Persahabatan Dipisahkan Kematian
Oleh : Jannerson Girsang
Beberapa hari setelah Pendeta Dr Armencius Munthe, MTh meninggal, 25 Juli 2009 lalu, saya mencoba mencurahkan kesedihan dengan menuliskan tulisan, mengunjungi keluarga dan istrinya untuk menghalau perasaan galau.
22 tahun sejak pertemuan pertama kami sekitar 1987 di Pematangsiantar—saat kami bertugas sebagai dosen di Universitas Simalungun, persahabatan kami tidak pernah terputus. Persahabatan yang direkat dengan ikatan emosional kekeluargaan, diskusi kreatif, menjadikannya sebuah persahabatan sempurna hingga akhir hayat.
Beliau adalah guru saya dan sebaliknya Beliau mengganggap saya adalah temannya, bukan anaknya atau cucunya--meski usia kami berbeda 26 tahun. Dalam kesehariannya, beliau sangat menghormati teman-temannya, sama halnya terhadap saya. Beliau memanggil saya ”sintua nami”, dan tidak pernah memanggil nama.
Umumnya, orang Simalungun yang lebih tua memanggil nama kepada yang lebih muda. Beliau memperlakukan dirinya bukan sebagai seorang senior. ”Kalian seperti dua orang bersaudara,”ujar Floriana istrinya pada suatu kesempatan kami bicara berdua di rumahnya.
Dalam setiap pertemuan, kami berbicara akrab dan saling memuji satu sama lain. Topiknya mulai dari keadaan keluarga, kondisi GKPS, soal penulisan buku-bukunya, soal sekolah anak-anak dan termasuk hal-hal yang bersifat pribadi. Dalam setiap pembicaraan, beliau senantiasa memberi semangat, berfikir positif.
Bersahabat dengan Dr Armencius Munthe, adalah berteman dengan orang yang berhikmat.
Sebagai orang Batak seharusnya kami memiliki ”tutur”. Namun, kami tidak pernah menggunakannya. Kadang beliau saya tempatkan Tondong, beliau tidak keberatan, atau suatu ketika saya menjadi Tondongnya dari satu sisi. Tidak melakonkan tutur satu arah, sehingga dua-duanya tidak merasa sungkan, dua-duanya sebagai pelayan. Tetapi kalau ada acara di rumahnya, kerap kami ikut tondong Girsang, karena ibunya boru Girsang.
Pak Munthe—demikian saya memanggilnya, acapkali bertindak sebagai pengkotbah pada acara peluncuran buku yang saya tulis. Itulah sebabnya, kami sering tampil berdua di depan publik. Di pesta-pesta atau acara gereja, kami akan megusahakan duduk bersama. Berbicara lama dan selalu ada hal yang baru.
Setelah mengakhiri tugasnya sebagai Sekjen GKPS pada 1995, keluarga Pdt Dr Armencius Munthe pindah ke Medan. Jarak yang makin dekat (saya tinggal di Simalingkar dan hanya 10 menit dengan mobil ke rumahnya di Tanjungsari), mendukung persahabatan kami yang semakin erat.
Sampai kemudian saya mendapat kesempatan menulis buku biografinya ”Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga”. Penulisan yang pada awalnya banyak dimotivasi oleh bapak Bungaran Saragih bersama teman-temannya. Masa-masa dimana saya begitu mendalami kehidupannya yang lengkap dengan penderitaan, kebahagiaan, perjuangan, penyerahan dan rasa syukur pada Tuhan atas pencapaiannya dalam hidup.
Beberapa kali peluncuran buku biografi yang kami tulis seperti Bukan Harta Duniawi (2002), Ketegaran Seorang Perempuan (2005), Haholongan (2008), beliau tampil sebagai pengkhotbah. Kalaupun beliau tidak pengkhotbah, saya senantiasa memberi undangan agar beliau bisa hadir.
Beliau akrab dengan anak istri saya. Beliau peduli, bukan hanya dalam kata, tetapi dalam perbuatan. Tidak ada persahabatan saya seakrab beliau dan seluruh keluarganya. Kami saling mengisi dan saling membesarkan satu sama lain, saling menghibur satu sama lain, berbicara hal-hal yang tidak membuat satu sama lain merasa tersinggung.
Dua puluh dua tahun persahabatan kami berlangsung tanpa cacad. Saya sudah menjadi bagian anggota keluarga pak Munthe. Demikian diungkapkan Paul Munthe, saat acara adat penutup dari tondong, malam hari usai acara penguburan dan adat dari Tondng Girsang di rumahnya. Ungkapan itu tidak penting bagi saya, tetapi perasaan saya memang sungguh-sungguh demikian. Saya bangga menjadi bagian keluarga yang membanggakan ini. Armencius Munthe lebih dari orang tua bagiku. Dia begitu hormat kepada kedua orang tuaku yang orang desa dan jauh dari kemewahan, sekali lagi ”Bukan hanya dalam kata-kata”. Dr Armencius Munthe mengasihi temannya dengan segenap hatinya. Tidak hanya dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan.
Persahabatan yang sungguh-sungguh, bukan persahabatan ”ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang”, seperti banyak persahabatan ”hampa” yang beberapa kali saya alami. Bukan persahabatan ”numpang keren” sebagaimana sering terjadi dalam era reformasi ini. Bukan pula persahabatan yang bisa terganggu karena aliran ”politik”
Mungkin, demikian eratnya persahabatan itu, hingga saya beruntung mendampingi beliau di dua bulan terakhir, hari-hari dimana pertemuan kami begitu intensif, sebelum Tuhan memanggilnya. Sebuah persahabatan sempurna yang dipisahkan oleh kematian.
Banyak kisah yang diutarakannya beberapa hari sebelum beliau harus dilarikan ke rumah Sakit Sabtu sore 18 Juli 2009. Tentunya, tidak semua harus kuceritakan disini. Lukisan ini hanya kumaksudkan bagi mereka yang merasa perlu membacanya dengan ”hati”. Inilah sekilas persahabatan kami, sebuah kelengkapan dokumentasi ke depan. Mudah-mudahan ada gunanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar