My 500 Words

Selasa, 13 Desember 2011

Buku Berhentinya Soeharto Fakta dan Kesaksian Harmoko



Oleh: Jannerson Girsang

 
 Sumber foto: antarafoto.com

21 April 1998, hampir 14 tahun yang lalu, sama dengan jutaan rakyat Indonesia lainnya, kami menyaksikan peristiwa pengunduran diri Soeharto melalui layar televisi di kampung kelahiran saya, Nagasaribu, saat berlibur bersama anak-anak. Desa ini terletak sekitar 100 kilometer ke arah Selatan Medan, Sumatera Utara.

Saya bersyukur, kemajuan teknologi memungkinkan saya menyaksikan peristiwa penting di ruang Istana Kepresidenan, ruang pengendali negeri berpenduduk 200 juta jiwa ketika itu.  Saat itu tidak banyak yang saya tau. Ternyata di balik peristiwa di atas, banyak fakta yang samar-samar bahkan gelap.

Apa yang terjadi di balik peristiwa di layar kaca pada saat pengunduran diri Soeharto, bagi saya yang jauh dari informasi seputaran istana dan mungkin juga generasi muda lainnya merupakan misteri.

Beberapa hari ini, kami merampungkan membaca buku ”Berhentinya Soeharti, Fakta dan Kesaksian Harmoko”. Walau buku itu sudah lebih dari tiga tahun kami peroleh dari bapak Moh. Yazid, mantan Ketua PWI Sumut. Maklum, bacanya hanya saat tertentu saja.

Firdaus Sam, pengarang buku itu, dan dikenal sebagai seorang dosen Ilmu Politik di berbagai Universitas di Indonesia, menggambarkan suasana pengunduran diri Soeharto sebagai berikut: 

“Kamis 21 April 1998, Presiden  Soeharto, mengenakan safari warna gelap dan berpeci, dengan langkah tenang meninggalkan Ruang Jepara menuju Ruang Credentials, berdiri di depan mikrofon. Dengan nada datar tanpa emosi, diawali dengan ucapan : Bismillahirrahmanirrahim,  ….”.

Kata-kata Soeharto dan sebagian kondisi ruangan di Istana Presiden dapat secara langsung menyaksikan melalui layar televisi peristiwa di pagi hari 21 April 1998 itu. Cuma mengungkapkannya dengan kata-kata seperti di atas, mungkin tidak mampu lagi, karena sudah banyak lupanya. Itulah gunanya buku ini.  Kehadiran buku ”Berhentinya Soeharto : Fakta dan Kesaksian Harmoko” membantu memahami apa yang terjadi di balik peristiwa 21 April 1998.

Saya seolah dibawa menelusuri sebagian lorong samar-samar perjalanan bangsa Indonesia, khususnya, saat-saat menjelang kejatuhan Soeharto.

Buku setebal 298 halaman yang diterbitkan PT Gria Media Prima, Jakarta pada Mei 2008 ini, terdiri dari enam bagian yakni Bagian 1 : “Prolog”,  Bagian 2: “Ketika Palu Itu Patah”, Bagian 3: “Bulan Menegangkan Yang Mengawalinya”, Bagian 4: “Angin Reformasi Yang Dinamis”, Bagian 5: “Detik –Detik Terakhir” dan ditutup dengan Bagian 6: “Epilog”.

Buku ini menjadi menarik karena mengisahkan kesaksian Bung Harmoko. Apa dan bagaimana peran yang dimainkan Bung Harmoko, sebagai sosok politisi yang  ”piawi”, cerdik, lincah dan populer pada saat itu. Seorang yang saat peristiwa memegang jabatan Ketua MPR dan Ketua Umum Golkar, serta sebelumnya dikenal sangat dekat dengan Soeharto. Selama hampir separuh masa kekuasaan Soeharto selama 32 tahun dia senantiasa berada di sekitar pusaran kekuasaan.

Buku ini memfokuskan pembahasan tentang peran serta keterlibatan Harmoko khususnya dalam kisaran kurang dari tiga bulan atau 70 hari masa jabatan Presiden Soeharto, yakni saat terpilihnya Soeharto melalui sidang MPR sampai berakhir kekuasaannya menjadi sangat menarik. Dalam masa kurang dari 70 jam sejak sebagai Pimpinan MPR menyampaikan pernyataan Pers, meminta Soeharto mundur. Masa-masa saat menentukan dari peristiwa reformasi dan berhentinya Soeharto dari tampuk kekuasaan setelah 32 tahun memegang jabatan Presiden Negara Republik Indonesia.

Di awal buku, dijelaskan kisah-kisah aneh serta kisah yang selama ini mungkin hanya ada di benak Bung Harmoko. Misalnya, kenapa palu sidang MPR itu pada saat Soeharto terpilih sebagai Presiden RI untuk ketujuh kalinya (1998-2003), Kenapa Bung Harmoko meminta Soeharto mundur, kenapa Harmoko begitu berani dan lugas,mengingat selama ini dia begitu loyal kepada Soeharto?.

Selain itu, buku ini juga menjawab spekulasi yang beredar ketika itu tentang siapa yang bermain di belakang grand desain dalam mempercepat situasi buruk di tanah air pada 1997-1998.

Dalam menjelaskan rentetan  proses kejatuhan Soaharto, buku ini mencatat dalam salah satu sub-bagian 3, Tragedi Trisakti: ”Awal dari Semua Mesti Berakhir”.  Tragedi Tri Sakti 12 April 1998 mengingatkan aksi mahasiswa di tahun 1966, ketika Arif Rahman Hakim tertembak pasukan Cakrabirawa di depan Istana Negara, saat melakukan demonstrasi terhadap penguasa Orde Lama. Lantas diikuti gelombang protes terus membesar seperti dikisahkan dalam sub bagian berikutnya :”Mahasiswa Membara”-”Jakarta Membara”.

Ketakutan yang memuncak melanda sebagian masyarakat, hingga orang-orang asing dan non-pribumi berbondong-bondong meninggalkan Jakarta.

Langkah-langkah yang diambil Harmoko dalam suasana yang tegang itu dijelaskan dalam sub bagian : Langkah ”Bung Harmoko” : Aksi dan Reaksi.

Bagian 4 dan 5 mengisahkan detik-detik terakhir kejatuhan Soeharto. Hari yang  menentukan, yakni Senin 18 Mei 1998. ”Senin, 18 Mei 1998, mendebarkan, menegangkan dan penuh ketidakpastian. Segenap tenaga dan kekuatan politik rakyat berada dalam ’jurang perpecahan’ membahayakan persatuan Indonesia, ”bila” tidak menggunakan ”akal sehat” terhadap solusi mengatasi ketegangan politik yang sedang mencapai puncaknya”.  

Hari itu, jam 09 pagi WIB, di ruang kerja Bung Harmoko telah berkumpul wakil Ketua Syarwan Hamid, Ismail Hasan Mettareum, Abdul Gafur dan Fatimah Ahmad. Mereka berdiskusi serius, sementara di luar bukan hanya semata lautan manusia berupa ribuan mahasiswa, hal lain adalah munculnya spanduk-spanduk dan poster diantaranya bertuliskan ”Soeharto Harus Mundur”.

Akhirnya, hari itu juga, Pimpinan DPR memutuskan untuk mengutamakan kepentingan rakyat, yaitu ;bagaimana mencegah dan menghindarkan pertumpahan darah. Sekitar jam 16.00 WIB Harmoko membacakan keterangan pers, yang mengatakan : ”demi persatuan dan kesatuan meminta agar secara arif dan bijaksana Presiden Soeharto sebaiknya mengundurkan diri”.  

Tiga hari kemudian, 21 April 1998, Soeharto benar-benar mengundurkan diri. Ketika itu saya kaget dan setengah tidak percaya. Mungkinkah?

Pengenalan Harmoko atas sosok Soeharto, falsafahnya dan  prestasinya dikisahkan dalam bagian Epilog. ”Pak Harto juga manusia biasa, memiliki kekurangan selain kelebihannya, kita harus akui, itu Sunnatulah, karena itu memaafkan adalah sangat mulia”, kata Bung Harmoko.  Kisah sakitnya Soeharto dan kemudian meninggal dunia 27 Januari 2008 turut menjadi bagian terakhir yang dibahas secara lengkap dalam sub-sub bab Epilog seperti: Pengakuan Kesalahan, Masa-masa Kritis Soeharto, Hidup dan Kematian serta sambutan Presiden Republik Indonesia Selaku Inspektur Upacara pada Pemakaman Almarhum Jenderal Besar (TNI) Haji Muhammad Soeharto.

Makin saya sadar, dalam politik tidak ada yang abadi. ”Tidak ada kawan atau lawan yang abadi yang ada kepentingan”, demikian salah satu kutipan dalam buku ini.

Dari keterangan dalam buku ini, buku yang hanya dipersiapkan selama satu bulan terasa memiliki kekurangan di sana sini dan terkesan diterbitkan secara terburu-buru. Buktinya, ralat di bagian belakang sampai 2 halaman. Kadang penulis terpaksa mengejar deadline.

Terlepas dari kekurangan itu, buku ini bagus dibaca para generasi muda serta mereka yang ingin mengetahui lebih jauh tentang peristiwa 21 April 1998.  Bagi yang tertarik, silakan membacanya!.

Pertanyaan kita sekarang, sudahkah tuntutan Soeharto mundur, bisa terpenuhi era Reformasi yang sudah memasuki usia 14 tahun ini?. Mari kita renungkan bersama.

Kita jangan hanya pintar menyuruh orang mundur, tetapi meniru konsep Soeharto saja belum mampu membangun negeri ini. Jembatan saja tidak bisa dipelihara, jalan-jalan rusak, listrik mati idup, air PAM berhenti bebeberapa jam sehari, petani menjerit.Sudahkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme salah satu agenda reformasi sudah terhapus dari negeri ini, HAM ditegakkan, kasus Munir terungkap dengan terang benderang, para koruptor tidak ada lagi, demokrasi sudah memilih kualitas pemimpin seperti masa Orde Baru?. Akh kok jadi pesimis ya. Mari optimis, tetapi juga realistis.   


Medan, 12 Desember 2011.

Kamis, 01 Desember 2011

Menyambut Hari AIDS Sedunia: Menulis Suara ODHA

Oleh: Jannerson Girsang

 
Sumber foto: Tipsivan.blogspot.com
Salah satu upaya sosialisasi HIV AIDS adalah menulis dan mempublikasikan suara ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). Dalam kenyataannya, kisah pengalaman mereka belum banyak ditulis dalam bentuk cerita-cerita yang menginspirasi.

Dalam menyambut Hari AIDS Sedunia,  sebuah acara peluncuran dan bedah buku: Kumpulan Cerpen dan Artikel Kisah AIDS, Karya dr Umar Zein dan Forwakes digelar di  Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Pemprovsu, Medan, 30 Nopember 2011 lalu. Acara ini diselenggarakan Perhimpunan Dokter Pedulia AIDS (PDPAI) Sumut, Forum Wartawan Kesehatan (Forwakes) dan Baperasda Pemprovsu.

Peluncuran buku bertajuk HIV AIDS ini memberi arti yang strategis dalam sosialisasi penyakit itu di daerah ini. Pasalnya, menurut Kepala Dinas Kesehatan Pemprovsu dalam buku itu, baru sekitar 11,4% masyarakat daerah ini yang benar-benar paham mengenai infeksi HIV AIDS. Sehingga sosialisasi HIV AIDS masih sangat dibutuhkan.

Tak heran, kalau masih banyak perilaku masyarakat maupun pelayan kesehatan yang aneh kepada penderita HIV AIDS. Tidak mau duduk berdampingan, membakar rumah penderita, perlakuan diskriminatif dalam pelayanan kesehatan, serta berbagai sikap negatif  lainnya yang justru membuat mereka semakin menderita.

Meski kegiatan ini tampak kecil, tetapi merupakan langkah yang memberi sumbangan dalam mensosialisasikan pemahaman masyarakat tentang infeksi HIV AIDS.. Ada dua hal penting yang menjadi catatan saya dari acara tersebut, yakni mendengar kisah secara langsung serta menuliskannya dalam kisah yang menginspirasi, sehingga bisa dibaca masyarakat luas.

Kesaksian Ibu Muda Penderita HIV AIDS

Berbeda dengan acara peluncuran buku sudah berkali-kali saya ikuti dan merupakan salah satu acara rutin di Baperasda Pemprovsu, acara kali ini memang istimewa. Seorang penderita HIV AIDS, tampil sebelum peluncuran dan bedah buku.

Sebagai peserta dalam acara peluncuran itu, saya menyaksikan seorang ibu muda (saya tidak mencantumkan namanya) berparas manis duduk menghadap para peserta. Sebelumnya saya sama sekali tidak mengenalnya. Dia duduk disamping Chandra Silalahi, Sekretaris Baperasda Pemprovsu.

“Sebelum acara dimulai, marilah kita dengarkan terlebih dahulu kesaksian seorang rekan yang terinfeksi HIV AIDS,” demikian Chandra Silalahi mempersilakan ibu muda tadi memulai kesaksiannya.

Saya sedikit kaget. Ternyata ibu muda berwajah manis yang duduk memandang kami dengan senyuman adalah pengidap HIV AIDS. Dalam bayangan saya orang yang awam soal HIV AIDS, wajahnya kurus, seperti tengkorak, wajahnya lesu, tak bersemangat dan tertutup.

Bayangan itu makin pudar saat menyaksikannya dengan bersemangat dan terbuka menuturkan pengalamannya selama mengidap HIV AIDS sejak 2008. Didepannya, sekitar 50-an peserta mendengarkannya dengan serius dan rasa haru. Mereka diantaranya Parlindungan Purba, SH, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Utusan Sumatera Utara, Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan, mewakili Dinas kesehatan Provinsi, Kepolisian Daerah, perguruan tinggi, serta para pegiat AIDS seperti dr Lily Waas, MPH,  dan dari berbagai latar belakang.

 “Saya terinfeksi HIV AIDS melalui transfusi darah ketika saya menjalani operasi cesar saat kelahiran anak saya yang pertama”ujarnya tanpa menunjukkan wajah menyalahkan siapapun. Dia meyakinkan bahwa tidak semua orang yang terkena HV AIDS itu berhubungan dengan perilaku buruk. Dia adalah salah satu diantaranya.

Tak tampak sedikitpun kekhawatiran di wajahnya. “Saya sudah mengidap HIV AIDS selama 3 tahun, tetapi saya merasa segar bugar. Penderita HIV AIDS masih bisa bertahan dengan perawatan. Awalnya saya khawatir, tetapi setelah mendapat pengetahuan tentang AIDS dan perawatan, memakan obat secara teratur, saya tidak khawatir. Dulu memang badan saya sempat drop dari 40-an kilogram lebih lebih menjadi hanya 28 kilogram,”ujarnya.

Di dalam keluarganya sendiri, ibu muda ini, menurut pengakuannya dirinya mendapat perlakuan yang baik dari keluarga maupun suaminya sendiri. Bahkan selama menderita HIV AIDS, dirinya masih bisa melaksanakan hubungan suami isteri secara normal. “Kami masih melakukan hubungan suami isteri memakai kondom,” ujarnya dengan wajah sedikit tersipu, menjawab pertanyaan salah seorang peserta.

Ibu muda ini mengisahkan betapa mereka sebagai penderita HIV AIDS masih mendapat perlakuan yang diskriminatif dari masyarakat dan pelayan kesehatan. “Saya pernah ingin mencabut gigi, tetapi tidak diizinkan oleh dokter,”ujarnya.

Usai menyampaikan kesaksiannya, sang ibu tadi kembali ke tempat duduknya dan disambut tepuk tangan yang meriah dari peserta. Beberapa wanita, termasuk dr Lily Waas memberinya ciuman diikuti beberapa wanita lainnya. Penderita HIV AIDS tidak tertular melalui kulit.

Bagi pembaca yang budiman, mendengar kesaksian ibu muda tadi merupakan peristiwa luar biasa dalam hidup saya, merubah pandangan saya terhadap seorang penderita HIV AIDS. Mendengar suara dan melihat penderita HIV AIDS memberi pemahaman baru tentang mereka.

Saya menuliskan apa yang saya dengar, saksikan dan maknai untuk anda. Meski anda tidak secara langsung melihatnya, membaca kisah di atas mudah-mudahan menggugah anda..

Menulis Kisah Penderita HIV AIDS

Dalam kaitan kisah ibu muda tadi, saya sangat mengapresiasi usaha teman-teman yang berhasil mengadakan acara Peluncuran Buku Kumpulan Cerpen dan Artikel yang ditulis Dr Umar Zein dan Forwakes. Menulis kisah seperti ini tidak mudah, tetapi di satu sisi menjadi penting dalam sosialisasi HIV AIDS. Justru, dalam kenyataannya belum banyak kisah penderita HIV AIDS yang ditulis dan dapat disebarkan dan dinikmati masyarakat luas.

Dengan segala kekurangannya, dr Umar Zein, mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan itu, telah membuat langkah yang perlu diikuti para dokter, pegiat HIV AIDS, wartawan, penulis melakukan penulisan lebih banyak lagi kisah-kisah seperti ini.

Buku Rangkuman Cerpen dan Artikel Kisah AIDS adalah kumpulan cerpen dan artikel kisah-kisah penderita HIV AIDS.yang dirangkum dalam buku setebal 153 halaman. Selain tulisan dr Umar Zein, artikel-artikel di dalamnya merupakan sumbangan tulisan dari para wartawan yang tergabung dalam Forwakes, seperti Zulnaldi, Khairuddin Arafat, Mursal Alfa Iswara, Eko Agustyo Fitri, Novita Sari Simamora dan Kesuma Ramadhan.

Cerpen dan artikel yang ada di dalamnya merupakan kisah nyata penderita HIV AIDS yang dikumpulkan dari daerah Sumatera Utara, serta beberapa artikel yang membahas tinjauan AIDS, sosialisasi AIDS. 

”Buku ini merupakan sosialisasi HIV AIDS dalam bentuk penyampaian yang cukup informatif dan muda dicerna dan ditulis oleh pakarnya dan para wartawan yang selalu meliput bidang kesehatan. Sehingga layak untuk disebarluaskan di semua kalangan masyarakat dan merupakan bagian dari promosi kesehatan,”ujar Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara, Dr Candra Safei, Sp.OG, dalam buku tersebut.

Dua orang pembahas masing-masing kritikus sastra sekaligus Dekan FKIP UISU, Drs Mihar Harahap MM dan dari akademisi USU, dan akademisi dari Universitas Sumatera Utara, dr Linda Maas MPHdr Lily Waas. Keduanya menyambut baik penulisan kisah penderita HIV AIDS sebagai sebuah usaha menyadarkan masyarakat memperlakukan dan mendukung mereka.

Hanya saja, buku itu masih menuai beberapa kritik terutama soal pemilihan genre penulisan. Dalam kritiknya, Mihar Harahap mengungkapkan bahwa penulisan cerpen dalam buku ini belumlah mencerminkan cara penulisan cerpen yang sesungguhnya. ”Perlu ada usaha untuk mengatur plot yang lebih baik, karakterisasi tokoh dan alur cerita yang mengalir sehinga sehingga lebih menggugah pembaca” ujar Drs Mihar Harahap.

Linda Maas mengaku, kandungan materi HIV dan AIDS, buku Kisah AIDS tersebut cukup bagus dan layak dibaca setiap orang karena mengandung pesan dan informasi yang kuat tentang HIV dan AIDS yang terjadi di Sumatera Utara.

Menulis kisah penderita HIV AIDS dalam bentuk cerita yang mudah dipahami dan menginspirasi pembaca adalah sosialisasi dalam bentuk praktis kepada masyarakat luas. ”Selama ini masyarakat kebanyakan membaca petunjuk-petunjuk dan kebijakan-kebijakan dengan bahasa yang kaku,”ujar seorang aktivis HIV AIDS dari Kabupaten Simalungun. Padahal, menurutnya kampanye HIV AIDS dengan kisah-kisah dalam bentuk cerita sangat kuat untuk menggugah sikap empati para pembaca kepada mereka yang menderita.

Tak ada gading yang tak retak. Meski belum sempurna betul, menulis kisah penderita HIV AIDS seperti langkah yang ditempuh dr Umar Zein dan Forwakes adalah langkah yang pantas mendapat apresiasi dan perlu diikuti para penulis lainnya. Pihak pemerintah mungkin bisa mengadopsi cara sosialisasi ini: Mendengar Kesaksian Penderita dan Menulisnya untuk Masyarakat Luas.

 [1]Penulis Biografi, Tinggal di Medan

Rabu, 30 November 2011

Medan! Kapan Punya KA Seperti Jakarta (?) (Harian Analisa, 30 Nopember 2011 Hal 25)

Oleh : Jannerson Girsang.

 
 Sumber foto: www.waspada.co.id
Naik kereta api komuter di ruang AC di jalur Jakarta-Depok, Jakarta-Tangerang, Jakarta-Bekasi, Jakarta-Serpong. Dari Depok, menikmati Jakarta dengan kereta api membawa saya ke sebuah mimpi. Sebagai warga Medan, sejak dulu saya bermimpi kota ini suatu saat dapat dihubungkan dengan kereta api. Mimpi itu senantiasa muncul setiap saya berjalan-jalan di Jakarta menggunakan kereta api.

Oktober lalu, saya tinggal selama dua minggu di sebuah rumah di daerah Margonda Depok, berjarak hanya lima belas menit berjalan kaki dari stasion kereta api Pondok Cina atau lebih dikenal dengan "Pocin". Halte ini hanya beberapa meter dari Kampus Universitas Indonesia-universitas peringkat 1 di Indonesia.

Menjangkau sebagian besar wilayah Jakarta, saya menggunakan Kereta Api sebagai akses pertama dan utama. Dari rumah, saya menuju stasion kereta api Pondok Cina atau lebih dikenal stadion Pocin, kemudian melanjutkan tujuan akhir di berbagai tempat di Jakarta dengan ojek, taksi atau angkot/bus kota.

Komuter Line Jakarta

Dari tahun ke tahun, perkeretaapian di Jakarta, berkembang pesat, baik pelayanan maupun pengembangannya. Berbeda dengan jalur kereta api Pancur Batu-Medan yang relnya sudah lepas satu demi satu.

Kini wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi telah tersedia layanan KA komuter yang dioperasikan oleh anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia, yaitu PT KAI Commuter Jabodetabek (PT KCJ).

Trayek yang dilayani kereta komuter line di Jabodetabek adalah: Jurusan Jakarta-Bogor, Jurusan Jakarta-Depok, Jurusan Jakarta-Tangerang, Jurusan Jakarta-Bekasi, Jurusan Jakarta-Serpong, Lingkar Jakarta.

Bagi pengguna jasa kereta api di Jakarta, perusahaan ini mudah diketahui melalui informasi yang tersedia dimana-mana. Hanya dengan membuka Google di rumah dan memasukkan kata kunci "peta jalur kereta api Jakarta" maka informasi jalur kereta api, jam keberangkatan, serta tarif setiap jalur sudah di depan mata.

Tarifnya relatif murah (dua kali naik angkot Simalingkar-Padang Bulan), dibanding jarak yang ditempuh. Jakarta-Bogor Rp 7.000, (45 kilometer), Jakarta-Depok Rp 6.000, Jakarta-Bekasi Rp 6.500, Jakarta-Tangerang Rp 5.500,-, Jakarta-Sudimara/Serpong Rp 6.000.

Saat ini diperkirakan 400 ribu penduduk Jabodetabek menggunakan jasa kereta api, sementara diperkirakan pada 2019, jumlah ini akan meningkat menjadi 1.5 juta penumpang. Bandingkan dengan 2 juta lebih penduduk kota Medan yang belum menggunakan kereta api dalam kota.

Cepat, Murah, Nyaman

Dari rumah tempat tinggal sementara di Depok, dengan jalan kaki selama 15 menit, saya tiba di halte Pocin. Sebelum naik kereta api, di loket yang tersedia di setiap halte dua atau tiga petugas menunggu dengan ramah dan siap melayani pembelian tiket. Semua sudah berbudaya antri, tidak ada yang saling mendahului..

Hanya dalam beberapa menit, saya sudah mendapat tiket dengan harga resmi. Tidak ada seorangpun calo yang berkeliaran. Hanya petugas yang berhak menjual tiket.

Dari tempat pembelian tiket, anda menuju ruang tunggu (halte), perjalanan cukup nyaman. Seorang petugas memeriksa tiket sebelum memasuki ruang tunggu atau halte kereta api. Selain penumpang tidak ada yang berkeliaran di sekitar halte (kecuali penjual makanan, koran dan lain-lain).

Duduk di ruang tunggu dengan tempat duduk yang disediakan, menunggu beberapa menit, kereta api sudah datang.

Satu keistimewaan yang saya saksikan dalam perkeretaapian di Jakarta saat ini adalah dua atau tiga gerbong khusus disediakan bagi perempuan.

Konon ini untuk memberi kenyamanan kepada perempuan dalam perjalanan. Laki-laki tidak diperkenankan memasuki ruang khusus ini. Di dalamnya mereka diawasi oleh beberapa crew perempuan.

Peringatan! Jangan coba-coba menaiki kereta api tanpa tiket. Di dalam kereta api dua sampai tiga orang akan memeriksa tiket dengan membawa alat melobanginya. Penumpang yang tidak memiliki tiket akan didenda sejumlah uang! Rp 20.000 kalau tidak salah.

Uang Rp 50 ribu, Menjelajah Jakarta !

Di luar jam sibuk, naik kereta api komuter line sungguh nyaman. Karena sedang berlibur, maka saya selalu memilih naik kereta api di luar jam-jam sibuk. Biasanya saya naik sekitar jam 10.00 pagi. Saat seperti ini, kereta api tidak begitu penuh dan tempat duduk kosong masih tersedia.

Selama perjalanan saya bisa duduk dengan nyaman di ruang AC yang dingin, walau di setiap halte pintu dibuka beberapa menit. Dalam perjalanan Pocin-Stasion Kota terdapat lebih dari 15 halte dimana kami harus berhenti antara satu-sampai dua menit. Kecuali di Manggarai, dimana kami berhenti agak lama, karena antri.

Saya bisa berkeliling Jakarta dalam satu hari. Yang istimewa, saya hanya menghabiskan ongkos Rp 47 ribu.

Yang benar?

Saya melintasi jurusan Jakarta-Depok, Jakarta-Tangerang, Jakarta-Bekasi, Jakarta-Serpong. Dari Depok, saya membayar Rp 6000 menuju Stasion Kota. Dari Kota saya ke Bekasi membayar Rp 6000. Kembali lagi ke kota Rp 6000. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Tangerang dengan membayar Rp 5500, balik lagi ke kota, membayar Rp 5500. Kemudian lanjut ke Serpong dengan ongkos Rp 6000, kembali ke Stasion Kota di sore hari, membayar Rp 6000. Balik ke Depok membayar Rp 6000.

Keliling Jakarta dengan Rp 47 ribu. Murah bukan?. Bandingkan aja. Naik taksi dari Bandara Soekarno Hatta ke Depok saya harus membayar lebih dari Rp 200 ribu sekali jalan dan mungkin antara 1-2 jam. Naik Damri sampai di Pasar Minggu Rp 20 ribu.

Kalaupun untuk tujuan satu arah, tarif kereta api relatif murah (dua kali naik angkot Simalingkar-Padang Bulan), dibanding jarak yang ditempuh Jakarta-Bogor Rp 7.000, (45 kilometer).

Selain kereta api kommuter line, penduduk Jakarta kini bisa menikmati KRL ekonomi dengan tarif antara Rp 1000-2000. Luar biasa!

Mimpi Anak Medan

Naik kereta api menurut saya sebuah alternatif yang menjadi mimpi penduduk Medan ke depan. Jauh lebih nyaman dibanding dengan naik bus atau angkot non AC yang harus berpanas-panasan dan setiap tempat bisa terhalang kemacetan.

Kapan ya kenyamanan seperti ini bisa diciptakan di bekas jalur Kereta Api Pancur Batu-Medan, Medan-Belawan, Medan-Lubuk Pakam, Medan-Delitua, serta jalur lainnya. Saya mengajak PT Kereta Api Indonesia, atau Pemko daerah ini ikut bermimpi!

Kalau saya bandingkan dengan lokasi Depok tempat saya tinggal, lokasinya mirip dengan Pancur Batu di Medan. Kini, dengan menumpang angkot Pancur Batu-Stasion Kereta Api Medan bisa dicapai dalam waktu lebih dari satu jam.

Dari rumah saya di Jalan Kopi Raya II, berangkat ke rel kereta api yang jaraknya sekitar 10 menit jalan kaki. Saya bayangkan itu stasion Pocin, Depok. Saya kemudian pergi ke kota dengan kereta api. Duduk manis di ruang AC yang nyaman, tidak seperti di angkot yang panas dan berdesak-sesakan, macet beberapa menit di Simpang Pos, Sumber, Simpang Kampus dan perempatan lainnya. Saya tiba di stasion kereta api di dekat Lapangan Merdeka 15 menit kemudian. Mimpi! Ya saya memang sedang bermimpi! Bukankah sejarah perkeretaapian di Medan tidak kalah dengan Jakarta? Mengapa di sini tidak berkembang? ***

Penulis adalah pemerhati masalah-masalah sosial, orbituari. Tinggal di Medan.

Artikel ini bisa juga diakses di: http://www.analisadaily.com/news/read/2011/11/30/23866/medan_kapan_punya_ka_seperti_jakarta/#.TtWDtVauq9s

Kamis, 24 November 2011

Juara Umum, Tanpa Emas Sepakbola (Harian Jurnal Medan, 24 Nopember 2011)

Oleh: Jannerson Girsang

penutupan sea games 
Sumber foto:  http://www.antarafoto.com/sea-games/v1321967737/penutupan-sea-games

Pesta Olah Raga Asia Tenggara (SEA Games ke-26) telah usai. Indonesia merebut 182 emas, 151 perak dan 143 perunggu. Perolehan ini mengukuhkan kita sebagai tuan rumah sebagai JUARA UMUM SEA GAMES ke 26. Penutupan dilakukan Wakil Presiden Prof Dr Boediono, di Stadion Jakabaring, Palembang, 22 Nopember 2011 malam.

Acungan jempol pantas kita acungkan jempol atas pelaksanaan dan prestasi Indonesia pada SEA Games kali ini. Sebagai pembaca yang semula ragu atas ketidaksiapan yang sering diungkap di media sebelum pelaksanaaan SEA Games, pupus sudah.

Mengikuti acara penutupan yang konon menelan biaya Rp 150 miliar itu melalui televisi, menginspirasi kita semua, bahwa “Indonesia itu bisa”.

Tanpa bermaksud mengurangi nilai prestasi yang dicapai, kegagalan tim sepak bola nasional kita merebut emas hendaknya tidak dianggap sepele. Tantangan SEA GAMES 2012, Indonesia harus merebut emas dari sepakbola.

Dua alasan mengapa perhatian terhadap sepakbola penting, yakni, cabang olah raga ini meraup peminat yang terbesar dari seluruh cabang olah raga lainnya di tanah air, kedua, sepanjang sejarah SEA Games selama 26 tahun, Indonesia baru dua kali meraih gelar juara di cabang ini.

Sepakbola: Paling Banyak Penonton!

Sepakbola adalah tontotan yang paling banyak menyedot perhatian masayarakat dari seluruh cabang olah raga yang dipertandingkan. Jutaan orang pendukung Indonesia, tanpa membedakan suku, ras dan agama bersatu padu mendukung tim kesayangannya.

21 Nopember 2011 malam. Semua mata tertuju mendukung Timnas Indonesia dalam pertandingan akbar SEA Games Malaysia-Indonesia. Pendukung sepakbola Indonesia menikmati pertandingan dengan berbagai cara. Jutaan penduduk Indonesia berpuas diri menonton siaran langsung melalui stasion televisi. Bagi mereka yang mampu membeli tiket berharga puluhan ribu hingga jutaan dan membayar ongkos ke tempat pertandingan, bisa menonton langsung dari Stadion Gelora Bung Karno (SGBK) di Jakarta.

Selain itu, pertandingan sepakbola Indonesia Malaysia malam itu menarik setelah pertandingan beberapa hari sebelumnya Indonesia kalah 0-1. Penonton benar-benar ingin menyaksikan kesebelasannya menebus kekalahannya.

Di Medan misalnya. Pukul 19.00 kami menelusuri jalan Setia Budi, Medan menuju sebuah restoran berlantai dua tidak jauh dari pertigaan Perumahan elit itu. Sepanjang jalan, kami menyaksikan di beberapa tempat berlangsung acara nonton bareng. Restoran, keda-kedai kopi, kafe dan restoran-restoran penuh dengan penonton. Mobil, sepeda motor parkir di pinggiran jalan. Kompleks Resto Desa-desa, di wilayah itu, ramai oleh penonton

Penudukung dan Penggemar Sepakbola fanatik Indonesia.

Tukang-tukang becak, supir taksi memarkir kenderaannya di pinggir jalan dekat kedai-kedai kopi dan warung. Melupakan setoran, hanya untuk menonton tim kesayangannya.

Sepanjang jalan Setia Budi, para pendukung Indonesia begitu bersemangat meneriakkan: ”Indonesia menang, Indonesia menang!”. Saat kami lewat, kesebelasan Indonesia sudah unggul 1-0, melalui tandukan Gunawan Dwi Cahyo meneruskan sepak pojok Octo Maniani di menit ke lima babak pertama.

Sesampainya di restoran yang kami tuju, ruangan depan penuh dengan kenderaan. Lantai satu dipenuhi ratusan ”nonton bareng”. Mereka hanya punya satu agenda: mendukung Indonesia dan berharap Indonesia menang. Sementara dari lantai dua, dimana kami sedang melangsungkan sebuah acara resepsi, kami mengikuti pertandingan melalui teriakan-teriakan penonton, karena tidak tersedia televisi.

Meski kami duduk dalam acara, tetapi pikiran, hati kami tertuju pada pertandingan sepakbola!. Sekali-sekali kami keluar dan mengamati sebagian jalannya pertandingan. Beberapa teman juga melakukan hal yang sama.

Kalau menit-menit pertama penonton begitu bersemangat, waktu berjalan...., keceriaan berubah. Menit ke-34, gol bagi Malaysia tercipta melalui Asrarudin!. Malaysia berhasil menyamakan kedudukan 1-1. Gol Malaysia ini tak menimbulkan sorak sorai seperti gol kemenangan terjadi beberapa menit sebelumnya.

”A.a..a..a..ah,” demikian suara kekecewaan terdengar dari lantai dua restoran tempat kami mengadakan acara. Tanpa sorak sorai!. Dengung suara pendukung Indonesia makin melemah dalam menit-menit berikutnya.

Harapan terakhir di adu penalti, masih menyisakan semangat pendukung. ”Ayo- ayo, masih ada harapan,”. Sayup-sayup, suara itu terdengar dari lantai dua. Dua kali perpanjangan waktu, tak terhindari, penentuan dilakukan melalui adu penalti.

Akhirnya, puncak kekecewaan tiba, saat Malaysia memukul Indonesia dalam adu penalti. Tendangan Ferdinand Sinaga yang gagal pada penentuan, yang berhasil di blok kiper Malaysia membuyarkan harapan, setelah tembakan berikut yang dieksekusi pemain Malaysia Baddrol. Tembakannya sempat mengenai Meiga sebelum masuk ke gawang. 4-3

Melalui Facebook menjelang tengah malam, kami menyaksikan diskusi soal kekalahan Indonesia oleh para Facebooker. Tak pernah kami menemukan diskusi sebanyak itu di jejaring sosial soal kekalahan atau kemenangan sebuah cabang olag raga, kecuali sepakbola.

”Biar nggak usah juara umum asal sepakbola menang!” ujar seorang Facebooker. Jutaaan pendukung Indonesia berduka. Mereka seolah lupa bahwa negeri ini sudah

meraih Juara Umum. Kekalahan ini begitu menyakitkan!. Sebuah berita berjudul ”Timnas Kalah, Kekasih Andik Menangis Sejadi-jadinya” ( www.bangkapos.com).

Tiara Darmawanti, kekasih Andik Vermansyah, gelandang sayap Timnas U-23 berujar: "Luka hati saya semakin mendalam saat melihat pemain Malaysia berpesta. Ya Tuhan, inikah perjuangan teman-teman, anak-anak selama ini. Mengapa berakhir seperti ini. Mengapa tidak anak-anak Indonesia yang berpesta," kata Tiara.

Tangisan Tiara adalah tangisan kita bersama. Sama seperti Tiara, emosi para pendukung kesebelasan Indonesia yang mencintai mereka sepenuh hati, terungkap dengan berbagai ekspresi kesedihan dalam bentuk lain, selain tangisan.

Kecintaan para pendukung sepakbola juga terlihat di lapangan. Penggemar sepakbola atas Tim Indonesia kadang tak memperdulikan keselamatan jiwanya. Peristiwa tewasnya dua
orang pendukung Indonesia di pintu masuk VIII GBK. , dan puluhan luka-luka adalah buktinya.

Semangat para pendukung kesebelasan Indonesia malam itu benar-benar membangkitkan rasa persatuan dan kesatuan yang luar biasa, tanpa memperdulikan latar belakang, hanya peduli hal besar yang ingin dicapai: Timnas Juara Sepakbola SEA Games ke-26.
Untuk siapa?. Untuk Bangsaku bangsa Indonesia!. Bukan untuk kelompok ini atau itu.

Tak berlebihan kalau situs pendukung Garuda Kebanggaanku mengungkapkan: “…sepakbola adalah pengharapan.. dan pengharapan tak pernah mati…. dan hanya sepakbola yang bisa membangkitkan nasionalisme dan persatuan dan kesatuan yang tak terhingga untuk bangsa kita….”. (http://suporter.info/garuda- kebanggaanku-kuyakin-hari-ini-pasti-menang)

Kerinduan 20 Tahun Belum Terobati

Kerinduan menjadi juara SEA Games, bagi pencinta olah raga sepakbola di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir, tentu tidak cukup ditanggapi dengan mengatakan sepakbola kita sudah lebih baik, seperti diungkapkan Menpora Andi Mallarangeng kepada berbagai media nasional sesaat setelah kekalahan Indonesia melawan Malaysia..


Sejak 1991, Indonesia tidak pernah meraih medali emas. Sepanjang SEA Games yang sudah dilaksanakan selama dua puluh enam tahun, Indonesia baru dua kali menjadi juara SEA Games yakni pertama pada 1989 di Jakarta dan Tim Merah Putih kali terakhir menjadi juara SEA Games pada 1991 di Manila, Filipina, setelah Tim Merah Putih mengalahkan Thailand lewat adu penalti.


Dua tahun menunggu sebuah kemenangan yang sudah diimpikan selama 20 tahun rasanya terlalu lama. ”Indonesia pun harus menunggu minimal 2 tahun lagi untuk merebut emas paling bergengsi di SEA Games ini. Dahaga selama 20 tahun belum terobati,” demikian ungkapan yang mengandung harapan dan rasa kecewa yang ditulis mediaonline vivanews.com.


Tak ada jalan lain selain langkah all out para pengelola sepakbola mempersiapkan Tim Sepakbola SEA Games 2013 yang tangguh dan meraih emas. Kita jangan mengulang lagi kekecewaan yang sama pada SEA Games 2013 di Myanmar.

Indonesia menjadi Juara Umum SEA Games 2011 pantas diacungi jempol. Tapi, SEA Games 2013 mendatang: Tanpa Emas Sepakbola, rasanya akan hambar!.

Jumat, 18 November 2011

Dakka Hutagalung, Pencipta Ratusan Lagu Batak, Lagunya di Puja, Tinggal di Rumah Kontrakan (Analisa Cetak, 18 Nopember 2011)

Oleh: Jannerson Girsang.

 
sumber foto: http://www.news.tobaline.com

Didia Rongkap Hi, Anakkonku, Inang dan ratusan karya Dakka Hutagalung setiap hari dinyanyikan di pesta, kafe, dan acara-acara penting lainnya. Tapi, sama seperti banyak kehidupan pencipta lagu lainnya, kehidupan kesehariannya tak sebanding dengan nama besarnya.

Membaca berbagai berita di Media lokal (Tribunenews, 10 Oktober 2010, Harian Analisa, 13 Oktober 2011), nikmatnya mendengar dan menyanyikan lagu-lagu Batak yang diciptakannya, tidak seenak mendengar kisah di balik kehidupannya di usia 63 tahun. Menurut pemberitaan media-media itu, Dakka masih tinggal dan berkarya di sebuah rumah kontrakan di Tangerang, Jakarta.

Untuk mengapresiasi karya-karyanya, sebuah pagelaran akan digelar di Jakarta. Pesan seorang teman, salah seorang penyelenggara masuk ke Face Book saya 13 Nopember 2011, berbunyi "A Special Music Performance Tribute for Dakka!".

Pagelaran musik dan apresiasi "40 Tahun Dakka Hutagalung Berkarya", yang rencananya akan menghadirkan artis-artis terkenal seperti Joy Tobing, Amigos Band, Silaen Sister, Lamtama Trio, Style Voice, Dipo Pardede, Maria Mamamia Pasaribu, The Heart Simatupang Sister, menjadi sebuah ajang penghormatan yang tulus. Pagelaran sendiri direncanakan akan berlangsung pada Sabtu, 19 Nopember mendatang di Ballroom Hotel Sultan Jakarta.

Artikel ini adalah renungan bersama kita atas nasib seorang pencipta lagu."Without a song, each day would be a century", "Tanpa lagu sehari rasanya seabad," kata Mahalia Jackson. Pencipta lagu adalah awal dari populernya sebuah lagu dan dinikmati penggemarnya. Seorang pencipta lagu, berkontribusi membuat kehidupan kita indah dan menyenangkan.

****

Memutar memori ke awal 1970-an, adalah ketika saya mengenal Dakka Hutagalung lewat Trio Golden Heart yang berbasis di Jakarta. Desa kami dengan penduduk sekitar 100 Kepala Keluarga dan memiliki lebih dari sepuluh tape rekorder, memiliki kaset rekaman mereka di rumah masing-masing. Pemuda dan remaja sangat akrab dengan nama Tri Golden Heart.

Sejak awal kariernya yang dimulai 1971, desa Nagasaribu, Kabupaten Simalungun, yang terletak 100 kilometer lebih dari Medan sudah mengenal lagu-lagu ciptaannya.

Masih jelas dalam memoriku, volume-volume pertama kaset mereka masih menggunakan gitar, belum menggunakan alat musik elektronik. Baru setelah Volume 12 dan seterusnya, saya mendengar suara organ elektronik. Dalam beberapa kaset yang saya miliki ketika itu, Trio Golden Heart menyelipkan lagu-lagu Melayu serta lagu rohani Kristen.

Saya terkesan dengan volume 12, karena selain lagu pop, mereka juga menyisipkan lagu rohani berjudul: "Silang Nabadia" (Salib yang Suci). Kaset C-60 berdurasi enam puluh menit, produksi perusahaan rekaman "Mini Record", Trio Golden Heart yang terdiri dari tiga laki-laki yang tampan, berpakaian rapi (kadang dengan jas), celana panjang dengan garis gosokannya yang tampak jelas, merupakan idola kami ketika itu.

Sore, pagi atau malam, dari salah satu rumah pasti terdengar lagu Trio Golden Heart. Di dalamnya terselip nama Dakka Hutagalung, disamping dua rekannya yang lain, Star Pangaribuan dan Ronald Tobing. Hari Minggu pasti di rumah kami akan mengumandang lagu "Silang Nabadia" yang diiringi organ yang sungguh membuat hati teduh.

****

Beranjak ke masa-masa kuliah di era 80-an, lagu-lagu seperti Anakkonhu, ciptaan Dakka Hutagalung yang dipopulerkan Eddy Silitonga dan Didia Rongkap Hi dipopulerkan Rita Butar-butar adalah dua lagu favorit kami saat kuliah menjadi kenangan yang indah, mengharukan, menginspirasi kami.

Mendengar lagu ini, tak mampu rasanya menahan air mata bila kita berbuat salah kepada orang tua. "Ndang namora au amang, manang parhauma na bidang…….So tung las marisuang, sasudena halojaonki………Di dadang ari ditinggang udan, do hami da amang, di balian an i…. .holan asa boi pasingkolahon ho".

Terjemahan bebasnya: "Saya bukan orang kaya nak, atau pemilik ladang yang luas, Jangan kau sia-siakan semua kelelahanku, Anakku, ….. kami dipanggang matahari, disiram hujan di ladang, hanya supaya kau bisa sekolah".

Bulu kuduk merinding saat mendengar lagu, sambil membayangkan orang tua di kampung. Dalam sebuah acara pelepasan sarjana, sebagian besar kami tak mampu menghempang air mata haru mendengar lagu ini. Membawa pendengar sebah lagu hanyut dalam perasaan penulisnya, merubah sikap pendengarnya, merupakan prestasi luar biasa dari Dakka Hutagalung.

Ketika kami mencari jodoh, lagu Didia Rongkap Hi begitu mengesankan. Syairnya berupa jeritan seorang pemuda yang didorong orang tuanya mencari jodoh, tetapi tidak kunjung bertemu. Orang tuanya sedih karena anaknya tidak dapat jodoh. Padahal, anaknya sudah ke sana kemari mencarinya.

"Nungnga tung loja au, mangalului i, ndang jumpang au na hot di ahu…. Didia Rongkap Hi!. (Aku sudah lelah mencarinya, tapi belum ketemu dengan yang cocok di hati……Dimanakah jodohku?.

Dua lagu itu hingga saat ini, setelah tigapuluh tahun kemudian, saya masih dengan rasa percaya diri yang tinggi menyanyikan lagu-lagunya di pesta-pesta, kafe-kafe dan acara-acara hiburan lainnya.

Saya tentu tidak sendiri. Jutaan orang Batak dan penggemar lagu Batak merasakan hal yang sama. Ratusan lagunya yang lain juga dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat penggemar lagu Batak di berbagai penjuru tanah air dan dunia ini. Pengalaman saya bersama lagu-lagu Dakka, tentu juga dirasakan jutaan penggemarnya dengan kesan yang berbeda.

****
Tak bisa dipungkiri, Dakka Hutagalung juga telah mempopulerkan penyanyi-penyanyi Batak melalui lagu-lagu ciptaanya. Misalnya, artis Rita Butar Butar, melejit diblantika musik Batak setelah melantunkan tembang "Didia Rongkap Hi" yang tidak lain adalah karya nyata komponis Dakka Hutagalung. Tidak jauh beda dengan artis Julius Sitanggang, namanya melejit setelah melantunkan tembang "Tabahlah Mama", juga karya besar komponis Dakka Hutagalung (Analisa, 13 Oktober 2011).

Menyenangkan para penggemar, mengorbitkan beberapa artis melalui lagu-lagu ciptaannya. Dakka telah memberikan kontribusi yang besar dalam memajukan budaya bangsa, khususnya budaya Batak, serta bisnis dunia musik.

Kakek enam cucu ini, yang mencipta lagu sejak 1971, sudah menulis 400 lagu yang menjadi hot lagu Batak. Bahkan menurut http://www.formatnews.com, Dakka, ketika masih bergabung dengan Trio Golden Heart, sudah memproduksi 28 album Batak dan Melayu. Lagu-lagunya menghibur pendengar radio, VCD, televisi, membuat manusia merasa hari-harinya lebih indah.

Tidak hanya itu, sebuah filosofi mencipta lagu bukan hanya melulu mengejar materi dan menjadi pelajaran berharga bagi pencipta lagu lainnya. "Baginya lagu merupakan salah satu alat untuk mengungkapkan rasa berbagai kejadian. Ia mengingatkan kalau lagu diciptakan hanya sekedar untuk tujuan komersial, maka lagu itu tidak mungkin abadi,"ujarnya seperti dikutip www.batakpost. com.

Sayangnya, nasibnya menjadi pencipta lagu, tidak berbeda dengan banyak seniman lainnya di negeri ini. Kasusnya memang klise. Setelah berbulan-bulan, mulai dari mencipta dan mengikuti proses lagunya hingga terkenal, seorang pencipta lagu menerima imbalan yang masih memprihatinkan. Sebuah lagunya yang diciptakannya hanya dihargai antara Rp 1.5-2 juta. Kalau ngetop bisa dapat bonus. Bandingkan dengan pemain key board yang menyanyikan lagunya di pesta, kafe dan tempat-tempat hiburan! Hanya beberapa jam sudah dapat honor sekian ratus ribu. Beberapa kali show, maka penyanyinya dapat duit jauh lebih banyak dari penciptanya.

"Kehidupan Dakka Hutagalung tidak sepadan dengan nama besarnya. Masih menempati sebuah rumah kontrakan di Tangerang," seperti diungkapkan seorang penyelenggara Pagelaran "40 Tahun Dakka Hutagalung Berkarya" kepada media. Kini, setelah mencipta lagu selama 40 tahun, laki-laki kelahiran Pahae Tapanuli Utara itu terus mencipta dan bergelut di studio untuk mengaransemen album yang dipercayakan kepadanya. Selain itu, ia juga aktif di gereja mengajar koor kepada para anak muda dan orangtua atau siapapun yang membutuhkan.

Semoga masyarakat tergerak untuk turut mendukung pagelaran ini. Selamat berkarya buat Dakka!***


Penulis Biografi, tinggal di Medan
Bisa juga diakses di:  http://www.analisadaily.com/news/read/2011/11/18/22262/dakka_hutagalung_pencipta_ratusan_lagu_batak/#.TsWnH1auq9s, http://www.harangan-sitora.blogspot.com

Senin, 14 November 2011

Renungan SEA Games 2011 (Harian Jurnal Medan, 12 Nopember 2011)

Oleh Jannerson Girsang

Peraih Emas, Kini Penarik Becak dan Penjaga Kapal. “Habis manis sepah dibuang”. Itulah luapan perasaan yang muncul dalam benak kami saat mengetahui nasib dua orang peraih medali emas SEA Games di masa lalu melalui media cetak dan televise.

Suharto,mantan peraih medali emas balap sepeda di SEA Games 1979 menjadi tukang becak, dan Jumain, mantan peraih emas nomor perahu naga SEA Games 1986 menjadi penjaga kapal. Keduanya kini berdomisili masing-masing di Surabaya dan Semarang. Sungguh memprihatinkan perhatian negeri ini pada atlitnya yang berprestasi.

Hiruk pikuk menjelang SEA Games 2011 ini hendaknya tidak mengulang kesalahan di masa lalu. Para atlet berprestasi tidak terlantar setelah mereka menyumbangkan prestasi terbaiknya bagi negeri ini. Jangan kecolongan lagi!

Suharto, Jumain: Dipuja, Dihargai, Lalu Dilupakan!

Di tengah gegap gempita, puja-puji dan semangat melaksanakan SEA Games 2011, mari sejenak menjenguk kehidupan dua atlet peraih SEA Games di masa lalu yang kini hidupnya terlantar, tak sebanding dengan prestasinya yang mereka sumbangkan bagi negeri ini.

Harian Republika (31 Agustus 2011) mengungkap kehidupan Suharto. Mantan pembalap yang kini berusia 59 tahun itu pernah merebut medali emas pada SEA Games 1979 di Malaysia untuk nomor "Team Time Trial" jarak 100 kilometer. Bersama tiga rekannya saat itu, yakni Sutiono, Munawar Saleh dan Dasrizal, tim balap sepeda Indonesia mampu mempecundangi pesaingnya dari Malaysia dan Thailand untuk merebut medali emas.

Lalu bagaimana kehidupannya sekarang? Sangat miris membacanya. Republika mengungkap nasib atlet kebanggaan bangsa ini dengan judul: ”Duh...Peraih Emas Balap Sepeda Sea Games Itu, Kini Jadi Penarik Becak”.

Gemerlapnya peristiwa kejayaan Suharto tiga puluh tahun lalu, kini menerima nasib sebagai penarik beca untuk menghidupi kesehariannya bersama istrinya. "Uang dari hasil menarik becak hanya cukup untuk makan keluarga. Kalau ada sisanya kami tabung untuk bayar sewa kamar kos," ujarnya.
Tiga puluh tahun kehidupan mantan atlet berprestasi ini, cukup berpuas diri dengan mengayuh becak dan menciumi medali dan piagam penghargaan yang pernah diperolehnya dari berbagai ajang balapan nasional dan internasional yang tersimpan rapi di rumah kontrakannya.

Nasib Jumain tidak berbeda dengan Suharto. Awal bulan ini SCTV menyiarkan kehidupan  Jumain, peraih Medali emas SEA Games 15 di Nomor Perahu Naga tahun 1986 di Malaysia. Selain itu, dia juga meraih berbagai medali dalam berbagai kejuaraaan internasional di Hong Kong dan Cina. Kini Jumain, jadi penjaga kapal wisata di Pantai Tanjung Emas Semarang.
Suharto dan Jumain hanya contoh dari dua atlet yang di masa tuanya menderita. Tentu banyak lagi yang lain, sebut saja misalnya Elias Pical (tinju), Tati Sumirah (bulu tangkis), Budi Setiawan (Taekwondo), Gurnam Singh (lari), Surya Lesmana (sepakbola). Tentu ruang ini tidak cukup untuk menyebut mereka satu persatu.

Gurnam Singh: Atlet Lari Sumut

Bagi penduduk Sumatera Utara, kita pernah memiliki Gurnam Singh. Sebuah mediaonline mengisahkan bahwa “Gurnam Singh adalah seorang peraih tiga medali emas pada cabang olahraga lari di perhelatan Asian Sea Games pada tahun 1962. Atas prestasinya tersebut pelari tercepat se-Asia ini diundang sebagai tamu kehormatan Presiden Soekarno dan diganjar hadiah berupa 20 ekor sapi, dua buah mobil, serta sebuah rumah di Gang Sawo, Medan. Tetapi kesuksesannya tersebut tidak bertahan lama. Pada tahun 1972 rumahnya digusur oleh pemerintah daerah karena tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal tersebut menambah kepedihan dalam hidupnya setelah sebelumnya istrinya membawa pergi keenam anaknya pada tahun 1969. Setelah itu hidupnya semakin tidak menentu. Ia tinggal berpindah-pindah dari satu kerabat ke kerabat lainnya, bahkan pada tahun 2003 Ia sempat menumpang tinggal di sebuah Kuil di Polonia, Medan. Medali-medali yang pernah didapatnya dari berbagai kejuaraan internasional di Rumania, Filipina, dan Malaysia telah dijualnya untuk menyambung hidup. Dengan menggunakan satu-satunya sepeda tua yang Ia miliki sebagai kendaraan, pria berusia 80 tahun ini kini hidup dengan mengandalkan belas kasihan dan bantuan dari kerabat maupun orang-orang yang mengenalnya”. (http://www.uniknya.com/2011/11/5-olahragawan-yang-terlupakan/). .

Tentu tidak tertutup kemungkinan para atlit-atlit yang lain yang memerlukan perhatian dan tidak dapat kami sebut satu persatu.

Kabar Menggembirakan

Pengalaman adalah guru sejati. Kita berharap pengalaman ini menjadi pelajaran berharga dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Belajar dari kesalahan masa lalu, sebuah sikap yang diperlukan pemerintah kalau ingin memajukan olah raga di negeri ini.

Kisah Jumain dan Suharto di atas menunjukkan betapa negeri ini alpa menghargai para atlitnya yang berprestasi. "Seorang atlet hanya dikenang ketika meraih prestasi dan mengharumkan nama bangsa. Setelah masa kejayaannya berlalu, nasib sang pahlawan negara tersebut tak mendapat perhatian lagi, bahkan disia-siakan. Itulah kenyataan yang harus dihadapi para olahragawan meskipun seharusnya pantas mendapatkan penghargaan atas jasa-jasanya tersebut" (Kompas.com, 1 Juni 2011).

Tentunya, merubah sikap tidak semudah membalik telapak tangan. Kita butuh proses! Dalam pengamatan Tommy Firman, peraih dua medali emas di cabang karate SEA Games XIX Jakarta 1997 penghargaan negeri ini kepada para atlit memang memerlukan perbaikan, setidaknya meniru negara lain. .

Dia membandingkannya dengan negeri jiran kita. “Sebut saja pemerintah Malaysia, Thailand, dan China. Mereka sangat perhatian terhadap atlet yang berhasil menyumbang medali emas bagi negaranya. Kelangsungan hidup serta anak istrinya ditanggung pemerintah,”ujarnya, seperti dikutip Harian Sinar Harapan (09 September 2011). . .

Walau belum berharap banyak, tetapi langkah-langkah dari berbagai pihak untuk memerhatikan kesejahteraan atlet perlu disambut baik. Dari berbagai berita di media, kegiatan Yayasan Olah Raga Indonesia (YOI) beberapa tahun terakhir tampak telah mengambil langkah-langkah untuk memberikan apresiasi bagi para atlet berprestasi di negeri ini. YOI  berencana memberi asuransi kepada mantan-mantan atlet Tanah Air yang pernah berprestasi baik tingkat nasional maupun internasional, seperti diungkapkan  Dewan Pengawas YOI, Rudy Hartono, di Jakarta, pertengahan tahun ini..

Awal September 2011 lalu, Tommy Firman, mantan karateka nasional yang kini bisa hidup mapan sebagai pengusaha, bersama YOI menunjukkan kepedulian dengan memberikan santunan kepada  Wempi Wungau dari cabang binaraga dan Hasan Lobubun mantan petinju nasional.

Setiap daerah harus ikut memperjuangkan atlet-atlet daerahnya yang berkiprah di SEA Games agar ada jaminan kehidupan mereka di masa depan. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang membuka peluang lebar bagi atlet berprestasi yang ingin menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Tahun 2011 ini, Pemkot akan mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menyetujui itu.(Harian Suryaonline, 15 April 2011).

Hal-hal yang baik, tindakan yang ditujukan memperbaiki kesejahteraan atlet-atlet kita, tentu tidak hanya yang kami sebutkan di atas. Banyak perusahaan,  individu atau organisasi lain yang melakukannya.

Semoga artikel kecil ini menggugah pemerintah dan masyarakat agar SEA GAMES 2011 ini tidak mengulangi sikap yang tidak peduli atas atlet terbaiknya.   Sudah barang tentu kita juga menghimbau agar para atlet yang terlantar dijenguk dan diberi bantuan secukupnya