"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Sabtu, 01 Agustus 2009
Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (1)
Oleh : Jannerson Girsang
Beberapa hari setelah Pendeta Dr Armencius Munthe, MTh meninggal, 25 Juli 2009 lalu, saya mencoba mencurahkan kesedihan dengan menuliskan tulisan, mengunjungi keluarga dan istrinya untuk menghalau perasaan galau.
22 tahun sejak pertemuan pertama kami sekitar 1987 di Pematangsiantar—saat kami bertugas sebagai dosen di Universitas Simalungun, persahabatan kami tidak pernah terputus. Persahabatan yang direkat dengan ikatan emosional kekeluargaan, diskusi kreatif, menjadikannya sebuah persahabatan sempurna hingga akhir hayat.
Beliau adalah guru saya dan sebaliknya Beliau mengganggap saya adalah temannya, bukan anaknya atau cucunya--meski usia kami berbeda 26 tahun. Dalam kesehariannya, beliau sangat menghormati teman-temannya, sama halnya terhadap saya. Beliau memanggil saya ”sintua nami”, dan tidak pernah memanggil nama.
Umumnya, orang Simalungun yang lebih tua memanggil nama kepada yang lebih muda. Beliau memperlakukan dirinya bukan sebagai seorang senior. ”Kalian seperti dua orang bersaudara,”ujar Floriana istrinya pada suatu kesempatan kami bicara berdua di rumahnya.
Dalam setiap pertemuan, kami berbicara akrab dan saling memuji satu sama lain. Topiknya mulai dari keadaan keluarga, kondisi GKPS, soal penulisan buku-bukunya, soal sekolah anak-anak dan termasuk hal-hal yang bersifat pribadi. Dalam setiap pembicaraan, beliau senantiasa memberi semangat, berfikir positif.
Bersahabat dengan Dr Armencius Munthe, adalah berteman dengan orang yang berhikmat.
Sebagai orang Batak seharusnya kami memiliki ”tutur”. Namun, kami tidak pernah menggunakannya. Kadang beliau saya tempatkan Tondong, beliau tidak keberatan, atau suatu ketika saya menjadi Tondongnya dari satu sisi. Tidak melakonkan tutur satu arah, sehingga dua-duanya tidak merasa sungkan, dua-duanya sebagai pelayan. Tetapi kalau ada acara di rumahnya, kerap kami ikut tondong Girsang, karena ibunya boru Girsang.
Pak Munthe—demikian saya memanggilnya, acapkali bertindak sebagai pengkotbah pada acara peluncuran buku yang saya tulis. Itulah sebabnya, kami sering tampil berdua di depan publik. Di pesta-pesta atau acara gereja, kami akan megusahakan duduk bersama. Berbicara lama dan selalu ada hal yang baru.
Setelah mengakhiri tugasnya sebagai Sekjen GKPS pada 1995, keluarga Pdt Dr Armencius Munthe pindah ke Medan. Jarak yang makin dekat (saya tinggal di Simalingkar dan hanya 10 menit dengan mobil ke rumahnya di Tanjungsari), mendukung persahabatan kami yang semakin erat.
Sampai kemudian saya mendapat kesempatan menulis buku biografinya ”Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga”. Penulisan yang pada awalnya banyak dimotivasi oleh bapak Bungaran Saragih bersama teman-temannya. Masa-masa dimana saya begitu mendalami kehidupannya yang lengkap dengan penderitaan, kebahagiaan, perjuangan, penyerahan dan rasa syukur pada Tuhan atas pencapaiannya dalam hidup.
Beberapa kali peluncuran buku biografi yang kami tulis seperti Bukan Harta Duniawi (2002), Ketegaran Seorang Perempuan (2005), Haholongan (2008), beliau tampil sebagai pengkhotbah. Kalaupun beliau tidak pengkhotbah, saya senantiasa memberi undangan agar beliau bisa hadir.
Beliau akrab dengan anak istri saya. Beliau peduli, bukan hanya dalam kata, tetapi dalam perbuatan. Tidak ada persahabatan saya seakrab beliau dan seluruh keluarganya. Kami saling mengisi dan saling membesarkan satu sama lain, saling menghibur satu sama lain, berbicara hal-hal yang tidak membuat satu sama lain merasa tersinggung.
Dua puluh dua tahun persahabatan kami berlangsung tanpa cacad. Saya sudah menjadi bagian anggota keluarga pak Munthe. Demikian diungkapkan Paul Munthe, saat acara adat penutup dari tondong, malam hari usai acara penguburan dan adat dari Tondng Girsang di rumahnya. Ungkapan itu tidak penting bagi saya, tetapi perasaan saya memang sungguh-sungguh demikian. Saya bangga menjadi bagian keluarga yang membanggakan ini. Armencius Munthe lebih dari orang tua bagiku. Dia begitu hormat kepada kedua orang tuaku yang orang desa dan jauh dari kemewahan, sekali lagi ”Bukan hanya dalam kata-kata”. Dr Armencius Munthe mengasihi temannya dengan segenap hatinya. Tidak hanya dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan.
Persahabatan yang sungguh-sungguh, bukan persahabatan ”ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang”, seperti banyak persahabatan ”hampa” yang beberapa kali saya alami. Bukan persahabatan ”numpang keren” sebagaimana sering terjadi dalam era reformasi ini. Bukan pula persahabatan yang bisa terganggu karena aliran ”politik”
Mungkin, demikian eratnya persahabatan itu, hingga saya beruntung mendampingi beliau di dua bulan terakhir, hari-hari dimana pertemuan kami begitu intensif, sebelum Tuhan memanggilnya. Sebuah persahabatan sempurna yang dipisahkan oleh kematian.
Banyak kisah yang diutarakannya beberapa hari sebelum beliau harus dilarikan ke rumah Sakit Sabtu sore 18 Juli 2009. Tentunya, tidak semua harus kuceritakan disini. Lukisan ini hanya kumaksudkan bagi mereka yang merasa perlu membacanya dengan ”hati”. Inilah sekilas persahabatan kami, sebuah kelengkapan dokumentasi ke depan. Mudah-mudahan ada gunanya.
Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (4)
Oleh : Jannerson Girsang
Dua orang pria, Elisa dan salah seorang Saudara pak Munthe sedang berada di dalam ruangan menjaganya. Beliau sedang ”tertidur”, tetapi mendengar suara saya, beliau langsung memutar mukanya ke arahku. Tabung oksigen membantu pernafasannya terpasang. ”Ai ise do on”katanya. (Siapa ini?). Aku sangat sedih. Hari Kamis, lima hari sebelumnya, pria yang sangat kukagumi ini masih tegar dan tidak ada menunjukkan sakit apapun. Bercerita dengan lancar dan penuh rasa humor. ”Kini beliau tidak mengenalku lagi”.
Barangkali sensor syarafnya sudah tidak secepat dulu lagi. Setelah saya mendekat dan membisikkan: ”Ini Jannerson”, beliau meneteskan air mata. Aku berdoa disamping telinganya sambil mengusap keningnya. ”Ya...a.....ah”, hanya itu yang keluar dari mulut yang selama ini menjadi sumber kata-kata bernas diselingi senyum dan tawa yang bisa membuatku melupakan segala kepenatan hidup.
Di akhir doa aku berkata: “Amen”. Beberapa saat kemudian kesadarannya makin bertumbuh. “Bukutta pe lape sae,”katanya. (Buku kita belum selesai). Khayalan burukku hilang dan kembali menemukan Munthe sahabatku yang sebenarnya. Beliau mulai ingat pekerjaan kami yang terakhir. Membuat buku kenangan bagi seorang istri yang sangat disayanginya, Floriana Tobing. Hadiah Ulang Tahunnya ke 78, yang jatuh pada 16 September 2009 mendatang.
Tapi, aku kembali sedih, setelah memeriksa tangan dan kaki kirinya. ”Badannya sebelah kiri lumpuh,”kata Elisa. Aku cubit, memang tidak ada reaksi. ”Tuhan, mengapa ini terjadi,” demikian jeritku dalam hati dengan tangis yang tertahan. Bertemu dengan pak Munthe selama ini seolah kita bertemu malaikat penolong. Semua pertolongan ada padanya. Kini, beliaulah yang terbaring dan harus dilayani. Kehidupan yang paling pahit baginya. Beliau tidak pernah mau dilayani.
Aku mengambil gambarnya dengan kamera beberapa kali. Mungkin ini kenang-kenangan bersejarah di kemudian hari. Beliau sangat senang ketika itu. Beliau bahkan mengatur posisi orang-orang di sekitarnya. ”Kau disini, kau di sana,”katanya.
Bertemu dengan pak Munthe selama ini seolah kita bertemu malaikat penolong. Semua ada padanya. Kini, beliaulah yang terbaring dan harus dilayani. Kehidupan yang paling pahit baginya. Beliau tidak pernah mau dilayani.
Kondisinya memang tidak labil. Kemudian beliau beberapa kali menanyakan siapa saya, saiapa istri saya. Kemudian beliau katakan kepada Elisa supaya Vorhanger Pekanbaru ditelepon. Hanya sekitar 20 menit saya berada di ruangan. ”Saya hanya berfikir, andaikata beliau tidak bisa berbicara lagi. Begitu banyak cerita dari mulut pak Munthe yang belum sempat terekam, begitu banyak kata-kata indah yang belum kudengar”.
Aku sempat memperhatikan daftar orang di buku tulis tiga puluh dua halaman--buku tamu, yang disediakan istrinya. Aku mengetahui ada sekitar 20-an orang yang bertamu sejak hari Sabtu. Mungkin ada beberapa lain yang tidak terdaftar. Tak perlu kusebutkan bagaimana perasaanku melihat buku tamu itu!
Aku keluar dengan seribu perasaan cemas dan sedih. Kawanku selama 22 tahun, harus menderita penyakit seperti ini. Beliau merasa sepi, tidak bisa mengunjungi jemaatnya. Karena beliau hanya bisa besyukur, kalau bisa melayani. Kini beliau dilayani seratus persen!
Tidak ada terbetik dalam hati, kalau Armencius akan segera meninggalkan kami.
Saat itu aku hanya berfikir, beliau akan mengalami sakit yang lama. Kami sempat berbincang dengan Berkelina Munthe (adik perempuan satu-satunya dari pak Munthe) yang tiba beberapa saat di belakang kami. Bicara soal usaha yang mungkin bisa menolongnya. Tapi, itu hanya basa basi saja. Yang menentukan perawatan adalah dokter yang merawatnya.
Aku meninggalkan rumah sakit bersama ayah dan ibu saya. Sesampainya di rumah kami beberapa saat mendiskusikan kejadian yang menimpa pak Munthe. Semua merasa sedih. Ayah saya yang baru berulang tahun ke-72, 5 Juli lalu merasa terpukul. ”Saya mendapat hadiah pulsa Rp 50.000,” katanya ketika itu. Itu dari pak Munthe. Beliau tidak hanya memperhatikan orang-orang besar. Orang kecil di pelosok, masuk dalam doanya, masuk dalam pelayanannya.
Hari-hari berikutnya aku hanya mendapat informasi melalui telepon dari inang. ”Tidak ada perubahan. Kondisinya sama seperti ketika masuk ke rumah sakit,”ujarnya, ketika kuhubungi besoknya.
Jumat 24 Juli. Saya menjenguknya ke rumah sakit bersama istri saya, St Lerpin Girsang dan anaknya Melisa, dan Hendra Girsang. Saat itu dua orang teman kami Lae Tarihoran dan Romi Junover Girsang dirawat di rumah Sakit Herna.
Aku bertambah pesismis melhat pak Munthe, kondisnya tidak berubah. Beliau tidak mengenalku lagi. Tak ada kata-kata yang bisa kuingat keluar dari mulutnya. Tangan dan kaki kirinya tidak bisa digerakkan. Sekali-sekali beliau menarik nafas panjang. Kepalanya digerak-gerakkan mulutnya bicara tanpa bisa kmengerti dengan jelas.
Istri saya menyerahkan serantang makan siang kepada inang Floriana Tobing. ”Hanya ini yang bisa kami bawa nang”ujar istriku. Inang yang baik hati itu menyambutnya dengan senyum. ”Serantang nasi bagi penjaga pak Munthe”, untuk kebaikan pak Munthe. Disaksikan pak Tjipta Sitepu dan pendeta Aruan yang saat itu berada di ruangan tiga kali tiga meter itu. Tjipta Sitepu nama yang sering disebut-sebut pak Munthe dan Aruan adalah asisten pribadinya di rumah dalam penulisan buku-bukunya.
Tak ada tanda-tanda beliau akan pulih secepatnya, tetapi tidak ada firasatku beliau akan pergi. Kami meninggalkannya di rumah sakit. Beliau ditemani istri tercintanya dan beberapa teman dekatnya.
Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (1)
Oleh : Jannerson Girsang
22 tahun sejak pertemuan pertama kami sekitar 1987 di Pematangsiantar—saat kami bertugas sebagai dosen di Universitas Simalungun, persahabatan kami tidak pernah terputus. Persahabatan yang direkat dengan ikatan emosional kekeluargaan, diskusi kreatif, membuatnya menjadi persahabatan sempurna hingga akhir hayat.
Beliau adalah guru saya dan sebaliknya Beliau mengganggap saya adalah temannya, bukan anaknya atau cucunya. Dalam setiap pertemuan, kami senantiasa berbicara akrab dan saling memuji satu sama lain. Topiknya mulai dari keadaan keluarga, kondisi GKPS, soal penulisan buku-bukunya, soal sekolah anak-anak dan termasuk hal-hal yang bersifat pribadi. Dalam setiap pembicaraan, beliau senantiasa memberi semangat, berfikir positif. Bersahabat dengan Dr Armencius Munthe, adalah berteman dengan orang yang berhikmat.
Beliau sangat menghormati teman-temannya. Demikian juga terhadap saya. Beliau memanggil saya ”sintua nami”, dan tidak pernah memanggil nama, sebagaimana biasanya orang Simalungun yang lebih tua memanggil yang lebih muda. Meski usia kami berbeda hampir 26 tahun, tetapi beliau senantiasa menjaga dirinya bukan sebagai seorang senior. Kami berteman. ”Kalian seperti dua orang bersaudara,”ujar Floriana pada suatu kesempatan kami bicara berdua di rumahnya.
Sebagai orang Batak seharusnya kami memiliki ”tutur”. Namun, kami tidak menggunakannya. Pak Munthe—demikian saya memanggilnya, acapkali bertindak sebagai pengkotbah pada acara peluncuran buku yang saya tulis. Itulah sebabnya, kami sering tampil berdua di depan publik. Di pesta-pesta atau acara gereja, kami akan megusahakan duduk bersama. Berbicara lama dan selalu ada hal yang baru.
Setelah mengakhiri tugasnya sebagai Sekjen GKPS pada 1995, keluarga Pdt Dr Armencius Munthe pindah ke Medan. Jarak yang makin dekat (saya tinggal di Simalingkar dan hanya 10 menit dengan mobil ke rumahnya di Tanjungsari), mendukung persahabatan kami yang semakin erat.
Sampai kemudian saya diberi kesempatan menulis buku biografinya ”Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga”. Penulisan yang banyak dimotivasi oleh bapak Bungaran Saragih bersama teman-temannya.
Beberapa kali peluncuran buku biografi yang kami tulis seperti Bukan Harta Duniawi (2002), Ketegaran Seorang Perempuan (2005), Haholongan (2008), beliau tampil sebagai pengkhotbah. Kalaupun beliau tidak pengkhotbah, saya senantiasa memberi undangan agar beliau bisa hadir.
Beliau akrab dengan anak istri saya. Beliau peduli, bukan hanya dalam kata, tetapi dalam perbuatan. Tidak ada persahabatan saya seakrab beliau dan seluruh keluarganya. Kami saling mengisi dan saling membesarkan satu sama lain, saling menghibur satu sama lain. Kami selalu berbicara hal-hal yang tidak membuat satu sama lain merasa tersinggung. Dua puluh dua tahun persahabatan kami berlangsung tanpa cacad.
Bahkan, secara tidak formal saya sudah menjadi bagian anggota keluarga pak Munthe. Demikian diungkapkan Paul Munthe, saat acara adat penutup dari tondong pada malam hari usai acara penguburan di rumahnya. Ungkapan itu tidak penting bagi saya, tetapi perasaan saya memang sungguh-sungguh demikian. Saya bangga menjadi bagian keluarga yang membanggakan ini. Armencius Munthe lebih dari orang tua bagiku. Dia begitu hormat kepada kedua orang tuaku yang orang desa dan jauh dari kemewahan, sekali lagi ”Bukan hanya dalam kata-kata”.
Dr Armencius Munthe mengasihi temannya dengan segenap hatinya. Tidak hanya dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan. Demikian persahabatan kami selama ini. Persahabatan yang sungguh-sungguh, bukan persahabatan ”ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang”, seperti banyak persahabatan ”hampa” yang beberapa kali saya alami. Bukan persahabatan ”numpang keren” sebagaimana sering terjadi dalam era reformasi ini. Bukan pula persahabatan yang bisa terganggu karena aliran ”politik”
Mungkin, persahabatan yang demikianlah hingga saya berkesempatan mendampingi beliau di dua bulan terakhir, hari-hari dimana pertemuan kami begitu intensif, sebelum Tuhan memanggilnya. Sebuah persahabatan yang dipisahkan oleh kematian yang tanpa cacad.
Banyak kisah yang diutarakannya beberapa hari sebelum beliau harus dilarikan ke rumah Sakit Sabtu sore 18 Juli 2009. Tentunya, tidak semua harus kuceritakan disini. Lukisan ini hanya kumaksudkan bagi mereka yang merasa perlu membacanya dengan ”hati”, bukan dengan rasio. Tak ada analisa, hanya sebuah pandangan sekilas untuk sebuah persahabatan,menghormati seorang sahabat. Mudah-mudahan ada gunanya bagi yang lain.