My 500 Words

Kamis, 14 Maret 2013

Selamat Ultah ke-80 Pak Ali Soekardi "…Terus Membaca dan Menulis, Maka Kita Tidak Pikun" (Harian Analisa, 22 Januari 2013)


Oleh: Jannerson Girsang.

Sukses seorang wartawan bisa diukur dari berbagai sudut pandang. Harmoko misalnya, dari kariernya menjadi wartawan bisa menjadi menteri Penerangan di masa Orde Baru, Dahlan Iskan, selain sukses menjadi pengusaha media, juga berhasil menduduki jabatan Menteri di Kabinet Bersatu Jilid 2 Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, Karny Illias sukses menjadi wartawan media cetak, di era media televisi berjaya, juga sukses menjadi seorang pembawa talkshow Jakarta Lawyers Club (JLC) di salah satu media televisi swasta.
Ali Soekardi, tidak memiliki sukses setenar mereka. Dia terpanggil menjadi wartawan sejati. Menulis cerpen, artikel-artikel dengan berbagai sudut pandang dan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Analisa hingga mencapai usia delapan puluh tahun. Berbagai nama disebut-sebut menjuluki pria yang 4 Januari 2013 lalu genap berusia 80 tahun. "Rosihan Anawar dari Sumatera Utara" yang muncul di peluncuran bukunya, atau "Wartawan Tiga Zaman" yang dijuluki harian Orbit beberapa hari lalu. Entahlah, biarlah masyarakat yang menilainya!.

Kekayaannya adalah pengalaman dan daya ingatnya yang kuat. Dia menjadi saksi sejarah perjalanan pers di daerah ini. Di saat kebanyakan orang beristirahat menikmati masa tuanya, dia memilih aktif sebagai wartawan, penulis dan memegang jabatan penting di jajaran redaksi.

Pilihannya untuk tetap bekerja kepada media tempatnya bekerja, niatnya untuk mempersiapkan generasi penggantinya, adalah teladan loyalitas korps yang tidak banyak dimiliki wartawan di era reformasi ini. Dia bukan kutu loncat, peri laku para wartawan dengan banyaknya media. Ali sudah bekerja di harian itu, sejak 1973 atau empat puluh tahun yang lalu, satu tahun setelah harian itu berdiri dan tidak pernah berpindah ke media lain. Lebih dari 30 tahun, dia memegang jabatan Wakil Pemimpin Redaksi.

Dari seorang pria berusia 80 tahun itu, saya dan para pembaca Harian Analisa masih menikmati tulisan-tulisannya dan bisa menemuinya dari pukul 09.00-12.00 di ruang kerjanya sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Analisa di Jalan A Yani Medan. Dia kaya akan ide dan karyanya membuat para pembaca kaya ilmu. Tentu berbeda dengan koruptor yang hanya mampu membagi-bagi uang menjadikan orang kaya dari hasil curian.

Acara Sederhana dan Hikmat

Hadir di tengah-tengah kesederhanaan peluncuran buku biografi seorang wartawan senior menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya sebagai mantan wartawan.

18 Januari 2013, beberapa hari setelah Ulang Tahunnya ke-80, sebuah perhelatan digelar di ruang pertemuan Badan Perpustakaan Daerah Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara (Baperasda Sumut). Dari pintu masuk ruangan tampak di dinding sebelah kanan (Baperasdasu) sebuah spanduk dengan tulisan: "Peluncuran Buku 80 Tahun Ali Soekardi: Semangat yang tak Kunjung Padam".

Ruangan yang dipenuhi sekitar 50-an undangan terdiri dari penulis, wartawan, serta para tokoh-tokoh di Provinsi ini, serta istri, anak-anak dan cucu-cucunya keluarga besarnya menanti acara peluncuran dan berharap akan menguak misteri kehidupan Ali Soekardi dalam buku.

Di antara para undangan yang hadir diantaranya Muhammad TWH, Mohammad Yazid (mantan Ketua PWI Sumut), War Djamil (wartawan senior Harian Analisa), Parlindungan Purba, SH (Anggota DPD utusan Sumut), Saiful Syafri (mantan Kepala Dinas Pendidikan Pemprovsu), Chandra Silalahi (Sekretaris Baperasda Sumut, Sofyan Tan (Ketua Ikatan Pustakawan Indonesia, IPI), JA Ferdinandus seorang pegiat pluralis, serta para penulis di Sumatera Utara.

Di spanduk yang terpampang di dinding, terlihat wajah masa mudanya di sampul depan buku. Wajah yang memancarkan pria yang lembut dan melankolis. Tetapi, di balik penampilan luarnya, Ali Soekardi adalah seorang "kamus berjalan" yang menjadi saksi sejarah khususnya sejarah pers di Medan dan Sumatera Utara pada umumnya.

Di tengah-tengah acara, para cucunya menghadiahkannya sebuah karikatur tentang dirinya. Ali Soekardi tampak bahagia dan menciumi satu-satu anggota keluarganya. Istrinya Soemiati menyaksikannya dengan rasa bangga dan haru.

Sebelumnya, menyambut Ulang Tahunnya ke-80, Harian Analisa juga menggelar acara di kantor Harian terbesar di Medan itu. Kamis (17/1) di ruang lantai 4 kantor Analisa suasana tidak seperti biasa. Ya, ada acara khusus. Syukuran sekaligus peluncuran buku "80 Tahun Ali Soekardi, Semangat yang Tak Pernah Padam".Acara itu dihadiri langsung unsur pimpinan "Analisa" yakni Pemimpin Umum Supandi Kusuma, Pemred H. Soffyan, Managing Editor Paulus M. Tjukrono, Pemimpin Perusahaan Sujito Sukirman dan Sekretaris Redaksi War Djamil serta para redaktur/asisten, wartawan dan karyawan. (Harian Analisa, 18 Januari 2013).

Membaca Menumbuhkan Minat Menulis

Selama tiga jam, berlangsung diskusi proses penulisan buku serta tanggapan para undangan terhadap buku itu. Kisah penulisan buku ini sendiri cukup menarik. Berawal dari selembar catatan seorang cucunya, Rizal Surya, Redaktur Harian Analisa, kemudian merangkai perjalanan hidupnya menjadi sebuah buku biografi setebal 157.

Buku biografi Ali Soekardi membawa kita ke kehidupan masa kecilnya yang cukup berliku. Pria kelahiran Tebing Tinggi 4 Januari 1933 adalah anak pasangan B Soekardi dan Warisah. Dia lahir ditengah keluarga yang memprioritaskan pendidikan bagi anak-anaknya. Bahkan demi pendidikan anak-anaknya, ayahnya harus meninggalkan pekerjaannya sebagai "kerani" di perkebunan karet di pedalaman dan menjadi pedagang kecil di Tebing Tinggi. Alasannya, meski pendapatan di sana lebih besar, tetapi di tempatnya bekerja tidak tersedia sekolah.

Ali Soekardi menyelesaikan Sekolah Rakyat (Holland Inlandsche School, HIS) di Tebing Tingggi. Ayah yang kini dikaruniai tujuh orang anak dan 12 cucu ini, menempuh pendidikan SMP di Pematangsiantar. Selama belajar di Pematangsiantar, membaca menjadi bagian hidupnya semasa sekolah di sana. Warung yang menyediakan buku-buku bacaan untuk disewa menjadi tak terpisahkan dari kehidupannya. Perkembangannya kemudian, dia tidak hanya membaca buku-buku saja, tetapi sudah mulai membaca surat kabar.

Minatnya menulis telah tumbuh di era 40-an. "Ali ingin sekali menjadi pengarang seperti pengarang buku yang dibacanya. Ia menganggap para pengarang adalah orang pintar karena mampu menulis dengan baik,"demikian buku Biografinya.

Di usia remajanya, Ali Soekardi mulai menulis lelucon, teka-teki dan sajak dan dimuat di Dukasusi (Dunia kanak-kanak Sumathora Shimbun, sebuah harian yang terbit di masa penjajahan Jepang. Meski tinggal di Tebing Tinggi, tetapi Ali sudah mengirimkan tulisan-tulisannya ke Majalah Indonesia di Jakarta, kemudian Majalah Waktoe di Medan.

Dia cukup bangga ketika cerpen pertamanya dimuat di Majalah Waktoe—majalah berita bergambar yang terbit di Jakarta pada 1948, atau di usianya 17 tahun. Sayangnya, Ali kurang berhasil dalam pendidikannya. Karena tidak menguasai Aljabar dan Matematika, dia tidak bisa naik kelas di IMS (Indishce Middle Barre School), setingkat SMP di Pematangdiantar. Tidak lulus, bukan berarti sekolah dan kariernya berhenti.

Atas ajakan seorang gurunya yang mendirikan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Medan, Ali Hijrah ke Medan dan menjadi titik balik penting dalam kehidupannya kemudian. Dia menyelesaikan SMEP dan SMEA di Medan.

Kemudian hijrah ke Bandung melanjutkan sekolahnya. Awalnya diterima sebagai pegawai di Bank Tabungan Pos, tetapi pekerjaan itu ditinggalkannya karena kemudian diterima di Akademi Pos. Kuliahnya di Akademi Pos, ternyata tidak segairah minatnya untuk menulis. Selama kuliah di Bandung, Ali lebih tertarik untuk merangkai kata-kata menjadi cepen dan dimuat di harian Pikiran Rakyat Bandung.

Karier Jurnalistik

Karier jurnalistiknya diawali dengan menangani rubrik "Pentas" di Harian Waspada, kemudian Tabloid Waspada Taruna, Mimbar Teruna (dibredel pemerintah Orde Orde Lama), Harian Angkatan Bersenjata (selama sebulan), pindah lagi ke Mingguan Gelora Angkasa (milik Angkatan Udara) tutup. Dia seangkatan dengan Bokor Hutasuhut, seorang penulis terkenal daerah ini.

Selain menjadi wartawan, Ali Soekardi juga menulis buku dari karya-karyanya yang pernah diterbitkan. Tahun lalu Ali Soekardi meluncurkan buku berjudul: Catatan Kenangan, kumpulan tulisannya di harian Analisa dan mengisahkan pengalamannya di lapangan sebagai wartawan.

Dua pembahas J Anto dan War Jamil serta beberapa kata sambutan menggambarkan Ali Soekardi sebagai orang yang sangat dispilin, selalu membuat catatan peristiwa, teliti memeriksa bahasa dan akurasi berita, memilik pengetahuan yang luas, serta keingingannya untuk belajar melalui membaca. Menulis berita atau artikel adalah mengangkat soal kemanusiaan. Sebuah sikap yang seharusnya dimiliki para penulis dan wartawan.

Ali Soekardi terpanggil menjadi wartawan. Profesi wartawan bagi Ali Soekardi sudah merupakan fitrah bagi dirinya. "Ia sudah menjadi pegawai bank, kemudian sekolah di akademi pos, namun panggilan jiwanya tetap menjadi wartawan," ujar J Anto, seorang pengamat media dan penulis di Sumut.

Selama karier jurnalistiknya, Ali Soekardi telah menjelajah berbagai Negara di dunia ini. Pernah berkunjung ke Malaysia dan diterima PM Menteri Negara Itu, Tun Abdul Razak, mengunjungi Jerman, ke Harian Asahai Shimbun harian kedua terbesar di Jepang, ikut dalam delegasi Sumut dalam Pertemuian Kerja Sama Melayu Islam ASEAN di Bankok, berkunjung ke Mesir bersama rombongan PWI Sumut dan lain-lain.

Dia juga menerima berbagai penghargaan seperti Pemenang Pertama Sayembara Menulis Tajuk Rencana dari Gubernur Sumut EWP Tambunan. Atas jasa-jasanya dan dedikasinya dalam pengembangan Seni dan Budaya, Ali Soekardi mendapat penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar (1998). Tentunya masih banyak penghargaan lain yang tak sempat disebutkan disini.

Ali Soekardi adalah seorang wartawan yang rendah hati. Pengalamannya yang malang melintang di dunia jurnalistik tiga zaman ini hanya merendah. "Saya merasa hanya wartawan biasa saja sama seperti yang lain,"ujarnya dalam sambutan singkatnya mengawali peluncuran buku tersebut.

"Saya sangat mengagumi Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis. Belum ada yang menyaingi keberanian mereka mengritik dalam tulisan-tulisannya," ujarnya dalam pembicaraan singkat, usai acara peluncuran bukunya.

Dia mengungkapkan dalam bukunya, kunci menjadi seorang wartawan sukses adalah ada motivasi untuk maju dan berkembang. "Caranya adalah terus belajar dan membaca. …Wartawan yang baik harus belajar ndan membaca. Membaca apa saja, sebab wartawan harus tau perkembangan zaman. Wartawan yang tidak mengikuti perkembangan zaman akan mati sendiri".

Apa yang mendorongnya terus melakukan pekerjaan menulis dan jurnalistik? Di dalam pikirannya, pengarang atau penulis adalah orang-orang pintar, menulis membuatnya mempertahankan dirinya pintar dan tidak pikun. "Kalau kita terus membaca dan menulis, maka kita tidak pikun,"ujarnya.

Makna lain dari buku ini adalah pentingnya para wartawan mendokumentasikan perjalanan dan pengalaman wartawan seniornya. Salut buat penulisnya Rizal Surya, Redaktur Analisa. Buku tersebut terdiri dari empat bagian besar. Bagian Pertama merupakan pengalaman Ali Soekardi sepanjang 80 tahun usianya. Bagian Kedua adalah Ali Soekardi di mata rekan sekerjanya di Harian Analisa: Mulai dari H Sofian, H War jamil. Idris Pasaribu, H. Agus Salim, H Hermansyah, H Ali Murthado, Sugiatmo. Bagian Ketiga adalah Ali Soekardi dimata pengamat media seperti: Muhammad TWH, Muh Jazid dan J.Anto. Bagian keempat: Ali Soekardi di mata empat anggota keluarganya mewakili 7 orang putra-putri dan menatu serta 12 cucunya.

Selamat buat Harian Analisa yang menelorkan para penulis dan wartawan handal di Provinsi ini. Semoga para penulis lain tertarik menulis perjalanan hidup para wartawan-wartawan dan penulis di daerah ini. ***

Penulis adalah kolomnis dan penulis biografi, tinggal di Medan.

Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa,  Selasa, 22 Jan 2013


Tidak ada komentar: