In Memoriam Pdt Dr Armencius Munthe MTh
“Pelayanannya Menembus Semua Lapisan”
Oleh : Jannerson Girsang
Kepergiaan Pendeta Dr Armencius Munthe, mantan Ephorus Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) begitu tiba-tiba. Pagi itu, 18 Juli 2009, ia masih memberangkatkan istrinya menghadiri pesta perkawinan anak seorang warga GKPS, dan beberapa jam kemudian beliau terjatuh di rumahnya karena terserang stroke. Diangkut ke rumah sakit dan seminggu kemudian menghembuskan nafas terakhir.
GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun), umat Kristen umumnya kehilangan seorang tokoh yang cerdas, humoris dan pelayanannya menembus semua lapisan dan sekat-sekat denomimasi.
”Bapak sudah pergi bang,”demikian pemberitahuan singkat Ruth Munthe, putri bungsu Dr Armencius Munthe MTh, kepada penulis melalui telepon genggamnya beberapa saat setelah Mantan Ephorus GKPS itu meninggal di Rumah Sakit Herna, Medan Sabtu malam menjelang pukul 22.00 wib, 25 Juli 2009. Beliau meninggal setelah seminggu dirawat di rumah sakit milik keluarga Dr TD Pardede itu.
Beberapa jam setelah pendeta yang pensiun dari GKPS pada 1999 ini dinyatakan meninggal, suasana Jalan Flamboyan I/1 No 12 berbeda dari sebelumnya. Beberapa menit memasuki 26 Juli 2009, rumah itu dipenuhi para pendeta, jemaat dan keluarga. Mereka bukan mengadakan kebaktian (partonggoan). Sebuah mobil ambulans dengan suara sirene yang meraung-raung memasuki halaman rumah sederhana itu. Di dalam ambulans terbujur kaku jenazah Pendeta Dr Armencius Munthe MTh.
Beberapa pendeta dan anggota keluarga mengangkat jenazahnya ke dalam rumah, kemudian membaringkannya di atas dipan di ruang tamu. Beliau telah menghadap sang Pencipta. Isak tangis memenuhi ruangan. Kesedihan menerpa seluruh penghuni rumah menyaksikan kepergiannya.
Berita meninggalnya Dr Armencius Munthe, begitu mengagetkan. Penulis sendiri masih berbicara sekitar tiga jam hari Kamis, 16 Juli (dua hari sebelum beliau diangkut ke rumah sakit, karena terkena stroke). Pria yang mengakhiri masa jabatan Sekjen GKPS pada 1995 ini, masih terlihat segar bugar.
Warga sekitar rumahnya tak menduga kepergiannya yang begitu cepat, karena beberapa hari sebelumnya masih sehat. “Kami masih jalan kaki bersama-sama, sebelum beliau masuk rumah sakit,”ujar Dr J.Raplan Hutauruk, sahabat akrabnya dan tinggal tidak jauh dari rumahnya.
Beberapa waktu sebelumnya, beliau masih memberikan ceramah atau khotbah di berbagai tempat. ”Beliau masih memberi ceramah di acara Gereja Methodis Indonesia (GMI) akhir bulan Juni lalu,”ujar Bishop GMI, Pendeta Dolok Saribu, terisak-isak, tak mampu menahan rasa sedihnya, saat melayatnya Senin, dua hari setelah beliau meninggal. Bahkan sesudah acara itu, beliau masih memimpin acara pengumpulan dana di GKPS Siantar Timur dan khotbah di Gereja GKPS Cikoko, Jakarta.
Pendeta Dr Armencius Munthe MTh sudah pergi meninggalkan kita. Begitu panjang pengalaman melayani yang dijalaninya, begitu banyak orang yang dilayaninya, begitu beragam liku-liku hidup yang dialaminya. Semuanya beliau maknai dengan sebuah kalimat "Aku bersykur kalau masih bisa melayani".
Tidak mudah menggambarkan secara lengkap seorang tokoh seperti ini, apalagi dalam tulisan singkat. Artikel ini hanya melihat sepintas dari sosoknya dari sisi kemampuan intelektual, komunikasinya, serta pelayananannya. Tulisan ini banyak bersumber dari ungkapan-ungkapan para pelayat dan ungkapan para tokoh yang sudah didokumentasikan dalam bentuk tulisan, serta observasi penulis sendiri.
Pelayanannya Menembus Semua Lapisan
Dr Armencius adalah teman satu angkatan dengan Pendeta PWT Simanjuntak (Mantan Ephorus HKBP) dan Pendeta RMG Marbun (mantan Bishop GKPI), yang lulus dari STT HKBP Nommensen pada 1958. Beliau adalah seorang anak desa dan hidup dalam kesederhanaan. ”Kami berdualah yang tidak pernah makan bakmi diantara mahasiswa, ketika kuliah karena tidak punya uang,”ujar RMG Marbun saat menjenguk rekannya itu di rumah duka. Kesederhanaan dilakonkan Dr Munthe sampai akhir hayatnya.
Kesederhanaan bukan berarti alasan untuk tidak menyenangkan orang lain. Beliau adalah orang yang mampu memberikan suasana menyenangkan bagi sekelilingnya. Dalam setiap perjumpaan atau pertemuan, Dr Armencius Munthe senantiasa membuat suasana segar. ”Kadang kami mendengar beliau berceramah sampai tiga jam, tanpa merasa capek. Beliau kaya dengan kata-kata humor disertai ekpresinya yang membuat orang ketawa,”ujar Pendeta Dr Dolok Saribu, Bishop Gereja Methodis Indonesia (GMI) saat melayatnya Senin 27 Juli 2009. .
Lulusan Master Theologia dari Fakultas Teologia, Universitas Hamburg 1965 ini adalah seorang intelektual yang bisa mengkomunikasikan ide-ide dan pikirannya kepada berbagai lapisan masyarakat. Orang berkumpul kalau dia datang, orang mendengar kalau dia berbicara. ”Beliau adalah salah seorang pemimpin GKPS yang memiliki kemampuan intelektual sekaligus mampu berkomunikasi dengan segala lapisan masayarakat, sehingga kehadirannya sangat dirindukan semua jemaat,” demikian Prof Dr Bungaran Saragih, dalam biografinya Anugerah Tak Terhingga (2004).
Dalam kapasitasnya sebagai seorang dosen, pria yang selama dua tahun melayani sebagai dosen di Seminari BNKP Ombolata Nias (1966-1968) ini digambarkan oleh Dr H. Doloksaribu, sebagai seorang yang pintar, humoris, jujur, ramah, peduli. suka memberi dan rendah hati. Tentang kisah suka memberi, Dr H. Doloksaribu menceritakan sebuah pengalaman mahasiswa yang pernah di dengarnya. Beliau mengisahkan betapa sebagai dosen pembimbing mahasiswa Pasca Sarjana, mantan dosen STT Abdi Sabda dan STT HKBP Nommensen ini acapkali merogoh koceknya untuk uang transportasi mahasiswa pulang. ”Sulit dicari dosen pembimbing seperti pak Munthe,” ujarnya.
Beberapa pimpinan gereja yang melayatnya hari Senin 27 Juli mengungkapkan betapa beliau sepanjang hidupnya mencurahkan diri untuk melayani, mengkomunikasikan ide-ide dan pemikirannya ke tengah-tengah masyarakat. ”Aku bersyukur kalau masih bisa melayani,”demikian mottonya yang dikutip Pendeta Belman Purba Dasuha, STh, Ephorus GKPS saat melayatnya hari itu. Dasuha mengatakan, meski sudah pensiun sebagai pendeta, sepanjang hidupnya Pendeta Munthe terus memenuhi undangan berkhotbah ke berbagai gereja di Medan ataupun di Jakarta dan tempat-tempat lainnya di Sumatera.
Di luar tugasnya sebagai gembala rohani dan dosen, pria yang pernah aktif sebagai pengurus berbagai organisasi gereja dunia maupun nasional ini, adalah seorang penasehat sejarah, adat dan tradisi orang Simalungun kepada para tamu-tamunya dari luar negeri. ”Ephorus Munthe menjadi penasehat yang berharga bagi saya secara khusus dalam hal sejarah, adat dan tradisi orang Simalungun. Dalam waktu yang tidak berapa lama orang dapat berhubungan dengan beliau secara terbuka dan bersahabat,:ujar Pendeta Clem Schmidt, Gereja Lutheran, Australia.
Kemampuannya berkomunikasi dengan semua lapisan masyarakat membuat pelayanannnya dirindukan banyak orang. Tidak hanya sebatas jemaat dan para majelis dan pendeta di gerejanya di GKPS, tetapi juga berbagai denominasi. Dr Armencius Munthe MTh acapkali berkhotbah di Gereja HKBP, GKPI, GBKP, BNKP Nias, HKI, Gereja Methodist dan gereja lainnya, persekutuan-persekutuan di kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan dan kebaktian-kebaktian rumah tangga..
Peduli Kualiatas Pelayanan
Suami Floriana Tobing ini, tidak hanya berkomunikasi lewat khotbah langsung kepada jemaat. Sejak awal beliau memikirkan komunikasi khotbah lewat media dan buku-buku. Sebuah kegiatan yang hingga akhir hayatnya terus beliau lanjutkan.
Buletin Ambilan pakon Barita (AB), yang bulan Juli 2009 ini memasuki No 424, diterbitkan pertama kali pada bulan Desember 1970. Saat itu adalah tahun-tahun pertama beliau menjabat sebagai Sekjen GKPS, mendampingi Ephorus Pendeta Lesman Purba (1970-1972). Perlu diketahui, beliau juga mendampingi Ephorus Pendeta SP Dasuha, mantan Ephorus GKPS (1972-1977), dan Ephorus Pendeta JAS Damanik, STh (1990-1995). Sebelumnya saat menjabat Ephorus (1977-1990), beliau didampingi Sekjen Pendeta HM Girsang. .
Semasa kepemimpinannya baik sebagai Sekjen maupun sebagai Ephorus, mertua Rebecca br Situmeang, Kurniaty br Purba, Darty br Purba dan Lamsihar Pasaribu ini, peduli pada penerbitan bahan-bahan pelayanan. Sebut saja beberapa diantaranya, seperti penyediaan buku-buku bahan khotbah, penerbitan Bibel berbahasa Simalungun (yang diterjemahkan Pendeta Petrus Purba), Parmahan Na Madear, Buku Doding Haleluya, buku-buku tentang pengaturan organisasi gereja, kursus-kursus peningkatan kemampuan menulis bagi para pendeta dan mejelis jemaat, garis besar kebijakan umum gereja dan lain-lain, dan pengembangan Kolportase GKPS.
Selain itu, beliau sendiri tidak henti-hentinya menulis buku-buku bacaan baik bagi para pendeta maupun jemaat. Pikiran-pikirannya yang dituangkan dalam puluhan buku akan menjadi warisan emas bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang, diantaranya Kamus Teologia yang ditulisnya bersama pendeta D. Tappenbeck dan Pendeta J.Wismar Saragih, Pargamon: Parlajaran Parguru Manaksihon, Marthin Luther, Limbaga Pasal Harajaon ni Naibata, Injil dan Orang-orang Miskin, Homeletika, Firman Hidup 45, Kabar Baik dalam Perumpamaan Yesus, Tema-tema Perjanjian Baru, Jalan Menuju Tahta, Perjanjian Baru versi Mudah dibaca, serta beberapa buku lainnya. Buku Back to Bible dan Terjemahan Perjanjian Lama yang belum sempat diterbitkan akan menjadi warisan berharga darinya.
Bersinar Terus!
Ayah dari Elisa Munthe, Markus Munthe, Paul Munthe dan Ruth Munthe ini mendapat simpati dari berbagai pihak. Penghormatan berupa deretan karangan bunga yang berjajar mulai dari jalan besar ke arah Pajak Melati dan jalan masuk ke Kompleks Perumahan Pemda II, kemudian bersambung ke jalan Flamboyan, menunjukkan besarnya simpati bagi pendeta yang rajin melayani ke berbagai lapisan masyarakat dan berbagai denominasi gereja ini.
Lebih dari 1500 orang yang melayatnya di tengah guyuran hujan adalah bukti kecintaan mereka atas pria pemegang gelar Doktor Honoris Causa dari Academy of Ecumenical Indian Theology, Chennai, India 1997 ini. Mereka—yang berasal dari warga GKPS di Medan, dan luar Medan, warga dari gereja berbagai denominasi, bersempit-sempit untuk sekedar melihatnya terakhir kalinya, menghibur keluarga yang ditinggalkannya.
Pendeta Dr Armencius Munthe, dilahirkan 12 Februari 1934 di desa Pangambatan, Kabupaten Karo. Lokasinya persis di perbatasan Kabupaten Karo dan Simalungun. Penduduknya memiliki adat kebiasaan yang sedikit berbeda dengan kedua suku di atas. Adat Sipitu Huta, demikian mereka menyebutnya, mewarnai upacara pemberangkatan pria yang pernah satu tahun tinggal bersama neneknya di daerah Lehu, Dairi ini.
Para lelaki memakai ”bulang” berwarna merah-kuning—berbeda dengan ”bulang” yang dipakai di Simalungun dan Karo. Serangkaian upacara berlangsung, mulai dari ”Pamasuk hu Rumah na Baru”, acara khusus keluarga dan manortor dari Tondong, Sanina/Pariban, boru dan rekan-rekan sejawat, maupun teman sekampung (hasoman sahuta).
Acara manortor membuat suasana pekarangan dan rumah sempit jadi penuh sesak. Puluhan orang dalam satu rombongan menyebabkan lokasi yang hanya berukuran 4 meter kali delapan meter yang dibatasi pagar dan hanya satu pintu keluar itu terasa sesak dan panas. Ditambah lagi panas terik di pagi hingga siang itu membuat orang-orang berkeringat.
.
Sebuah penghormatan adat bagi seorang pemimpin pelayan (Servant Leader), meski gereja masih sering mempersoalkannya sebagai sebuah kegiatan yang memerlukan penyederhanaan. Acara adat memang cukup lama, bahkan sesudah makan siang masih tersisa beberapa rombongan boru. Acara adat memang menyita waktu hingga beberapa acara lainnya harus terpotong, karena acara di gereja harus dilaksanakan pukul 16.00 di di Gereja GKPS Maranatha.
Di gereja itulah beliau terdaftar sebagai anggota jemaat, sejak bermukim di Medan pada 1995. Meski di tengah hujan deras tak mengurungkan para pemimpin gereja dan tokoh-tokoh masyarakat mengikuti kebaktian yang dilaksanakan sore hari 28 Juli 2009. Hampir separuh ruangan terisi oleh para pendeta dari berbagai denominasi. Kebaktian pemberangkatan dipimpin oleh Ephorus GKPS, Pdt Belman Purba Dasuha, STh, didampingi Sekjen GKPS, Pendeta Rumanja Purba, STh, Msi.
Pada acara pemberangkatan tersebut, Pendeta Dr MSE Simorangkir (Bishop GKPI), mewakili gereja tetangga, menyampaikan ucapan belasungkawa, pesan dan kesan. Selain itu, perwakilan dari GKPS Resort Medan Selatan, St Japitah Sinaga, SE menyampaikan ungkapan duka yang mendalam.
Ijon do Marsaran!
Di Taman Pemakaman Simalingkar B—yang berjarak sekitar 10-15 menit perjalanan dengan kenderaan dari GKPS Maranatha, dilakukan acara pemakaman dan disaksikan para pendeta GKPS dan gereja lainnya dan keluarga yang mengantar anak tertua dari enam bersaudara itu. Di tengah guyuran hujan dengan menggunakan payung, Ephorus GKPS memimpin acara pemakaman. Keharuan merebak, saat menurunkan peti jenazah anak tertua enam bersaudara buah perkawinan almarhum Jalias Munthe dan Honim br Gisang, ke liang lahat berukuran panjang 220 centimeter dan lebar 90 centimeter. Tangis tanda kesedihan perpisahanpun tak tertahankan.
Dr Armencius Munthe diberangkatkan dalam sebuah peti yang hanya berisi seperangkat pakaian yang melekat ditubuhnya dan barang-barang tak berharga lainnya. Beliau tidak membawa serta mas, uang, berlian, mobil atau rumah sederhana miliknya.
Pimpinan Pusat menjatuhkan bongkahan tanah kecil sebanyak tiga kali. ”Dari tanah, kembali ke tanah!”. Disusul oleh keluarga dan para pengantar lainnya. Lobang yang berisi peti itu kemudian ditimbun dengan tanah urukan dari lobang yang sama, hingga seluruhnya tertutup.
Sebuah salib dipancangkan dengan tuliskan : ”Ijon do Marsaran” (Rest in Peace) : Pendeta Dr Armencius Munthe, MTh (Ompung Theofil Munthe). (*) 12 Februari 1934, (+) 25 Juli 2009”. Di tengah guyuran hujan, sore itu, para pengantar meninggalkan Pendeta Dr Armencius Munthe MTh sendirian. Sepi, dingin!
Peristirahatan terakhir Dr Armencius Munthe terletak di lokasi strategis--tidak jauh dari pinggir akses jalan masuk di dalam makam. Dikompleks pekuburuan yang menampung sekitar 9000 makam itulah tempat tinggalnya sementara menanti kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya.
Di kompleks pekuburuan yang terawat dan bersih itu, puluhan orang setiap harinya bekerja menggali, membangun dan merawat makam. Mereka juga mengatur para pengunjung, mulai dari parkir dan serta para penjual bunga dan keperluan makam lainnya. Para pengelola yang berada di sekitarnyapun, meski seharian bersama-sama di satu tempat di sekitar makamnya, tetapi mereka hanya berkomunikasi tanpa suara, tanpa kata-kata. Mereka akan merawat makam Dr Armencius Munthe, MTh sama seperti makam-makam lainnya.
Dr Armencius Munthe tidak merasakan apa-apa lagi, tidak ada senyum, tawa dan khotbah yang memukau. Dia tidak akan pernah kaget lagi seperti ketika dia menumpang mobil saya yang tiba-tiba kemasukan air hujan menerpanya karena angin kencang. Beliau tidak lagi berceramah, tidak lagi mengunjungi jemaat yang sedang mengalami masalah hidup, tak ada kiriman pulsa kepada orang-orang yang memerlukan, tak ada lagi pemberian buku-buku gratis kepada jemaat dan rekan-rekan yang lazim dilakukannya.!
Kamar khususnya di salah satu bagian rumahnya yang dipenuhi ribuan buku-bukunya, tak lagi dihuninya. Dari rumah sempit itulah beliau menghasilkan karya-karya gemilang, mempersiapkan khotbah-khotbahnya kepada ribuan jemaat, ceramah-cermah bagi para majelis gereja dan para pendeta dari berbagai denominasi.
Ruangan itu kini ditinggal kosong. Tidak ada lagi pria yang duduk di depan komputer mengerjakan naskah-naskah buku atau bahan khotbah. Beberapa file yang ditulisnya masih tersimpan di komputernya. Email-email yang masuk ke komputernya tidak akan pernah dibukanya lagi. Dia tidak pernah membalas kepada pengirimnya. Bukunya masih dibiarkan seperti sedia kala. Terpampang fotonya di salah satu sudut ruangan itu.
Kini, semua aktivitas fisik yang Dr Armencius Munthe berhenti, namun hasil pekerjaannya selama puluhan tahun tidak akan hilang dan akan terus bertumbuh. ”Harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama”.
Idenya mengadakan operasi katarak gratis kepada penduduk di Simalungun dan Tapanuli Utara, seperti diungkapkan Andreas dari Yayasan Setia Bakti, Jakarta saat melayatnya tidak akan berhenti sebatas usulan. ”Kami akan mewujudkannya dan ini merupakan karya terakhir almarhum semasa hidupnya,” ujar Andreas mewakili yayasan itu.
Para petani peternak di Pangambatan yang baru saja memulai usahanya dengan dorongan Dr Munthe sebelum beliau pergi, hanya bisa sedih merelakan kepergian pria yang meski di usia tuanya senantiasa memperhatikan kemajuan kampungnya itu.
Meski Pendeta Armencius Munthe telah menyatu dengan tanah di Taman Pemakaman Simalingkar B, warisannya hidup ditengah-tengah keluarga, masyarakat GKPS, dan masyarakat gereja-gereja lainnya, teman-teman sejawatnya serta bagi siapa saja yang pernah bersama-sama dengan kakek dari Theofil Munthe, Cecilia Munthe, Tabitha Munthe, Kevin Munthe, Steven Munthe dan Samuel Pasaribu ini. .
Selamat jalan Pendeta Dr Armencius Munthe!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar