Hari sudah agak larut malam, sepi, gerimis. Seorang ibu dengan baju sedikit kuyup baru saja tiba di depan rumahnya. Badannya mengigil kedinginan dan buru-buru membuka pintu rumahnya. Mudah saja, karena memang rumah itu tanpa kunci.
Rumah itu terbuka sepanjang zaman, karena tidak ada harta berharga di dalamnya. Di rumah gubuk berusia 15 tahun berdiam pasangan tukang becak dan penjual tempe. Rumah yang terbuat dari kayu sisa bangunan beratap rumbia, terletak di atas tanah garapan di pinggiran kota Medan di bilangan Sunggal. Tak ada listrik, meski PLN sudah berusia puluhan tahun. Lampu teplok menjadi penerangan rumah pasangan yang tinggal di kota terbesar di Sumatra itu.
Sambil memperbaiki sal putih yang terlilit di lehernya, sang ibu melangkah menuju ruang peraduan yang terbuat dari kotak kabel listrik yang dipungut suaminya di jalanan.
Tertegun sejenak, sang ibu mengamati wajah suaminya berotot kekar itu. Trenyuh melihat suaminya yang terbaring kelelahan setelah sejak pagi menarik becak hingga malam. Lelaki setia yang dikenalnya sejak masa anak-anak itu, sudah mendampingi dan melindunginya, temannya berbagi sepanjang 25 tahun pernikahannya.
Sang ibu baru saja gagal memperoleh pinjaman setelah bertandang ke tetangga-tetangganya. Dia membayangkan nasib anaknya di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Besok dia harus mengirim uang kuliahnya.
Kalau tidak dapat uang, anaknya akan menghadapi masalah, karena sudah menghadapi penundaan yang terakhir. Anak yang sudah berada di tingkat akhir itu terancam drop out.
Sang ibu teringat kembali pengalaman pahit bersama suaminya, gagal kuliah, karena kawin lari saat perkuliahan masih di semester 5. Dia tidak ingin kepahitan itu terulang pada anaknya.
Melangkah beberapa langkah dia menuju tempat peraduan. Lalu menggoyang-goyang tubuh suaminya, ingin berbagi kerisauannya dengan pria, temannya sejak sekolah Dasar itu.
"Pak, apa yang harus kita lakukan ketika kita tidak punya apa-apa lagi?. Besok, kita harus kirim belanja anak-anak," ujarnya sedih, karena gagal meraih pinjaman dari tetangganya.
"Yah, bu...bu. Kita kan sudah berpuluh kali mengalami seperti ini?. Tetap ada solusinya. Anak kita kan kuliah di semester akhir. Setiap bulan kita mengalami seperti ini. Tenang saja bu,"ujar suaminya menenangkan istrinya. Dia tidak ingin melanjutkan diskusi lagi.
Sepanjang perkuliahan anak semata wayang mereka, pasangan ini setiap bulan selalu sport jantung. Maklum, pasangan yang sehari-hari berjualan tempe di daerah Pringgan dan suami penarik becak itu hanya memperoleh penghasilan pas-pasan. Untuk kebutuhan sehari-hari saja mereka sering kewalahan.
Ditambah lagi kemampuan negeri yang hanya mampu mengimpor kedelai. Harganya terus naik turut mendongkrak harga tempe yang membuat orang kurang menyukai tempe. Kala hujan, suaminya kadang hanya mampu membayar setoran becak sewaannya, tanpa membawa uang sepeserpun, karena sisanya habis untuk rokoknya.
Sang ibupun termenung sendirian, mencoba merenungkan pengalaman-pengalaman kritisnya beberapa tahun sebelumnya. Dia sudah acapkali bergulat atas deadline pengiriman belanja anak. Malam itu memang tak ada yang bisa dilakukannya.
Lalu, sang ibu di tengah dengkuran suaminya menyusul tidur tanpa membiarkan diri larut dalam persoalan yang dihadapinya.
Sebelum tidur dia melipat tangannya dan menengadah ke atas. Mulutnya komat kamit, air matanya meleleh.
"Tuhan, jangan permalukan kami hambaMu. Berikan jalan agar anak kami bisa menyelesaikan kuliahnya. Agar anak kami bisa membedakan yang salah dan yang benar. ".
Malam menelan kesulitan kedua pasangan itu. Persoalan besok menanti solusi besok hari!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar