My 500 Words

Sabtu, 01 Agustus 2009

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (5)

Armencius Munthe sudah Tiada!

Oleh : Jannerson Girsang

Sabtu 25 Juli 2009. Seharian saya di rumah menulis. Perbaikan-perbaikan dan tambahan informasi penulisan buku Floriana dari putrinya Ruth yang dikirimkan Jumat. Istri saya mengajak ke rumah sakit menjenguk pak Munthe. Tapi, aku menampiknya. Ada niat, tetapi aku lebih memilih menulis. Aku bilang besok aja hari Minggu. Seharian bisa di rumah sakit. Entah kenapa!. Hingga malam hari, sekitar jam 20, aku masih menulis. 

Lewat sedikit jan 20.00, istri saya mengajak ke laundry mengambil baju yang akan dipakainya ke gereja hari Minggu besoknya ke laundry boru Tampubolon di jalan Tembakau Raya, Simalingkar. Kemudian kami membeli makan malam. Ketika kami kembali ke rumah, Devi anak bungsu saya, sudah tertidur, mungkin capek setelah seharian belajar di sekolahnya SMA Methodist Medan.  

Usai makan malam, handphone saya berdering. Dr Sukarman Purba mengundang saya ke rumah teman saya Sy Edi Sahman Purba, yang berjarak hanya empat puluh meter dari rumah saya atau dua gang dari rumah saya. Ada acara arisan Saragih di sana.  

Hujan sejak sore sudah mulai reda. Tiba-tiba, sekitar jam 22.00, Vorhanger mengatakan Pendeta Armencius Munthe sudah meninggal. Tak lama sms dari St Daud Purba dan St Sudiaman Sinaga masuk memberitakan hal yang sama. Beberapa sms kemudian masuk lagi dan berita yang sama. Berita yang sangat menyedihkan. ”Pendeta Dr A. Munthe sudah meninggal sepuluh menit yang lalu”. Tuhan! 

Beberapa saat kemudian, saya secara resmi menerima telepon dari keluarga. Ruth, putri satu-satunya Pak Munthe menelepon saya. ”Bang bapak udah pergi,”ujarnya sambil terisak-isak sedih. Oh, Tuhan, beginikah akhir perjalanan seorang yang mengerjakan kebaikan tanpa pernah menyebut-nyebut dirinya baik. Good works no name. 

Saya mengajak beberapa teman saya di rumah Edi Sahman ke rumahnya untuk melayat, tetapi mereka manyarankan supaya bersama-sama ke sana usai kebaktian Minggu besok. 

Tetapi, aku kemudian menghidupkan mobil. Istri saya sudah tertidur lelap. Kubangunkan tetapi beliau menyarankan besok pagi saja. Setelah panas mobil cukup, saya mengeluarkannya dari garasi dan terus tancap ke Tanjung sari. Dini hari sekitar jam 03, Minggu 26 Juli itu begitu sepi. Hanya satu dua mobil yang berpapasan dengan saya. Simpang Simalingkar yang biasa macet, aku bisa melenggang menuju rumah pak Munthe melalui Simpang Selayang.  

Tidak banyak lagi kutemukan orang di rumah. Para tamu yang menyertai beliau dari rumah sakit sebagian besar sudah pulang dan yang tinggal hanya keluarga dekat. Kumasuki rumah pak Munthe, melalui pintu yang sebelumnya senantiasa berdiri seorang pria yang ramah dan menyenangkan. Kumasuki ruang tamu yang biasanya terpasang beberapa kursi tamu, sudah kosong. 

Ruangan itu diganti dengan sosok mayat seorang pria yang sangat kukagumi. Beliau terbaring di atas dipan dengan berpakaian Toga Pendeta dan dilapis dengan ulos Batak (saya lupa nama ulos itu). Pak Munthe sudah terbaring kaku persis di tempat dimana kami bertiga, aku, pak Munthe dan istrinya berbincang pada 16 Juli. Tak ada lagi canda tawa. 

Ruangan tempat kami bercanda, dini hari itu diisi suara isak tangis. Adik perempuannya Berkelina Munthe yang datang dari kampung berselang hanya beberapa menit, menangis sejadi-jadinya dan memeluk saya. Beberapa hari sebelumnya, kami bertemu saat menjenguk pak Munthe di rumah sakit.

Tak ada suara, canda dan ekspresi yang bisa diungkapkan Pak Munthr. Beliau diam seribu bahasa. Mulutnya tertutup rapat, tangannya terlipat dalam sikap berdoa. Pak Munthe meninggalkan kami semua. Meningalkan sejuta kenangan indah!

Aku menyalami tamu di sekitar jasadnya yang sudah membeku. Merenung sejenak memperhatikan jasad yang sudah membeku. Aku mengelus keningnya. Selamat jalan kawan!

Aku menemui ibu Floriana di kamarnya. Beliau menangis dan aku memeluknya. Beliau terus menangis dan aku menasehatinya. ”Inang sudah mengalami penderitaan yang jauh lebih hebat dari malam ini. Inang harus kuat,”aku mengingatkannya, seraya menghapus air matanya dan mencium keningnya. 

Aku sangat iba melihat ibu yang sangat polos dan baik ini. Selama ini beliaulah yang sakit. Kadang kami harus menunda wawancara karena mempertimbangkan kondisi kesehatannya. Justru dalam kondisi seperti ini beliau harus menghadapi situasi berat. 

Disaksikan cucunya Theofil yang tiduran di sampingnya duduk, akhirnya Floriana bisa tenang ”Yah, saya bisa terima kok. Beliau tidak menyusahkan saya, beliau mengerti situasi,” demikian ibu yang tangguh ini memaknai perginya pak Munthe. 

Tidak ada komentar: