My 500 Words

Jumat, 03 Januari 2014

Medan, Kota Minim Taman (Harian Medan Bisnis, Rubrik Wacana, 2 Januari 2014)

Oleh: Jannerson Girsang

Kemana istirahat atau rekreasi paling murah dan bersahaja di kota? Mengunjungi taman-taman kota. Semua orang bisa masuk ke sana tanpa membayar, namun bisa menikmati suasana segar, membawa anak bermain bebas - keluar dari suasana sumpek di rumah kecil di perumnas atau kumuh.

Singgahlah sejenak, meluangkan waktu beristirahat di Taman A Yani, dekat Rumah Sakit Elizabeth. Rasakan sejenak udara segar di sana, lepaskan pandangan mata Anda ke taman di bawah pepohonan besar, rumput-rumput hijau yang terpelihara di bawahnya.

Berjalanlah ke pinggir Jalan Sudirman dan tataplah air mancur besar di persimpangan Jalan Sudirman-Jalan Imam Bonjol. Hiruk pikuk kendaraan terhalang batang pohon besar dan dedaunannya yang rindang. Taman itu seolah mampu menyerap asap kendaraan yang lewat - sebagian dari 2.708.511 unit kendaraan yang masih akan bertambah dengan kenaikan rata-rata 23,832% per tahun.

Luasnya taman hijau di lokasi itu membuat perasaan lega, apalagi dalam suasana suhu udara meningkat belakangan ini. Taman seperti ini menjadi alternatif tempat rekreasi gratis bagi penduduk Kota Medan. Sayangnya, selain taman di sekitar Jalan Sudirman itu kita hampir tidak menemukan taman yang sama di lokasi lain di kota ini.

Normalnya, seiring meningkatnya jumlah penduduk, seharusnya taman rekreasi bertambah, karena berkurangnya lahan terbuka akibat kebutuhan bangunan.

Kalau di zaman Belanda, pemerintah kolonial bisa membangun taman seperti Taman A Yani, menjalani abad 21, di kota yang menjalani usia 423 tahun ini, pemko mestinya memiliki political will membangun fasilitas taman yang memadai.

Sayangnya, taman sebagai sarana hiburan dan tempat rekreasi segar bagi masyarakat luas justru hampir dilupakan.

Taman di Perumnas

Pengalaman tinggal di perumnas (penulis tinggal di Perumnas Simalingkar), penduduk memerlukan tempat rekreasi. Namun, kebutuhan itu selalu kalah jika berhadapan dengan desakan kepentingan ekonomi atau kepentingan lain.

Mari kita telusuri beberapa lokasi seperti Perumnas Simalingkar, serta perumnas-perumnas lain seperti Helvetia dan Mandala. Penulis sedikit menyinggung Lapangan Merdeka, karena bagi penduduk seperti penulis lapangan itu punya sejarah tersendiri.

Perumnas Simalingkar, yang dihuni sekitar 8.000 kepala keluarga, adalah contoh minimnya perhatian Pemko Medan memenuhi kebutuhan penduduk akan taman rekerasi. Kompleks ini, kini sama sekali tidak memiliki taman. Jangankan taman, lapangan terbuka pun hampir tidak ada lagi. Perubahan ini terjadi hanya dalam waktu 20 tahun.
Dulu di awal 90-an, sebelum pembangunan perumahan selesai, penduduk sempat menikmati tanah kosong seluas lapangan bola di tengah wilayah perumahan itu, persisnya di atas lahan ruko Simalingkar sekarang.

Saat itu penulis baru pindah ke wilayah tersebut. Sore sehabis pulang kerja, penulis bisa bergabung dengan anak-anak, remaja, pemuda dan orang tua bermain bola. Keakraban di antara penduduk kampung demikian baik. Dua kesebelasan bisa dibentuk seketika di lapangan. Warga menikmati hiburan murah untuk melepas lelah sekaligus bercengkerama antara satu dengan yang lain.

Sebelum permainan olahraga dimulai, anak-anak kecil menggunakan lokasi itu untuk belajar naik sepeda, main alip cendong dengan memanfaatkan got yang terdapat di sekeliling lapangan. Selain sebagai tempat rekreasi, lapangan itu bisa menjadi tempat olahraga, mengasah bakat anak-anak, serta pertemuan informal bagi penduduk yang bermukim di sekitarnya.

Masa itu, menjelang acara 17 Agustusan dilaksanakan pertandingan-pertandingan antarwarga. Penduduk beramai-ramai di sekeliling lapangan menonton mereka bertanding. Penontonnya penduduk yang datang dari berbagai penjuru kompleks perumnas yang dihuni sekitar 8.000 kepala keluarga itu.

Sayangnya, beberapa tahun kemudian lapangan itu diubah menjadi kompleks pertokoan. Lokasi hiburan murah bagi penduduk lenyap begitu bunyi buldozer meratakan tanah dan diikuti pembangunan ruko di atasnya.

Kini, di lokasi tempat bermain bagi penduduk kompleks perumahan itu rumah toko (ruko) berdiri megah, ditambah lagi kegiatan pajak sore hingga malam. Tidak ada pengganti tempat bermain anak-anak dan pertemuan informal penduduk perumnas.

Kompleks perumahan yang dihuni puluhan ribu penduduk itu hanya ditutup oleh jalan, bangunan rumah, toko atau rumah ibadah. Hampir tidak ada taman untuk bermain atau rekreasi bagi warganya. Penduduk tinggal di rumah atau hanya bercengkerama dengan tetangga sebelah. Sangat minim ruangan publik di mana ratusan orang bisa saling tegur sapa, berolahraga, atau sekadar bermain bagi anak-anak.

Penduduk tentu tidak berwenang mempersoalkan lapangan seluas lapangan sepak bola yang dulunya dipakai sebagai taman rekreasi, apakah menurut master plan kota memang dulunya direncanakan untuk ruko. Tapi, pernah ada lapangan bola.

Hal yang sama bisa ditemukan di Perumnas Helvetia dan Mandala. Miskin taman. Anehnya, hal ini tidak hanya dijumpai pada lokasi di perumahan-perumahan baru, bahkan di pusat kota. Bersamaan masa kami masih bisa menikmati lapangan terbuka, Lapangan Merdeka jadi sebuah alternatif tempat rekreasi. Tempat ini mengingatkan penulis nyamannya sebuah taman rekreasi seperti di Alun-alun Kota Bandung atau Taman Monas Jakarta.

Pada Minggu pagi, karena lalu lintas masih lancar, dari rumah penulis lapangan ini bisa ditempuh hanya dalam waktu belasan menit. Sebelum mengikuti kebaktian di gereja, penulis biasa membawa anak-anak bercengkerama dan lari pagi, bertemu dan bercengkerama dengan ratusan orang di sana.

Persis seperti pengalaman di Pematangsiantar, menggunakan taman bunga sebagai tempat rekreasi dan olahraga pagi. Tapi, keindahan Lapangan Merdeka pun sudah terusik. Pinggiran lapangan yang dulunya bebas dari bangunan, kini dipagari tempat jualan.

Nuansa taman rekreasi di Lapangan Merdeka menjadi hilang, tertutup dengan restoran dan tempat jualan.

Taman di kota atau pinggiran kota setali tiga uang. Sama dengan lokasi tempat tinggal penulis, beberapa tahun kemudian suasana taman di tengah kota itu pun berubah. Lapangan Merdeka kini sudah disulap jadi Merdeka Walk, sebuah lokasi yang dijejali restoran kecil dan tempat jualan.

Tidak hanya itu, taman margasatwa (kebun binatang) kebanggaan penduduk Medan - taman dengan aneka binatang yang menarik bagi anak-anak sebagai hiburan - turut tergusur ke pinggiran kota yang sulit dijangkau. Tak sedikit mereka yang tinggal di Medan tidak tau lagi lokasi kebun binatang, selain karena minimnya promosi, lokasinya juga sulit dijangkau. Beda ketika masih di Kampung Baru.

Kota Medan, telah kehilangan tempat istirahat di area terbuka bagi orang-orang yang ingin hidup bersahaja. Jangan salahkan kalau tempat-tempat hiburan tertutup (panti pijat dan kamar-kamar yang sewanya dihitung perjam) yang tersedia di segala penjuru kota makin marak dikunjungi penduduk kota.

Andaikata para penguasa penentu kebijakan pengembangan taman kota tidak segera mengubah kebijakannya, bukan tak mungkin dua puluh tahun ke depan Kota Medan memiliki penduduk yang lebih senang mencari hiburan di tempat tertutup. Munculnya hiburan-hiburan di tempat tertutup akan menjerumuskan penduduk kota ini mencari hiburan yang tidak sehat.

Bisa dibayangkan bagaimana nasib penduduk kota ini kelak. Saatnya Pemko Medan memperhatikan pembangunan taman-taman terbuka, sebagai pemersatu rakyat kota ini, hiburan yang sehat bagi penduduk yang bersahaja.

Senin, 30 Desember 2013

Laila Sari: "Saya Jadi Oma Yatim"

Oleh: Jannerson Girsang

Trenyuh, sekaligus salut kala menyaksikan Leila Sari,  artis tiga zaman berusia 78 tahun tampil di sebuah stasion televisi swasta siang ini, 30 Desember 2013. 

Trenyuh, karena memasuki sisa usia tuanya dia hidup sendiri, dan salut karena di usia senjanya masih mampu memberikan kebaikan bagi sesama, menyumbangkan sesuatu menghibur banyak orang, termasuk para manula.

Bulan Nopember 2013, Leila Sari berusia 78 tahun. “Saya jadi oma-oma yatim, bukan anak yatim. Dulu saya menjadi tulang punggung keluarga, tetapi kini saya sendiri. Saya tidak punya anak, tidak punya apa-apa. Tapi saya tetap harus kuat-harus kuat,”ujarnya berlindang air mata tetapi berusaha tegar dengan mengepalkan tinjunya. 

Sebuah pemandangan yang mengharukan di sebuah stasion televisi yang menayangkan aktivitasnya menghibur para manula di sebuah panti jompo di Jakarta, Senin 30 Desember 2013.
 “Dosa apa ya Tuhan yang membuat orang bisa durhaka. Tanpa orang tua kita, kita tidak bisa melihat dunia ini,” ujarnya dengan linangan air mata. Dia mengaku bahwa dirinya kini ditinggal sendiri setelah tidak berdaya, setelah usianya tua. 

Padahal, dulunya aktris tiga zaman itu dengan tulus membantu keluarganya. Itulah hidup. Ada uang abang sayang, tidak ada uang abang melayang.

Namun sikapnya tetap membanggakan,tetap mampu mensyukuri keberadaan dirinya. “Saya sangat bahagia kalau dapat bertemu dan menghibur para orang-orang tua yang berusia uzur,” katanya.

Pada kesempatan itu terlihat dirinya menyanyi dan bertegur sapa dengan para manula di lokasi itu.Seorang ibu berhidung mancung menyapanya. Lalu mereka terlihat pembicaraan singkat.

“Sudah berapa umur oma sekarang,”Tanya Leila Sari.

“Delapan puluh dua,”ujar wanita yang masih segar dalam usia setua itu.

“Sudah delapan puluhan, tetapi masih cantik,”ujar Leila Sari memuji.

Lantas para krew TV melanjutkan wawancara dengan Leila Sari. Air matanya senantiasa tak dapat dibendungnya bila dia mengucapkan sepatah dua patah kata.

“Udah ya. Jangan ditanyain lagi, nanti saya menangis,”ujar Lelia. Beritapun selesai dan beralih ke topik lain.

Di usianya ke 78 tahun, Leila memang lemah tidak semerbak harumnya ketika masih ngetop di masa lalu. Dia tidak lagi mampu menymbangkan materi kepada keluarganya, bahkan untuk menghidupi dirinya sendiripun kadang sudah tidak mampu.

Tetapi jangan salah. Leila Sari masih memiliki hal yang paling berharga. Dia masih mampu berbuat baik, menghibur sesamanya, membuat sesama yang lemah merasa kuat.

Bukankah Helen Keller, penulis, politikus ulung Amerika Serikat yang tidak bisa melihat dan mendengar sejak usia 19 bulan pernah mengatakan: ”Hal paling indah di dunia tak dapat dilihat dan bahkan tak bisa disentuh, hal tersebut hanya bisa dirasakan dengan hati". 

Leila Sari, wanita kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, 4 November 1935, adalah aktris dan penyanyi Indonesia.

Ia mengawali karier sebagai pemain sandiwara dan penyanyi. kariernya dilanjutkan dengan bermain dalam film layar lebar. Ia juga bermain dalam sejumlah sinetron, ketika film layar lebar mengalami kemunduran.

Selama tiga zaman atau enam dekade lebih, Laila Sari telah berkecimpung di panggung hiburan Tanah Air. Namun, wanita berusia 78 tahun itu kini kondisi hidupnya amatlah memprihatinkan. Laila sekarang hidup di rumahnya yang sederhana di Tangkiwood, Jakarta Barat. Daerah itu dulu memang dikenal sebagai penghasil artis berbakat di eranya, diantaranya Aminah Cendrakasih dan (alm) Bing Slamet.
 
Leila Sati memang sudah tua dan lemah, tetapi dia memiliki hal yang paling indah di dunia. Banyak orang bisa merasakan dengan hati, apa yang dilakukannya.

Rabu, 18 Desember 2013

Curriculum Vitae Jannerson Girsang


Born on January, 14 Januari 1961 at Nagasaribu Village, Simalungun District, North Sumatra, Indonesia. 

Four Children: oldest (working on National Television, 28 married with a grand son), second (lawyer at noticed company office in Jakarta, married), third, 22 (technicians at Steam Power Plant Project in North Sumatra), fourth (student of President University in Jakarta). 

Graduated from Bogor Agriculture University (1985)

From 1985-2001. Worked at various offices.   I only mention my experiences, related to writing  and training journalistic for reporters and Christian Youth. 

Writing Experiences

1990-1992. Reporter for Jakarta-based economic magazine PROSPEK. 

2005. Information Officer for Action by Churches Together (ACT International).  I write weekly field report for ACT International  Website. The reports were also posted at Web Relief, Reuter and www.ytbindonesia.org. 

I have written more than ten biographies of North Sumatra church leaders, the governor of North Sumatra, and others.  Followings are biographies and autobiographies  I have written since 2002. 

Bagaikan Rel Kereta Api (2011), Hanya Karena Kasih Kristus (Simply of Christ Love, 2009. Biography of Rev HM Girsang, a former Secretary of VEM, Wuppertal, German), Berdoa dan Menabur Kasih (Pray and Sharing Love, 2009), Haholongon, (Love of a Real Women, 2008), Perjuangan Tiada Akhir (Never Ending Struggle, 2007). Berkarya di Tengah Gelombang (Run in the Mids of Wave, 2007. Biography of Rudolf Pardede, the former North Sumatera Governor, Berbicaralah, Hambamu Mendengarkan (Speak to Me Your Slave, 2006),  Setia Sampai Akhir (Lifetime Commitment, 2006). Hanya Oleh Karena Anugerahnya (Simply Under His Grace, 2005, Biography of Prof Dr Sutan Hutagalung, a former Secretary General of Indonesian Protestant Christian Church), Ketegaran Seorang Ibu (Obduracy of a Woman, 2005), Anugerah Tuhan Yang Tak Terhingga (The Unlimited Grace, 2004, Biography of Rev Dr Armencius Munthe MTh, the former Bishop of GKPS, Simalungun Christian Church). Dari Penjara ke Legislatif (From Jail to Legislative, 2003), Bukan Harta Duniawi (Not Simply the World Wealth, 2002)

Since 2007, I have been free lance writer at main local daily in Medan such  Analisa, Medan Bisnis, Sinar Indonesia Baru, Jurnal Medan (closed 2012). I have published more than 200 articles in the last five years, including pluralism and religion issues.   

Trainer for Writing Experiences

I gave journalistic training for North Sumatra Christian Youth, reporters  of Sinar Indonesia Baru Batak oriented daily (2011),  reporters of a remote area mediaonline of Nias Island, North Sumatra province, Indonesia (www.nias-bangkit.com).

Training Experiences in Journalistic

I have attended  some cources in writing and jusnalistic training i.e: Prosepek Magazine Jurnalistic Training, Jakarta (1992), Journalistic Training at University of Indonesia, Jakarta (2004), Information Management Training (ACT International, 2004). I obtained most of writing knowledge from Books and autodidact.

Award

I was awarded as a biographer and book contributor to library by the Governor of North Sumatra (2007). 

Others

I also one of jury at annual North Sumatran story telling at North Sumatra Library Office.   
Now, I am the head a congregation (voorhanger)  of Simalingkar GKPS church in Medan, with  175 families (approximately 700  people) members in Medan, North Sumatra capital city. Previously, I was a Grand Synod member of my church, Simalungun Christian Protestant Church, GKPS—with a total members of more than 200 people in more than 20 provinces of 33 provinces in Indonesia).  

Concerned.

I am concerned of the lack of ability and will of church youth and others to write. Informally, I taught writing and jurnalistic to youths. I also encourage youth to write at local media through Facebook.  I would like to have more knowledge in motivating people to write.    

Contact: girsangjannerson@gmail.com

Senin, 16 Desember 2013

Pelajaran dari Musibah Bintaro (Dimuat di Harian Sinar Indonesia Baru, 16 Desember 2013)



Oleh: Jannerson Girsang

Displin masyarakat pelintas rel kereta api dan penanganan keamanan di perlintasan kereta api di Indonesia sungguh memprihatinkan. 

Yang membuat lebih memprihatinkan lagi, ternyata,  Jawa dan Sumatera, dua wilayah yang memiliki jalur kereta api, masih memiliki ratusan perlintasan tidak resmi. Karena tidak resmi, perlintasan itu tidak dijaga atau disediakan rambu-rambu. Sudah ada palangpun, masih dilabrak, apalagi tidak ada sama sekali.

Bangsa ini perlu belajar dari tragedi-tragedi yang sudah terjadi.. Tragedi yang sama terulang lagi. Nyawa berjatuhan, isak tangis dan air mata tumpah!. Kehilangan ratusan nyawa setiap tahun, kerugian miliaran rupiah, seharusnya mampu mengundang rasa peduli.

Ironisnya, kalau kecelakaan di perlintasan kereta api-jalan raya, yang terjadi adalah silang pendapat, tentang siapa yang bertanggungjawab? Pemda, PT KAI, Kepolisian, atau masyarakat pengguna jalan?. Sibuk mencari “Kambing Hitam.

Sialnya, palang pintu rel kereta tetap tidak terpasang, jalan di atas rel (fly over) atau jalan di bawah rel (under pass) hanya ada dalam khayalan! 

Isak Tangis Kesekian Kali

Rachmawati Soekarnoputri—Ketua Yayasan Universitas Bung Karno tak mampu menahan air matanya saat pemakaman Natalia Naibaho, mahasiswi universitas tersebut dan menjadi korban tabrakan kereta KRL dengan truk tangki di persimpangan rel Bintaro, Jakarta, 9 Desember 2013 lalu. .

Rasa sedih mendalam dialami ibu kandung Natalia, keluarga masinis kereta api dan dua rekannya, serta keluarga korban tewas dan keluarga yang anggota keluarganya yang mengalami luka-luka. Seluruh bangsa ini berduka atas kealpaan kita semua menyikapi keamanan di perlintasan kereta api.

Disamping kesedihan mendalam, gerbong kereta api rusak, dan bahkan gerbong bagian depan hangus terbakar, beserta kenderaan yang berada di sekitarnya. Artinya semua mengalami kerugian, termasuk pihak perusahaan kereta api sendiri—perusahaan milik negeri ini, milik rakyat.

Isak tangis kesekian kalinya akibat kecelakaan kereta api bukan hanya terjadi di Jakarta, Jawa Timur,  juga di Sumatera Utara, cuma gaungnya tidak sebesar Bintaro. Simaklah ungkapan jeritan rakyat  yang disampaikan seorang aktivis berikut ini. 

“Nyawa warga sering menjadi tumbal kereta api. Sering kali pada malam hari warga tertabrak kereta karena tidak ada penjaga perlintasan, tidak ada portal keamanan dan penerangan sekitar perlintasan rel juga tidak ada," kata Farid Abdillah, Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Demokrasi dan Kemanusiaan (LSM PuDaK), ketika memimpin rakyat dari beberapa desa di Kecamatan Duduksampean, Gresik yang dilewati rel kereta api, yaitu Desa Sumari, Setrohadi, Tambakrejo dan Tumapel, meminta palang perlintasan KA untuk menjaga keselamatan kepada PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Daops VIII Surabaya, Sabtu 9 September 2013. Disebutkan warga yang melintas dan menjadi korban kereta api setiap tahunnya rata-rata 10 orang lebih. (Harian Tribun News, 12 Desember 2013).

Jeritan seperti ini mengancam provinsi ini juga. Di wilayah layanan PT Kereta Api Indonesia (KAI) Divre I Sumut,  sampai saat ini masih ada 136 titik perlintasan kereta api resmi di Sumut rawan dengan kecelakaan. Hal itu dikarenakan 39 titik perlintasan tersebut belum memiliki penjaga.(Tribun News, Rabu 12/12).Sepanjang tahun 2013 jumlah kecelakaan yang terjadi di perlintasan kereta api sebanyak 34 kasus.
Catatan kecelakaan tabrakan kereta api dengan kenderaan bermotor, masih jelas dalam ingatan kita. Hari Minggu, 1 Desember 2013, beberapa hari sebelum tragedy Bintaro, sekitar pukul 08.30 WIB sebuah mobil Kijang biru yang bernomor polisi BK 1306 VG ditabrak kereta api di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dua orang tewas dan tiga orang lainnya mengalami luka-luka. http://kereta-api.info.
Nyawa itu mahal bro!. Jangan disia-siakan!.

Tidak Lagi Mencari “Kambing Hitam”

UU 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian telah mengatur semua hal yang berkaitan dengan perkeretaapian. UU ini seharusnya menjadi acuan dalam penyelenggaraan transportasi kereta api, khususnya penanggungjawab persimpangan kereta api dengan jalan raya. Semua pihak harus mematuhinya.

Dalam sebuah ulasan di kolom Tajuk Rencana harian Padang Ekspress (12 Desember 2013) dengan judul  “Anomali Perlintasan Kereta Api” cukup menarik disimak. Tajuk itu membahas tentang banyaknya  kesalahpahaman dalam perkeretaapian di Indonesia.

“Kereta api bukan milik PT Ke­reta Api Indonesia. PT KAI hanyalah operator ke­reta. Di luar itu, tanggung jawab pemerintah untuk me­nye­diakan stasiun, jalur perjalanan kereta, per­si­nyalan, pengamanan, hingga mengurusi per­lintasan ke­reta yang sebidang dengan jalan. Untuk tugas ter­akhir, UU Perkeretaapian telah mengatur hal tersebut me­rupakan kewajiban pemerintah daerah, termasuk di antaranya menertibkan pintu perlintasan liar”.

Namun sangat disayangkan, anomali kerap terjadi. Persinyalan yang se­harusnya menjadi tanggung jawab negara dalam prak­tiknya dibebankan kepada operator kereta api. Ne­gara kerap alpa memberi public service obligation (PSO) untuk memperbaiki persinyalan, apalagi me­ngu­rusi perlintasan sebidang. Di wilayah per­lin­ta­san ker­eta api ini, PT KAI dan pemda kerap silang pen­da­pat. Satu sama lain saling melempar tanggung ja­wab.

Belajar dari Pengalaman

Negeri ini sudah memiliki pengalaman lebih dari 100 tahun mengelola kereta api. Kita bangga dengan prestasi yang diraih, khususnya PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Perusahaan ini bukanlah perusahaan kacangan..   

Membaca berita yang dilansir website BUMN, : http://www.bumn.go.id, kita bisa optimis.  5 Desember lalu, beberapa hari sebelum peristiwa Bintaro yang sangat memilukan itu terjadi, perusahaan ini meraih Juara II BUMN Jasa Non Keuangan Berdaya Saing Terbaik, Anugerah BUMN 2013, sebelumnya Dirut PT KAI Raih Penghargaan The Best In Leading Change, CEO Pilihan SPS 2013 dan Direktur Logistik dan Railway Aset PT KAI, menerima penghargaan Korporasi Pilhan SPS 2013. Perusahaan ini pasti mampu bekerja sama dengan pemerintah memberi solusi!. Kejarlah penghargaan baru: Zero Accident 2014!

Rakyat saatnya juga belajar berdisiplin. Menurut data Mabes POLRI, lebih dari 65 % penyebab kecelakaan lalu lintas adalah karena kelalaian manusia. Masyarakat masih perlu terus menerus diberi penyuluhan kesadaran berlalulintas. Kita melihat bagaimana orang berkendara seenaknya menerobos, tidak mengindahkan palang, mengabaikan pengguna jalan lain, dan berbagai perilaku tidak aman.

Kepolisian yang bertanggungjawab soal keamanan lalu lintas, tentu juga harus berfikir agar para pengendara bisa mematuhi rambu-rambu dan memberi perhatian atau membantu penjagaan pada perlintasan-perlintasan kereta api. Selain itu, polisi jangan bosan-bosan terus meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya tentang kereta api yang jelas belum seintensif seperti penyuluhan lalulintas kenderaan bermotor lainnya.  

Pemda, khususnya Pemprovsu tentu tidak boleh lagi mengabaikan begitu saja jeritan rakyatnya soal kereta api. Sebagai provinsi satu-satunya di luar Jawa yang memiliki transportasi penumpang kereta api, Gubernur sudah saatnya membuat kebijakan yang operasional untuk membantu keamanan jalur kereta api.

Sudahkah Pemprovsu atau Pemda Deli Serdang belajar dari peristiwa kecelakaan 1 Desember 2013 di Deli Serang. Bagaimana dengan persimpangan-persimpangan jalur kereta api-Jalan raya yang belum memiliki palang? Kapan Sumatera Utara memiliki jalan di atas rel (fly over) atau  jalan di bawah rel (under pass)?.

Saatnya Gubernur atau Bupati yang wilayahnya dilintasi kereta api, peka dan paling tidak membawanya dalam rapat atau hanya sekedar memasukkannya dalam otak, sehingga lima atau sepuluh tahun mendatang bisa diwujudkan dan korban bisa ditekan!

Peristiwa Bintaro mengingatkan kita semua agar tidak lagi belajar mencari “kambing hitam”, tetapi belajar menemukan solusi sehingga korban-korban kecelakaan seperti Bintaro dan baru-baru ini di Deli Serdang tidak terulang lagi. Rakyat tidak sanggup lagi protes, tetapi hanya berharap!.

Penulis adalah pengamat sosial dan pengguna kereta api, Tinggal di Medan.