My 500 Words

Senin, 30 Januari 2012

Facebook, Gambar Porno, dan Pelecehan! (Jurnal Medan, 20 Januari 2012)

Oleh: Jannerson Girsang

 
 Sumber foto: facebook.com

Facebook atau lebih popular dengan sebutan FB menawarkan banyak manfaat. Tapi jangan lupa, jejaring sosial ini tidak terlepas dari hal-hal yang bisa mengganggu bahkan membunuh karakter penggunanya. Tapi, Anda tidak perlu panik.

Sebuah pesawat jatuh, tidak lantas Anda harus berhenti naik pesawat, atau lantas semua pesawat dikandangkan!.

Para pengguna perlu mempelajari cara meminimalkan efek negatif melalui seleksi teman dan memahami toolsnya secara tepat, serta memahami prinsip komunikasi secara benar pula.

Facebook pada prinsipnya adalah sebuah situs komunitas dimana kita bisa bertemu orang dan bersosialisasi di dunia maya. Ratusan juta pengguna FB di dunia menuai manfaat karena terbukti memberi pengguna banyak manfaat. Pasalnya, FB menawarkan  fungsí seperti menjaga hubungan dengan teman dan keluarga (keep up with friend family), berbagi foto dan video (share photos and video), kita bisa mengontrol privasi secara online (control privacy online) dan berhubungan kembali dengan teman sekelas (reconnect with old classmates).

Sebagai penulis dan sebagai orang tua, FB telah membantu saya mencari dan menyimpan data, mengekspresikan karya-karya kepada teman-teman, memonitor kegiatan anak-anak, bahkan mendapat order pekerjaan.

Bukti, bahwa FB bermanfaat adalah bahwa kini lebih dari 500 juta orang pengguna FB. Mereka bebas memilih untuk menggunakan jejaring ini, dan memanfaatkan FB sesuai dengan kebutuhan atau kepentingannya sendiri-sendiri. Para pejabat, bahkan beberapa Kepala Daerah di Sumatera Utara menggunakannya sebagai alat komunikasi lepada publik.  

Teknologi memiliki sifat yang netral. Tetapi tergantung penggunanya. Ada masuk ke FB bertujuan baik, menjalin persahabatan antara individu, kelompok bahkan sesama bangsa dan antara negara. Bahkan untuk promosi produk, kegiatan kampanye FB terbukti menjadi salah satu alternatif yang banyak dipilih orang. Memang, sama seperti teknologi apapun, selalu ada resiko menggunakannya, ada saja orang yang bertujuan buruk.

Hanya dua sikap yang kami amati selama ini. Terhadap FB. Sebagian meninggalkan Facebook, karena takut dirinya menjadi korban (media masa menyiarkan banyak sekali kasus-kasus negatif yang terjadi difacebook, mulai dari penculikan, pelecehan, fitnah dan lain-lain), sebagian bertahan dengan melakukan berbagai langkah-langkah untuk menghindari hal-hal yang negatif. Penulis termasuk orang yang turut dalam kelompok terakhir. .

FB Tak Luput dari Hal Tak Menyenangkan

Menggunakan FB, tentunya tidak menjanjikan seratus persen kesenangan dan manfaat. Jejaring sosial ini tidak luput dari hal-hal yang mengganggu pikiran bahkan membahayakan (pemerasan, pelecehan, fitnah dan lain-lain).

Bebasnya orang masuk menjadi pengguna Facebook menuntut kehati-hatian dan pemahaman pemanfaatan Facebook secara benar. Salah-salah anda bisa mendapat malu, bahkan terkena tuntutan hukum, baik karena kebodohan, keteledoran anda, atau bisa karena ketidaktahuan, maksud jahat dari orang lain yang iseng atau benci kepada anda.

FB saya sering kemasukan situs-situs yang tak saya inginkan (situs porno dan beberapa situs berbahaya yang bisa mendatangkan virus), grup-grup yang menyita ruang notification, serta statemen atau komentar di status yang berpotensi tidak menyenangkan bahkan menghina atau melecehkan.  

“Pak, di Facebook bapak ada ditag gambar porno,” demikian peringatan seorang teman saya suatu waktu. “Pak, kayaknya ada statemen yang melecehkan di  Facebook bapak deh!”. 

Menurut kami, ini sesuatu yang lumrah saja terjadi pada teknologi apa saja. SMS di Handphone, surat kabar dan media-media yang lain. Saya yakin orang-orang yang beniat tidak baik, tidak akan bertahan lama, karena dunia ini tidak suka kejahatan. SMS gelap dan lain-lain juga saya terima beberapa kali. Isi berupa fitnah juga pernah saya terima. Jadi, FB bukan satu-satunya media komunikasi dimana orang bisa membuat hal-hal yang tidak baik.

Ketika saya mengamati lebih seksama, ternyata postingan tersebut di tag melalui teman yang saya kenal baik. Saat saya menghubunginya, dia sendiri tidak mengetahui sumber gambar yang masuk ke Facebooknya, tapi dia klik likeStatusnya, masuk ke Home dimana bisa dibaca dari FB saya. Beredarlah gambar itu ke seluruh teman-temannya di Facebook. (Kalau ada seperti ini, ya dihapus aja, tidak usah dibuka. Selesai kan!).

Saya tidak berhenti di situ!. Di balik manfaat sebuah teknologi, selalu ada resiko. Tidak sedikit orang yang menggunakan FB sebagai alat untuk mengekspresikan keisengannya atau balas dendam! Hasil temuan brilian muda Zuckerberg pada 2004 ini memang berpotensi disalahgunakan oleh penggunanya.

Selain hal di atas, ada yang Anda perlu perhatikan!. Ketika saya mengklik like sebuah situs porno di status teman, selain muncul di status saya, juga terekam dalam recent activity.

Pada awal menggunakan FB, saya pernah membuka situs yang kurang berkenan dipublikasi kepada publik di saat Facebook sedang log in (beroperasi). Saya mengklik like dan kegiatan itu muncul juga di recent activity. Wah, susah nih. Tidak  perlu panik!. Lalu saya delete, semua selesai!.   

Pengalaman di atas hanyalah beberapa realitas perubahan pemahaman berkomunikasi yang tidak kita alami sebelum Facebook muncul pada 2004. Jejaring sosial yang memungkinkan setiap orang dengan bebasnya mengekpresikan dirinya, mengirim data. Perubahan yang menuntut kewaspadaan dan keharusan mempelajarinya dengan baik, agar manfaatnya maksimal dan efek negatifnya minimal.

Beberapa Tips

Sampai saat ini, saya masih merasa nyaman menggunakan Facebook sebagai sebuah media menjalin persahabatan dengan ribuan teman di dunia maya. Berikut beberapa tips yang saya ingin bagikan kepada anda.

Pertama. Saya melakukan seleksi kembali teman-teman yang sudah masuk di Facebook. Baik itu individu maupun grup. Tidak ada gunanya saya memiliki teman yang sama sekali tidak kenal, kecuali ada referensi dari teman yang kita kenal dekat. Buat apa?. Hanya ingin dilihat hebat?. Tak usah ya!. Demikian juga, ketika anda ingin meng-add teman baru, atau menyetujui reqeuest friend, teliti dan tanyakan teman-teman anda yang lain tentang orang yang bersangkutan. Kesalahan besar para pengguna FB adalah tidak menyeleksi teman-temannya sebelum menerimanya menjadi teman.  

Kedua. Teman yang saya kenal dan sudah menjadi anggota di akun saya, tetapi selalu membuat pernyataan-pernyataan yang menyinggung, tidak mengenalnya dengan baik, atau saya ragu, dan berpotensi mengganggu, maka yang bersangkutan atau grup tersebut akan saya keluarkan. Saya akan meng-klik unfriend atau kalau mau lebih aman saya akan block. Saya tidak mau membiarkan orang-orang yang tidak menyenangi saya memiliki akses dan mengamati kegiatan saya!.

Ketiga. Saya tidak akan mengklik situs porno apapun saat Facebook sedang log in (beroperasi), apalagi mengklik like. Hindari mengklik like  atau comment pada situs yang berbahaya bagi anda, anak-anak atau orang lain.

Keempat, agar privasi saya tidak diketahui orang, saya tidak lupa menghapus kegiatan saya di ”recent activity” (Walau kadang saya lupa).  

Kelima, sesuatu pembicaraan yang bersifat rahasia lakukan di inbox. Pembicaraan akan aman dan hanya saya dan teman yang saya kenal dan percayai bisa mengetahuinya.

Keenam, saya mengisi status dengan berita-berita, pernyataan-pernyataan, foto, atau video yang mencerahkan, menghibur dan mengajak orang bertindak lebih baik.  (Ini yang perlu dilatih. Tidak sedikit pengguna pamer di FB yang mengundang rasa iri, atau membuat statmen yang mengundang rasa permusuhan atau kebencian).

Ke tujuh, jangan memberi komentar pada pernyataan seseorang kalau kita belum mengerti persis maksud sebuah pernyataan atau ekspresi. 

Ke delapan, sama seperti Anda, orang lain juga tidak ingin dirinya disakiti, difitnah. Jangan anda lakukan hal itu kepada siapapun. Tulislah perkataan yang baik untuk membangun, dimana perlu, supaya mereka yang mendengarnya beroleh anugerah, bukan sakit hati atau mengundang rasa benci.

Semoga ada manfaatnya!

Selasa, 17 Januari 2012

Makna Lagu Nahum Situmorang di Persimpangan Jalan: ”Hugogo Pe Mansari, Laho Pasingkolahon Gelleng” (Batak Pos, 16-17 Januari 2012)



Oleh : Jannerson Girsang

Minat orang tua di desa untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi menurun. Kualitas pendidikan, biaya pendidikan yang tinggi dan manfaat  yang diperoleh kurang signifikan bagi sebagian orang tua. Benarkah?

Simaklah buku ”Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul” (Salwa Press, Yogyakarta, Maret 2002) yang ditulis Darmaningtyias seorang ahli pendidikan. Buku itu mengungkapkan kecenderungan umum di tengah masyarakat Gunung Kidul, terutama di pedesaan yang tidak lagi mempercayai sistem pendidikan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sampai awal dekade 1990-an, semangat masyarakat untuk menyekolahkan anak hingga SMTA cukup tinggi. Banyak orang tua yang memegang prinsip, ”semua harta benda dijual tidak apa-apa, asal anak bisa bersekolah”.

Tapi prinsip serupa sudah mulai pudar, bahkan banyak ditinggalkan Sebagian masyarakat tidak lagi percaya pada kesaktian pendidikan formal, sehingga banyak yang memilih tidak melanjutkan sekolah setamat dari SD. Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat desa terhadap pendidikan itu terjadi sebagai akibat dari buruknya produk pendidikan nasional.

Buku itu dengan vulgar mengatakan: ”Kehidupan orang-orang yang bersekolah hingga pendidikan tinggi ternyata tidak lebih baik , setidaknya terjadi ketimpangan antara output yang dikeluarkan dengan input yang diterima. Sebaliknya orang yang berpendidikan itu justru menjadi malas bertani, malas kerja kasar, sementara harta bendanya sudah banyak yang terjual untuk bersekolah”.

Semangat Menyekolahkan Anak

Membaca buku itu, saya kemudian mengenang  masa-masa saya ketika sekolah  SD-SMA di era 1973-1980. Kala itu, dari pengamatan saya orang kampung memandang tinggi nilai pendidikan. Kalau saya kembali ke desa, orang masih dengan semangat mengatakan: ”Kalau kawan ini pasti hebatlah nanti, soalnya dia sekolah,” kata salah seorang orang tua, ketika pulang libur sekolah di kota. 

Pengalaman orang tua saya yang hanya seorang guru SD, pernah menanggung tiga orang anak di perguruan tinggi. Mereka yakin benar bahwa segalanya dikorbankan demi sekolah anak-anaknya. ”Kalau sudah tamat nanti, mereka akan bisa mandiri dan mendapat pekerjaan yang lebih baik dari kami,”ujar ayah saya suatu ketika kepada tempat peminjaman uangnya.
Penghasilan kecil tidak melemahkan semangat mereka  menyekolahkan anak. Orang tua saya acapkali meminjam uang di kala memenuhi permintaan tiba-tiba dan kadang tidak direncanakan, atau kalau hasil panen mereka meleset. Konon, bagi orang tua saya lebih mudah meminjam untuk biaya pendidikan anak lebih mudah dari pada dia meminjam untuk usaha.

Selain itu mudah ditemukan kerja sama keluarga yang tinggal di kampung dan keluarga yang tinggal di kota. Saya menyaksikan sendiri, beberapa anggota keluarga yang saya kenal dibantu secara bergotong royong di kalangan keluarga besar untuk membantu anak keluarga yang tidak mampu. Baik berupa sumbangan langsung, maupun tumpangan tanpa bayar makan tinggal di rumahnya.

Melongok ke masa lalu tokoh-tokoh yang dulunya dari desa kemudian memperoleh pendidikan yang lebih tinggi misalnya. Produk-produk pendidikan dari desa sangat signifikan melahirkan para pemimpin negeri ini.

Sebagai penulis biografi, saya mengamati para tokoh yang sukses (kebanyakan dari desa), hampir bisa dikatakan, pendidikan merupakan awal dari segala karier mereka di kemudian hari. Dari seorang anak petani, setelah menempuh pendidikan mereka memperoleh pekerjaan yang jauh lebih baik dari orang tuanya di kampung.

Kisah Pendeta Armencius Munthe, Prof Dr Sutan Hutagalung, Kol JP Silitonga dan bebeberapa biografi tokoh-tokoh yang saya tulis (kebetulan kebanyakan orang Batak), lahir di desa di era 20-an dan 30-an, mendapat pendidikan Belanda di sekitar desanya, dan sekolah lanjutan di kota, bahkan pada era 50-an ada yang sekolah di luar negeri-seperti Jerman, Amerika Serikat atau ke luar Sumatera seperti JP Silitonga.

Pendeta Armencius Munthe, mantan Ephorus GKPS, anak seorang janda petani miskin yang di usia 13 tahun sudah ditinggal suaminya, dengan kemampuan yang terbatas mampu menyelesaikan sekolah Teologia, dan kemudian karena prestasinya mendapat beasiswa kuliah Master Theologia di Universitas Hamburg Jerman di era 1960an.

Bahkan yang lebih kontroversial lagi, Sutan Hutagalung—mantan Sekjen GKPI. Setelah bekerja beberapa tahun sebagai pegawai penjara di Klaten, dirinya meninggalkan pekerjaannya dan melanjutkan perkuliahan di STT Jakarta. Lulus dari sana, dia kemudian melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas di Amerka Serikat.

Contoh-contoh di atas adalah yang saya tau persis karena menulis biografinya, tetapi tentu kolom ini tidak cukup menyebut ribuan contoh lainnya.

Ironi di Era Globalisasi. 

Di abad ke duapuluh satu, dimana pendidikan seseorang penduduk desa diharapkan lebih baik (tingkat pendidikannya dari sebelumnya), justru banyak yang drop out. Kini, tidak sulit lagi bagi saya menemukan anak-anak SMP yang sudah drop out dan mengikuti ayahnya ke ladang. 

Berbeda saat saya sekolah SMP di era 1970-an. Hampir tidak ada anak sekolah yang drop out. Paling tidak mereka tamat SMP dan sebagian besar melanjut ke SPG atau SMA, dan kemudian ke Perguruan Tinggi.

Selain itu tingginya biaya pendidikan cenderung melemahkan semangat para orang tua mengirim anak-anaknya ke sekolah atau perkuliahan. Ditambah lagi budaya sogok yang marak dimana-mana ketika mereka lulus dan mencari pekerjaan yang diidamkan, yakni PNS, atau pegawai swasta. Karena hampir sebagian besar penduduk masih memimpikan anaknya bekerja, belm banyak orang tua yang menginginkan anaknya sebagai pengusaha.

Bagi kelompok seperti ini, mengirimkan anak ke sekolah tidak lagi dianggap sebagai sebuah cara untuk meningkatkan status. Pengetahuan ayahnya sebagai petani sudah cukup untuk mencari makan dan menyesuaikan statusnya dengan anak-anak di desanya.

”Masuk sekolah harus membayar uang pembangunan, uang sogok. Padahal nanti sarjanapun menganggurnya. Mencari pekerjaan harus menyogok, lebih baik langsung bekerja di ladang. Menanam kentang, dapat hasil”ujar seorang penduduk yang anaknya drop out SMP, ketika saya berkunjung ke suatu desa. .

Dampak Negatif

Buku ”Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul” mengungkapkan minat yang semakin menurun meningkatkan pendidikan menyebabkan tingginya perkawinan dini. Mereka yang drop out dari SD, SMP atau SMA akan kawin lebih cepat. Tentu ini tidak hanya menjadi tantangan bagi keluarga berencana, tetapi sekaligus menyebabkan tingginya perceraian.

Mereka yang drop out mudah terkena pengaruh lingkungan yang masuk ke desa berupa perkembangan teknologi informasi (TV, DVD, Internet) telah menyeret mereka ke pergaulan bebas dan hubungan di luar nikah, remaja terlibat narkoba, mengunjungi situs-situs porno di internet, bahkan bermain judi melalui teknologi canggih itu. Dampak yang lebih parah lagi mereka menjadi manusia pemimpi, menjadi pemakai narkoba, pengunjung diskotik, bahkan sebagian menjadi  PSK.  

Coba sekali-sekali berjalan di malam hari, atau singgah berbagai diskotik atau tempat-tempat terlarang bagi para remaja di kota-kota besar di provinsi ini. Medan, Pematangsiantar, Sibolga, dll. Gadis-gadis berusia belasan tahun menjadi pemuas nafsu para om-om yang kelebihan duit. 
 
Anakhon Hi do Hamoraon Di Ahu

Sebelum zaman semaju sekarang ini, semangat menyekolahkan anak di kalangan masyarakat di Sumatera Utara terangkum dalam lagu : Anakkon Hi do Hamoraon di Ahu, karya komponis besar Nahum Situmorang.

Sebagian penggalan syairnya berbunyi sebagai berikut: ”Hugogo pe mansari, arian nang bodari, lao pasingkolahon gelleng hi. Ndang so tarihuthon, au pe angka dongan, ndada pola marsak au di si. Alai anakhon hi da, ndang jadi hatinggalan sian dongan magodang na i”.

Terjemahan bebasnya kira-kira demikian: ”Saya bekerja keras mencari uang, siang dan malam, untuk membiayai sekolah anakku. Meski tidak bisa mengikuti orang lain, saya tidak sedih. Asalkan anakku tidak ketinggalan dari teman-temannya”.

Syair lagu berirama pop dan sekali-sekali dibuat cha-cha ini, menggambarkan pandangan penulisnya tentang semangat masyarakat desa ketika itu dimana pendidikan adalah cara meningkatkan harkat dan martabat mereka. Pendidikan adalah pra-syarat agar mampu mengikuti perkembangan zaman, tidak ketinggalan dengan anak-anak yang lain, dan tidak terlindas oleh kemajuan. Karena itu, seluruh jiwa, raga dan harta dikorbankan demi biaya pendidikan anak-anak.

Hanya satu harapan: pengorbanan itu akan lunas, bila anak-anaknya bisa berhasil menyelesaikan pendidikannya, dan keyakinan dengan modal pendidikan anak itu bisa mencapai kehidupan yang lebih baik. Mereka mengejar achieved statusnya—status sosial yang diperoleh melalui kerja keras, usaha dan keyakinan dengan menyelesaikan pendidikan yang baik.

Masih dalam pengamatan yang memerlukan pembuktian, dari perubahan yang ada, minat menyekolahkan anak termasuk di daerah kita sudah menurun, demikian juga semangat anak didik menggunakan sekolah sebagai batu loncatan tidaklagi seperti semangatnya Prof Dr Sutan Hutagalung, Dr Armencius Munthe maupun JP Silitonga. Bagaimana mengembalikan semangat orang tua menyekolahkan anak-anaknya seperti sediakala menjadi tantangan bagi kita semua. Mahalnya biaya pendidikan, rendahnya kualitas produk pendidikan kita menjadi tantangan besar di era globaliasi ini.

Menulis Di Era Global “Mutlak Melek Komputer dan Internet” (Batak Pos, 14 Januari 2012)


Oleh : Jannerson Girsang

 
 Sumber Foto: ngecepres.blogspot.com.

Masuk di dunia penulisan di era global dengan buta komputer dan internet?. Anda akan seperti rusa masuk kampung!. Sebaliknya, menguasai komputer dan internet membuka peluang mengembangkan diri berlipat ganda.

Almarhum Pdt Dr Armencius Munthe—mantan Ephorus dan Sekjen Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS)  adalah contoh seorang penulis yang dengan cepat menyesuaikan dirinya dengan dunia barunya, yakni berkhotbah dan menulis di era global.

Setelah pensiun dari jabatan terakhirnya sebagai Sekjen GKP pada 1995, beliau belajar komputer dan kemudian internet. Satu angkatannya sesama pensiunan petinggi gereja beliau termasuk yang paling aktif menulis.

Setelah pensiun, selama 15 tahun hingga meninggal pada 2009, beliau aktif mengajar sebagai dosen, dan menulis. Dengan memahami komputer dan internet, beliau mampu menulis beberapa buku dan menerbitkan tulisannya tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. ”Melalui internet, saya bisa mengirim draft buku, melakukan koreksi seolah di depan saya dengan rekan-rekan saya dimanapun berada. Waktu sangat terhemat,”ujarnya.

Semasa dinasnya bertahun-tahun beliau hanya mengandalkan sekretarisnya dan sama sekali belum mengenal komputer. Membuat konsep dengan tulis tangan, lantas sekretarisnya membantunya mengetik.

Tak heran kalau kemudian beliau mampu menulis beberapa buku di masa pensiun dan menerbitkannya di Jakarta, Amerika Serikat, meski beliau tinggal di rumahnya di bilangan Tanjungsari, Medan. Prestasi menulis beliau, jauh lebih di atas rata-rata teman seangkatannya. 

Saya mendapat pengalaman menarik ketika menulis buku biografinya ”Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga” (2004). Menulis buku seorang yang berusia 70 tahun yang memahami komputer dan internet, jauh lebih cepat dari para tokoh seusianya yang sama sekali tidak memahami komputer dan internet.

Pasalnya, saya bisa melakukan komunikasi dengan beliau melalui internet. Beberapa wawancara tambahan dilakukan dengan wawancara tertulis, demikian juga koreksi bisa dilakukan dengan email.

Berbeda ketika saya menulis otobiografi atau biografi seorang tokoh yang sama sekali tidak mengetahui internet. Meski dia seorang penulis, kalau tidak memahami komputer dan internet, maka wawancara seluruhnya dilakukan dengan tatap muka. Demikian juga koreksi dan diskusi. Saya menggunakan waktu yang jauh lebih lama menyelesaikan buku sejenis. Biaya yang dibutuhkan untuk menulispun tentunya lebih mahal. 

Bayangkan kalau draft buku setebal 400 halaman mau dikirim ke Jakarta, masih terdengar ungkapan seperti ini. ”Tolong print dulu draft buku kita, dan kirimkan semua hasilnya ke Jakarta”.

Dibutuhkan waktu memprintnya, membungkusnya, mengantarkannya ke TIKI atau kantor pos. Waktu mengirim melalui pos tersita satu atau dua hari. Demikan pula pengembalian hasil koreksinya. Padahal, pengiriman draft buku seperti itu di masa sekarang ini hanya butuh waktu hitungan detik dan biaya pulsa atau langganan internet yang cukup murah. Ini hanya sebuah contoh kecil!.  

Revolusi Penulisan

Perkembangan teknologi komputer dan disusul dengan aplikasi internet dalam komunikasi modern melahirkan pola baru komunikasi dan mempengaruhi dunia penulisan serta berbagai bidang kehidupan di tengah-tengah masyarakat.

Seorang futurolog terkenal Paul Zane Pilzer, meramalkan bahwa bahwa tidak lama lagi setiap orang akan memiliki kemampuan menikmati kemakmuran tanpa batas melalui teknologi komputer ajaib.

Revolusi penulisan atas kehadiran internet telah, sedang dan terus berlangsung di tengah-tengah kita ibarat penyakit flu. "Internet seperti penyakit flu, menyebar seperti orang gila", kata Jack Welch. Dia masuk ke segala lapisan, penulis pemula, penulis besar, tua, muda, kaya, miskin, bahkan penulis remaja dan anak-anak. Pengguna internet meroket bak jamur di musim hujan. Dari kurang 500 juta sepuluh tahun sebelumnya menjadi 1.5 miliar orang.

Sampai 2009, akses internet di Indonesia masih dibawah 25 persen dengan pertumbuhan rata-rata antara 15-17 persen per tahun. Meski pertumbuhannya demikian pesat, kita masih tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunai, bahkan dengan berbagai negara ASEAN lainnya seperti Thailand dan Filippina.

Perkembangan jumlah penggunaan internet yang terus meningkat akan memberikan manfaat yang luar biasa.”Penjualan internet saat ini sebesar $200 miliar per tahun tidak ada artinya dibanding dengan keberuntungan yang akan tercipta,”ujar sebuah website yang kami kunjungi baru-baru ini. 

Perkembangan penulisan dengan kehadiran internet telah merubah makna sebuah perpustakaan, pengiriman bahan tulisan, distribusi bahan tulisan, demikian juga hasil tulisan berupa publikasi media atau buku-buku.  Google Book menjadi sebuah perpustakaan raksasa yang terus berkembang dan tak tersaingi jenis dan jumlah buku di perpustakaan manapun di Indonesia ini. Koleksinya sudah mencapai lebih dari 15 juta buku.

Mediaonline

Selain itu, kehadiran Internet dan pengembangan teknologi mediaonline sangat membantu penulis mencari bahan tulisan. Sebagai contoh, website http://www.onlinenewspapers.com/. Website seperti ini adalah salah satu produk directory media cetak online pada era internet.

Kini lebih dari 10 ribu media cetak utama dunia yang terbit di 400 kota sudah masuk dalam website ini. Dengan menamakan dirinya The No 1 Newspaper Directory, website ini telah membantu para pencari berita di seluruh dunia terus mengembangkan dan menambah jumlah mediaonline di seluruh dunia, sehingga menjadi sebuah sumber data yang sangat bermanfaat bagi miliaran orang. .

Dengan memanfaatkan teknologi internet, website tersebut selain menyediakan data juga sekaligus memanfaatkan para pengunjung secara interaktif menyempurnakan data yang sudah disediakan. Memasukkan informasi yang terdapat di daerahnya sehingga mereka yang berada di belahan bumu lain, sekaligus mampu mengakses informasi ke dunia yang lebih luas lagi.

Hasilnya, kini khususnya media cetak, seluruh masyarakat dunia yang memiliki akses ke internet sudah memiliki peluang memperoleh informasi.yang sama.

Penduduk di Tuktuk Siadong, melalui website ini mampu mengakses berita harian lokal di  Negara Bagian Alabama di Amerika Serikat, atau sebuah harian lokal di Davao, Mindanao Filippina.

Penutup

Para penulis yang belum memanfaatkan kehadiran Internet dalam meningkatkan kuantiítas dan kualitas tulisannya, saatnya bangkit dan menguasai komputer dan Internet dengan segala seluk beluknya yang bermanfaat bagi kegiatan menulis. Menulis untuk mengembangkan peradaban, bukan mencerca, memaki atau menfitnah orang lain.

Melek komputer dan Internet mutlak!. Milikilah sebuah komputer yang tersambung dengan Internet. Masuklah ke dunia global, samudera informasi yang luasnya tak terbatas. Sebagai penulis hal itu mutlak kalau anda ingin terus eksis di dunia tulis menulis.

Saatnya Anda membuka mata, jangan buta lagi!

Jumat, 13 Januari 2012

Belajar dari Petani Kentang (Batak Pos, 13 Januari 2012)



Oleh : Jannerson Girsang

 
Sumber foto: www.bisnis-jabar.com
 
Memutar memoriku di era 1970an, sangat tidak nyaman memandang sebuah areal pertanian kalau tanaman kentang di dalamnya tumbuh tidak merata. Di tengah-tengahnya terdapat tanaman yang krempeng, kuning, sementara yang lainnya tumbuh subur dan menyejukkan mata.

Sama dengan pembangunan ekonomi di suatu negeri. Sangat tidak nyaman, kalau di suatu daerah maju pesat, sementara di tempat lain—orang dengan mudah melintasi jalan raya yang mulus, sarana pendidikan modern, bisnis maju, sementara di daerah lain orang masih memikul hasil bumi karena tidak tersedia sarana jalan, gedunmg sekolah seperti kandang sapi, tengkulak menguasai pasar.   

Bedanya, kalau kondisi ketidakmerataan ini terjadi pada manusia, bukan hanya tidak enak dipandang, tetapi mereka bisa bereaksi, menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi semua. Mereka akan merespon ketidakadilan dengan berbagai cara. Pasalnya, mereka memiliki pikiran, mampu menilai yang terbaik bagi dirinya, mampu membandingkan dirinya dengan orang lain.

Rakyat butuh pengaturan melalui sebuah sistem pemerintahan yang berniat baik bagi mereka, sehingga mampu maju secara bersama-sama, berkeadilan.

Belajar dari Petani Kentang

Memori anak-anak di kampung di daerah Simalungun di era akhir 60-an sampai pertengahan 70-an kadang muncul di benak kami kala melihat ketimpangan pembangunan di berbagai daerah di provinsi ini, saat melakukan berbagai perjalanan—Nias, Batubara, Labuhan Batu, Dairi, Humbang Hasundutan, Tapanuli dan lain-lain.

Petani kentang di kampng kami mengusahakan tanaman kentang agar semua tanaman mendapatkan perlakuan yang sama: mulai dari pemupukan, pembrantasan hama, penyiangan, penyiraman dan lain-lain.

Pada kenyataannya, meski perlakuan sama, saya memperhatikan pertumbuhan tanaman kentang tidak selalu sama. Beberapa minggu setelah ditanam, dari hamparan seluas satu hektar tanaman kentang sebanyak 10 ribu batang, sebagian pertumbuhannya lambat.

Setiap pagi petani memperhatikan pertumbuhan tanaman. Mereka seolah berbicara kepada tanaman-tanaman itu. “Apa yang kurang, mengapa pertumbuhanmu tidak seperti tanaman-tanaman lainnya?”.  

Bahkan ada kalanya mereka melakukan perlakuan khusus atas kentang yang tidak tumbuh sama dengan tanaman lainnya.  Ada yang karena dimakan ulat, kekurangan unsur hara seperti warna daunnya kuning karena memang kondisi tanahnya yang tidak subur.

Para petani di sana dengan pengalaman puluhan tahun menanam kentang memahami cara bertanam untuk membuat pertumbuhan bisa merata. Lalu, mereka memberi pupuk dengan takaran yang lebih bagi kentang yang kurang subur, memberikan perlakuan yang khusus bagi tanaman yang terserang hama dan membuat pertumbuhannya lebih lambat dari yang lain.

Walau tanaman itu tidak berbicara satu sama lain, seperti manusia, tetapi para petani bangga kalau dia berhasil membuat setiap tanamannya tumbuh merata. Tidak ada yang kerempeng.

Ada niat di hatinya, memperlakukan 10 ribu tanaman kentangnya sesuai dengan kebutuhannya agar mereka bisa tumbuh bersama. Walau pada kenyataannya selalu saja ada hambatan, sehingga tidak pernah 100% bisa merata. 

Memimpin Rakyat: Pengalaman Petani Kentang

Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang pemimpin seyogianya memiliki niat seperti para petani memperlakukan tanamannya. Ada keinginan memperlakukan rakyatnya agar maju bersama, memahami dengan benar mengapa rakyat di sebuah daerah tidak bisa maju sama dengan rakyat lainnya, atau daerah yang satu tidak maju bersama dengan daerah lainnnya.   

Dalam kenyataan, setiap daerah tidak sama potensinya. Beberapa daerah bertumbuh dengan pesat karena potensi alam dan sumber daya manusianya tersedia. Anehnya, kadang daerah dengan potensi besar mendapat perlakuan khusus pula.  Berangsung secara alami”Dimana ada gula, di situ ada semut”. Pembangunan akhirnya bertumpu di sana.

Issu kesenjangan Pantai Barat dan Pantai Timur di provinsi ini adalah bukti bahwa masih banyak daerah yang perlu penanganan khusus untuk bertumbuh bersama. Sebagai contoh, di pedalaman di Pulau Nias masih banyak daerah yang tidak bisa dijangkau dengan kenderaan bermotor, 40% belum mendapat aliran listrik dari PLN, serta berbagai keterbatasan yang dihadapinya.

Tentu, daerah seperti ini tidak akan mampu bertumbuh bersama dengan daerah yang sudah memiliki infrastruktur yang maju. Daerah dengan potensi yang kurang, sama dengan tanaman tadi,  mereka akan tumbuh kerempeng kalau dibiarkan bertumbuh dengan kemampuannya sendiri. Mereka perlu mendapat perlakuan khusus.

Seorang pemimpin harus mampu dalam levelnya masing-masing—mulai dari gubernur, bupati, walikota, camat dan kepala desa/lurah memahami kondisi dan memperlakukan kebijakan-kebijakan khusus untuk masing-masing daerahnya. Pemimpin harus memahami, menyadari sepenuhnya daerah-daerah yang tidak mampu, dan yang perlu mendapat perlakuan khusus. Tanaman yang jauh dari gubukpun harus mendapat perlakuan yang sama dengan yang dipinggir ladang.

Para pemimpin hendaknya menghindarkan diri megambil kebijakan hanya pertimbangan kedekatan masyarakat atau daerahnya, apalagi pada kepentingan pribadi dan golongan. Sama seperti petani memperlakukan tanaman kentangnya, demikian juga pemimpin memperlakukan rakyatnya.

12 juta lebih penduduk di Sumatera Utara terdiri dari beragam suku, agama, dengan potensi yang berbeda-beda hendaknya dipahami dengan filosofi petani kentang ini.

Mereka kini mengalami kemajuan yang berbeda-beda, bisa karena memiliki potensi alam yang melimpah sudah diolah, kemampuan sumberdaya manusianya yang sudah baik, atau hal-hal unggul lainnya.

Berbagai daerah masih tertinggal, bisa karena sumberdaya alam yang belum diolah, sumber daya manusianya yang rendah. Berbagai daerah memiliki potensi tambang emas, timah hitam, lahan kosong yang masih terhampar luas. Rakyat menunggu perlakuan-perlakuan khusus yang kreatif, sehingga mereka mampu bangkit, maju bersama dengan daerah lain.  

Gunawan Sumodinngrat dan Riat Nugroho T (2005), dalam bukunya ” Membangun Indonesia Emas” mengingatkan kita semua, ”Keadilan sosial adalah amanat bangsa. Keadilan sosial bukan sesuatu yang dapat ditawar-tawar. Keadilan sosial adalah sebuah ’rasa’ yang diciptakan dari keadaan kondusif bagi pengembangan hidup bersama yang diwarnai dengan  saling percaya dan saling gotong royong.”

Semoga di 2012 dan masa mendatang niat, sekali lagi niat  para pemimpin bersama masyarakat daerah ini terinspirasi dengan filosofi ini. Mewujudkan “Rakyat tidak miskin, tidak sakit dan tidak lapar”, dengan niat yang dilandasi semangat maju bersama. .   


[1] Penulis Biografi, Tinggal di Medan

Senin, 09 Januari 2012

In Memoriam Ed Zoelverdi 1943-2012: "Mat Kodak" Sudah Pergi (Analisa Cetak, 9 Januari 2012)

Oleh : Jannerson Girsang.

sumber: antarafoto.com

Indonesia kehilangan seorang juru foto yang tidak kenal lelah belajar dan mengajarkan pengalamannya kepada masyarakat jurnalis di tanah air. Tokoh yang mempopulerkan istilah "Mat Kodak" untuk jurnalis foto itu meninggalkan kita untuk selama-lamanya, di Jakarta, dini hari 4 Januari 2012.

Salah seorang yang pernah bekerja dengan beliau semasa di Majalah Tempo, Bersihar Lubis, kini Pemred Medan Bisnis, mengungkapkan kesannya melalui telepon genggam. "Kita kehilangan seorang fotografer besar, seorang guru yang humoris,"ujarnya.

Lulusan SLTA, Menabur Ilmu Jurnalistik

Nama Ed Zoelverdi bukan nama asing lagi di dunia jurnalisme foto Indonesia. "Dia mulai memotret sejak tahun 1960-an. Ia konon bisa menghabiskan 2-3 roll film isi 36 per hari. Kemanapun ia pergi, tustel selalu menemani. Buang airpun, ia menteng tustel," ungkap buku Pensiun Preneur: Pensiun Sukses melukiskan Ed Zoelverdi

Pria kelahiran Kutaraja (Banda Aceh), 12 Maret 1943 adalah anak pasangan berbahagia yang berasal dari Kotagadang, Bukit Tinggi. Dia hanya menyelesaikan pendidikan formalnya sampai tingkat SLTA. Selebihnya ia belajar secara otodidak-termasuk dalam pemotretan dan jurnalistik. Pria yang menunaikan ibadah haji di Makkah 1988 itu, pernah mengikuti kursus melukis di Balai Budaya Jakarta bimbingan pelukis Nazar dan Oesman Efendi (alm).

Karier jurnalistiknya diawali dari reporter lepas di Radio Republik Indonesia untuk acara Kebudayaan asuhan Wiratmo Soekto pada 1964, setelah sebelumnya sempat menjadi pegawai sekretariat perusahaan pelayaran Samudera Djakarta Lloyd, Jakarta.

Sebelum bergabung dengan majalah Tempo pada 1971, Ed Zoelverdi melakoni berbagai pekerjaan, diantaranya pembantu lepas (free lance) untuk gambar pena di koran harian Duta Revolusi, dan mingguan Abad Muslimin, Jakarta, karikaturis majalah KAMI, asisten Director of Photography pembuatan film Dunia Belum Kiamat disutradarai Nya Abbas Akup.

Pria yang menikah dengan Farida pada 1973 ini, bergabung dengan Majalah Berita Mingguan Tempo 1971 sebagai Staf Editor, hingga majalah ini dibredel pada 1994, lantas bergabung dengan Majalah Berita Mingguan Gatra pada 1995 sebagai Staf Redaktur dan Redaktur Pelaksana.

Dalam tugasnya sebagai jurnalis, Ed Zoelverdi melakukan perjalanan jurnalistik seantero wilayah Indonesia, perjalanan ke Asia meliputi Jepang, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Hong Kong, dan Macau, lawatan Eropa: Holland, Belgia, Austria, Jerman, Inggris,Prancis, Swiss, dan Swedia, juga ke Russia. Kawasan Afrika, ke Mesir dan Mauritius, di tenggara benua itu. 1993 Ed Zoleverdi melawat ke Amerika Serikat, dan keliling negara ASEAN.

Sejak 1971, Ed Zoelverdi terlibat dalam juri di berbagai aneka lomba foto baik sebagai anggota maupun ketua. Misalnya anggota juri kontes foto se Asia yang diselenggarakan Asia Cultural Center for UNESCO (ACCU) di Tokyo Jepang (1989), Lomba Internasional Foto dan Gambar Remaja Abad Elektronika VI, diselenggarakan Perhimpunan Telekomunikasi Internasional di Jenewa Swiss (1991), serta berbagai lomba di tingkat Asia dan nasional. Pada 1985, Ed pernah menjadi anggota juri lomba foto majalah Asiaweek di Hong Kong. Ed juga banyak terlibat dalam merancang lomba foto di tanah air, diantaranya Lomba Foto "50 Tahun RI", kerja sama Majalah Garta dengan Hailai, Jakarta.

Jurnalis: "Belajar Terus dari Ayunan Sampai Liang Lahat" 

Memasuki usia senjanya, Ed Zoelverdi terus belajar dan mengajarkan hal-hal yang dipelajarinya. "Belajar terus dari ayunan sampai liang lahat" demikian buku Pensiun Preneur: Pensiun Sukses (Surasono I. Soebar, 2008) menggambarkan motivasi belajar Ed Zoelverdi.

Berhenti sebagai fotografer "resmi", kegiatannya semakin banyak. Dia tercatat sebagai Instruktur bidang Fotografi Jurnalistik pada Sekolah Jurnalistik Indonesia PWI Pusat, Dosen Tamu di Universitas Negeri Jakarta, untuk Jurnalisme Fotografi; Senior Editor berkala bulanan Lionmag— the inflight magazine of Lion Air, Dosen Luar Biasa FISIP Universitas Indo-nesia, Depok, untuk Jurnalisme Foto & Tulis, Dosen Tamu di Universitas Hamka,Jakarta, untuk Fotografi Jurnalistik, Instruktur di Lembaga Pers Dr. Soetomo Jakarta (LPDS), bidang Jurnalistik Foto.

Selain mengabdikan peristiwa-peristiwa penting di lapangan ke dalam foto, Ed Zoelverdi juga aktif menuangkan pengalamannya ke dalam buku. Bebeberapa karyanya adalah Mat Kodak Melihat Untuk Sejuta Mata, terbit tahun 1985. Buku tentang seluk-beluk kerja foto di dapur orang pers ini kini terbagi menjadi tiga seri. Seri pertama adalah Kita Menulis Dengan Cahaya, ikhtisar fotografi umum.Seri kedua, Mat Kodak Melihat Untuk Berjuta Mata, ikhtisar fotografi jurnalistik. Seri ketiga, Dari Foto Kita Menulis , latihan menulis menggunakan modul karya fotografi. Satu lagi buku yang sudah berupa dummy adalah kisah lawatan jurnalistik yaitu Mat Kodak Berselancar di Gelombang Cahaya.

Atas pengabdiannya semasa hidupnya, Ed Zoelverdi mendapat penghargaan dan namanya diabadikan dalam berbagai ensiklopedia dan buku tokoh lainnya. Dia menerima Kartu Pers Nomor Satu dari Masyarakat Pers Indonesia pada Hari Pers Nasional,9 Februari 2010, Penghargaan Gatra sebagai "Proklamator" majalah berita itu (1994), masuk Ensiklopedi Pers Indonesia, terbitan PWI Pusat (2008), masuk buku Who’s Who in Australasia & Far East, IBC Cambridge, Inggris (1991), masuk buku 235 Tokoh Bicara Tentang Buku, terbitan Yayasan Data Group, Bandung (1988), menerima "Adam Malik Award" (Anugerah AdamMalik) untuk pengabdian di bidang fotografi (1987), masuk buku Apa Siapa Sejumlah Orang Indonesia,Pustaka Grafiti, Jakarta, Masuk Ensiklopedia Indonesia, PT Ichtiar Baru - vanHoeve, Jakarta (1986), masuk buku, A Who’s Who for Asian Cultural Center for Unesco (ACCU), Tokyo (1981).

Ed Zoelverdi adalah seorang teladan dalam mengikuti perkembangan dalam profesinya. Munculnya sistem digital dalam teknologi fotografi, beliau pelajari dengan serius. Bahkan, pengalamannya bergaul dengan fotografi digital ini pun sedang dituangkan dalam buku kecil berjudul Sensasi Fotografi Digitamania.

Mat Kodak

Sebagai seorang fotografer, Ed Zoelverdi menulis artikel di berbagai media cetak di Indonesia.

Ketua Departemen Jurnalistik Foto PWI Pusat (2003-2008) ini mempopulerkan istilah "Mat Kodak" untuk menyebut juru foto, dalam tulisan di Harian Sinar Harapan 13 Oktober 1973. Berkat tulisannya, Indonesia pun memiliki sejarah tersendiri atas produk kamera merk Kodak yang merajai pasar kamera di era 70-an.

Ed Zoelverdi begitu getol menyebut "Mat Kodak" di dalam artikelnya menyebut juru foto. Lihat misalnya artikel yang ditulisnya pada 1978. "Jangan merasa jemu, dalam kaitan sajian foto maka Mat Kodak dituntut untuk senantiasa bermata awas. Misalnya, ketika menyaksikan sebuah batu atau bukit yang dibabat habis, segeralah potret". (Foto Liputan Ekologi Sebuah Spesialis Jurnalistik, Lokakarya Liputan Lingkungan Hidup untuk Media Cetak, Muko-muko Jambi,1978).

Demikian juga dalam bukunya "Mat Kodak Melihat untuk Berjuta Mata". "Kegiatan itu bernama:Fotografi Jurnalistik. Mau disebut masuk Cabang Profesional, ya pasti! Sebab produk sang Mat Kodak di bidang ini me-mang disajikan sebagai konsumsi nonfisik buatmasyarakat luas. Dari sini lahirnya ungkapan be-ken: "Mat Kodak melihat untuk berjuta mata"

Ed Zoelverdi: Guru Fotografi yang Kocak

Ed Zoelverdi tidak hanya dikenal di kalangan wartawan Jakarta, tetapi juga oleh beberapa wartawan senior dan masyarakat jurnalistik di Sumatera Utara. Murid-muridnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa wartawan senior di Sumatera Utara mengutarakan kesan mereka tentang Ed Zoelverdi.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, bang Ed saya kenal sejak saya bekerja di majalah Tempo. Saya masih ingat kritikannya terhadp foto-foto yang pernah saya kirim. Selamat jalan Bang Ed," demikian komentar Nian Poloan, wartawan Republika biro Medan, dan pernah menjadi wartawan Tempo di Medan di FB pribadi saya, sesat membaca postingan berita tentang berpulangnya Ed Zoelverdi. .

Bersihar Lubis, Pemred Medan Bisnis mengatakan Ed Zoelverdi adalah seorang guru fotografer. "Dia pernah mengajar kami cara-cara mencetak film, teknik memotret masa Pak Zakaria Pase menjadi Kepala Biro Tempo di Medan, di era 80-an."ujar Bersihar. Di mata bersihar, selain seorang guru yang baik, Ed Zoelverdi juga seorang humoris.

Generasi muda Sumut yang pernah mengikuti training fotografi di LPDS Jakarta mengungkapkan kesannya. "Bang Ed ini juga dikenal kocak. Kalau ngajar di LPDS suasananya cair, jauh dari ketegangan. Selalu ada celetukan-celetukan penuh tawa,"ujar Lindung Budaya, peserta training Jurnalistik di LPDS 2002.

Clara Girsang, lulusan FISIP UI Jurusan Komunikasi 2008 yang kami hubungi melalui telepon genggam mengungkapkan: "Dia nyentrik, nggak monoton. Kalau ngajar nggak harus di kelas. Jalan-jalan hunting foto. Habis kuliah masih mau nongkrong di Takor (kantin FISIP UI). Buat makan bareng sama mahasiswanya, sambil diskusi apa aja, politik, teknik foto atau apapun," ujarnya melalui sms.

Ed Zoelverdi sudah beristirahat di TPU Kemiri Rawamangun, Jakarta. Kita kehilangan seorang fotografer besar, seperti dikatakan wartawan senior Bersihar Lubis. Namun, karya-karyanya tidak akan pernah mati. Keteladanan, warisan buku-buku dan tulisannya akan terus hidup di hari para jurnalis Indonesia. Menulis dan menularkan pengetahuan jurnalistik. Itu pelajaran kami darimu. Selamat jalan bung Ed Zoelverdi!

(Diolah dari Berbagai Sumber)***

Penulis Biografi, tinggal di Medan