My 500 Words

Kamis, 14 Maret 2013

Kutu Loncatkah Mereka?






 Jannerson Girsang.

Cocok kam rasa kalau politisi yang berpindah-pindah partai disebut kutu loncat? Itulah pertanyaan seorang teman dari suku Karo ketika secara berseloro menyematkan kata itu bagi tokoh yang berpindah partai. Idiom ini memang banyak disematkan untuk para tokoh politik yang pindah dari partai yang satu ke partai lainnya, karena sudah tak mungkin lagi duduk di DPR.

Saya kaget, sebelum menjawab pertanyaan teman di atas. Pasalnya, penggunaan kata kutu loncat itu sebenarnya berkonotasi negatif. Kutu loncat biasanya meninggalkan tanaman yang diserangnya: kering dan lambat tumbuh. Banyak pihak menyebut pindah partai itu hal yang wajar saja.

Loncat: Mengisap, Kemudian Membiarkan Tanaman Kering

Aa itu kutu loncat? Saya pernah belajar Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman (IHPT) di Institut Pertanian Bogor (IPB) era 80-an. IHPT mengajarkan bahwa kutu loncat adalah hama, perusak tanaman. Ilmu ini memasukkan kutu loncat sebagai serangga kecil yang merupakan anggota suku Psyllidae.

Setiap jenis kutu loncat menyerang tanaman tanaman yang khas dan menunjukkan jenis kutu loncatnya. Makanya ada kutu loncat lamtorogung (Heteropsylla spp) dan kutu loncat jeruk (Diaphorina citri)l. Anda pasti pernah mendengar serangan hama kutu loncat terhadap tanaman lamtorogung, jeruk dan tanaman lainnya.

Kutu loncat biasanya pindah ke lokasi atau tanaman lain kalau cairan yang dibutuhkannya dari tumbuhan di tempatnya habis, dia meloncat ke tumbuhan lainnya. Dia bergerak lincah dan aktif. Misalnya kutu loncat jeruk sangat aktif meloncat dan mengisap cairian tanaman. Kalau kutu loncat menyerang jeruk, akibat yang ditinggalkannya adalah tunas-tunas muda keriting dan pertumbuhan terhambat.

Kutu Loncat dalam Kamus Politik Indonesia

Gelar kutu loncat bagi para politisi yang berpindah partai seperti yang dipertanyakan teman saya di atas memaksa saya mencoba memutar otak mencari referensinya dalam politik.

Kutu Loncat sudah masuk kamus politik di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama. Setidaknya pada tahun 1986 istilah ini muncul dari tokoh partai PDI Suryadi. "Menanggapi pandangan bahwa orang yang berpindah partai disebut sebagai kutu loncat atau bajing loncat Ketua DPP PDI Suryadi (Partai demokrasi Indonesia Suryadi mengatakan bahwa berpindah partai politik itu hal yang wajar saja". (Karikatur Kompas 16 September 1986 dalam buku 40 Tahun Om Pasikom, 2007).

Dalam buku Sikap Politik Tiga Konstestan, Burhan Magenda (1992) yang mengutip pendapat Suryadi mengatakan, "…..kini, tidak pantas lagi orang mengatakan seseorang yang berpindah partai disebut tidak memiliki pendirian (kata halus dari kutu loncat, Red.)," ujar Soerjadi dan menambahkan: "Itu semua merupakan proses demokrasi….".

Karakter yang ditunjukkan kutu loncat memang bermakna negatif. Dalam bukunya State of Authority, van Klinken (2009) menyebut Kutu Loncat dengan opportunist, tidak memiliki pendirian.

Buku Indonesian Idioms and Expression, Christopher Torchia (2007) menjelaskan kutu loncat sebagai someone who bounces from one job to the next like a louse that dancing in the lock of hair (seseorang yang berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan berikutnya seperti kutu yang menari dalam seikat rambut).

Bulan Januari 2013 media rame-rame memberitakan perpindahan tokoh-tokoh dari satu partai dan loncat ke partai lain. Empat hari setelah rombongan Hary Tanoesudibyo loncat dari Partai NasDem, 24 Januari 2013, Enggartiasto Lukita, tokoh partai Golkar mundur dari partai itu dan loncat ke Partai NasDem. Enggar sudah menjadi kader partai itu sejak 1979 dan dan menikmati keanggotaan DPR-RI sejak 1997. Enggar mengungkapkan ke media bahwa beberapa kader Partai Golkar akan menyusulnya.

Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakim Saifuddin, mengingatkan: "Jika tidak ada penyebab prinsipiil terkait idealisme, berarti kepindahannya itu memang demi meraih keuntungan pragmatis. Jadi bukan hanya karena sakit hati, tidak suka dengan orang per orang, atau tidak punya peluang di posisi partai atau calon legislatif saja. Artinya hanya karena alasan ideologis saja, bukan meraih keuntungan praktis saja orang boleh berpindah partai". (Kompas, 25 Januari 2013).

Istilah kutu loncat memang berkonotasi negatif. Kutu loncat itu mengisap, kemudian meninggalkan mangsanya. Jeruk yang terserang kutu loncat: tunas-tunas muda keriting dan pertumbuhan terhambat. Kalau seorang tokoh partai sudah mengisap, memperoleh keuntungan dari partai sebelumnya, kemudian meninggalkan partainya kering dan pertumbuhannya terhambat, maka karakternya sama dengan karakter kutu loncat!. Prakteknya di lapangan, kita serahkan waktu yang akan menjawabnya.

Dimuat di Rubrik Rebana Harian Analisa,  Minggu, 17 Feb 2013.

Tidak ada komentar: