan mala petaka, atau sumber ancaman!
Belum lagi agama yang berbeda-beda. Bayangkan kalau masing-masing agama terus menerus mengumumkan kepada dunia merekalah yang paling hebat, hanya merekalah pemilik bangsa atau dunia ini?. Bagaimana dengan agama yang lain.
Bukankah agama hadir sebagai pencipta suasana damai? Anehnya, umat beragama justru cenderung membiarkan dan menambah terus orang-orang yang merasa terabaikan, terlecehkan.
"...semua agama, ajaran kebajikan dan etika moral bersumber dari pada Tuhan yang Maha Esa. Tidak ada satu agamapun yang mengatasinya dan tidak ada satu agamapun dapat dikatakan mempunyai arti jika tidak bisa menolong manusia dan membangkitkan kesadarannya dalam konflik batinnya jika Tuhan Yang Maha Esa tidak menyinari jiwanya". (Nyoman S Pendit, Bagavadgita, Gramedia, 2002).
Bagaimana dengan suku yang lain?. Suku-suku kita memiliki kearifan lokal yang luar bisa mengatur kehidupan masyarakat lokal kita sekian ratus atau ribu tahun. Sayangnya, kita cenderung melupakannya. Suku, kadang hanya digunakan sebagai alat politik, justru melupakan kearifan-kearifan lokalnya. . .
Inilah sumber gangguan komunikasi, yang menghambat mengalirnya darah kebersamaan berbangsa, bernegara dan juga akhirnya muncul baik di gereja atau tempat-tempat ibadah, di perkumpulan-perkumpulan sosial dan tempat-tempat lain.
Inilah krisis yang sedang kita hadapi di negeri ini, sedikitnya orang yang mampu melakukan keteladanan berbangsa dan bernegara yang merindukan terwujudnya cita-cita pendiri negeri ini. .
Kehebatan agama-agama dan torleransi berkumandang, pembakaran dan perusakan rumah ibadah, kekerasan mengatasnamakan agama terus berlangsung, hak azasi manusia terabaikan. Dimana hebatnya?
Manusia memerlukan bukti masa kini, bukan pernyataan-pernyataan dengan terus menerus memunculkan kehebatan di masa lalu, memunculkan kebanggaan semu, bahkan kadang bohong!.
Semua penganut agama di negeri ini salah, kalau kita tidak berhasil menciptakan perdamaian, masih ada pembakaran-pembakaran rumah ibadah. Ketika kita cuma menyalahkan sepihak, maka perdamaian, toleransi itu hanya utopia.
Mengikuti alam pikiran-pikiran picik--menganggap profesinya paling hebat, pengetahuannya paling hebat, kekayaannya paling hebat, agamanya paling hebat, sukunya paling hebat, jangan heran kalau suku-suku akan terpecah-pecah, bangsa akan terpecah, dunia akan terpecah-pecah.
Kita tidak akan memperoleh suka cita, tidak akan pernah tenteram, semuanya akan "remuk". Jangan berharap ada yang menang. Semua akan kalah, cepat atau lambat.
Untuk itulah kita harus setia pada pikiran dan tindakan yang mempersatukan. Ada organisasi, ada pijakan hidup, dan berbagai aturan sehingga semua dapat hidup berdampingan dengan damai.
Indonesia misalnya, ada empat pilar: Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Jangan pula kearifan lokal, pemikiran founding father kita punah, gara-gara kita terlalu mengagungkan pikiran-pikiran yang bertentangan dengan pendiri bangsa ini.
Kita bangga dengan bangsa Indonesia. Bukan bangga meniru-niru Arab, Israel, Jahudi, Amerika atau orang-orang dan aliran hebat dari luar sana.
Kita masing-masing memiliki buku suci yang mengajarkan cara menghormati manusia, pelajari dan jalankanlah itu. Kita memiliki kearifan lokal dari masing-masing suku, pelajari dan praktekkanlah itu dalam kehidupan.
Jangan terus mempertentangkannya, hanya supaya kelihatan paling benar, yang selalu berbuntut pada saling melecehkan, tetapi hendaknya saling memperkaya satu dengan yang lain.
Tuhan memperlakukan manusia sama. Dia memberi mata hari yang sama, bulan yang sama, bumi yang sama, bintang yang sama. Semua manusia bisa menikmatinya, tidak ada diskriminasi.
Tuhan hanya meminta manusia ciptaannya "mengasihi sesamanya seperti mengasihi dirinya". Begitu mudahnya, tetapi "otak" yang sudah kotor membuat kita sangat sulit melaksanakannya.
Mari kita hormati mereka yang selalu memikirkan ide-ide, konsep-konsep dan keteladanan mempersatukan umat manusia. Mari kita belajar dari mereka menghormati sesama.
Tuhan sudah menciptakan semuanya lengkap untuk kita. Founding Father Bangsa kita sudah meletakkan dasar berbangsa dan bernegara sungguh lengkap dalam Pancasila yang berakar dari masyarakat bangsa kita agar bangsa ini saling mengasihi satu dengan yang lain.
Masalahnya terletak pada kebodohan kita semua. Mari kita tidak bodoh!
Medan, 23 Mei 2015
Menulis itu: "Membaca dan Menulis"
Oleh: Jannerson Girsang
Menulis adalah ketrampilan. Diawali dari mencari Ide. Ide muncul dari pengetahuan yang diperoleh dari membaca, mendengar, melihat, merasa dll.
Dari melakukan kegiatan membaca, kita mendapat wawasan yang bermakna.
Syarat lain, tentunya mampu menulis. Tau menempatkan subjek, predikat, objek, serta keterangan, belajar Ejaan Yang Disempurnakan.
Mudah amat? Ya, memang mudah.
Supaya mahir, gimana?.
Hanya satu atau dua kegiatan yang harus dilakukan!.
"Menulis, menulis, menulis, menulis, menulis, menulis" .
"Membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca".
Medan, 22 Mei 2015
Menulis adalah ketrampilan. Diawali dari mencari Ide. Ide muncul dari pengetahuan yang diperoleh dari membaca, mendengar, melihat, merasa dll.
Dari melakukan kegiatan membaca, kita mendapat wawasan yang bermakna.
Syarat lain, tentunya mampu menulis. Tau menempatkan subjek, predikat, objek, serta keterangan, belajar Ejaan Yang Disempurnakan.
Mudah amat? Ya, memang mudah.
Supaya mahir, gimana?.
Hanya satu atau dua kegiatan yang harus dilakukan!.
"Menulis, menulis, menulis, menulis, menulis, menulis" .
"Membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca".
Medan, 22 Mei 2015
Manusialah yang Memanusiakan Manusia
Oleh: Jannerson Girsang
Apabila Anda tidak menghargai orang lain, maka Anda akan kehilangan kemanusiaan Anda, sebab Monyet, Kuda, Harimau tidak bisa memanusiakan Anda!
"Saya bisa hidup tanpa Anda?". Sombong sekali. .
Para pemimpin, Anda tidak menjadi pemimpin tanpa orang-orang yang Anda pimpin. Jadi, manusia di sekitar Andalah membuat Anda menjadi pemimpin. Manusialah yang bisa mengapresiasi kekayaan, pengetahuan, budaya, dan agama. Mahluk hidup di luar itu tidak mampu melakukannya.
Anda tidak bisa menjadi seorang bapak, tanpa istri/suami dan anak-anak. Jangan abaikan mereka.
Anda tidak menjadi orang Indonesia kalau tidak bisa mengasihi orang Batak, Jawa, Sunda, Ambon, Papua, Nusa Tenggara dan seluruh suku di Indonesia. Anda tidak bisa menjadi warga bumi ini kalau tidak menghargai bangsa lain.
Manusia adalah pusat pelayanan kita, perhatian tertinggi kita sebagai manusia yang diutus Tuhan. Ketika kita menghargai manusia seperti anjing, maka hubungan kita dengan Tuhan akan retak. Kita semua akan susah.
"Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Perbuatlah kepada yang lain seperti Anda ingin orang lain melakukan yang sama kepada Anda"
Selamat Pagi. Medan, 22 Mei 2015
Apabila Anda tidak menghargai orang lain, maka Anda akan kehilangan kemanusiaan Anda, sebab Monyet, Kuda, Harimau tidak bisa memanusiakan Anda!
"Saya bisa hidup tanpa Anda?". Sombong sekali. .
Para pemimpin, Anda tidak menjadi pemimpin tanpa orang-orang yang Anda pimpin. Jadi, manusia di sekitar Andalah membuat Anda menjadi pemimpin. Manusialah yang bisa mengapresiasi kekayaan, pengetahuan, budaya, dan agama. Mahluk hidup di luar itu tidak mampu melakukannya.
Anda tidak bisa menjadi seorang bapak, tanpa istri/suami dan anak-anak. Jangan abaikan mereka.
Anda tidak menjadi orang Indonesia kalau tidak bisa mengasihi orang Batak, Jawa, Sunda, Ambon, Papua, Nusa Tenggara dan seluruh suku di Indonesia. Anda tidak bisa menjadi warga bumi ini kalau tidak menghargai bangsa lain.
Manusia adalah pusat pelayanan kita, perhatian tertinggi kita sebagai manusia yang diutus Tuhan. Ketika kita menghargai manusia seperti anjing, maka hubungan kita dengan Tuhan akan retak. Kita semua akan susah.
"Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Perbuatlah kepada yang lain seperti Anda ingin orang lain melakukan yang sama kepada Anda"
Selamat Pagi. Medan, 22 Mei 2015
Beli Rumah dan Anda Bisa Nikahi Pemiliknya
Wina Lia--janda beranak dua, sekaligus pemilik rumah mewah, mendadak populer lantaran iklan
penjualan rumahnya di Sleman, Yogyakarta, yang tak biasa.
Di iklan yang dipasang di laman Rumah Dijual, janda beranak 2 ini memasang tagline 'Beli Rumah dan Anda Bisa Nikahi Pemiliknya'.
Sangat kreatif! Tapi, sial yang datang!
Katanya, pembelinya sudah ada dan langsung jadi calon suaminya. Pasti dia orang kaya, karena disamping membayar harga rumah Rp 1 miliar, tentu juga harus membayar mahar, yang mahal.
Tapi, ternyata laki-laki banyak duit itu sudah punya istri...Wina kecewa berat!
Ada-ada saja!
Mencari Salah, Bukan Solusi
Oleh: Jannerson Girsang
Sesak nafas!. Itulah sering dihadapi para pejabat atau manajer sekarang ini.
Anak buah hanya mengetahui setengah-setengah tentang sesuatu persoalan yang menjadi tanggungjawabnya. Sang bos juga kadang tidak sempat memberi bimbingan kepada anak buahnya, sibuk kampanye Pilkada.
Para pegawai banyak menempati posnya karena KKN, kedekatan hubungan dengan bos, sogok menyogok, tanpa memperhatikan kemampuan dan integritas.
Semua terdemotivasi, biaya yang dikeluarkan tidak mencapai sasaran, bahkan banyak proyek tidak dikerjakan, sehingga serapan anggarannya rendah.
Padahal, seorang penanggung jawab sebuah kegiatan mesti menguasai analisa masalah sederhana, dan mampu merencanakan kegiatan untuk mencapai rencana itu.
Pagi itu seorang bos sebuah instansi sedang pusing di meja kerjanya, karena proyek penggalian parit tidak kunjung selesai, padahal deadline pekerjaan sudah lebih dari lima bulan.
Lalu dia memanggil anak buahnya penanggungjawab proyek itu.
Si anak buah datang dengan bundel yang cukup tebal. Dia dipersilakan duduk menghadap bosnya, seraya menundukkan kepala. .Menaruh bundelnya di atas kursi di samping tempat duduknya.
"Bagaimana penyelesaian proyek yang menjadi tanggungjawabmu?" kata bosnya memulai pembicaraan.
"Anu Pak!. Kami sudah bekerja keras siang dan malam, bahkan saya sendiri tidak pulang-pulang ke rumah"
"Kerja keras itu harus punya target. Apakah yang kalian lakukan, sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan?".
"Itulah Pak yang jadi masalah. Anggaran yang kita buat dulu tidak memperkirakan biaya pembebasan tanahnya, lembur untuk pegawai yang mengawasi demo. Jadi kami hanya menunggu dan menunggu"
"Anda ikut rapat kan kemaren, kenapa tidak dilaporkan".
"Itulah Pak, laporannya baru selesai pagi ini, karena saya dipanggil bapak"
"Makanya, kamu harus selalu membuat laporan fakta di lapangan. Bukan asal ngomong. Kemaren kamu asyik mengomentari pekerjaan orang lain. Saya pikir proyekmu tidak ada masalah"
"Soalnya, anak buah saya pada absen semua Pak. Jadi saya hanya kerja sendiri. Kalau boleh, Bapaklah yang menangani proyeknya, Saya sudah tidak sanggup"kata anak buahnya itu.
"Oh Tuhan. Untuk apa saya angkat kamu di sana kalau tokh sayajuga yang harus mengerjakannya?. Sudah, tunggu besok dan kamu akan menerima perintah saya selanjutnya"
Mendengar teguran bosnya si anak buah bukannya mengaku salah.
"Bapakpun terlalu sibuk kampanye, jadi kami susah melapor"
"He. Kau anak buahku. Kamu tidak berhak mengatur. Saya yang berkuasa di sini"
Sang anak buah yang merasa punya kartu as itu meninggalkan ruangan dan membawa bundel tebal yang sebenarnya hanya berkas-berkas pengaduan masyarakat, dan tak ada kaitannya dengan keinginan bosnya.
Sang bos, kemudian memerintahkan personalia mengganti sang anak buah.
Si anak buahpun, sibuk mencari "deking", supaya ditempatkan di proyek yang lebih "basah", karena kemaren dia ikut kampanye bupati di kabupaten lain.
Begitu banyak kasus seperti ini dijumpai di mana-mana. Sang bos juga kurang perhatian karena sibuk dengan pencalonannya menjadi Calon Bupati yang gagal tempo hari. Anak buah yang diberhentikan tadi sibuk cari "deking".
Sayangnya semua hanya mencari salah dan bukan solusi. Pecat memecat, deking mendeking, tanpa bimbingan yang memadai.
Karena kemampuan yang rendah, ketidakjujuran dan ketidakpedulian pada tanggungjawab.
Tak heran kalau Jokowi mengeluh karena serapan anggaran yang rendah!. Mungkin banyak pejabat sibuk kampanye, anak buah cari deking; pekerjaan terbengkalai.
Medan, 21 Mei 2015
Ciptakan Banyak Pak Sabar dan Kurangi "Pelacur" dan Koruptor
Oleh: Jannerson Girsang
Di akhir acara Life Time Achievmentnya SCTV, ada sebuah acara menarik. Lelang hasil lukisan Pak Sabar, seorang cacat tanpa tangan melukis dengan kaki. Luar biasa!
Hasil lukisannya dilelang. Lukisan pertama Rp 15 Juta, dimenangkan Hendri Josodiningrat (pengacara beken ibu kota). Lukisan kedua Rp 9 juta dimenangkan Dedy (Bupati Purwakarta) dan Lukisan ketiganya Rp 8 juta dimenangkan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah).
Di akhir acara Life Time Achievmentnya SCTV, ada sebuah acara menarik. Lelang hasil lukisan Pak Sabar, seorang cacat tanpa tangan melukis dengan kaki. Luar biasa!
Hasil lukisannya dilelang. Lukisan pertama Rp 15 Juta, dimenangkan Hendri Josodiningrat (pengacara beken ibu kota). Lukisan kedua Rp 9 juta dimenangkan Dedy (Bupati Purwakarta) dan Lukisan ketiganya Rp 8 juta dimenangkan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah).
Sabar menjadikan keterbatasannya menjadi kekuatannya. Nilai lelang tiga lukisannya berjumlah Rp 32 juta.
"Sebagian saya mau kontribusi ke Yayasan Fajar, sebagian ke jembatan Asa SCTV," kata Pak Sabar tentang uang hasil lelang lukisannya.
Bandingkan dengan model yang baru-baru ini digrebek Polres Jakarta Selatan, wanita cantik, dengan segala kelebihannya, tetapi hanya mampu menjual tubuhnya: Rp 80 juta per sekali booking.
Sabar tidak menggunakan kekurangannya untuk mengemis, bahkan menjadikan kekurangannya menjadi keunggulan, membantu sesama, tidak seperti para pelacur yang bekerja hanya untuk dirinya sendiri.
Indonesia harus menciptakan banyak Pak Sabar, bukan banyak "pelacur" atau koruptor!
Medan, 21 Mei 2015
"Sebagian saya mau kontribusi ke Yayasan Fajar, sebagian ke jembatan Asa SCTV," kata Pak Sabar tentang uang hasil lelang lukisannya.
Bandingkan dengan model yang baru-baru ini digrebek Polres Jakarta Selatan, wanita cantik, dengan segala kelebihannya, tetapi hanya mampu menjual tubuhnya: Rp 80 juta per sekali booking.
Sabar tidak menggunakan kekurangannya untuk mengemis, bahkan menjadikan kekurangannya menjadi keunggulan, membantu sesama, tidak seperti para pelacur yang bekerja hanya untuk dirinya sendiri.
Indonesia harus menciptakan banyak Pak Sabar, bukan banyak "pelacur" atau koruptor!
Medan, 21 Mei 2015
"Urang Oge Bisa":
Oleh: Jannerson Girsang
Saya begitu terharu dan terinspirasi oleh dua orang penyandang cacat yang berprestasi, Saprina dan Mulyana.
Saprina adalah siswa SLB yang sudah meraih S2. Padahal mengucapkan satu paragraf aja dia sangat bersusah payah. Saya aja yang sehat hanya meraih S1.
"Saya ingin lebih bermanfaat lagi". Saprina sudah meraih S2 dan ingin meningkatkan pendidikannya ke S3. Dia juga sudah menulis berbagai artikel dan buku.
"Sayangnya, saya masih tetap dianggap anak kecil. Bagaimana dengan teman-teman saya SLB itu?. Kami selalu mendapat diskriminasi," katanya.
Tokoh lainnya Mulyana, seorang laki-laki yang cacad tangan dan kaki, Dia telah memenangi berbagai lomba Olimpiade Renang Dunia.
Mulyana mengisahkan awal dirinya memilih olah raga renang. "Awalnya saya dilemparkan bapak saya ke Danau. Dia membiarkan saya berenang. Kalau mau sela,at, selamatkanlah dirimu".
Seseorang memang harus praktek, tidak cukup teori saja. Seorang perenang, tidak cukup belajar dari teori: gaya dada, punggung, tetapi harus masuk ke danau atau kolam.
"Bagi saudara saya penyandang cacat. Jadikanlah diri sendiri, jjujurlah. Tekunilah sesuatu kelebihan diri sendiri. Galilah kelebihan untuk menjadikan kita bermanfaat," pesan Mulyana.
.
Dalam kehidupan ini Mulyana memiliki prinsip "Urang Oge Bisa", kita juga bisa.
"Urang oge bisa. (Kita juga bisa). Yakin, percaya, pasti bisa," katanya dalam logat Sunda.
Makanan rohani yang membuat kenyang!
Medan, 21 Mei 2015
Saya begitu terharu dan terinspirasi oleh dua orang penyandang cacat yang berprestasi, Saprina dan Mulyana.
Saprina adalah siswa SLB yang sudah meraih S2. Padahal mengucapkan satu paragraf aja dia sangat bersusah payah. Saya aja yang sehat hanya meraih S1.
"Saya ingin lebih bermanfaat lagi". Saprina sudah meraih S2 dan ingin meningkatkan pendidikannya ke S3. Dia juga sudah menulis berbagai artikel dan buku.
"Sayangnya, saya masih tetap dianggap anak kecil. Bagaimana dengan teman-teman saya SLB itu?. Kami selalu mendapat diskriminasi," katanya.
Tokoh lainnya Mulyana, seorang laki-laki yang cacad tangan dan kaki, Dia telah memenangi berbagai lomba Olimpiade Renang Dunia.
Mulyana mengisahkan awal dirinya memilih olah raga renang. "Awalnya saya dilemparkan bapak saya ke Danau. Dia membiarkan saya berenang. Kalau mau sela,at, selamatkanlah dirimu".
Seseorang memang harus praktek, tidak cukup teori saja. Seorang perenang, tidak cukup belajar dari teori: gaya dada, punggung, tetapi harus masuk ke danau atau kolam.
"Bagi saudara saya penyandang cacat. Jadikanlah diri sendiri, jjujurlah. Tekunilah sesuatu kelebihan diri sendiri. Galilah kelebihan untuk menjadikan kita bermanfaat," pesan Mulyana.
.
Dalam kehidupan ini Mulyana memiliki prinsip "Urang Oge Bisa", kita juga bisa.
"Urang oge bisa. (Kita juga bisa). Yakin, percaya, pasti bisa," katanya dalam logat Sunda.
Makanan rohani yang membuat kenyang!
Medan, 21 Mei 2015
In Memoriam Jhon Lenon Sipayung (1976-2015)
Pagi ini, 21 Mei 2015, saya sangat terkejut membaca status Paulus Sinaga, seorang staf Pelpem GKPS.
"Selamat jalan abangku........Jhon Lenon Sipayung," tulis Paulus Sinaga.
Kaget dan sedih!
Lalu, saya mengamati foto-foto yang diposting dan ternyata yang meninggal adalah Jhon Lenon Sipayung, staf Bidang Penyuluhan, Pelpem GKPS Pematangsiantar.
Jhon Lenon Sipayung. Masih muda, energik, harapan pemimpin Pelpem ke depan, sudah tiada. Orang yang selalu menyapaku ramah, membesarkan hatiku, tak akan kutemui lagi untuk selama-lamanya.
Direktur Pelpem GKPS juga mengirim kabar duka melalui sms : "Selamat siang Pak. Kabar duka cita. Telah meninggal dunia Bapak John Lenon Sipayung (staf Pelpem GKPS) tadi pagi pukul 01, dikebumikan besok".
John Lenon Sipayung meninggal karena sakit dan dirawat beberapa hari di rumah sakit.
"Kamipun sangat terkejut kepergiannya. Selama ini dia tidak pernah sakit dan selalu bersemangat," kata Direktur Pelpem, Juniamer Purba.
Memori kuputar ke peristiwa 8 April 2015, saat peluncuran buku: "Refleksi Melayani di Tengah-tengah Masyarakat: Lima Puluh Tahun Pelpem GKPS". Itulah pertemuan terakhir kami.
Saat itu John Lenon adalah mengurusi undangan.Dengan baju warna cokelat, dan mirip dengan salah satu kemeja saya.
"Horas kela, sehat do ham torus," sapanya ramah. (Hotras. kela sehat aja terus)
"Ai mase ipakei ho bajungku ambia," kataku berseloroh. (Kenapa kau pakai bajuku, John)
"Yah ase tambah ganteng songon ham, Kela"katanya. (Biar tambah ganteng, seperti Kela)
John Lenon kebetulan marga Sipayung dan lahir 1976 di Bandar Maruhur, Negeri Dolok, satu kampung dengan mertua saya dan semarga dengan istri saya. Kami begitu dekat dan akrab.
Lulusan Fakultas Ekonomi USU Medan ini mulai bekerja di Pelpem GKPS pada tahun 2000. Selama 15 tahun dia banyak di lapangan, bertemu dengan para petani. Pekerjaan yang kurang mendapat perhatian para sarjana di era hedonisme ini.
Dalam memori saya terakhir, pada tanggal 8 April itu John Lenon aktif di pentas, ketika acara Peresmian Tiga Pilar Organisasi Rakyat bersama Herman Sipayung, staf Pelpem.
Ketika pulang ke Medan, dari jalan raya saya mendengar sayup-sayup suara mereka. Dan itulah kenangan terakhir saya tentang pria yang suka menulis ini. John Lenon rajin menulis artikel tentang pelayanan masyarakat di buletin AB mapun media-media cetak lainnya.
Sekali-sekali dia berbicara menyuarakan suara kritis ketergantungan petani kepada pestisida. Kepedulianmu kepada kepentingan petani tidak akan pernah sia-sia. (Medan Bisnis, 23 Nopember, 2011). http://medanbisnisdaily.com/news/arsip/read/2011/11/23/60075/ketergantungan_petani_pada_pupuk_dan_pestisida_sangat_tinggi/#.VV4D30Bbg24.
John Lenon meninggalkan seorang istri Arny Hastuty Damanik, dan dua orang anak yang masih kecil-kecil.
"Yang tertua baru duduk di kelas 3 SD" ujar Direktur Pelpem yang saya hubungi sore ini.
Jenazahnya disemayamkan di rumah duka, Jalan Rakutta Sembiring, Pematangsiantar.
Besok, wakil ketua bidang hukum HAM dan pemberdayaan perempuan perempuan, DPC GAMKI Simalungun ini akan dimakamkan.
Selamat jalan kawan!
Saya yakin Jhon tidak hanya mati untuk dirimu saja. Kau banyak meninggalkan sesuatu yang bernilai buat banyak orang. "What we have done for ourselves alone dies with us; what we have done for others and the world remains and is immortal" (Albert Pike).
Hasil karyamu di lapangan akan diingat ribuan petani. Kela akan selalu ingat sapaanmu yang ramah, rasa humormu. Iide-idemu dan karyamu tentang publikasi Pelpem, pengabdianmu selama 15 tahun di tengah-tengah masyarakat akan berbuah.
Selamat Jalan John Lenon, kela sedih. Begitu cepat kau pergi meninggalkan kami. Berkurang temanku chating di Facebook, berkurang teman diskusi yang kritis dan smart!
Turut Berduka
Kela dan Namborumu
Medan, 21 Mei 2015
Langganan:
Postingan (Atom)