My 500 Words

Selasa, 26 Maret 2013

Patsy Wida Kuswara: Kisah Jurnalis Indonesia di Negeri Paman Sam (Harian Analisa, 26 Maret 2013)



Patsy Widakuswara (Photo: The Washington Post)

Oleh: Jannerson Girsang. 

Patsy Widakuswara seorang perempuan Indonesia kelahiran Maret 1974, memiliki pengalaman menarik sebagai penyiar di The Voice of America (VOA). Hingga kisahnya dimuat The Washington Post, dalam artikel berjudul “Bringing the news of America to Indonesia”, edisi 18 Maret 2013 yang lalu.

Setelah lulus dari Jurusan Komunikasi di FISIP UI, co-founder kelompok debat bahasa Inggris pertama di Indonesia, English Debating Society di UI dan peraih beberapa gelar juara nasional dan internasional ini bekerja beberapa tahun di media elektronik nasional, mendapat bea siswa memperoleh gelar Master di bidang TV Journalism di London, kemudian bekerja di VOA. 

Pelajaran penting dia peroleh selama di Inggeris. Menurut Anne Budianto selama di London, Patsy sempat membuat 2 program dokumenter, untuk Channel 4 dan BBC. “Saya merasa tercerahkan selama di sana. Prinsip jurnalisme yang saya kenal saat itu hanya “check and balances,” yang mementingkan keseimbangan narasumber. 

Sementara di Inggris jurnalis menggunakan pendekatan “journalism of attachment.” Artinya, mereka lebih menyuarakan pihak-pihak yang tidak punya kekuasaan, marjinal, atau di luar kaum elitis,” paparnya. (http://www.mail-archive.com/idakrisnashow@yahoogroups.com/msg13802.html). 

***
Para pemirsa televisi di Indonesia yang sering mengikuti siaran Indonesia televisi VOA tentu tidak asing dengan wajah Patsy. Kesehariannya, peraih gelar M.A di bidang jurnalisme televisi dari University of London ini, meliput berbagai issu mulai White House hingga Capitol Hill dan issu-issu lainnya. Laporannya disiarkan secara regular di delapan dari sebelas stasion televisi di Indonesia dan beberapa afiliasi televisi lokal. 

Selaku Senior TV Produser, Patsy Widakuswara mengepalai produksi berita di VOA. Selain memproduksi, Patsy juga membawakan beberapa acara termasuk Laporan VOA untuk Metro TV, Apa Kabar Amerika di tvOne dan Kilas VOA yang ditayangkan di beberapa afiliasi VOA. Patsy juga sering memproduksi program-program in-depth investigative terkait kebijakan luar negeri AS seperti Operasi Terselubung CIA dan Penjara Guantanamo. (http://www. voaindonesia.com/author/4159.html)

Ketika membaca kisahnya melalui mediaonline The Washington Post, Patsy membawa saya ke memori beberapa tahun ke belakang. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, dia acapkali muncul sebagai penyiar di Metro TV. Saat itu masa-masa kejatuhan Gus Dur 2001. 

Beberapa tahun Patsy seolah menghilang dari dunia televisi. Ternyata pada 2001 itu, ibu seorang putra ini mendapat beasiswa Chevening untuk gelar Master di bidang TV Journalism di Goldsmiths College, University of London, kemudian bekerja membuat film dokumenter untuk Channel 4 dan BBC. Dari London, Patsy pindah ke Washington, DC dan bergabung dengan VOA tahun 2003.

**

Pemunculannya di The Washington Post tentunya menjadi inspirasi bagi para jurnalis di tanah air. Seorang jurnalis perempuan Indonesia mampu berkiprah di arena global dan mendapat perhatian sebuah surat kabar. Harian ini memiliki sirkulasi rata-rata 471,800 per hari dan sirkulasi minggu sebesar 687,200 eksemplar. 

Ingin tau seberapa besar respon dunia atas berita itu, saya mengunjungi status Kedutaaan Besar Amerika di Jakarta di Facebook. Status ini mengatakan: “Congratulations, Patsy Widakuswara! Profilnya ditulis di koran Washington Post, salah satu koran paling penting di AS”. Itulah ungkapan kalimat pertama sebuah paragraph di status itu menggapi pemuatan berita tentang Patsy Widakuswara. 

Saya mengklik “Like” untuk status itu (20 Maret 2013 pukul 10.00 pagi). Sudah 1854 orang lebih dulu melakukan hal yang sama, dan membaca 247 komentar dari orang Indonesia di berbagai penjuru dunia. Mereka mengungkapkan rasa bangga, kagum serta berbagai pujian bagi Patsy. 

“Pasty Widakuswara, jadilah kebanggaan bangsa. Biarlah kau mewakili Indonesia di dalam tugasmu. Selamat berkarya ya!!!!,” komentar seorang Facebooker di status itu. Tentu saja ada yang juga membuat komentar miring, hal wajar di dunia yang kini sedang dilanda euphoria kebebasan. 

**
Artikel yang saya baca di website harian The Washington Post, menampilkan sebuah foto diri peraih VOA Excellence in Programming Awards ini duduk tersenyum di depan Capitol Hill, Washington DC. 

Memandang ke depan dengan tangan dilipat di atas kedua kakinya yang bersila dan tubuh dibalut celana jeans warna biru—ikat pinggang coklat dan kaus lengan panjang hitam. Pakaian lapangan seorang reporter televisi yang serasi dengan warna kulit Indonesianya yang sawo matang. 

Keteguhan dan kesederhanaan terpancar di balik wajah manisnya. Menampilkan senyum khas seorang wanita global Indonesia. Bukti dirinya bekerja dengan sukacita, mampu merajut hubungan bangsanya dengan dunia lain, ribuan kilometer dari tanah airnya.

Sehari-hari, Patsy mengumpulkan fakta dari berbagai penjuru di Amerika dan Indonesia. Dia punya tugas penting, merekam dan menulis fakta-fakta, serta memberi makna. 

“Dalam laporannya, Widakuswara berusaha membuat hubungan antara apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di Indonesia dan mencari topik-topik yang menjadi kepentingan audiensnya di Indonesia,” demikian The Washington Post menggambarkan pentingnya tugas seorang jurnalis, seperti Patsy untuk Indonesia dan Amerika. 

Dia melaporkan berbagai hal penting di Amerika dan Indonesia. Melaporkan Pemilihan Presiden Obama dan juga Pemilihan Gubernur DKI yang waktunya hampir bersamaan, dan juga melaporkan kondisi tahanan di Guantanamo, serta berbagai hal penting lainnya. 

Widakuswara juga melaporkan kisah kemanusiaan, dengan fokus orang-orang Indonesia yang tinggal di Amerika. “Saya membuat kisah-kisah tentang imigran Indonesia yang berhasil di Amerika Serikat, sesuatu yang ingin didengar orang-orang saat kembali ke rumah,” katanya. Dia mengeksplorasi bagaimana sulitnya memulai bisnis di AS dan berbagai isu-isu budaya lainnya. 

Sebuah prestasi yang belum banyak dilirik perempuan Indonesia di era globalisasi ini, mengingat dunia jurnalisme masih didominasi kaum laki-laki. Patsy adalah sebuah symbol bahwa perempuan juga mampu berkibar di dunia jurnalisme, bahkan bekerja di sebuah media asing dan bersaing dengan para wartawan asing lainnya. 

**

Istri seorang pria yang bekerja di Smithsonian Institution ini, mencintai pekerjaan jurnalisnya dan memotivasinya menekuni kariernya. “Jurnalisme memungkinkan saya fokus pada issu-issu yang penting dan saya pikir harus diketahui oleh orang-orang. Saya merasa bangga dan menikmati menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari saya sendiri dan memiliki hubungan dengan kemanusiaan,” ujarnya seperti dikutip The Washington Post. 

Sama seperti kondisi di seluruh negeri di dunia ini, sebagai jurnalis, Patsy juga menghadapi kesulitan akses ke penguasa (policymakers). “Pulanglah, Anda bisa datang dengan kamera dan mendapat akses. Di sini di Washington, Anda harus menelepon terlebih dahulu dan mengirim daftar pertanyaan ,” kisahnya. 

Sebagai seorang wartawan VOA—lembaga resmi penyiaran eksternal pemerintah federal Amerika, Patsy punya missi sebagai seorang wartawan, mencari sumber untuk ditulis dalam laporannya dan berharap menulis laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat. “Kami mencoba untuk menyajikan perdebatan secara keseluruhan,” katanya. 

Perempuan Indonesia hebat!. Apalagi, membaca komentar Norman Goodman, Kepala VOA Siaran Indonesia dalam artikel tersebut. Norman mengatakan Widakuswara adalah “Profesional sempurna, sangat serius tentang pekerjaannya, memiliki rasa yang baik tentang berita dan tahu apa yang diinginkan pemirsa Indonesia,” seperti dikutip The Washington Post. 

Kini, Patsy yang gemar membaca dan memasak ini tinggal di Maryland bersama suami dan seorang putranya. Selamat buat Patsy, semoga kisahnya menginspirasi kita di tanah air. 

Patsy hanyalah salah satu diantaranya. Merry Riana yang sukses di Singapura menjadi perempuan si Mimpi Satu Juta Dollar di usia 26 tahun (dan tercapai), Anggun C Sasmi penyanyi yang hits dengan Snow in Sahara dan sukses menjadi wakil Perancis ke Euro Vision 2012, Jenny S Bev yang sukses sebagai seorang kolumnis dan penulis buku di negeri Paman Sam. Tentu tak lupa Sri Mulyani yang kini menjadi Managing Director Bank Dunia.  (Diolah dari berbagai sumber).  

Tidak ada komentar: