My 500 Words

Selasa, 04 Februari 2014

Syamas Inah Br Sembiring: Empat Belas Tahun Merawat Suami dan Menjadi Tiang Ekonomi Keluarga

Oleh: Jannerson Girsang

Bagi seorang ibu muda, empat belas tahun merawat suami yang sakit, dan menjadi tiang ekonomi keluarga beranak dua, bukan hal yang mudah. Membutuhkan kesabaran, ketekunan, pengharapan dan pemaknaan hidup yang positif.

Kisah dibalik meninggalnya Daulat Sitopu—salah seorang jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Simalingkar, Medan,  menjadi teladan berharga bagi para jemaat yang menghadiri acara pangapohon (penghiburan) malam ini (27 Mei 2013).

Rumahnya  tipe 21 di Jalan Jahe, Perumnas Simalingkar malam ini (27 Mei 2013) menjadi saksi betapa Tuhan senantiasa menguatkan dan memberkati umatNya yang setia di jalanNya dan mengerjakan pekerjaan secara benar.

Disaksikan kedua putra putrinya, serta sekitar 30-an jemaat, Inah berkisah dengan bersemangat, walau sesekali tak dapat menahan harunya dengan meneteskan air mata.

Begitu memilukan bagi Inah, pagi 15 Mei 2013. “Saya ketika itu pergi ke pajak membeli sarapan suami saya . Tetapi, setibanya di rumah, saya menemukan suami saya tidak bernyawa lagi. Saya menangis sejadi-jadinya dan kemudian memanggil teman-teman saya,” ujarnya.  

Setelah sakit sekian lama, suami Inah br Sembiring, akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir, di usia 49 tahun, tanpa disaksikan anak-anaknya. Beberapa tahun terakhir kedua anaknya tinggal terpisah dengan keluarga karena mengikut suami dan putranya yang tinggal dan bekerja di  Jakarta.  

Dua hari, suasana duka melingkupi seluruh keluarga dan jemaat Simalingkar hingga suaminya dikebumikan 17 Mei 2013 lalu. Dua hari, ratusan jemaat GKPS Simalingkar, keluarga dan tetangga memenuhi halaman beberapa rumah didepan dan disamping rumah duka.

Pengalaman pahit Inang  selama empat belas tahun begitu menyentuh dan mengharukan. “Saya menerima keadaan suami saya apa adanya. Kesulitan saya hadapi dengan tetap berdoa, meminta pertolongan Tuhan dan bekerja dengan benar”  

Suaminya  mulai sakit di usia 35 tahun, dan bahkan terkena stroke pada 2006. Dulunya, suaminya adalah seorang supir angkot milik sendiri. Selama empat belas tahun itu, Inah br Sembiring menghadapi pergumulan yang berat. Mulai dari kesulitan ekonomi—karena harus mencari nafkah, merawat suami, serta membelanjai anak-anaknya yang sekolah dan kuliah.

Berbagai pekerjaan dilakoninya, mulai dari berdagang sayuran yang dibelinya di gunung dan dijual di Sambu, menjual buah di Simpang Simalingkar, bekerja sebagai juru masak di sebuah perusahaan catering. Dalam keadaan suaminya sakit, bahkan Inah br Sembiring, bersama seorang temannya membuka catering sendiri.

“Praktis, sejak 2006, aku yang harus mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anak-anak dan biaya perawatan suamiku. Tuhan begitu baik,” katanya.

Kesulitan keuangan memang bisa diatasinya dan mampu memberinya kebutuhan keluarga. Tetapi bukan itu saja masalah terberat yang dihadapinya.

“Saat suami saya mulai sakit, usia saya masih muda. Setiap pagi saya selalu meminta pertolongan dari Tuhan agar  terhindar dari godaan yang bisa merusak rumah tanggaku, anak-anakku  Aku selalu berdoa agar Tuhan, jangan sampai karena kemiskinan keluargaku aku  jatuh ke dalam dosa,” ujar lulusan D3 Pendidikan dari salah sebuah perguruan tinggi di Medan ini mantap,.

Nama baik keluarga, masa depan anak-anaknya menjadi motivasi baginya untuk selalu hidup di jalan yang benar. “Sebagai seorang ibu bagi anak-anakku, aku tidak mau mereka malu. Aku tidak mau anakku tidak laku, karena kelakuan mamanya tidak baik,” ujarnya mengungkap energi yang memberinya semangat.

Dia berbaur dengan jemaat. Inah tidak lupa mar ari Selasa (kebaktian ibu-ibu) dan menghadiri pesta-pesta atau ke tempat orang yang kemalangan. "Saya sangat berterima kasih atas dukungan dan bantuan gereja GKPS Simalingkar. Beban berat,terasa ringan, kalau kita bersatu."ujarnya. 

Dalam penderitaan yang demikian berat, Inah  justru mampu menikahkan Putrinya Melda. Menantunya adalah seorang polisi yang kini bertugas di Tarutung, dan sudah dikaruniai seorang cucu. Sementara anaknya laki-laki kini bekerja dan tinggal di Jakarta.

Tiga hari sebelum suaminya meninggal, Inah br Sembiring, terpilih sebagai Syamas di gereja GKPS Simalingkar. Syamas dipilih oleh anggota jemaat, yang berarti dia dikenal betul oleh jemaat GKPS Simalingkar yang berjumlah 180 KK tersebut.

“Pada periode sebelumnya, saya sudah mengajukan inang boru Sembiring, sebagai syamas, tetapi dia menolak dengan alasan masih mengurus suami yang sakit dan anak-anak. Tetapi, inilah mungkin saatnya. Ketika saya calonkan, dia menerima,”ujar St Weldy Saragih, SP Ketua Sektor III GKPS Simalingkar.

Para jemaat yang hadir malam ini menghiburnya, “Kalau dulu inang boru Sembiring hanya melayani suami dan anak-anak, sekarang harus melayani banyak orang. Semoga inang sehat dan tetap berpegang teguh pada keyakinan bahwa Tuhan senantiasa melindungi dan menguatkan inang”.

Khotbah Wakil Pengantar Jemaat GKPS Simalingkar, St Japorman Saragih, SE yang diambil dari Jeremia 31:13b: ".. Aku akan mengubah perkabungan mereka menjadi kegirangan, akan menghibur mereka dan menyukakan mereka sesudah kedukaan mereka," menguatkan keluarga dan menutup acara malam ini.

Kami semua berdoa, kiranya Tuhan menjadikanmu sebagai teladan seorang ibu di gereja dan di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang banyak kawin cerai, bahkan hanya karena masalah sepele.

Inah br Sembiring telah membuktikan dirinya setia sampai akhir. Yang dipertemukan Tuhan hanya dapat dipisahkan kematian!.

"Just do what must be done. This may not be happiness, but it is greatness". George Bernard Shaw

Tidak ada komentar: