Oleh: Jannerson Girsang
Indonesia mencatat sejarah baru. Jokowi, Capres PDI-P yang sejak menjadi gubernur tinggal di Jakarta, kini harus mencari rumah "tumpangan".
Sejak non aktif sebagai gubernur, Jokowi tidak lagi berhak menempati rumah dinasnya di kompelks elit ibu kota, Jalan Taman Surapati, Menteng, Jakarta Pusat.
Sedih juga ya Pak Jokowi. Seandainya tidak mencalon jadi Presiden, dia bisa tinggal dengan nyaman di rumah dinas, tidak secapek seperti sekarang harus berkelana setiap hari menjelajah Indonesia.
Beban baru seorang yang lebih cinta Indonesia dari pada keluarga. Sebuah persoalan berat bagi saya dan mungkin bagi Anda pembaca artikel ini. Dan pantas diacungkan jempol bagi orang yang lebih mementingkan negeri ini dari keluarganya sendiri.
"Sejak dinyatakan berhenti sementara (nonaktif), tidak dapat menggunakan biaya rumah tangga, pembelian inventaris, biaya pemeliharaan rumah, pemeliharaan kendaraan dinas, dan pemeliharaan kesehatan," ujar Jokowi.
Risiko pilihannya menanti Jokowi. Bermain di politik, penuh ketidakpastian. Tidak ada jaminan menang, meski menurut survey saat ini Jokowi berada di peringkat atas pilihan rakyat.
Banyak faktor yang bisa menggagalkannya jadi Presiden. Kalau seandainya koalisi tidak kompak?. Jokowi tidak punya uang yang cukup mendanai kampanyenya, sementara sudah kadung menjadi capres. Hartanya yang tidak seberapa itu akan terkuras.
Seandainya bu Mega terlalu mendiktenya dan merasa dirinya tidak nyaman, internal partai tiba-tiba terbelah, dan black campaign, pemberitaan media yang negatif, bisa membuat pikiran rakyat berubah.
Kemudian kalah di Pilpres 9 Juli 2014.
Balik menjadi gubernur, tentu secara kemanusiaan dirinya juga tidak nyaman. Sebab kembali ke jabatan yang lebih rendah,setelah bermimpi dan diharapkan jutaan orang menjadi presiden, bukan hal yang mudah untuk menyesuaikan diri.
Lagi pula, tidak demikian saja masyarakat yang tidak mendukungnya rela dirinya kembali menjadi gubernur. Banyak lagi kesulitan lain yang mungkin dialaminya.
Itulah risiko politik yang akan dihadapi Jokowi menjelang Pilpres. Susah juga ternyata jadi Capres, jadi pemimpin dengan beban yang lebih berat ketimbang jadi walikota atau gubernur.
Hanya satu pilihan: Jokowi harus jadi Presiden. Itulah mungkin salah satu yang membakar dirinya terus berusaha menggaet hati rakyat, tentunya dengan cara-cara yang sopan dan beretika.
Kekayaan, fasilitas yang cukup, bukan persyaratan penting menjadi pemimpin. Kepedulian kepada yang dipimpin, konsisten melayani, dan menjaga soliditas tim.
Ada capres kaya, untuk mencari partai yang mau berkoalisi saja susahnya setengah mati. Malah Pencapresannyapun terancam gagal. Padahal perolehan suaranya peringkat dua.
Tak perlu kaya harta memimpin bangsa. Kaya hati lebih penting. Semoga Bapak Jokowi berhasil. Lanjut pak Jokowi!.
Medan, Waisak, 15 Mei 2014
Indonesia mencatat sejarah baru. Jokowi, Capres PDI-P yang sejak menjadi gubernur tinggal di Jakarta, kini harus mencari rumah "tumpangan".
Sejak non aktif sebagai gubernur, Jokowi tidak lagi berhak menempati rumah dinasnya di kompelks elit ibu kota, Jalan Taman Surapati, Menteng, Jakarta Pusat.
Sedih juga ya Pak Jokowi. Seandainya tidak mencalon jadi Presiden, dia bisa tinggal dengan nyaman di rumah dinas, tidak secapek seperti sekarang harus berkelana setiap hari menjelajah Indonesia.
Beban baru seorang yang lebih cinta Indonesia dari pada keluarga. Sebuah persoalan berat bagi saya dan mungkin bagi Anda pembaca artikel ini. Dan pantas diacungkan jempol bagi orang yang lebih mementingkan negeri ini dari keluarganya sendiri.
"Sejak dinyatakan berhenti sementara (nonaktif), tidak dapat menggunakan biaya rumah tangga, pembelian inventaris, biaya pemeliharaan rumah, pemeliharaan kendaraan dinas, dan pemeliharaan kesehatan," ujar Jokowi.
Risiko pilihannya menanti Jokowi. Bermain di politik, penuh ketidakpastian. Tidak ada jaminan menang, meski menurut survey saat ini Jokowi berada di peringkat atas pilihan rakyat.
Banyak faktor yang bisa menggagalkannya jadi Presiden. Kalau seandainya koalisi tidak kompak?. Jokowi tidak punya uang yang cukup mendanai kampanyenya, sementara sudah kadung menjadi capres. Hartanya yang tidak seberapa itu akan terkuras.
Seandainya bu Mega terlalu mendiktenya dan merasa dirinya tidak nyaman, internal partai tiba-tiba terbelah, dan black campaign, pemberitaan media yang negatif, bisa membuat pikiran rakyat berubah.
Kemudian kalah di Pilpres 9 Juli 2014.
Balik menjadi gubernur, tentu secara kemanusiaan dirinya juga tidak nyaman. Sebab kembali ke jabatan yang lebih rendah,setelah bermimpi dan diharapkan jutaan orang menjadi presiden, bukan hal yang mudah untuk menyesuaikan diri.
Lagi pula, tidak demikian saja masyarakat yang tidak mendukungnya rela dirinya kembali menjadi gubernur. Banyak lagi kesulitan lain yang mungkin dialaminya.
Itulah risiko politik yang akan dihadapi Jokowi menjelang Pilpres. Susah juga ternyata jadi Capres, jadi pemimpin dengan beban yang lebih berat ketimbang jadi walikota atau gubernur.
Hanya satu pilihan: Jokowi harus jadi Presiden. Itulah mungkin salah satu yang membakar dirinya terus berusaha menggaet hati rakyat, tentunya dengan cara-cara yang sopan dan beretika.
Kekayaan, fasilitas yang cukup, bukan persyaratan penting menjadi pemimpin. Kepedulian kepada yang dipimpin, konsisten melayani, dan menjaga soliditas tim.
Ada capres kaya, untuk mencari partai yang mau berkoalisi saja susahnya setengah mati. Malah Pencapresannyapun terancam gagal. Padahal perolehan suaranya peringkat dua.
Tak perlu kaya harta memimpin bangsa. Kaya hati lebih penting. Semoga Bapak Jokowi berhasil. Lanjut pak Jokowi!.
Medan, Waisak, 15 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar