Oleh: Jannerson Girsang
17 April 2014. Para ibu yang tergabung dalam tumpuan Dorkas berkumpul di rumah inang Berti br Girsang, selesai acara ibadah di Raya GKPS Pdt.J.Wismar Saragih. Mereka mengunjungi Pdt Kitaman Saragih STh yang masih dalam pemulihan kesehatannya. Mereka begitu senang bertemu dengan keluarga itu. Inang Berti yang ramah (pakai baju kunung di tengah, disamping suaminya berpakaian T-Shirt kerah). 3 Mei, 16 hari kemudian inang Berti br Girsang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. (Terima kasih atas foto kiriman inang Sortha Situmorang).
Kecelakaan
maut itu terjadi di depan Terminal Parluasan (persis di depan
Alfamart), Pematangsiantar. Tak masuk akal, perkara yang tak dapat
kumengerti, kalau sebuah kecelakaan maut terjadi di sana. Kenderaan
umumnya berjalan lambat, karena lalu lintas padat, dekat terminal.
Tapi justru di tempat itulah maut itu datang! Bahkan merenggut nyawa orang yang sangat kami cintai. Jalan yang terlihat mulus, kenderaan berjalan perlahan, ternyata begitu kejam.
Pasir penutup bekas darah korban masih terlihat menumpuk ketika kami melintasi lokasi itu saat mengantar jenazah ke acara pemberangkatan di GKPS Jalan Sisingamangaraja, Pematangsiantar Senin sore, 5 Mei 2014.
Dua hari sebelumnya, Berti br Girsang (61), wanita malang yang kami kasihi itu, baru saja membeli sarapan tak jauh dari lokasi itu, hendak pulang ke rumahnya di Rambung Merah dengan mengendarai sepeda motor, berharap keluarganya menikmati makanan lezat untuk sarapan di pagi itu.
Di titik itu, beliau mendahului truk yang berada di depannya (demikian menurut pemberitaan Pos Metro Siantar). Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul truk lain.
Menurut saksi mata yang dikutip media lokal itu, pengemudi sepeda motor gugup, stang tidak stabil dan menyambar truk. Sepeda motor oleng. Sepeda motor dan pengendaranya masuk ke kolong truk. Ban belakang truk yang tak punya perikemanusiaan itu menggilas punggung (sedikit di bawah tengkuk) ibu dari Vento (tinggal di Depok) dan Septa (tinggal di Pontianak). Haruskah begitu kejamnya?. Sungguh aku tak mengerti.
Semuanya berlangsung dalam hitungan detik, tanpa ada kekuatan yang mampu mencegahnya. Oh Tuhan, tak adakah kekuatan yang bisa menepis tubuhnya berguling, rem yang pakem menghindari gilasan ban truk yang ganas itu?. Tak bisakah, tak adakah......tak adakah.....! Akh...!. Makin banyak aku yang tak mengerti.
(Pos Metro Minggu, menyajikan foto korban dengan posisi telungkup dan kepala ditutupi helm, celana panjang warna hitam dan baju panjang tangan berwarna merah. Darah berserakan di sekitarnya.).
Riwayat putri pensiunan pendeta tentara di Bandung itu, berakhir di tempat kotor itu. Tragis dan sulit kumengerti!
Keluarga yang menunggu di rumah gelisah dan mulai lapar. Sarapan yang dibelinya, serta orang yang membelinya tak kunjung tiba.
Sejak keluarga menyaksikannya berangkat dari rumah hingga peristiwa tragis itu, hanya berselang sekitar 50 menit.
Jawaban dari harapan sungguh di luar dugaan!. Keluarga di rumah mendengar berita yang mengejutkan. Kabar pertama: kecelakan dan kritis, kabar berikutnya: meninggal dunia.
Kabar duka itupun kemudian sampai ke telinga keluarga yang lain dan meledaklah tangis di segala penjuru.
Vento, anak tertuanya, yang seyogianya sore itu akan pulang ke Jakarta, terpaksa menunda keberangkatannya. Wanita yang begitu mengasihinya, sudah pergi menghadap yang kuasa, tanpa pesan apapun. Dia tak menyangka pagi itu akan menjadi pertemuannya yang terakhir. Membeli sarapan, itulah kebaikan terakhir yang dialaminya dari ibunya yang sangat dihasihi itu. Lalu pergi begitu saja!.
Di Medan kabar duka ini kami terima dari adik istriku Dr Ratna, sekitar pukul 08.30 pagi Sabtu, 3 Mei 2014.
Beberapa jam kemudian Pdt Enida Girsang (Sekum PGI Wilayah Sumut) memberitahu kejadian itu dan menjelaskan melalui telepon tentang peristiwa itu secara detil. Beliau saat itu kebetulan sedang berada di Siantar. "Sedih sekali boto" katanya. Enida selama kuliah di STT Jakarta, sering berkunjung ke rumah almarhum, ketika suaminya menjadi Pendeta GKPS Resort Cikoko, Jakarta . Sebuah sms saya terima kemudian dari Pdt Jadasri Saragih, STh, Ketua Yayasan Pendidikan GKPS.
Sebuah peristiwa yang kalau ditanya mengapa, sampai kapanpun tidak akan ada jawabnya.
"Banyak perkara yang tak dapat kumengerti......Mengapakah harus terjadi di dalam kehidupan ini. ................Tiada sesuatu kan terjadi, Tanpa Allah Peduli", kata Ephorus GKPS Pdt Dr Jaharianson Saragih mengutip syair lagu "Allah Peduli" dalam pengantar khotbahnya, saat upacara pemberangkatan jenazah.
Selamat jalan inang Berti br Girsang (istri Pdt Kitaman Saragih Manihuruk, STh). Nanturang yang baik itu mengakhiri perbuatan baiknya di usia 61 tahun. Berat sekali melepas kepergianmu, sulit sekali kumengerti pengalaman pahitmu di hari terakhir hidupmu.
Istriku tidak akan pernah lagi menerima teleponmu, nasehatmu serta kata-katamu yang memberi semangat. Tidak akan pernah lagi dia mendengar sapaanmu setiap minggu yang menyenangkan, membuat istriku dan membuatku tetap bersemangat, meski sesulit apapun situasi yang kami hadapi. Berti adalah seorang pelipur di kala duka, sahabat sejati! :
"Apa kabar kalian di Medan inang. Bagaimana Bapak Clara. Salam ya sama bapak Clara, Nanturang dan tulang sehat-sehat saja".
Suara itu hanya ada dalam kenangan. Tidak akan mungkin terdengar lagi, setelah jasadmu kaku, mulutmu tertutup rapat, karena peristiwa maut itu.
Nanturang Berti memberi kesan terakhir yang sangat indah saat martumpol pahompunya (cucu), putriku Patricia Girsang dan Frederick Simanjuntak, di Gedung Sekolah Minggu HKBP Simalingkar, Oktober, 2013 lalu. Salah seorang cucu kebanggaannya.
"Bagaimana Clara?". Saat itu Clara, putri tertuaku tidak bisa hadir karena bayinya baru berusia tiga bulan. Itulah saat terakhir, aku menyaksikan kelincahanmu, keramahanmu, kepedulianmu kepada kami, kepada semua orang di sekelilingmu.
"Kok nanturang yang selalu telepon kami," ucapan istri yang sering saya dengar, kalau beliau bertelepon. Hanya menanyakan kabar, menjaga silaturahmi.
Jawabannya sederhana. "Siapa yang bisa duluan aja nang," katanya ringan. Itu kudengar seminggu sebelum beliau meninggal.
Inang yang cantik dan hangat ini selalu memanggil aku "boto bapak Clara", (meski tutur dari istriku aku memanggilnya nanturang). Beliau salah seorang boru Girsang terbaik dan sangat berkesan, sejak kukenal 30 tahun yang lalu.
Nanturang tidak akan pernah lagi mengatakan: "Pak Clara, saya mau mampir ke rumah ya Pa!" Kita tidak akan pernah lagi ngobrol tentang cucu-cucumu, tentang Septa, tentang Vento, tentang Tulang, tentang Kita.
Tapi justru di tempat itulah maut itu datang! Bahkan merenggut nyawa orang yang sangat kami cintai. Jalan yang terlihat mulus, kenderaan berjalan perlahan, ternyata begitu kejam.
Pasir penutup bekas darah korban masih terlihat menumpuk ketika kami melintasi lokasi itu saat mengantar jenazah ke acara pemberangkatan di GKPS Jalan Sisingamangaraja, Pematangsiantar Senin sore, 5 Mei 2014.
Dua hari sebelumnya, Berti br Girsang (61), wanita malang yang kami kasihi itu, baru saja membeli sarapan tak jauh dari lokasi itu, hendak pulang ke rumahnya di Rambung Merah dengan mengendarai sepeda motor, berharap keluarganya menikmati makanan lezat untuk sarapan di pagi itu.
Di titik itu, beliau mendahului truk yang berada di depannya (demikian menurut pemberitaan Pos Metro Siantar). Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul truk lain.
Menurut saksi mata yang dikutip media lokal itu, pengemudi sepeda motor gugup, stang tidak stabil dan menyambar truk. Sepeda motor oleng. Sepeda motor dan pengendaranya masuk ke kolong truk. Ban belakang truk yang tak punya perikemanusiaan itu menggilas punggung (sedikit di bawah tengkuk) ibu dari Vento (tinggal di Depok) dan Septa (tinggal di Pontianak). Haruskah begitu kejamnya?. Sungguh aku tak mengerti.
Semuanya berlangsung dalam hitungan detik, tanpa ada kekuatan yang mampu mencegahnya. Oh Tuhan, tak adakah kekuatan yang bisa menepis tubuhnya berguling, rem yang pakem menghindari gilasan ban truk yang ganas itu?. Tak bisakah, tak adakah......tak adakah.....! Akh...!. Makin banyak aku yang tak mengerti.
(Pos Metro Minggu, menyajikan foto korban dengan posisi telungkup dan kepala ditutupi helm, celana panjang warna hitam dan baju panjang tangan berwarna merah. Darah berserakan di sekitarnya.).
Riwayat putri pensiunan pendeta tentara di Bandung itu, berakhir di tempat kotor itu. Tragis dan sulit kumengerti!
Keluarga yang menunggu di rumah gelisah dan mulai lapar. Sarapan yang dibelinya, serta orang yang membelinya tak kunjung tiba.
Sejak keluarga menyaksikannya berangkat dari rumah hingga peristiwa tragis itu, hanya berselang sekitar 50 menit.
Jawaban dari harapan sungguh di luar dugaan!. Keluarga di rumah mendengar berita yang mengejutkan. Kabar pertama: kecelakan dan kritis, kabar berikutnya: meninggal dunia.
Kabar duka itupun kemudian sampai ke telinga keluarga yang lain dan meledaklah tangis di segala penjuru.
Vento, anak tertuanya, yang seyogianya sore itu akan pulang ke Jakarta, terpaksa menunda keberangkatannya. Wanita yang begitu mengasihinya, sudah pergi menghadap yang kuasa, tanpa pesan apapun. Dia tak menyangka pagi itu akan menjadi pertemuannya yang terakhir. Membeli sarapan, itulah kebaikan terakhir yang dialaminya dari ibunya yang sangat dihasihi itu. Lalu pergi begitu saja!.
Di Medan kabar duka ini kami terima dari adik istriku Dr Ratna, sekitar pukul 08.30 pagi Sabtu, 3 Mei 2014.
Beberapa jam kemudian Pdt Enida Girsang (Sekum PGI Wilayah Sumut) memberitahu kejadian itu dan menjelaskan melalui telepon tentang peristiwa itu secara detil. Beliau saat itu kebetulan sedang berada di Siantar. "Sedih sekali boto" katanya. Enida selama kuliah di STT Jakarta, sering berkunjung ke rumah almarhum, ketika suaminya menjadi Pendeta GKPS Resort Cikoko, Jakarta . Sebuah sms saya terima kemudian dari Pdt Jadasri Saragih, STh, Ketua Yayasan Pendidikan GKPS.
Sebuah peristiwa yang kalau ditanya mengapa, sampai kapanpun tidak akan ada jawabnya.
"Banyak perkara yang tak dapat kumengerti......Mengapakah harus terjadi di dalam kehidupan ini. ................Tiada sesuatu kan terjadi, Tanpa Allah Peduli", kata Ephorus GKPS Pdt Dr Jaharianson Saragih mengutip syair lagu "Allah Peduli" dalam pengantar khotbahnya, saat upacara pemberangkatan jenazah.
Selamat jalan inang Berti br Girsang (istri Pdt Kitaman Saragih Manihuruk, STh). Nanturang yang baik itu mengakhiri perbuatan baiknya di usia 61 tahun. Berat sekali melepas kepergianmu, sulit sekali kumengerti pengalaman pahitmu di hari terakhir hidupmu.
Istriku tidak akan pernah lagi menerima teleponmu, nasehatmu serta kata-katamu yang memberi semangat. Tidak akan pernah lagi dia mendengar sapaanmu setiap minggu yang menyenangkan, membuat istriku dan membuatku tetap bersemangat, meski sesulit apapun situasi yang kami hadapi. Berti adalah seorang pelipur di kala duka, sahabat sejati! :
"Apa kabar kalian di Medan inang. Bagaimana Bapak Clara. Salam ya sama bapak Clara, Nanturang dan tulang sehat-sehat saja".
Suara itu hanya ada dalam kenangan. Tidak akan mungkin terdengar lagi, setelah jasadmu kaku, mulutmu tertutup rapat, karena peristiwa maut itu.
Nanturang Berti memberi kesan terakhir yang sangat indah saat martumpol pahompunya (cucu), putriku Patricia Girsang dan Frederick Simanjuntak, di Gedung Sekolah Minggu HKBP Simalingkar, Oktober, 2013 lalu. Salah seorang cucu kebanggaannya.
"Bagaimana Clara?". Saat itu Clara, putri tertuaku tidak bisa hadir karena bayinya baru berusia tiga bulan. Itulah saat terakhir, aku menyaksikan kelincahanmu, keramahanmu, kepedulianmu kepada kami, kepada semua orang di sekelilingmu.
"Kok nanturang yang selalu telepon kami," ucapan istri yang sering saya dengar, kalau beliau bertelepon. Hanya menanyakan kabar, menjaga silaturahmi.
Jawabannya sederhana. "Siapa yang bisa duluan aja nang," katanya ringan. Itu kudengar seminggu sebelum beliau meninggal.
Inang yang cantik dan hangat ini selalu memanggil aku "boto bapak Clara", (meski tutur dari istriku aku memanggilnya nanturang). Beliau salah seorang boru Girsang terbaik dan sangat berkesan, sejak kukenal 30 tahun yang lalu.
Nanturang tidak akan pernah lagi mengatakan: "Pak Clara, saya mau mampir ke rumah ya Pa!" Kita tidak akan pernah lagi ngobrol tentang cucu-cucumu, tentang Septa, tentang Vento, tentang Tulang, tentang Kita.
17 April 2014. Para ibu yang tergabung dalam tumpuan Dorkas berkumpul di rumah inang Berti br Girsang, selesai acara ibadah di Raya GKPS Pdt.J.Wismar Saragih. Mereka mengunjungi Pdt Kitaman Saragih STh yang masih dalam pemulihan kesehatannya. Mereka begitu senang bertemu dengan keluarga itu. Inang Berti yang ramah (pakai baju kunung di tengah, disamping suaminya berpakaian T-Shirt kerah). 3 Mei, 16 hari kemudian inang Berti br Girsang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. (Terima kasih atas foto kiriman inang Sortha Situmorang).
Oh
sedihnya!. Ribuan orang mungkin mengalami hal serupa, ini terlihat dari
ribuan pelayat yang memenuhi rumahnya di Jalan Haji Ulakma Sinaga
Pematangsiantar, saat acara adat dan pemberangkatan ke tempat
peristirahatannya yang terakhir.
Terlihat hadir dalam acara di rumah duka, tokoh-tokoh penting di Siantar Simalungun. Hadir juga dari Jakarta, Dr Junimart Girsang, SH pengacara dan bakal anggota DPR-RI periode 2014-2019. Beliau, yang semasa kuliah di Bandung sering berkunjung ke rumah orang tua almarhum mengungkapkan rasa dukanya dalam sambutan mewakili keluarga Girsang.
Inang Berti adalah teladan seorang istri pendeta. Beliau peduli keluarga, peduli sesama, tak peduli apakah orang lain memperdulikannya. Kebaikannya akan kekal selamanya.
Ephorus GKPS, Pdt Dr Jaharianson Saragih, yang mengaku pernah satu tahun menumpang di rumahnya saat masih studi, menggambarkan inang ini sebagai seorang yang ramah, peduli, mengorbankan dirinya untuk pelayanan suaminya sebagai pendeta dengan meninggalkan pekerjaannya sebagai apoteker. Bahkan beliau menyebut inang Berti adalah orang sangat banyak berperan dalam pernikahannya di GKPS teladan beberapa tahun yang lalu.
"Para istri pendeta harus banyak belajar dari kakakku yang baik ini," ujar Pendeta Jaharianson mengakhiri khotbahnya.
Semoga adik kami Septa dan Vento memahami peristiwa ini sebagai rancangan Tuhan yang terindah, walau beberapa saat ke depan memang masih sangat pahit.
Kami semua yakin, demikian pula kedua adik kami dan tulang Kitaman Manihuruk kuat menghadapi kehidupan yang berbeda ke depan, tanpa orang yang mereka sayangi, Berti br Girsang.
"Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Mazmur 23:4" (Khotbah Pdt Jaharianson Saragih).
Pagi ini saya menulis kisah sedih ini dari meja tempat mendengar kabar duka, Hari Sabtu, 3 Mei 2014, pukul 08.30.
Medan, 6 Mei 2014
Julinda Sipayung, Pdt Hotim Sinaga, Jahenos Saragih, Jaharianson Saragih Vindariana Saragih Manihuruk, Febry Saragih, Dearliany Purba, Sortha Situmorang, Risma Sitorus, Saur Pardomuan Saragih, Grace Christiane, Enida Girsang, Clara Girsang.
Terlihat hadir dalam acara di rumah duka, tokoh-tokoh penting di Siantar Simalungun. Hadir juga dari Jakarta, Dr Junimart Girsang, SH pengacara dan bakal anggota DPR-RI periode 2014-2019. Beliau, yang semasa kuliah di Bandung sering berkunjung ke rumah orang tua almarhum mengungkapkan rasa dukanya dalam sambutan mewakili keluarga Girsang.
Inang Berti adalah teladan seorang istri pendeta. Beliau peduli keluarga, peduli sesama, tak peduli apakah orang lain memperdulikannya. Kebaikannya akan kekal selamanya.
Ephorus GKPS, Pdt Dr Jaharianson Saragih, yang mengaku pernah satu tahun menumpang di rumahnya saat masih studi, menggambarkan inang ini sebagai seorang yang ramah, peduli, mengorbankan dirinya untuk pelayanan suaminya sebagai pendeta dengan meninggalkan pekerjaannya sebagai apoteker. Bahkan beliau menyebut inang Berti adalah orang sangat banyak berperan dalam pernikahannya di GKPS teladan beberapa tahun yang lalu.
"Para istri pendeta harus banyak belajar dari kakakku yang baik ini," ujar Pendeta Jaharianson mengakhiri khotbahnya.
Semoga adik kami Septa dan Vento memahami peristiwa ini sebagai rancangan Tuhan yang terindah, walau beberapa saat ke depan memang masih sangat pahit.
Kami semua yakin, demikian pula kedua adik kami dan tulang Kitaman Manihuruk kuat menghadapi kehidupan yang berbeda ke depan, tanpa orang yang mereka sayangi, Berti br Girsang.
"Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Mazmur 23:4" (Khotbah Pdt Jaharianson Saragih).
Pagi ini saya menulis kisah sedih ini dari meja tempat mendengar kabar duka, Hari Sabtu, 3 Mei 2014, pukul 08.30.
Medan, 6 Mei 2014
Julinda Sipayung, Pdt Hotim Sinaga, Jahenos Saragih, Jaharianson Saragih Vindariana Saragih Manihuruk, Febry Saragih, Dearliany Purba, Sortha Situmorang, Risma Sitorus, Saur Pardomuan Saragih, Grace Christiane, Enida Girsang, Clara Girsang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar