Oleh: Jannerson Girsang
Bung Karno, sosok yang luar biasa. Beliau meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970, saat saya masih berusia 9 tahun dan masih duduk di kelas tiga SD.
Bahkan berita meninggalnyapun saya tidak tau, karena bacaan atau sumber berita di desa saya hanya dari mulut ke mulut. Berita dari luar desa hanya melalui radio transistor. RRI Medan atau Pekanbaru. Saya tidak pernah mengingat sesuatu saat meninggalnya Soekarno.
Saat itu saya tidak mengetahui siapa Bung Karno, kecuali cerita-cerita kakek saya. Bung Karno itu luar biasa. Ayah saya juga memuji kehebatan Bung Karno berpidato.
Tapi kisah tentang Soekarno begitu dekat, saya seolah mengenalnya dengan baik. Di masa saya sekolah SMA di Jakarta, saya mulai membaca kisah-kisahnya, mulai dari buku Di Bawah Bendera Revolusi (Jilid I dan Jilid 2--sekarang tinggal jilid1, karena jilid 2nya pernah dipinjam Radiaman Purba dan tidak kembali hingga saat ini), Soekarno Penyambung Lidah Rakyat, Siapa Menabur Angin Menuai Badai, serta berbagai buku-buku lain tentang Soekarno,
Saat saya SMA (1978-1980), kebetulan teman saya satu rumah adalah beberapa mahasiswa dan aktif di GMNI. Mereka sering diskusi dan memegang buku Di bawah Bendera Revolusi. "Soeharto begitu kejam kepada Bung Karno", ujar seorang mahasiswa itu dalam diskusi mereka.
Saat itu setelah 14 tahun Soeharto berkuasa, hampir semua mahasiswa yang di rumah itu tidak suka Soeharto. (Saya juga tidak begitu setuju, karena banyak hal baik dilakukan Soeharto)
Saya sering mendengar mereka berbicara tentang Malari, tentang NKK/BKK yang tentu saja saya belum mengerti. Mahasiswa begitu konsern tentang negerinya. Mereka secara teratur berdiskusi tentang politik, tentang kepemimpinan, tentang negara, bahkan mereka juga berdiskusi tentang Band Black Brother yang lari ke Belanda.
Tapi yang sering menarik perhatian saya adalah cerita kehebatan Bung Karno. Para mahasiswa yang sering berdiskusi di tempat kos saya di Cililitan, dekat kantor BAKN itu, berpidato meniru Bung Karno. Mereka kagum sekali dengan apa saja yang dikatakan Bung Karno dan caranya berpidato (tentu mereka lihat dari buku-buku dan rekaman-rekaman suara Bung Karno). .
Bung Karno, meski saya tidak pernah melihatnya, tidak pernah secara langsung bertatap muka, hanya membaca dan mendengar kisahnya, mampu memberi rasa kagum.
Soekarno ada di mana-mana. Mengunjungi Monas, berjalan di sekitar Sudirman Bundaran HI, dan Hotel Indonesia, Sarinah, adalah melihat Bung Karno. Itulah karya-karya fenomenal beliau.
Bahkan kekaguman saya, ketika suatu waktu ada waktu luang ketika mengikuti sebuah kursus di Jakarta, saya mengajak almarhum adik saya menyempatkan diri mengunjungi makamnya di Blitar, pada 1989. Di makam itu, saya membayangkan seorang laki-laki sejati, mencintai bangsanya lebih dari apapun.
Pulang dari makam, saya singgah ke rumahnya yang berjarak hanya beberapa kilometer dari makam, Sejenak saya duduk di bekas tempat tidurnya.
Pulang dari sana, di Jakarta saya membeli beberapa buku tentang Bung Karno. Kisahnya dengan Ibu Inggit, Indonesia Menggugat (buku yang sering dibawa para mahasiswa di tempat kos saya semasa SMA). Bung Karno, adalah kisah yang unik dalam diriku.
32 tahun regim Soeharto membuat cerita yang negatif tentang Bung Karno, tetapi saya tidak terpengaruh. Bung Karno adalah idolaku. Bung Karno belum ada duanya di Indonesia. Dia sangat mencintai Indonesia. Seluruh masa hidupnya dicurahkan untuk Indonesia. Hari-hari hidupnya adalah berjuang memimpin, berpidato menyuarakan suara Indonesia, menulis tentang cita-citanya untuk Indonesia.
Bung Karno, seorang jenius dan mampu mendalami hati rakyatnya, melahirkan Pancasila, filosofi bangsa yang bisa mempersatukan, melindungi Indonesia dalam kedamaian kehidupan berbangsa dan bernegara. Laki-laki pemberani yang memutuskan memproklamasikan Indoensia 17 Agustus 1945, walau dengan resiko "nyawanya sendiri".
Malam ini saya rindu pidatonya dan untung youtube sudah menyediakan rekaman-rekaman yang bisa kudengar. Pidato yang memukau. Jasmerah, jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah, pidatonya tentang Super Semar--Sebuah Bab yang hilang.
Jokowi dan Prabowo telah mendaftarkan diri sebagai Capres di KPU. Negeri ini kini berada di tangan kalian berdua. Siapapun yang menang, cintailah negeri ini, cintailah bangsa ini seperti cinta Bung Karno.
Jangan ada lagi money politics, jangan ada lagi saling fitnah hanya untuk menang. Bertarunglah secara jantan. Tunjukkan diri kalian sebagai seorang yang jantan seperti Bung Karno.Kurirndukan Bung Karno di diri Jokowi dan Prabowo!.
Medan 21 Mei 2014
Nya Tegen Arimbi Barapinta. Salam untuk orang-orang di Blitar ya Mbak
Bung Karno, sosok yang luar biasa. Beliau meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970, saat saya masih berusia 9 tahun dan masih duduk di kelas tiga SD.
Bahkan berita meninggalnyapun saya tidak tau, karena bacaan atau sumber berita di desa saya hanya dari mulut ke mulut. Berita dari luar desa hanya melalui radio transistor. RRI Medan atau Pekanbaru. Saya tidak pernah mengingat sesuatu saat meninggalnya Soekarno.
Saat itu saya tidak mengetahui siapa Bung Karno, kecuali cerita-cerita kakek saya. Bung Karno itu luar biasa. Ayah saya juga memuji kehebatan Bung Karno berpidato.
Tapi kisah tentang Soekarno begitu dekat, saya seolah mengenalnya dengan baik. Di masa saya sekolah SMA di Jakarta, saya mulai membaca kisah-kisahnya, mulai dari buku Di Bawah Bendera Revolusi (Jilid I dan Jilid 2--sekarang tinggal jilid1, karena jilid 2nya pernah dipinjam Radiaman Purba dan tidak kembali hingga saat ini), Soekarno Penyambung Lidah Rakyat, Siapa Menabur Angin Menuai Badai, serta berbagai buku-buku lain tentang Soekarno,
Saat saya SMA (1978-1980), kebetulan teman saya satu rumah adalah beberapa mahasiswa dan aktif di GMNI. Mereka sering diskusi dan memegang buku Di bawah Bendera Revolusi. "Soeharto begitu kejam kepada Bung Karno", ujar seorang mahasiswa itu dalam diskusi mereka.
Saat itu setelah 14 tahun Soeharto berkuasa, hampir semua mahasiswa yang di rumah itu tidak suka Soeharto. (Saya juga tidak begitu setuju, karena banyak hal baik dilakukan Soeharto)
Saya sering mendengar mereka berbicara tentang Malari, tentang NKK/BKK yang tentu saja saya belum mengerti. Mahasiswa begitu konsern tentang negerinya. Mereka secara teratur berdiskusi tentang politik, tentang kepemimpinan, tentang negara, bahkan mereka juga berdiskusi tentang Band Black Brother yang lari ke Belanda.
Tapi yang sering menarik perhatian saya adalah cerita kehebatan Bung Karno. Para mahasiswa yang sering berdiskusi di tempat kos saya di Cililitan, dekat kantor BAKN itu, berpidato meniru Bung Karno. Mereka kagum sekali dengan apa saja yang dikatakan Bung Karno dan caranya berpidato (tentu mereka lihat dari buku-buku dan rekaman-rekaman suara Bung Karno). .
Bung Karno, meski saya tidak pernah melihatnya, tidak pernah secara langsung bertatap muka, hanya membaca dan mendengar kisahnya, mampu memberi rasa kagum.
Soekarno ada di mana-mana. Mengunjungi Monas, berjalan di sekitar Sudirman Bundaran HI, dan Hotel Indonesia, Sarinah, adalah melihat Bung Karno. Itulah karya-karya fenomenal beliau.
Bahkan kekaguman saya, ketika suatu waktu ada waktu luang ketika mengikuti sebuah kursus di Jakarta, saya mengajak almarhum adik saya menyempatkan diri mengunjungi makamnya di Blitar, pada 1989. Di makam itu, saya membayangkan seorang laki-laki sejati, mencintai bangsanya lebih dari apapun.
Pulang dari makam, saya singgah ke rumahnya yang berjarak hanya beberapa kilometer dari makam, Sejenak saya duduk di bekas tempat tidurnya.
Pulang dari sana, di Jakarta saya membeli beberapa buku tentang Bung Karno. Kisahnya dengan Ibu Inggit, Indonesia Menggugat (buku yang sering dibawa para mahasiswa di tempat kos saya semasa SMA). Bung Karno, adalah kisah yang unik dalam diriku.
32 tahun regim Soeharto membuat cerita yang negatif tentang Bung Karno, tetapi saya tidak terpengaruh. Bung Karno adalah idolaku. Bung Karno belum ada duanya di Indonesia. Dia sangat mencintai Indonesia. Seluruh masa hidupnya dicurahkan untuk Indonesia. Hari-hari hidupnya adalah berjuang memimpin, berpidato menyuarakan suara Indonesia, menulis tentang cita-citanya untuk Indonesia.
Bung Karno, seorang jenius dan mampu mendalami hati rakyatnya, melahirkan Pancasila, filosofi bangsa yang bisa mempersatukan, melindungi Indonesia dalam kedamaian kehidupan berbangsa dan bernegara. Laki-laki pemberani yang memutuskan memproklamasikan Indoensia 17 Agustus 1945, walau dengan resiko "nyawanya sendiri".
Malam ini saya rindu pidatonya dan untung youtube sudah menyediakan rekaman-rekaman yang bisa kudengar. Pidato yang memukau. Jasmerah, jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah, pidatonya tentang Super Semar--Sebuah Bab yang hilang.
Jokowi dan Prabowo telah mendaftarkan diri sebagai Capres di KPU. Negeri ini kini berada di tangan kalian berdua. Siapapun yang menang, cintailah negeri ini, cintailah bangsa ini seperti cinta Bung Karno.
Jangan ada lagi money politics, jangan ada lagi saling fitnah hanya untuk menang. Bertarunglah secara jantan. Tunjukkan diri kalian sebagai seorang yang jantan seperti Bung Karno.Kurirndukan Bung Karno di diri Jokowi dan Prabowo!.
Medan 21 Mei 2014
Nya Tegen Arimbi Barapinta. Salam untuk orang-orang di Blitar ya Mbak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar