Oleh:
Jannerson Girsang
Banjir yang merendam ibukota negara
Indonesia yakni Jakarta menjadi pelajaran berharga bagi warga Kota Medan
perihal bahaya membuang sampah atau limbah ke sungai. Salah satu penyebab
banjir di Jakarta adalah perilaku buruk warganya yang tidak mengindahkan
larangan membuang sampah ke sungai, serta kurangnya perawatan dan manajemen
limbah. Akibatnya, sedimen dan limbah padat terkumpul di saluran-saluran air
dan merupakan sebagian penyebab banjir di Jakarta.
Jokowi telah melarang penduduknya
membuang sampah ke sungai, Medan juga wajib melakukannya. Kota berpenduduk 2
juta jiwa lebih ini saatnya mengambil hikmah momen bencana banjir di Jakarta
untuk secara sadar mengampanyekan jangan membuang sampah dan limbah ke sungai
atau parit. Dalam jangka panjang, seperti pengalaman di Jakarta, membuang
sampah dan limbah ke sungai akan menimbulkan bencana.
Sebelum banjir terjadi di Jakarta, di hari ke-76-nya sebagai Gubernur DKI, Jakowi memerintahkan agar warganya jangan membuang sampah ke sungai. "Jokowi: Jangan Buang Sampah ke Sungai Biar Sedimennya Nggak Banyak", seperti diberitakan sebuah media ibu kota. Sedimen maksudnya endapan sampah atau limbah padat yang masuk ke sungai.
Imbauan itu muncul ketika Gubernur Jokowi meninjau Kali Ciliwung di depan pusat belanja Pasar Baru, Jakarta Pusat. Menurut Jokowi, masalah sungai di Jakarta ini terlalu banyak endapan sampah. "Di semua sungai sama. Nggak di Ciliwung, Angke, sedimennya. Hanya coba dilihat, dikeruk, bisa 2 meter ke bawah. Rencana tahun depan hampir semua kali begitu. Budaya buang sampah harus dikampanyekan. Di 13 sungai begitu juga," ujar Jokowi, 30 Desember 2012 (www.detik.com).
Perintah itu meluncur kurang dari tiga minggu sebelum banjir besar itu. Pesannya mengingatkan seluruh penduduk kota bahwa perilaku buruk membuang sampah ke sungai harus dihentikan. Imbauan yang sama tentu berlaku juga bagi penduduk Kota Medan yang masih memiliki perilaku buruk menambah sedimen di sungai dan parit.
Perilaku ini masih menjadi pemandangan sehari-hari yang kasat mata. Dalam beberapa jam saja, Anda bisa mengamati beragam perilaku buruk di seantero kota.
Sebuah sepeda motor berhenti dan kedua penumpangnya turun di dekat sebuah jembatan di atas sebuah sungai kecil di bilangan Simalingkar. Sebuah karung plastik berisi sampah dilemparkan ke sungai kecil tidak jauh dari rumah saya. Kemudian keduanya naik sepeda motor dan meluncur.
Sungai akan makin penuh dengan sampah. Padahal, hanya beberapa meter dari jembatan itu, Pemko Medan sudah menyediakan tempat pembuangan sampah yang setiap hari diangkut truk.
Di sebuah proyek pembangunan perumahan buldozer tanpa ampun meratakan tanah bekas pepohonan. Selain menghilangkan penutup tanah yang dapat menahan erosi, buldozer itu juga menyebabkan perataan tanah rentan kepada erosi yang membawa sedimen tanah ke sungai.
Sungai menjadi keruh dan penuh dengan sedimen tanah. Lambat laun sungai makin dangkal.
Padahal, setiap proyek perumahan dilengkapi dengan AMDAL, termasuk erosi yang ditimbulkannya, serta pencemaran bahan beracun lainnya.
Di tepian Sungai Deli, saya masih bisa menyaksikan para warga yang langsung membuang sampahnya ke sungai. Seorang pencuci piring mengumpulkan sisa nasi di dalam sebuah ember. Dengan ringan langkah, dia membuangnya ke sungai dan terlihat merasa puas. Padahal, Pemko sudah menyediakan pengutipan sampah melalui perahu.
Penduduk tidak sadar bahwa sungai-sungai itu adalah tempat keluarnya air ke laut dan kalau keseimbangannya terganggu akan menjadi ancaman bagi seluruh warga. Medan dan sekitarnya dilintasi beberapa sungai, yaitu Sungai Belawan dengan anak sungainya, Sungai Badera, Sungai Deli dengan anak sungainya Sungai Babura, Sikambing dan Sungai Putih; Sungai Kera, Sungai Percut, Sungai Tuan; Sungai Pantai Labu, Sungai Serdang dengan anak sungainya Sungai Belumai, Sungai Batugingging dan Sungai Kuala Namu. Sungai-sungai tersebut bersama sejumlah saluran drainase membentuk sistem drainase makro di Medan.
Bank Dunia mengatakan banjir di Jakarta, sebagian disebabkan oleh kurangnya perawatan dan manajemen limbah mengakibatkan terkumpulnya sedimen dan limbah padat di saluran-saluran air tersebut. Selain itu, urbanisasi yang tinggi juga menjadi salah satu penyebab utama banjir di Jakarta. Pembangunan gedung dan pemukiman illegal di daerah-daerah resapan air menghambat aliran air hujan dan mengurangi kemampuan lingkungan untuk menyerap air hujan, baik di dalam kota maupun di daerah-daerah hulu resapan.
Dahsyatnya Air Mengamuk
Alpanya warga dan pemerintah kota menjaga kapasitas aliran air sungai membuat sungai bisa mengamuk. Bukan hanya harimau atau gajah yang mengamuk, sungaipun bisa. Pernahkah Anda berpikir, sungai juga bisa marah dan kapan dia marah?
Air sungai yang tenang itu menjadi sahabat di kala keseimbangan terpelihara. Kapasitasnya mengalirkan air sama atau lebih kecil dari volume air yang masuk. Keseimbangan itu bisa terganggu, kalau sampah dan limbah tertimbun di sungai, dialiri air dari hulu, curah hujan besar di sekitar sungai. Sungai akan marah dan menolak air mengalir melalui sungai dan membiarkannya meluber ke sekelilingnya secara membabi buta, tanpa peduli itu Istana Negara, perumahan mewah atau kumuh. Semua dilabrak.
Di kota-kota bila air mengamuk, maka dia akan menggenangi kota, menutup jalan raya. Ketika banjir di Simalingkar, Medan dua tahun lalu, jembatan dekat rumah kami tergenang air.
Kendaraan bermotor tidak bisa lewat. Untuk membeli makanan saja tidak bisa. Bahkan air bisa memaksa Bandara Cengkareng menunda 1.000 penerbangan.
Basemen sebuah perusahaan terlihat menjadi sebuah bendungan yang terisi air dan menimbulkan arus besar yang bisa menyedot bahkan membunuh manusia. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana air mengamuk di basemen UOB saat peristiwa banjir di Jakarta. Ruangan yang sehari-hari menjadi tempat parkir yang nyaman tiba-tiba menjadi arena amuk air yang marah. Bahkan peristiwa itu mengakibatkan dua orang tewas.
Sungai yang marah bisa membuat perumahan mewah seperti neraka. Penduduknya hanya bisa keluar menumpang perahu karet, seperti yang terjadi di Pluit Jakarta baru-baru ini. Penghuninya dipaksa meninggalkan rumahnya. Salah satu kawasan yang masih tergenang banjir hingga Minggu, 20 Januari 2013 adalah Pluit, Jakarta Utara. Tak hanya rumah, air juga merendam mobil-mobil mewah di kawasan perumahan elit ini. Anak-anak tidak bisa sekolah, keluarga panik. Layaknya situasi perang melawan air, bahkan harus tinggal di pengungsian.
Air yang marah bisa memaksa para pekerja tidak pergi ke kantor, perusahaan-perusahan akan merugi dan kegiatan ekonomi lumpuh. Mal-mal yang beromset miliaran rupiah per hari, terpaksa ditutup karena tergenang air. Belum lagi masalah-masalah ikutan yang muncul kemudian hari.
Penutup
Penduduk Medan harus menyadari kerugian akibat banjir sangat fantastis. Bank Dunia melaporkan bahwa banjir besar di Jakarta pada tahun 2007 berdampak kepada lebih dari 2,6 juta orang, dan membuat 340.000 orang harus mengungsi dari tempat tinggalnya. Pada tahun itu 70 orang meninggal dan lebih dari 200.000 orang terkena penyakit akibat banjir. Kerugian ekonomi dan finansial yang diderita diperkirakan mencapai US$ 900 juta.
Melihat cakupannya yang lebih luas, kerugian akibat banjir di Jakarta tahun ini akan lebih besar dari angka-angka ini!. Sebuah televisi swasta 21 Januari 2013 melaporkan bahwa diperkirakan kerugian akan menjapai Rp 15 triliun. Angka yang sangat fantastis.
Kita tidak ingin Medan tenggelam oleh suksesnya membangun kota. Sebuah media asing The Atlantic Cities (17 Januari 2013) menyindir Jakarta dalam sebuah artikelnya berjudul Flooding in Jakarta: A City Swamped by Its Own Success, Banjir di Jakarta: Sebuah Kota yang Tenggelam oleh Suksesnya Sendiri". Medan tidak harus tenggelam karena pembangunan yang tidak pro-ekologi, tidak memperdulikan kapasitas aliran sungai, merawat sungai dan lingkungannya.
Sebuah tantangan berat bagi Pemko Medan agar selain melakukan sosialisasi membuang sampah pada tempatnya, Pemko bersama masyarakat tidak boleh berhenti menambah fasilitas bak truk sampah di dekat kali. Program pengutipan sampah melalui perahu, dan lain-lain terus dilanjutkan. Hari gini masih buang sampah ke sungai, apa kata dunia?.
Sebelum banjir terjadi di Jakarta, di hari ke-76-nya sebagai Gubernur DKI, Jakowi memerintahkan agar warganya jangan membuang sampah ke sungai. "Jokowi: Jangan Buang Sampah ke Sungai Biar Sedimennya Nggak Banyak", seperti diberitakan sebuah media ibu kota. Sedimen maksudnya endapan sampah atau limbah padat yang masuk ke sungai.
Imbauan itu muncul ketika Gubernur Jokowi meninjau Kali Ciliwung di depan pusat belanja Pasar Baru, Jakarta Pusat. Menurut Jokowi, masalah sungai di Jakarta ini terlalu banyak endapan sampah. "Di semua sungai sama. Nggak di Ciliwung, Angke, sedimennya. Hanya coba dilihat, dikeruk, bisa 2 meter ke bawah. Rencana tahun depan hampir semua kali begitu. Budaya buang sampah harus dikampanyekan. Di 13 sungai begitu juga," ujar Jokowi, 30 Desember 2012 (www.detik.com).
Perintah itu meluncur kurang dari tiga minggu sebelum banjir besar itu. Pesannya mengingatkan seluruh penduduk kota bahwa perilaku buruk membuang sampah ke sungai harus dihentikan. Imbauan yang sama tentu berlaku juga bagi penduduk Kota Medan yang masih memiliki perilaku buruk menambah sedimen di sungai dan parit.
Perilaku ini masih menjadi pemandangan sehari-hari yang kasat mata. Dalam beberapa jam saja, Anda bisa mengamati beragam perilaku buruk di seantero kota.
Sebuah sepeda motor berhenti dan kedua penumpangnya turun di dekat sebuah jembatan di atas sebuah sungai kecil di bilangan Simalingkar. Sebuah karung plastik berisi sampah dilemparkan ke sungai kecil tidak jauh dari rumah saya. Kemudian keduanya naik sepeda motor dan meluncur.
Sungai akan makin penuh dengan sampah. Padahal, hanya beberapa meter dari jembatan itu, Pemko Medan sudah menyediakan tempat pembuangan sampah yang setiap hari diangkut truk.
Di sebuah proyek pembangunan perumahan buldozer tanpa ampun meratakan tanah bekas pepohonan. Selain menghilangkan penutup tanah yang dapat menahan erosi, buldozer itu juga menyebabkan perataan tanah rentan kepada erosi yang membawa sedimen tanah ke sungai.
Sungai menjadi keruh dan penuh dengan sedimen tanah. Lambat laun sungai makin dangkal.
Padahal, setiap proyek perumahan dilengkapi dengan AMDAL, termasuk erosi yang ditimbulkannya, serta pencemaran bahan beracun lainnya.
Di tepian Sungai Deli, saya masih bisa menyaksikan para warga yang langsung membuang sampahnya ke sungai. Seorang pencuci piring mengumpulkan sisa nasi di dalam sebuah ember. Dengan ringan langkah, dia membuangnya ke sungai dan terlihat merasa puas. Padahal, Pemko sudah menyediakan pengutipan sampah melalui perahu.
Penduduk tidak sadar bahwa sungai-sungai itu adalah tempat keluarnya air ke laut dan kalau keseimbangannya terganggu akan menjadi ancaman bagi seluruh warga. Medan dan sekitarnya dilintasi beberapa sungai, yaitu Sungai Belawan dengan anak sungainya, Sungai Badera, Sungai Deli dengan anak sungainya Sungai Babura, Sikambing dan Sungai Putih; Sungai Kera, Sungai Percut, Sungai Tuan; Sungai Pantai Labu, Sungai Serdang dengan anak sungainya Sungai Belumai, Sungai Batugingging dan Sungai Kuala Namu. Sungai-sungai tersebut bersama sejumlah saluran drainase membentuk sistem drainase makro di Medan.
Bank Dunia mengatakan banjir di Jakarta, sebagian disebabkan oleh kurangnya perawatan dan manajemen limbah mengakibatkan terkumpulnya sedimen dan limbah padat di saluran-saluran air tersebut. Selain itu, urbanisasi yang tinggi juga menjadi salah satu penyebab utama banjir di Jakarta. Pembangunan gedung dan pemukiman illegal di daerah-daerah resapan air menghambat aliran air hujan dan mengurangi kemampuan lingkungan untuk menyerap air hujan, baik di dalam kota maupun di daerah-daerah hulu resapan.
Dahsyatnya Air Mengamuk
Alpanya warga dan pemerintah kota menjaga kapasitas aliran air sungai membuat sungai bisa mengamuk. Bukan hanya harimau atau gajah yang mengamuk, sungaipun bisa. Pernahkah Anda berpikir, sungai juga bisa marah dan kapan dia marah?
Air sungai yang tenang itu menjadi sahabat di kala keseimbangan terpelihara. Kapasitasnya mengalirkan air sama atau lebih kecil dari volume air yang masuk. Keseimbangan itu bisa terganggu, kalau sampah dan limbah tertimbun di sungai, dialiri air dari hulu, curah hujan besar di sekitar sungai. Sungai akan marah dan menolak air mengalir melalui sungai dan membiarkannya meluber ke sekelilingnya secara membabi buta, tanpa peduli itu Istana Negara, perumahan mewah atau kumuh. Semua dilabrak.
Di kota-kota bila air mengamuk, maka dia akan menggenangi kota, menutup jalan raya. Ketika banjir di Simalingkar, Medan dua tahun lalu, jembatan dekat rumah kami tergenang air.
Kendaraan bermotor tidak bisa lewat. Untuk membeli makanan saja tidak bisa. Bahkan air bisa memaksa Bandara Cengkareng menunda 1.000 penerbangan.
Basemen sebuah perusahaan terlihat menjadi sebuah bendungan yang terisi air dan menimbulkan arus besar yang bisa menyedot bahkan membunuh manusia. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana air mengamuk di basemen UOB saat peristiwa banjir di Jakarta. Ruangan yang sehari-hari menjadi tempat parkir yang nyaman tiba-tiba menjadi arena amuk air yang marah. Bahkan peristiwa itu mengakibatkan dua orang tewas.
Sungai yang marah bisa membuat perumahan mewah seperti neraka. Penduduknya hanya bisa keluar menumpang perahu karet, seperti yang terjadi di Pluit Jakarta baru-baru ini. Penghuninya dipaksa meninggalkan rumahnya. Salah satu kawasan yang masih tergenang banjir hingga Minggu, 20 Januari 2013 adalah Pluit, Jakarta Utara. Tak hanya rumah, air juga merendam mobil-mobil mewah di kawasan perumahan elit ini. Anak-anak tidak bisa sekolah, keluarga panik. Layaknya situasi perang melawan air, bahkan harus tinggal di pengungsian.
Air yang marah bisa memaksa para pekerja tidak pergi ke kantor, perusahaan-perusahan akan merugi dan kegiatan ekonomi lumpuh. Mal-mal yang beromset miliaran rupiah per hari, terpaksa ditutup karena tergenang air. Belum lagi masalah-masalah ikutan yang muncul kemudian hari.
Penutup
Penduduk Medan harus menyadari kerugian akibat banjir sangat fantastis. Bank Dunia melaporkan bahwa banjir besar di Jakarta pada tahun 2007 berdampak kepada lebih dari 2,6 juta orang, dan membuat 340.000 orang harus mengungsi dari tempat tinggalnya. Pada tahun itu 70 orang meninggal dan lebih dari 200.000 orang terkena penyakit akibat banjir. Kerugian ekonomi dan finansial yang diderita diperkirakan mencapai US$ 900 juta.
Melihat cakupannya yang lebih luas, kerugian akibat banjir di Jakarta tahun ini akan lebih besar dari angka-angka ini!. Sebuah televisi swasta 21 Januari 2013 melaporkan bahwa diperkirakan kerugian akan menjapai Rp 15 triliun. Angka yang sangat fantastis.
Kita tidak ingin Medan tenggelam oleh suksesnya membangun kota. Sebuah media asing The Atlantic Cities (17 Januari 2013) menyindir Jakarta dalam sebuah artikelnya berjudul Flooding in Jakarta: A City Swamped by Its Own Success, Banjir di Jakarta: Sebuah Kota yang Tenggelam oleh Suksesnya Sendiri". Medan tidak harus tenggelam karena pembangunan yang tidak pro-ekologi, tidak memperdulikan kapasitas aliran sungai, merawat sungai dan lingkungannya.
Sebuah tantangan berat bagi Pemko Medan agar selain melakukan sosialisasi membuang sampah pada tempatnya, Pemko bersama masyarakat tidak boleh berhenti menambah fasilitas bak truk sampah di dekat kali. Program pengutipan sampah melalui perahu, dan lain-lain terus dilanjutkan. Hari gini masih buang sampah ke sungai, apa kata dunia?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar