My 500 Words

Kamis, 14 Maret 2013

Kampanye Membaca 2013 Hanna Latuputty: Targetkan Buku yang Dibaca! (Harian Analisa, 1 Pebruari 2013)



Oleh: Jannerson Girsang. 


Kampanye membaca memerlukan sebuah teladan. Tidak hanya mengajak membaca dengan teori-teori membaca. Artikel ini mengisahkan pengalaman Hanna Latuputty seorang pustakawan yang menargetkan jumlah buku yang akan dibaca dalam satu tahun, dan mampu mencatat dan mengikat makna isi buku yang dibacanya.

Hanna Latuputty, SS menggeluti dunia kepustakawan sekolah sejak ia lulus S1 tahun 1995 dari Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Sastra [kini Fakultas Ilmu Budaya], Universitas Indonesia. Hanna adalah salah satu pendiri Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia dan menjabat sebagai Ketua. Saat ini ia bekerja sebagai Senior Librarian di Dickens Library, The British International School, Jakarta. (http://apisi.org/profil-trainer).

Hanna juga berperan dalam menopang kegiatan pembelajaran siswa yang mengambil program IB Diploma. Hanna aktif mempromosikan literasi informasi dan kegiatan serta pelatihan kepustakawanan sekolah ke berbagai kota di Indonesia dan luar negeri. Hanna juga menjabat sebagai salah satu pengurus Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia [ATPUSI] dan co-chair Special Interest Group-International Focus di International Association of School Librarianship [IASL].

Melalui blognya http://rakbukukathy.blogspot.com, Hanna Latuputty, seorang pustakawan memaparkan pengalamannya membaca dan menargetkan bacaannya pada 2010.

Menelusuri blog itu saya merasa ibarat rusa masuk kampung. Selama ini, saya membaca apa adanya, sesuka hati, tergantung mood. Tentu masih banyak orang seperti saya. Saya tidak perlu berkecil hati, karena Hanna sendiri baru memulainya 2010.

Dari blog ini, saya belajar membaca dengan membuat target buku-buku yang dibaca. Saya belum pernah menargetkan jumlah buku yang saya baca dalam satu tahun dan belum secara teratur mencatat isi buku sesuai dengan kalimat-kalimat saya sendiri dan merekamnya dalam blog. Barangkali Anda termasuk seperti saya. Inilah blog yang menginspirasi saya dan Anda menargetkan topic bacaan 2013 ini.

Hanna menuangkan pengalaman pertamanya menargetkan bacaan satu tahun dalam sebuah artikel yang dipostingnya tanggal 25 Maret 2010 berjudul "Tantangan Membaca buku 50 Judul Setahun".

Artikel ini mengisahkan awal Hanna menargetkan membaca buku. Dia juga belajar dari orang lain yang menuangkan pengalamannya di internet. "Beberapa waktu lalu saat saya browsing laman tentang dunia perpustakaan sempat terlihat beberapa slogan tentang tantangan membaca. Salah satunya adalah 75 Books Challenge for 2010. Menarik, karena banyak pustakawan yang kemudian mengikuti kampanye ini dan mulai mendaftar buku-buku yang ingin mereka baca. Entah mengapa, setelah itu saya mulai menimbang-nimbang ide menarik ini".

Hanna kemudian membuat target bagi dirinya sendiri. Reading Challenge: 50 books I wish to read in 2010 (Tantangan Membaca: 50 Buku yang Ingin Saya Baca sepanjang 2010).

Sebuah target yang benar-benar menantang. Satu minggu menyelesaikan satu buku. Sebuah target yang ketat dan memotivasinya sepanjang 2010.

Pengalaman Hanna benar-benar membuat saya terbangun dari tidur, setelah berusia 52 tahun. Bagi Anda yang berusia di bawah saya, atau di atasnya, dan belum memulai merupakan sebuah tantangan di 2013 ini.

Daftar target buku-buku yang akan dibacanya dijejerkan di sebelah kanan, dari atas ke bawah. Kalau Anda mengunjungi blog ini, maka terpampang buku-buku yang dibacanya. Antara lain Bartlett, Allison Hoover. The man who loved books too much, Coelho, Paulo. Alchemist, Byrne, Rhonda (The Secret), Li, Yiyun (A thousand years of good prayersm), Wood, John (Leaving Microsoft to change the World), Asura, E. Rokajat (Wangsit Siliwangi, Bk 2), Albom, Mitch (For one more day), Blume, Judy (It’s not the end of the world), Asura, E. Rokajat (Prabu Siliwangi Bk 1), Hemingway, Ernest (The short stories), Berger, John (To the wedding), Ayu, Djenar Maesa. (Jangan main main dengan kelaminmu), Bartlett, Allison Hoover (The man who loved books too much).

Setiap selesai membaca buku, sebagi bukti dirinya membaca, maka Hanna membuat catatan dan mempostingnya di blog itu. Di sebelah kanan blognya, misalnya saya menemukan ringkasan "A thousand years of good prayers" yang ditulis Yiyun Li. Dia menyarikan hasil kegiatannya membaca dan menilai buku yang dibacanya. Di akhir ringkasan itu dia menuliskan rekomendasi: "Buku yang layak untuk dibaca".

Selain menjadi pengetahuan bagi dirinya, Hanna telah menyumbangkan hasil pekerjaannya secara gratis kepada setiap orang yang membaca blognya. Sebuah kampanye membaca dalam praktek, tidak hanya menghimbau membaca, tanpa contoh-contoh yang aktual yang bisa diteladani.

Sebuah kesaksian menarik dari pemilik blog ini adalah pendapatnya tentang target membacanya itu.

"Bagi saya tantangan membaca 50 judul sama seperti sebuah perencanaan perjalanan menikmati keanekaragaman dan kekayaan beragam petualangan dunia yang diangkat oleh para penulis buku-buku itu. Membaca adalah perjalanan mengarungi suatu dunia baru, yang mungkin belum pernah kita temui sebelumnya. Membaca adalah berpetualang. Mengalami sebuah pengalaman batin yang saya yakin akan memperkaya dunia batiniah pembaca. Membaca itu sangat subyektif. Ada kala kita suka, ada kala kita tidak suka, ada kala kita hanya ingin melihat tanpa memegang, ada kala kita ingin ikut masuk berpetualang ke dalamnya atau sekadar mendengar pengalaman penulisnya. Buat saya, tantangan membaca ini adalah petualangan-petualangan yang selalu saya nantikan. Apakah saya bisa melaluinya selama tahun 2010? Saya tidak dapat memastikannya. Namun hal yang pasti, saya akan mengalami keragaman petualangan melalui buku-buku yang akan saya baca"

Pembaca yang ingin meniru cara Hanna membaca dan membuat target bacaan, silakan kunjung blognya. Dia memiliki dua blog lain yang bercerita tentang pengalamannya sebagai pustakawan, perjalanannya ke berbagai tempat di dalam dan di luar negeri (Australia, Jaimaica dan berbagai Negara lain) dan kegiatannya sebagai seorang ibu rumah tangga.

Inilah salah satu dampak positif kehadiran internet. Pengetahuan dan pengalaman orang lain yang dituliskan dalam blog, memberikan kesempatan para pengakses belajar hal-hal yang baru.

Pelajaran dari kisah Hanna di atas adalah seorang pembaca perlu menargetkan dan memiliki buku-buku yang dibacanya dalam rentang waktu tertentu. Para pustakawan kita tidak hanya mengajak para warga untuk membaca, tetapi juga memberi contoh pengalaman-pengalaman membaca. Baperasda mungkin sudah saatnya membuat perlombaan blog yang memuat kisah pengalaman membaca, sehingga kampanye membaca dapat dilakukan melalui inspirasi membaca.

Mari terus meningkatkan kampanye membaca dan meneladani para pembaca dengan kisah-kisah nyata yang membuat warga kita makin mengapresiasi buku, karya cipta di 2013. Semoga!.***

Dimuat di Rubrik Opini Harian Analisa,  Jumat, 01 Feb 2013

Mengajak Masyarakat Perpanjang Usia Jalan


Oleh: Jannerson Girsang. 

Seandainya pemerintah berhasil menyadarkan masyarakat untuk turut merawat dan memelihara jalan, memperpanjang usia jalan, anggaran pemeliharaan dan perawatan jalan bisa dialihkan ke daerah yang sudah puluhan tahun tidak mendapat perbaikan. Selain itu, demo protes kerusakan jalan ke gedung DPRD seperti yang dilakukan penduduk Desa Naga Lingga, Merek, Kabupaten Karo ke gedung DPRD, 25 Januari 2013 lalu, tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. (www.bisnis.com, 25 Januari 2013).

***

Saya baru saja mengunjungi desa Nagasaribu, kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Dari Medan melintasi Brastagi dan Kabanjahe. Bersyukur dan berdoa dengan kedua orang tuaku, karena ibuku genap berusia 75 tahun, Januari 2013 lalu.

Sungguh senang rasanya, karena mengendarai mobil ke jalan ke Desa sekitar 1 kilometer dari Jalan Provinsi Kabanjahe-Pematangsiantar sudah terasa seperti jalan utama. Jalan aspal mulus, sejak beberapa bulan yang lalu. Sebelumnya, sudah puluhan tahun jalan itu hanya dilapis batu dan tanah. Sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk desa, termasuk saya yang melintasi jalan itu.

Sayangnya, berkah yang mereka terima di masa periode JR Saragih sebagai Bupati Simalungun itu, sudah mulai berlubang. Tidak saja karena aspalnya tipis dan dilapisi pasir - tidak sebaik aspal di jalan Kabanjahe-Tigapanah yang cukup tebal. Maklum karena jalan ke desa saya adalah jalan kabupaten.

Baru beberapa bulan dibangun, di beberapa tempat paritnya tidak mampu menampung air, sehingga menggenangi badan jalan. Saya sedikit gundah, saat menyaksikan di beberapa bagian jalan, para pemilik ladang membiarkan saja rumput yang subur tumbuh di parit-parit jalan. Para petani kembali menumpuk tanah di parit jalan untuk membuat jembatan ke ladangnya. Parit tertutup dan jika hujan air akan mengalir di atas badan jalan. Kasus yang sama saya temukan juga saat melintasi jalan Kabanjahe-Pematangsiantar di daerah perta nian di Tigapanah.

Padahal, kalau jalan itu rusak, tidak hanya pengguna jalan dari luar kota atau penduduk desa lainnya yang kena getahnya, para petani sendiri akan merasakan pahit kalau jalan itu rusak. Seperti pengalaman sebelumnya, penduduk akan membiarkan jalan itu menjadi tanggungjawab pemerintah.

Dalam hati saya berfikir, seandainya saja dimunculkan kesadaran masyarakat yang tinggal di sekitar jalan mau "berjasa" memelihara parit jalan itu!. Andai saja Kepala Desa mau mengerahkan rakyatnya melakukan gotong royong secara teratur membersihkan parit itu!. Hasilnya, pasti mereka bisa menikmati jalan yang mulus lebih lama. Mereka dan desa mereka berjasa bagi pemerintah dan bangsa ini menghemat biaya pemeliharaan jalan.

***

Memutar memori ke era 70-an, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar, setiap pulang sekolah saya menyaksikan seorang bapak yang berusia 40-an sibuk menggali atau membabat. Parit di kedua sisi jalan berfungsi mengalirkan air, rumput-rumput di pinggir jalan dibabat secara teratur. Jalan tetap terawat.

Meski dulu ketika kami masih kecil, jalan ke kampung kami masih terbuat dari batu dan tanah, kenderaan bisa melintas dengan mulus. Pria tadi merawat jalan itu dengan sungguh-sungguh. Kalau ada jalan berlobang, pria tadi dengan cepat menempelnya dengan tanah atau batu. Penduduk desa tak mengalami genangan air di badan jalan.

Pria itu, seingat saya digaji dari kas desa, seluruh penduduk desa bertanggungjawab atas sarana vital itu. Kas desa yang memiliki pendapatan dari kedai koperasi dan pendapatan lain. Desa itu memiliki kedai koperasi dan menghasilkan uang dari kontrak yang dibayar pengelola kedai. Selain merawat jalan, dulu, kas desa juga digunakan untuk membangun air minum penduduk.

Hal yang sama juga saya temukan di jalan provinsi yang menghubungkan desa dengan kota-kota di provinsi ini. Seorang pria setiap hari terlihat membabat pinggiran jalan yang membatasi jalan dengan parit. Rumput-rumput di pinggiran jalan terjaga dan rapi. Kalau ada timbunan tanah di parit, dia cepat menggalinya. Air berjalan lancar, tak sempat menggenangi aspal. Kalau yang satu ini dibiayai pemerintah. Kami memanggilnya sebagai " mantri PU".

Jalan desa atau provinsi tetap terawat. Kerusakan-kerusakan kecil khususnya yang berpotensi menggenangi aspal cepat diatasi. Rakyat menikmati jalan yang bagus dan hasil pertaniannya bisa diangkut dengan lancar.

***

Kini, kedua orang yang melakukan aktivitas yang bersahaja di jalan raya itu sudah tidak ada lagi. Saya lupa kapan persisnya kedua orang seperti itu menghilang dan tidak diberdayakan lagi. Sudah puluhan tahun, perawatan jalan seolah sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah.

Rumput di pinggiran jalan dibiarkan sampai menjulang tinggi. Beberapa tahun lalu, saya sempat menyaksikan jalan provinsi di dekat Gunung Sipiso-piso rumputnya tumbuh sampai setinggi beberapa meter, hingga menghalangi pemandangan. Padahal, lokasi itu memiliki tikungan yang tajam. Tentu sangat berpotensi menimbulkan kecelakaan.

Di beberapa ruas jalan saya menyaksikan parit yang tertimbun tanah dibiarkan dan hanya menunggu penggalian yang dilakukan bulldozer-buldozer yang dikerahkan pemerintah. Lama-lama parit tidak mampu menampung aliran air, dan membuangnya ke atas badan jalan. Bahkan kadang parit menjadi lebih tinggi dari badan jalan.

Saat hujan turun, saya pernah melintasi sebagian ruas jalan Tongkoh-Tigapanah layaknya melintasi sungai. Jalan sudah seperti sungai dan itu masih berlangsung hingga sekarang. Air tidak mengalir dari parit, tetapi semuanya tumpah ke jalan. Jalan aspal yang dibangun, tidak pernah berusia di atas satu tahun. Dibangun sekarang, beberapa bulan sudah rusak dan hancur.

Meski jalan itu untuk kepentingan penduduk di sekitarnya, tetapi tidak ada yang peduli. Partisipasi masyarakat dalam merawat jalan, boleh dikata sudah nihil.

Padahal, dengan mengeluarkan kas desa untuk mengupah perawatan kerusakan jalan yang masih kecil, sebenarnya penduduk mampu. Kenapa puluhan tahun lalu, di saat desa masih miskin partisipasi masyarakat dalam merawat jalan cukup tinggi?.

***

Pemandangan di perkotaan, yang nota bene penduduknya banyak yang berasal dari desa, budayanya hampir sama. Pemandangan umum terlihat banyaknya parit jalan di depan rumah yang tak berfungsi lagi. Bisa jadi karena pemiliknya menutup parit, dan juga karena tanah hasil erosi yang menutupi parit, pembuangan sampah ke parit, sehingga parit tidak mampu menampung, atau ada yang sama sekali sudah tertutup total.

Aktivitas pembangunan rumah atau ruko seringkali menimbun parit yang terletak di depannya. Bahkan kadang menimbun pasir dan batu bertruk-truk di depan rumah di pinggir jalan raya. Sebagian memenuhi parit, atau bahkan tertutup sama sekali.

Usai membangun, kadang muncul menjadi jembatan baru, tanpa membuat lobang air di bawahnya. Air dibiarkan mengalir melalui jalan raya di depan rumahnya, sampai menunggu pemerintah melakukan penggalian. Bahkan, tidak jarang kita saksikan, baru saja penggalian parit dilakukan Pemko Medan, pemilik rumah atau ruko kembali menutup parit itu, atau membangun semen di atas parit, sehingga air menumpuk ke jalan raya.

Anehnya, tidak jarang penegak hukum juga tidak memperdulikannya. Parit yang tertutup dibiarkan saja. Menunggu proyek tahun berikutnya. Meski akibatnya jalan di depannya tergenang air dan lambat laun merusak dan menghancurkan jalan. Bahkan parit di depan rumah menjadi sarang nyamuk.

***

Beban Pemprovsu untuk pemeliharaan jalan cukup besar. Dari 2.749 kilo meter jalan provinsi yang ada di Sumut, yang dalam kondisi baik hanya 1.213 kilo meter, dan dalam kondisi sedang 862 kilo meter hingga akhir 2011. Sementara itu, sepanjang 673 kilo meter lainnya dalam kondisi rusak, baik ringan mau pun berat, yaitu 369 kilo meter dalam keadaan rusak ringan dan 304 kilo meter dalam kondisi rusak berat. Paling tidak Rp 1 triliun diperlukan untuk pemeliharaan jalan setiap tahunnya.

Warga tentu tidak bisa hanya mengharapkan pemeliharaan jalan dari pemerintah yang selama bertahun-tahun sudah kita alami dengan buruknya jalan raya.

Tidak ada salahnya pemerintah juga melirik potensi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan itu, sehingga setidaknya mampu memperpanjang usia jalan, dan memberi peluang pemerintah memperbaiki jalan yang bertahun-tahun rusak di tempat yang lain.

Saatnya memberdayakan Kepala desa atau organisasi masyarakat setempat melakukan gotong-royong atau dengan cara penduduk di kampung saya dulu. Turut membantu bahkan membiayai pemeliharaan jalan, merawat parit dan rumput di tepi jalan.

Selain itu tentunya mereka juga berhak turut serta secara bersama menilai dan menentukan proyek-proyek pemeliharaan jalan yang dilakukan pemerintah di daerahnya. Mereka merasa turut memiliki dan memelihara jalan itu.

Selain itu pemerintah perlu mengkaji ulang mempekerjakan kembali para petugas jalan raya seperti era 70-an, memelihara dan mengawasi jalan seperti zaman saya anak-anak.

Pengamatan sehari-hari mereka bisa dijadikan dasar memonitor kerusakan jalan, dan tindakan yang segera diambil, menghindari kerusakan yang lebih besar dan biaya perawatan yang lebih besar.

Tidak seperti sekarang ini, rusak parah dulu baru diperbaiki.

DPRD Sumut tidak perlu menerima para pendemo dari desa Naga Lingga, Merek, Tanah Karo, 25 Januari 2013, yang mengeluhkan rusaknya infrastruktur jalan Lintas Sumatera di desa mereka. Desa Naga Lingga, tidak seharusnya meratapi rusaknya jalan Lintas Sumatera, karena tersumbatnya saluran drainase.

Wah, ngomongnya sih gampang, tapi pelaksanaannya sulit yah. Tapi tidak salah untuk mencoba memikirkannya dan mengambil hikmahnya. Semoga. ***

Penulis kolumnis dan penulis biografi, tinggal di Medan.

Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa, Rabu, 13 Feb 2013

Kado Natal Anak-anak: Peduli Sesama


Oleh: Jannerson Girsang.

Natalnya bagus kali Mak. Aku berliturgi, menyanyikan lagu, memakai baju baru. Kami bernatal bersama dengan anak-anak anak-anak tunanetra. Mereka datang tanpa baju baru, tanpa sepatu baru dan mereka tidak mampu melihat. Kami memberi kado karena mereka tidak punya barang-barang yang baru di Hari Natal ini. Kami semua senang," ujar seorang anak Sekolah Minggu dengan polos kepada ibunya, ketika pulang ke rumah malam 15 Desember 2012.

Bagi anak-anak Sekolah Minggu, merayakan Natal tidak cukup memakai baju baru, menyanyikan lagu, memainkan musik, main drama, melafakan ayat-ayat liturgi kelahiran Yesus Kristus. Sedini mungkin, dalam merayakan Natal mereka ditanamkan sikap peduli sesama, memberikan kado terbaik bagi sesama, bagi Tuhan.

***

Usai acara kebaktian Natal 15 Desember 2012 lalu, dalam sebuah acara khusus, lebih dari 150 anak-anak Sekolah Minggu Gereja Kisten Protestan Simalungun (GKPS), Simalingkar Medan, memberikan kado kepada 18 orang anak-anak tunanetra Yayasan Penderita Tunanetra (Yapentra), Lubuk Pakam.

Mereka diundang Panitia untuk turut merayakan Natal bersama dan merupakan sebagian dari 70 orang penderita tunanetra yang dididik di Panti Asuhan yang terletak di Jalan Raya Medan-Lubuk Pakam itu.

Setiap anak selesai memberikan kado, para anak tunanetra itu menyalami teman-temannya yang bersimpati dengan mencium tangan dan mulutnya komat kamit dan terdengar sayup-sayup dari bangku depan kata-kata "terima kasih….terima kasih…terima kasih", ujarnya dengan rasa haru.

Kadang mereka saling berpelukan, saling cium pipi. Sebagian anak-anak yang memberikan kado, tidak mampu menahan rasa haru dan meneteskan air mata. Beberapa orang tua anak-anak sekolah Minggu yang hadir terlihat menghapus air matanya. Ada yang sesenggukan menahan haru.

Bahkan secara spontan, seorang ibu memberikan kado untuk seluruh anak-anak itu. Sebagian para orang tua, secara spontan memberikan kado yang mampu mereka berikan. Padahal sebelumnya tidak ada program dari panitia untuk mengikut sertakan para orang tua melakukannya. Hanya, hati mereka tersentuh untuk memberikan kado secara tulus.

Kedua tangan anak-anak tunanetra kadang penuh, dan susah menyalami anak-anak yang memberinya.

Melihat suasana seperti ini, para pembina yang menyertai mereka ibu Linda Hutagalung, bapak Pandiangan dan Ibu Hutasoit hilir mudik merapikan kado yang diberikan lebih dari 150 anak-anak. Jumlah yang hampir sepuluh kali dari jumlah mereka yang menerma.

Sungguh mengharukan. Menurut Linda Hutagalung, 18 orang tunanetra yang hadir, tidak menerima semua kado itu untuk mereka sendiri. Kado yang diberikan teman-teman akan dinikmati bersama dengan 70 orang teman-teman mereka yang tidak ikut dalam perayaan Natal itu. Berkat Tuhan harus dibagi bersama dengan umat Tuhan yang lain.

***

Sebelumnya, anak-anak itu merayakan Natal dalam kebaktian bersama. Memang, para anak-anak tunanetra itu tidak mampu menikmati indahnya pencahayaan, dekorasi Natal, wajah pemain-pemain band anak-anak sekolah Minggu yang mengeluarkan suara keras tapu merdu lagu "Oh Holy Night", mereka tidak bisa melihat keindahan pakaian-pakaian teman-temannya. Anak-anak tunanetra itu tidak peduli pakaian yang mereka pakai apakah lebih baik dari pakaian teman-temannya.

Hanya saya dan jemaat yang melek mata bisa membedakan pakaian mereka. Mereka berpakaian seadanya dan anak-anak Sekolah Minggu Simalingkar hampir semuanya berpakaian baru.

Anak-anak tunanetra tidak perlu menghias diri dengan pakaian yang indah dan mahal-mahal. Hanya mempersiapkan hati yang tulus memuji Tuhan.

Mereka tidak iri dengan semua keindahan yang mungkin bagi orang-orang normal bisa menjadi sumber dosa karena sms (susah karena dirinya melihat orang senang). Tidak silau dengan hal-hal yang indah dilihat mata. Hal yang seringkali mengundang orang berbuat dosa, korupsi sebagaimana terjadi di negeri ini.

Anak-anak yang duduk di bangku depan dengan berpakaian seadanya itu tampak merasakan kebahagiaan bersama teman-teman mereka. Di tengah-tengah perbedaan namun tidak merasa berbeda.

Mereka datang dengan rasa syukur. Memberi seuatu dari hati yang tulus, tanpa memandang materinya. Meski berkekurangan Tuhan memberikan mereka talenta.

Para anak-anak tunanetra itu membawa kado paling berharga untuk teman-teman mereka dan orang tua yang hadir. Semuanya tampil dalam dua buah lagu pujian yang sungguh-sungguh membuat para anak-anak dan hadirin terharu. Seorang diantara mereka memainkan organ dan seorang memainkan musik tiup. Air mata haru serta kagum dari anak-anak dan jemaat mengiringi nyanyian mereka.

Selama acara itu berlangsung, rasa haru, senyap menyelinap di seluruh ruangan gereja berukuran 24 X 12 meter yang dipenuhi sekitar 400-an anak-anak dan orang tua mereka. Anak-anak tunanetra itu memang tidak bisa menikmatinya dengan mata, tetapi rasa bahagia tak bias dipungkiri dari wajah-wajah mereka.

"Kami senang memuji Tuhan bersama dengan teman-teman kami. Kami sungguh bahagia. Terima kasih ya Pak…terima kasi ya Pak,"ujar seorang penderita tunanetra, ketika penulis bersama para orang tua lainnya saya menyalami mereka.

***

"Mendidik anak-anak merayakan Natal bersama para tunanetra, dan memberikan kado dari uang jajan mereka, ditambah pemberian orang tua secara langsung akan merasakan betapa bersyukurnya mereka yang memiliki fisik yang sempurna. Kita berharap mereka akan menjadi jemaat-jemaat masa depan yang peduli sesama".ujar Syamas Jandes Saragih MKes, Ketua Seksi Sekolah Minggu GKPS Simalingkar.

Peristiwa di atas, memang tidak wah!. Bahkan sungguh sangat sederhana. Anak-anak sekolah Minggu membawa kado untuk teman-teman mereka yang berkekurangan, 18 orang teman mereka yang tunanetra.

Situasi itu mengajarkan kita petuah Mother Theresia, seorang pekerja sosial dan pemenang Nobel. . "Memberi dari kelebihan yang kita miliki itu mudah. Tapi bagaimana ketika kita diperhadapkan dengan keadaan yang sebaliknya? Memberi dari kekurangan, itu namanya pengorbanan. Setiap pengorbanan yang ditaburkan dengan keikhlasan, ketulusan akan menjadi benih yang baik,".

Natal mengajarkan manusia memberi yang terbaik bagi Tuhan, bagi sesama. Para gembala, orang-orang Majus dan ahli perbintangan yang mencari Yesus yang baru lahir di Betlehem, ingin bertemu dengan Yesus dengan rasa syukur dan bahagia.

Mereka membawa oleh-oleh dari yang terbaik dari yang mereka miliki. Mereka membawa Mas, mur dan seluruh milik mereka yang paling berharga untuk Tuhan.

Natal mengajarkan kita bahwa memberi apa yang dimiliki dengan tulus bukan memberi karena untuk dipilih jadi gubernur atau anggota parlemen, akan diberkati Tuhan.

Dalam kisah Perjanjian Baru, seorang anak yang hanya membawa apa yang ditangannya: lima roti dan dua ikan kepada Yesus. Yesus memberkatinya dan mampu memberi makan untuk 5000 orang. Anak-anak dididik memberikan kado yang sangat sederhana kepada anak-anak yang berkekurangan,Tuhan akan memberkatinya dan membuahkan sesuatu yang jauh dari apa yang pernah dibayangkan.

Di penghujung acara, merekapun berpisah malam itu dan semuanya bersuka cita. Pertemuan di hari Natal adalah membawa suka cita, bukan menyisakan rasa iri dan dengki satu sama lain. Pertemuan dan keinginan saling memberi diantara anak-anak Sekolah Minggu dan anak-anak Tunanetra malam itu juga mengingatkan kita pada kisah perjalanan dua orang ke Emmaus bersama Yesus. Ketika mengetahui bahwa dirinya bersama Yesus (menemukan Yesus), mereka berpisah dengan suka cita (Markus 16: 13).

Amin. Selamat merayakan Natal 2012, Melalui Perayaan Natal Tahun ini, mari mendidik anak-anak kita untuk memberikan kado yang terbaik bagi sesama, bagi bangsa ini.***

Penulis adalah Jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Simalingkar Medan
Dimuat di Rubrik Opini Harian Analisa 22 Desember 2012

Kutu Loncatkah Mereka?






 Jannerson Girsang.

Cocok kam rasa kalau politisi yang berpindah-pindah partai disebut kutu loncat? Itulah pertanyaan seorang teman dari suku Karo ketika secara berseloro menyematkan kata itu bagi tokoh yang berpindah partai. Idiom ini memang banyak disematkan untuk para tokoh politik yang pindah dari partai yang satu ke partai lainnya, karena sudah tak mungkin lagi duduk di DPR.

Saya kaget, sebelum menjawab pertanyaan teman di atas. Pasalnya, penggunaan kata kutu loncat itu sebenarnya berkonotasi negatif. Kutu loncat biasanya meninggalkan tanaman yang diserangnya: kering dan lambat tumbuh. Banyak pihak menyebut pindah partai itu hal yang wajar saja.

Loncat: Mengisap, Kemudian Membiarkan Tanaman Kering

Aa itu kutu loncat? Saya pernah belajar Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman (IHPT) di Institut Pertanian Bogor (IPB) era 80-an. IHPT mengajarkan bahwa kutu loncat adalah hama, perusak tanaman. Ilmu ini memasukkan kutu loncat sebagai serangga kecil yang merupakan anggota suku Psyllidae.

Setiap jenis kutu loncat menyerang tanaman tanaman yang khas dan menunjukkan jenis kutu loncatnya. Makanya ada kutu loncat lamtorogung (Heteropsylla spp) dan kutu loncat jeruk (Diaphorina citri)l. Anda pasti pernah mendengar serangan hama kutu loncat terhadap tanaman lamtorogung, jeruk dan tanaman lainnya.

Kutu loncat biasanya pindah ke lokasi atau tanaman lain kalau cairan yang dibutuhkannya dari tumbuhan di tempatnya habis, dia meloncat ke tumbuhan lainnya. Dia bergerak lincah dan aktif. Misalnya kutu loncat jeruk sangat aktif meloncat dan mengisap cairian tanaman. Kalau kutu loncat menyerang jeruk, akibat yang ditinggalkannya adalah tunas-tunas muda keriting dan pertumbuhan terhambat.

Kutu Loncat dalam Kamus Politik Indonesia

Gelar kutu loncat bagi para politisi yang berpindah partai seperti yang dipertanyakan teman saya di atas memaksa saya mencoba memutar otak mencari referensinya dalam politik.

Kutu Loncat sudah masuk kamus politik di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama. Setidaknya pada tahun 1986 istilah ini muncul dari tokoh partai PDI Suryadi. "Menanggapi pandangan bahwa orang yang berpindah partai disebut sebagai kutu loncat atau bajing loncat Ketua DPP PDI Suryadi (Partai demokrasi Indonesia Suryadi mengatakan bahwa berpindah partai politik itu hal yang wajar saja". (Karikatur Kompas 16 September 1986 dalam buku 40 Tahun Om Pasikom, 2007).

Dalam buku Sikap Politik Tiga Konstestan, Burhan Magenda (1992) yang mengutip pendapat Suryadi mengatakan, "…..kini, tidak pantas lagi orang mengatakan seseorang yang berpindah partai disebut tidak memiliki pendirian (kata halus dari kutu loncat, Red.)," ujar Soerjadi dan menambahkan: "Itu semua merupakan proses demokrasi….".

Karakter yang ditunjukkan kutu loncat memang bermakna negatif. Dalam bukunya State of Authority, van Klinken (2009) menyebut Kutu Loncat dengan opportunist, tidak memiliki pendirian.

Buku Indonesian Idioms and Expression, Christopher Torchia (2007) menjelaskan kutu loncat sebagai someone who bounces from one job to the next like a louse that dancing in the lock of hair (seseorang yang berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan berikutnya seperti kutu yang menari dalam seikat rambut).

Bulan Januari 2013 media rame-rame memberitakan perpindahan tokoh-tokoh dari satu partai dan loncat ke partai lain. Empat hari setelah rombongan Hary Tanoesudibyo loncat dari Partai NasDem, 24 Januari 2013, Enggartiasto Lukita, tokoh partai Golkar mundur dari partai itu dan loncat ke Partai NasDem. Enggar sudah menjadi kader partai itu sejak 1979 dan dan menikmati keanggotaan DPR-RI sejak 1997. Enggar mengungkapkan ke media bahwa beberapa kader Partai Golkar akan menyusulnya.

Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakim Saifuddin, mengingatkan: "Jika tidak ada penyebab prinsipiil terkait idealisme, berarti kepindahannya itu memang demi meraih keuntungan pragmatis. Jadi bukan hanya karena sakit hati, tidak suka dengan orang per orang, atau tidak punya peluang di posisi partai atau calon legislatif saja. Artinya hanya karena alasan ideologis saja, bukan meraih keuntungan praktis saja orang boleh berpindah partai". (Kompas, 25 Januari 2013).

Istilah kutu loncat memang berkonotasi negatif. Kutu loncat itu mengisap, kemudian meninggalkan mangsanya. Jeruk yang terserang kutu loncat: tunas-tunas muda keriting dan pertumbuhan terhambat. Kalau seorang tokoh partai sudah mengisap, memperoleh keuntungan dari partai sebelumnya, kemudian meninggalkan partainya kering dan pertumbuhannya terhambat, maka karakternya sama dengan karakter kutu loncat!. Prakteknya di lapangan, kita serahkan waktu yang akan menjawabnya.

Dimuat di Rubrik Rebana Harian Analisa,  Minggu, 17 Feb 2013.