Oleh: Jannerson Girsang.
Patsy
Widakuswara seorang perempuan Indonesia kelahiran Maret 1974, memiliki
pengalaman menarik sebagai penyiar di The Voice of America (VOA). Hingga
kisahnya dimuat The Washington Post, dalam artikel berjudul “Bringing
the news of America to Indonesia”, edisi 18 Maret 2013 yang lalu.
Setelah lulus dari Jurusan Komunikasi di FISIP UI, co-founder
kelompok debat bahasa Inggris pertama di Indonesia, English Debating
Society di UI dan peraih beberapa gelar juara nasional dan internasional
ini bekerja beberapa tahun di media elektronik nasional, mendapat bea
siswa memperoleh gelar Master di bidang TV Journalism di London,
kemudian bekerja di VOA.
Pelajaran penting dia peroleh selama di Inggeris. Menurut Anne
Budianto selama di London, Patsy sempat membuat 2 program dokumenter,
untuk Channel 4 dan BBC. “Saya merasa tercerahkan selama di sana.
Prinsip jurnalisme yang saya kenal saat itu hanya “check and balances,”
yang mementingkan keseimbangan narasumber.
Sementara di Inggris jurnalis menggunakan pendekatan “journalism of
attachment.” Artinya, mereka lebih menyuarakan pihak-pihak yang tidak
punya kekuasaan, marjinal, atau di luar kaum elitis,” paparnya.
(http://www.mail-archive.com/idakrisnashow@yahoogroups.com/msg13802.html).
***
Para pemirsa televisi di Indonesia yang sering mengikuti siaran
Indonesia televisi VOA tentu tidak asing dengan wajah Patsy.
Kesehariannya, peraih gelar M.A di bidang jurnalisme televisi dari
University of London ini, meliput berbagai issu mulai White House hingga
Capitol Hill dan issu-issu lainnya. Laporannya disiarkan secara regular
di delapan dari sebelas stasion televisi di Indonesia dan beberapa
afiliasi televisi lokal.
Selaku Senior TV Produser, Patsy Widakuswara mengepalai produksi
berita di VOA. Selain memproduksi, Patsy juga membawakan beberapa acara
termasuk Laporan VOA untuk Metro TV, Apa Kabar Amerika di tvOne dan
Kilas VOA yang ditayangkan di beberapa afiliasi VOA. Patsy juga sering
memproduksi program-program in-depth investigative terkait kebijakan
luar negeri AS seperti Operasi Terselubung CIA dan Penjara Guantanamo.
(http://www. voaindonesia.com/author/4159.html)
Ketika membaca kisahnya melalui mediaonline The Washington Post,
Patsy membawa saya ke memori beberapa tahun ke belakang. Lebih dari
sepuluh tahun yang lalu, dia acapkali muncul sebagai penyiar di Metro
TV. Saat itu masa-masa kejatuhan Gus Dur 2001.
Beberapa tahun Patsy seolah menghilang dari dunia televisi. Ternyata
pada 2001 itu, ibu seorang putra ini mendapat beasiswa Chevening untuk
gelar Master di bidang TV Journalism di Goldsmiths College, University
of London, kemudian bekerja membuat film dokumenter untuk Channel 4 dan
BBC. Dari London, Patsy pindah ke Washington, DC dan bergabung dengan
VOA tahun 2003.
**
Pemunculannya di The Washington Post tentunya menjadi inspirasi bagi
para jurnalis di tanah air. Seorang jurnalis perempuan Indonesia mampu
berkiprah di arena global dan mendapat perhatian sebuah surat kabar.
Harian ini memiliki sirkulasi rata-rata 471,800 per hari dan sirkulasi
minggu sebesar 687,200 eksemplar.
Ingin tau seberapa besar respon dunia atas berita itu, saya
mengunjungi status Kedutaaan Besar Amerika di Jakarta di Facebook.
Status ini mengatakan: “Congratulations, Patsy Widakuswara! Profilnya
ditulis di koran Washington Post, salah satu koran paling penting di
AS”. Itulah ungkapan kalimat pertama sebuah paragraph di status itu
menggapi pemuatan berita tentang Patsy Widakuswara.
Saya mengklik “Like” untuk status itu (20 Maret 2013 pukul 10.00
pagi). Sudah 1854 orang lebih dulu melakukan hal yang sama, dan membaca
247 komentar dari orang Indonesia di berbagai penjuru dunia. Mereka
mengungkapkan rasa bangga, kagum serta berbagai pujian bagi Patsy.
“Pasty Widakuswara, jadilah kebanggaan bangsa. Biarlah kau mewakili
Indonesia di dalam tugasmu. Selamat berkarya ya!!!!,” komentar seorang
Facebooker di status itu. Tentu saja ada yang juga membuat komentar
miring, hal wajar di dunia yang kini sedang dilanda euphoria kebebasan.
**
Artikel yang saya baca di website harian The Washington Post,
menampilkan sebuah foto diri peraih VOA Excellence in Programming Awards
ini duduk tersenyum di depan Capitol Hill, Washington DC.
Memandang ke depan dengan tangan dilipat di atas kedua kakinya yang
bersila dan tubuh dibalut celana jeans warna biru—ikat pinggang coklat
dan kaus lengan panjang hitam. Pakaian lapangan seorang reporter
televisi yang serasi dengan warna kulit Indonesianya yang sawo matang.
Keteguhan dan kesederhanaan terpancar di balik wajah manisnya.
Menampilkan senyum khas seorang wanita global Indonesia. Bukti dirinya
bekerja dengan sukacita, mampu merajut hubungan bangsanya dengan dunia
lain, ribuan kilometer dari tanah airnya.
Sehari-hari, Patsy mengumpulkan fakta dari berbagai penjuru di
Amerika dan Indonesia. Dia punya tugas penting, merekam dan menulis
fakta-fakta, serta memberi makna.
“Dalam laporannya, Widakuswara berusaha membuat hubungan antara apa
yang terjadi di Amerika Serikat dan di Indonesia dan mencari topik-topik
yang menjadi kepentingan audiensnya di Indonesia,” demikian The
Washington Post menggambarkan pentingnya tugas seorang jurnalis, seperti
Patsy untuk Indonesia dan Amerika.
Dia melaporkan berbagai hal penting di Amerika dan Indonesia.
Melaporkan Pemilihan Presiden Obama dan juga Pemilihan Gubernur DKI yang
waktunya hampir bersamaan, dan juga melaporkan kondisi tahanan di
Guantanamo, serta berbagai hal penting lainnya.
Widakuswara juga melaporkan kisah kemanusiaan, dengan fokus
orang-orang Indonesia yang tinggal di Amerika. “Saya membuat kisah-kisah
tentang imigran Indonesia yang berhasil di Amerika Serikat, sesuatu
yang ingin didengar orang-orang saat kembali ke rumah,” katanya. Dia
mengeksplorasi bagaimana sulitnya memulai bisnis di AS dan berbagai
isu-isu budaya lainnya.
Sebuah prestasi yang belum banyak dilirik perempuan Indonesia di era
globalisasi ini, mengingat dunia jurnalisme masih didominasi kaum
laki-laki. Patsy adalah sebuah symbol bahwa perempuan juga mampu
berkibar di dunia jurnalisme, bahkan bekerja di sebuah media asing dan
bersaing dengan para wartawan asing lainnya.
**
Istri seorang pria yang bekerja di Smithsonian Institution ini,
mencintai pekerjaan jurnalisnya dan memotivasinya menekuni kariernya.
“Jurnalisme memungkinkan saya fokus pada issu-issu yang penting dan saya
pikir harus diketahui oleh orang-orang. Saya merasa bangga dan
menikmati menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari saya sendiri
dan memiliki hubungan dengan kemanusiaan,” ujarnya seperti dikutip The
Washington Post.
Sama seperti kondisi di seluruh negeri di dunia ini, sebagai
jurnalis, Patsy juga menghadapi kesulitan akses ke penguasa
(policymakers). “Pulanglah, Anda bisa datang dengan kamera dan mendapat
akses. Di sini di Washington, Anda harus menelepon terlebih dahulu dan
mengirim daftar pertanyaan ,” kisahnya.
Sebagai seorang wartawan VOA—lembaga resmi penyiaran eksternal
pemerintah federal Amerika, Patsy punya missi sebagai seorang wartawan,
mencari sumber untuk ditulis dalam laporannya dan berharap menulis
laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut
tertentu untuk melayani masyarakat. “Kami mencoba untuk menyajikan
perdebatan secara keseluruhan,” katanya.
Perempuan Indonesia hebat!. Apalagi, membaca komentar Norman Goodman,
Kepala VOA Siaran Indonesia dalam artikel tersebut. Norman mengatakan
Widakuswara adalah “Profesional sempurna, sangat serius tentang
pekerjaannya, memiliki rasa yang baik tentang berita dan tahu apa yang
diinginkan pemirsa Indonesia,” seperti dikutip The Washington Post.
Kini, Patsy yang gemar membaca dan memasak ini tinggal di Maryland
bersama suami dan seorang putranya. Selamat buat Patsy, semoga kisahnya
menginspirasi kita di tanah air.
Patsy hanyalah salah satu diantaranya. Merry Riana yang sukses di
Singapura menjadi perempuan si Mimpi Satu Juta Dollar di usia 26 tahun
(dan tercapai), Anggun C Sasmi penyanyi yang hits dengan Snow in Sahara
dan sukses menjadi wakil Perancis ke Euro Vision 2012, Jenny S Bev yang
sukses sebagai seorang kolumnis dan penulis buku di negeri Paman Sam.
Tentu tak lupa Sri Mulyani yang kini menjadi Managing Director Bank
Dunia. (Diolah dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar