Oleh: Jannerson Girsang.
Sukses seorang wartawan bisa
diukur dari berbagai sudut pandang. Harmoko misalnya, dari kariernya menjadi
wartawan bisa menjadi menteri Penerangan di masa Orde Baru, Dahlan Iskan,
selain sukses menjadi pengusaha media, juga berhasil menduduki jabatan
Menteri di Kabinet Bersatu Jilid 2 Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono, Karny Illias sukses menjadi wartawan media cetak, di era media
televisi berjaya, juga sukses menjadi seorang pembawa talkshow Jakarta
Lawyers Club (JLC) di salah satu media televisi swasta.
Ali Soekardi, tidak memiliki
sukses setenar mereka. Dia terpanggil menjadi wartawan sejati. Menulis
cerpen, artikel-artikel dengan berbagai sudut pandang dan menjadi Wakil
Pemimpin Redaksi Analisa hingga mencapai usia delapan puluh tahun. Berbagai
nama disebut-sebut menjuluki pria yang 4 Januari 2013 lalu genap berusia 80
tahun. "Rosihan Anawar dari Sumatera Utara" yang muncul di
peluncuran bukunya, atau "Wartawan Tiga Zaman" yang dijuluki harian
Orbit beberapa hari lalu. Entahlah, biarlah masyarakat yang menilainya!.
Kekayaannya adalah pengalaman dan daya ingatnya yang kuat. Dia menjadi saksi
sejarah perjalanan pers di daerah ini. Di saat kebanyakan orang beristirahat
menikmati masa tuanya, dia memilih aktif sebagai wartawan, penulis dan
memegang jabatan penting di jajaran redaksi.
Pilihannya untuk tetap bekerja kepada media tempatnya bekerja, niatnya untuk
mempersiapkan generasi penggantinya, adalah teladan loyalitas korps yang
tidak banyak dimiliki wartawan di era reformasi ini. Dia bukan kutu loncat,
peri laku para wartawan dengan banyaknya media. Ali sudah bekerja di harian
itu, sejak 1973 atau empat puluh tahun yang lalu, satu tahun setelah harian
itu berdiri dan tidak pernah berpindah ke media lain. Lebih dari 30 tahun,
dia memegang jabatan Wakil Pemimpin Redaksi.
Dari seorang pria berusia 80 tahun itu, saya dan para pembaca Harian Analisa
masih menikmati tulisan-tulisannya dan bisa menemuinya dari pukul 09.00-12.00
di ruang kerjanya sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Analisa di Jalan A Yani
Medan. Dia kaya akan ide dan karyanya membuat para pembaca kaya ilmu. Tentu
berbeda dengan koruptor yang hanya mampu membagi-bagi uang menjadikan orang
kaya dari hasil curian.
Acara Sederhana dan Hikmat
Hadir di tengah-tengah kesederhanaan peluncuran buku biografi seorang
wartawan senior menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya sebagai mantan
wartawan.
18 Januari 2013, beberapa hari setelah Ulang Tahunnya ke-80, sebuah
perhelatan digelar di ruang pertemuan Badan Perpustakaan Daerah Pemerintah
Daerah Provinsi Sumatera Utara (Baperasda Sumut). Dari pintu masuk ruangan
tampak di dinding sebelah kanan (Baperasdasu) sebuah spanduk dengan tulisan:
"Peluncuran Buku 80 Tahun Ali Soekardi: Semangat yang tak Kunjung
Padam".
Ruangan yang dipenuhi sekitar 50-an undangan terdiri dari penulis, wartawan,
serta para tokoh-tokoh di Provinsi ini, serta istri, anak-anak dan
cucu-cucunya keluarga besarnya menanti acara peluncuran dan berharap akan
menguak misteri kehidupan Ali Soekardi dalam buku.
Di antara para undangan yang hadir diantaranya Muhammad TWH, Mohammad Yazid
(mantan Ketua PWI Sumut), War Djamil (wartawan senior Harian Analisa), Parlindungan
Purba, SH (Anggota DPD utusan Sumut), Saiful Syafri (mantan Kepala Dinas
Pendidikan Pemprovsu), Chandra Silalahi (Sekretaris Baperasda Sumut, Sofyan
Tan (Ketua Ikatan Pustakawan Indonesia, IPI), JA Ferdinandus seorang pegiat
pluralis, serta para penulis di Sumatera Utara.
Di spanduk yang terpampang di dinding, terlihat wajah masa mudanya di sampul
depan buku. Wajah yang memancarkan pria yang lembut dan melankolis. Tetapi,
di balik penampilan luarnya, Ali Soekardi adalah seorang "kamus
berjalan" yang menjadi saksi sejarah khususnya sejarah pers di Medan dan
Sumatera Utara pada umumnya.
Di tengah-tengah acara, para cucunya menghadiahkannya sebuah karikatur
tentang dirinya. Ali Soekardi tampak bahagia dan menciumi satu-satu anggota
keluarganya. Istrinya Soemiati menyaksikannya dengan rasa bangga dan haru.
Sebelumnya, menyambut Ulang Tahunnya ke-80, Harian Analisa juga menggelar
acara di kantor Harian terbesar di Medan itu. Kamis (17/1) di ruang lantai 4
kantor Analisa suasana tidak seperti biasa. Ya, ada acara khusus. Syukuran
sekaligus peluncuran buku "80 Tahun Ali Soekardi, Semangat yang Tak
Pernah Padam".Acara itu dihadiri langsung unsur pimpinan
"Analisa" yakni Pemimpin Umum Supandi Kusuma, Pemred H. Soffyan,
Managing Editor Paulus M. Tjukrono, Pemimpin Perusahaan Sujito Sukirman dan
Sekretaris Redaksi War Djamil serta para redaktur/asisten, wartawan dan
karyawan. (Harian Analisa, 18 Januari 2013).
Membaca Menumbuhkan Minat Menulis
Selama tiga jam, berlangsung diskusi proses penulisan buku serta tanggapan
para undangan terhadap buku itu. Kisah penulisan buku ini sendiri cukup
menarik. Berawal dari selembar catatan seorang cucunya, Rizal Surya, Redaktur
Harian Analisa, kemudian merangkai perjalanan hidupnya menjadi sebuah buku
biografi setebal 157.
Buku biografi Ali Soekardi membawa kita ke kehidupan masa kecilnya yang cukup
berliku. Pria kelahiran Tebing Tinggi 4 Januari 1933 adalah anak pasangan B
Soekardi dan Warisah. Dia lahir ditengah keluarga yang memprioritaskan
pendidikan bagi anak-anaknya. Bahkan demi pendidikan anak-anaknya, ayahnya
harus meninggalkan pekerjaannya sebagai "kerani" di perkebunan
karet di pedalaman dan menjadi pedagang kecil di Tebing Tinggi. Alasannya,
meski pendapatan di sana lebih besar, tetapi di tempatnya bekerja tidak
tersedia sekolah.
Ali Soekardi menyelesaikan Sekolah Rakyat (Holland Inlandsche School, HIS) di
Tebing Tingggi. Ayah yang kini dikaruniai tujuh orang anak dan 12 cucu ini,
menempuh pendidikan SMP di Pematangsiantar. Selama belajar di
Pematangsiantar, membaca menjadi bagian hidupnya semasa sekolah di sana.
Warung yang menyediakan buku-buku bacaan untuk disewa menjadi tak terpisahkan
dari kehidupannya. Perkembangannya kemudian, dia tidak hanya membaca
buku-buku saja, tetapi sudah mulai membaca surat kabar.
Minatnya menulis telah tumbuh di era 40-an. "Ali ingin sekali menjadi
pengarang seperti pengarang buku yang dibacanya. Ia menganggap para pengarang
adalah orang pintar karena mampu menulis dengan baik,"demikian buku
Biografinya.
Di usia remajanya, Ali Soekardi mulai menulis lelucon, teka-teki dan sajak
dan dimuat di Dukasusi (Dunia kanak-kanak Sumathora Shimbun, sebuah harian
yang terbit di masa penjajahan Jepang. Meski tinggal di Tebing Tinggi, tetapi
Ali sudah mengirimkan tulisan-tulisannya ke Majalah Indonesia di Jakarta,
kemudian Majalah Waktoe di Medan.
Dia cukup bangga ketika cerpen pertamanya dimuat di Majalah Waktoe—majalah
berita bergambar yang terbit di Jakarta pada 1948, atau di usianya 17 tahun.
Sayangnya, Ali kurang berhasil dalam pendidikannya. Karena tidak menguasai
Aljabar dan Matematika, dia tidak bisa naik kelas di IMS (Indishce Middle
Barre School), setingkat SMP di Pematangdiantar. Tidak lulus, bukan berarti
sekolah dan kariernya berhenti.
Atas ajakan seorang gurunya yang mendirikan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama
(SMEP) di Medan, Ali Hijrah ke Medan dan menjadi titik balik penting dalam
kehidupannya kemudian. Dia menyelesaikan SMEP dan SMEA di Medan.
Kemudian hijrah ke Bandung melanjutkan sekolahnya. Awalnya diterima sebagai
pegawai di Bank Tabungan Pos, tetapi pekerjaan itu ditinggalkannya karena
kemudian diterima di Akademi Pos. Kuliahnya di Akademi Pos, ternyata tidak
segairah minatnya untuk menulis. Selama kuliah di Bandung, Ali lebih tertarik
untuk merangkai kata-kata menjadi cepen dan dimuat di harian Pikiran Rakyat
Bandung.
Karier Jurnalistik
Karier jurnalistiknya diawali dengan menangani rubrik "Pentas" di
Harian Waspada, kemudian Tabloid Waspada Taruna, Mimbar Teruna (dibredel
pemerintah Orde Orde Lama), Harian Angkatan Bersenjata (selama sebulan),
pindah lagi ke Mingguan Gelora Angkasa (milik Angkatan Udara) tutup. Dia
seangkatan dengan Bokor Hutasuhut, seorang penulis terkenal daerah ini.
Selain menjadi wartawan, Ali Soekardi juga menulis buku dari karya-karyanya
yang pernah diterbitkan. Tahun lalu Ali Soekardi meluncurkan buku berjudul:
Catatan Kenangan, kumpulan tulisannya di harian Analisa dan mengisahkan
pengalamannya di lapangan sebagai wartawan.
Dua pembahas J Anto dan War Jamil serta beberapa kata sambutan menggambarkan
Ali Soekardi sebagai orang yang sangat dispilin, selalu membuat catatan
peristiwa, teliti memeriksa bahasa dan akurasi berita, memilik pengetahuan
yang luas, serta keingingannya untuk belajar melalui membaca. Menulis berita
atau artikel adalah mengangkat soal kemanusiaan. Sebuah sikap yang seharusnya
dimiliki para penulis dan wartawan.
Ali Soekardi terpanggil menjadi wartawan. Profesi wartawan bagi Ali Soekardi
sudah merupakan fitrah bagi dirinya. "Ia sudah menjadi pegawai bank,
kemudian sekolah di akademi pos, namun panggilan jiwanya tetap menjadi
wartawan," ujar J Anto, seorang pengamat media dan penulis di Sumut.
Selama karier jurnalistiknya, Ali Soekardi telah menjelajah berbagai Negara
di dunia ini. Pernah berkunjung ke Malaysia dan diterima PM Menteri Negara
Itu, Tun Abdul Razak, mengunjungi Jerman, ke Harian Asahai Shimbun harian
kedua terbesar di Jepang, ikut dalam delegasi Sumut dalam Pertemuian Kerja
Sama Melayu Islam ASEAN di Bankok, berkunjung ke Mesir bersama rombongan PWI Sumut
dan lain-lain.
Dia juga menerima berbagai penghargaan seperti Pemenang Pertama Sayembara
Menulis Tajuk Rencana dari Gubernur Sumut EWP Tambunan. Atas jasa-jasanya dan
dedikasinya dalam pengembangan Seni dan Budaya, Ali Soekardi mendapat
penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar (1998). Tentunya
masih banyak penghargaan lain yang tak sempat disebutkan disini.
Ali Soekardi adalah seorang wartawan yang rendah hati. Pengalamannya yang
malang melintang di dunia jurnalistik tiga zaman ini hanya merendah.
"Saya merasa hanya wartawan biasa saja sama seperti yang
lain,"ujarnya dalam sambutan singkatnya mengawali peluncuran buku
tersebut.
"Saya sangat mengagumi Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis. Belum ada yang
menyaingi keberanian mereka mengritik dalam tulisan-tulisannya," ujarnya
dalam pembicaraan singkat, usai acara peluncuran bukunya.
Dia mengungkapkan dalam bukunya, kunci menjadi seorang wartawan sukses adalah
ada motivasi untuk maju dan berkembang. "Caranya adalah terus belajar
dan membaca. …Wartawan yang baik harus belajar ndan membaca. Membaca apa
saja, sebab wartawan harus tau perkembangan zaman. Wartawan yang tidak
mengikuti perkembangan zaman akan mati sendiri".
Apa yang mendorongnya terus melakukan pekerjaan menulis dan jurnalistik? Di
dalam pikirannya, pengarang atau penulis adalah orang-orang pintar, menulis
membuatnya mempertahankan dirinya pintar dan tidak pikun. "Kalau kita
terus membaca dan menulis, maka kita tidak pikun,"ujarnya.
Makna lain dari buku ini adalah pentingnya para wartawan mendokumentasikan
perjalanan dan pengalaman wartawan seniornya. Salut buat penulisnya Rizal
Surya, Redaktur Analisa. Buku tersebut terdiri dari empat bagian besar.
Bagian Pertama merupakan pengalaman Ali Soekardi sepanjang 80 tahun usianya.
Bagian Kedua adalah Ali Soekardi di mata rekan sekerjanya di Harian Analisa:
Mulai dari H Sofian, H War jamil. Idris Pasaribu, H. Agus Salim, H
Hermansyah, H Ali Murthado, Sugiatmo. Bagian Ketiga adalah Ali Soekardi
dimata pengamat media seperti: Muhammad TWH, Muh Jazid dan J.Anto. Bagian
keempat: Ali Soekardi di mata empat anggota keluarganya mewakili 7 orang
putra-putri dan menatu serta 12 cucunya.
Selamat buat Harian Analisa yang menelorkan para penulis dan wartawan handal
di Provinsi ini. Semoga para penulis lain tertarik menulis perjalanan hidup
para wartawan-wartawan dan penulis di daerah ini. ***
Penulis adalah kolomnis dan penulis biografi, tinggal di Medan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar