My 500 Words

Kamis, 14 Maret 2013

Kisah Elizabeth P McIntosh: Menyimpan Laporan Jurnalistik Selama 71 Tahun (Harian Analisa, 2 Januari 2013)



Oleh: Jannerson Girsang. 


Elizabeth P. McIntosh, who was a Honolulu Star-Bulletin reporter when Pearl Harbor was attacked in 1941, interviews a U.S. sailor.

Elizabeth P. McIntosh Mewawancarai seorang Angkatan Laut Amerika (Sumber: The New Yorks Times)

Meski laporan atau karya Anda ditolak, simpanlah dengan baik, mungkin suatu ketika akan menjadi dokumentasi yang sangat bernilai. Mungkin perasaan kesal muncul kalau laporan lapangan yang sudah dibuat sedemikian bagus, ternyata kemudian ditolak. Bahkan kadang kita jengkel dan membuangnya ke tong sampah, dan melupakannya. 

Tapi, tidak demikian dengan Elizabeth P McIntosh-seorang mantan wartawan berusia 97 tahun. Dia tetap bersabar dan menyimpan karyanya, walau harus menunggu 71 tahun lamanya. Kisah Elizabeth P McIntosh, wanita kelahiran Washington DC, 1915 itu membuktikannya. Mantan reporter The Honolulu Star ini memiliki pengalaman yang unik. Laporannya dari lokasi serangan Jepang ke Pearl Harbour yang ditolak terbit pada 1941, kemudian diterbitkan oleh salah satu harian terbesar dunia, The Washington Post awal Desember 2012 lalu.

Bayangkan, menunggu hingga 71 tahun. Hebat kan?. Anda dapat menemukan artikelnya dalam artikel berjudul "Reporter"s untold story of Pearl Harbor attack is finally published". Secara lengkap silakan kunjungi website The Washington Post (http://seattletimes.com/html /nationworld/2019849572_ pearlharbor07.html). Kisah ini cukup menarik dan mengingatkan para jurnalis dan mungkin siapa saja untuk menghargai sebuah laporan jurnalistik dan tidak boleh dibuang atau hilang begitu saja. Nafas jurnalis ada di laporan dan tulisan Anda, baik yang sudah dan belum dimuat di media.

Alkisah, Elizabeth P McIntosh pada 1941 berada di lokasi saat terjadinya serangan Jepang ke Pearl Harbour, Hawai, salah satu basis angkatan laut Amerika Serikat. Dia memiliki catatan jurnalistik dan setelah dikirimkan kepada redaksi, editornya menolak menerbitkannya. Karyanya disebut "Untold Story", kisah yang belum pernah dipublikasikan, dibaca atau didengar siapapun.

Hingga pada 6 Desember 2012, artikel Elizabeth McIntosh diterbitkan dan dilengkapi dengan foto dirinya saat mewawancarai seorang staf angkatan laut Amerika. Dalam artikel itu dia menceritakan suasana seminggu setelah perang, bahwa yang akan dihadapi wanita-wanita di Hawai dan apa yang bisa mereka lakukan.

"Pada 7 Desember 1941, ketika pesawat Jepang menyerang Pearl Harbour, saya bekerja sebagai reporter untuk Honolulu Star Bulletin. Setelah seminggu perang, saya menulis cerita yang ditujukan kepada wanita Hawaii, saya pikir itu akan berguna bagi mereka untuk mengetahui apa yang kulihat. Mungkin membantu mereka mempersiapkan apa yang terjadi di depan mata,"ujar wanita yang kisahnya dibukukan dengan judul: A Woman at War Marlene Dietrich Remembered dan diedit oleh J. David Riva itu.

Dia melaporkan bagaimana bom masih berjatuhan di atas kota sementara ambulans meraung-raung ke jantung kehancuran. Para supir yang berlumur darah kembali dengan cerita-cerita jalan-jalan yang rusak, rumah terbakar, pecahan peluru yang berputar dan menghanguskan tubuh anak-anak. Dia menuliskan seorang gadis kecil dengan sweter merah, tanpa alas kaki, masih menggenggam sepotong mainan lompat tali di tangannya.

Di bagian lain dia mengisahkan petugas pemadam kebakaran dari Hickam Air Force Base membawa korban-korban. Laki-laki diberi tanda T merah. Tubuh seorang pria dengan kemeja monogram, HAD, ditandai DOA (mati pada saat kedatangan, Dead on arrival), disisihkan untuk memberikan ruang bagi korban yang masih bernapas.

Dia melaporkan di ruang gawat darurat ada darah dan rasa takut akan kematian-dan kematian itu sendiri, sementara dokter dengan tenang terus mengobati korban perang yang baru saja terjadi…. "Saya tidak pernah tahu bahwa darah bisa sebegitu merah cerah" kisahnya.

Dia berbicara kepada para pengungsi, perawat, seorang wanita yang ingin mengirim kabar ke kekasihnya "di suatu tempat di Honolulu" bahwa dia masih hidup, …seorang gadis kecil bernama Theda yang memiliki boneka besar bernama Nancy dan yang mengatakan kepadanya dengan suara tenang "Ayah tewas di Hickam."

Di kantor, teriakan-teriakan panik dari beragam wanita- ibu rumah tangga, stenograf, ingin tahu apa yang bisa mereka lakukan di siang hari, ketika suami dan saudara sedang pergi dan tidak ada yang tersisa kecuali untuk mendengarkan radio dan membayangkan bahwa neraka pecah di seluruh bagian lain dari pulau itu.

"Saat itulah saya menyadari betapa pentingnya perempuan bisa berada di dunia yang dilanda perang. Ada pekerjaan bagi setiap wanita yang dapat dilakukan di Hawai" kata Elizabeth yang sudah menulis empat buku itu.

Hanya saja laporan dalam penilaian The Washington Post sebagai reportase deskriptif nomor satu, tidak demikian di mata editornya di The Honololu Stars Bulletin. Justru editornya tidak menerbitkannya, kecuali mengatakan "terlalu grafis".

"Tapi editor saya berpendapat konten terlalu grafis (jelas seperti keadaan yang sebenarnya) bisa mengganggu pembaca dan memutuskan untuk tidak menerbitkan artikel saya," katanya, seperti dikutip The Washington Post dalam pengantar.

Karya Jurnalistik merupakan catatan peradaban manusia yang memberi kontribusi atas pemaknaan sebuah peristiwa. Langkah The Washington Post menerbitkan artikel yang ditulis 71 tahun lalu itu memberi makna betapa berharganya sebuah laporan jurnalistik dari lapangan. Sebuah kisah yang belum pernah didengar dunia.

"One feels the excitement of hearing an untold story", demikian kata John Hope. Itulah kekuatan artikel Elizabeth McIntosh. Karya reporter Elizabeth P McIntosh yang ditulis dan disimpan selama 71 tahun ini masih memiliki nilai yang tidak kecil.

Dampaknya, jutaan penduduk dunia, kini kembali menikmatinya, seolah berada di lokasi itu 71 tahun yang lalu. Merasakan penderitaan akibat serangan itu.

Bagi Elizabeth sendiri tentu bermakna khusus. Di usia uzurnya dimana kebanyakan orang sudah dilupakan, Elizabeth P McIntosh yang kini berusia 97 tahun itu disebut-sebut dalam banyak media. Dirinya menjadi topik pembicaraan-dalam arti yang positif, mengenang peristiwa menyedihkan diri. Namanya disebut-sebut mengenang serangan Pearl Harbour hun serangan Jepang ke Pearl Harbour-peristiwa yang memicu Amerika terlibat dalam Perang Dunia Kedua, yang membuat jutaan penduduk dunia merana. Amerika sendiri kemudian melumpuhkan Jepang setelah menjatuhkan bom atom di Hirosima dan Nagasaki yang menelan korban ratusan ribu manusia dan membawa dampak kerusakan yang luar biasa.

Selain itu, laporan itu membuat media yang menolak memuatnya, seolah hidup kembali. Sebagai bahan pengetahuan, The Honolulu Star Buletin yang berbasis di Honolulu dan berdiri 1912 itu sudah tidak terbit lagi sejak 6 Juni 2010.

The Honolulu Star Bulletin merupakan media yang pertama memberitakan penyerangan Jepang Atas Pearl Harbour. Peristiwa yang dalam pelajaran Sejarah Dunia di SMP sebagai awal keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia Kedua.

Meski media itu sudah almarhum, namun kisah-kisah yang melekat pada para wartawannya memiliki kekuatan untuk membuatnya seolah hidup kembali. The Honolulu Star Bulletin kembali dibicarakan orang. Reporter bukan hanya buruh atau pegawai biasa. Nafas media ada di tangan reporter. Roh sebuah media bisa hidup kembali melalui kisah yang melekat dalam diri wartawannya.

Pengalaman Elizabeth McIntosh menasehatkan kepada setiap jurnalis agar tetap menyimpan laporan-laporannya, karena karya jurnalistik Anda memiliki roh yang bisa menginspirasi manusia sekeliling Anda dan dunia ini. Mungkin bukan sekarang, bisa sepuluh, dua puluh atau 71 tahun yang akan datang. Para pemilik media hargailah karya-karya wartawan-wartawan Anda, hargai wartawan Anda, karena mereka adalah roh media Anda.***

Penulis adalah Penulis Biografi, tinggal di Medan
Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa, Rabu, 02 Jan 2013

Tidak ada komentar: