Memberitakan Duka Cita
Oleh : Jannerson Girsang
Minggu 26 Juli 2009. Pagi-pagi sepulang dari rumah duka, saya mengirimkan iklan yang dikonsep keluarga ke harian Sinar Indonesia Baru. Tidur sebentar dan berangkat ke gereja. Saat acara kebaktian di gereja, beberapa teman mengirimkan sms menanyakan alamat dan arah rumah. Kapan dikubur dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang harus saya balas melalui sms.
Usai acara kebaktian, saya memimpin pertemuan pemuda GKPS Simalingkar sampai jam 16.00. ”Tugas di gereja jangan ditinggalkan,” demikian Munthe senantiasa mengingatkan kami.
Setelah menuangkan kesedihan dengan menuliskannya di komputer, saya dan istri berangkat ke rumah duka! Aku begitu trenyuh melihat situasi saat itu. Rumah kecil itu dipadati pengunjung. Malam itu pelayat dari berbagai denominasi gereja, masyarakat sekitar, berebut ingin masuk dan mengadakan acara penghiburan. Mereka berjajar dan terkadang ada yang saling mendahuli. Pintu masuk menjadi sesak. Jalan keluar yang sempit membuat orang yang berada di dalam rumah terlihat mengipas-ngipas mukanya karena kepanasan. Taratak yang menampung sekitar 500 orang sudah terpasang di jalan depan rumah.
Haryanson dan beberapa anggota keluarga meminta saya supaya mengatur acara agar bisa berjalan dengan baik dan hikmat. ”Anggo lang iatur on bang, kacau do holi halani bahat tumang na sihol mambahen acara,”kata Haryanson, salah seorang putra adik pak Munthe.
Dengan segala senang hati saya menerima tawaran ini. Untuk pak Munthe saya rela memberikan yang terbaik, di hari-hari terakhirnya. Saya meminta seseorang memberikan saya buku dan pulpen. Para rombongan pelayat didaftar lebih dahulu agar mereka bisa melaksanakan acara dengan hikmat, demikian juga keluarga.
Meski diatur, tetapi tetap saja kurang teratur karena banyaknya orang yang ingin mengungkapkan rasa duka kepada pak Munthe, sementara kapasitas rumah yang tidak mengijinkan. Sayangnya ada saja yang tak memperdulikan kepentingan orang lain. Tidak mematuhi disiplin waktu, sehingga kesempatan bagi yang lainnya hilang. Malam itu ada beberapa acara yang sudah terjadwal, tidak bisa dilaksanakan karena sudah larut malam.
Sampai larut malam di hari Minggu itu, ratusan orang secara bergantian masuk ke rumah. Walau hanya sekedar bersalaman tanda ucapan rasa duka. Untungnya, hujan yang turun membuat sebagian para pelayat beranjak pulang dan mengurangi jumlah orang yang antri. Mereka mengurungkan niatnya melaksanakan acara malam itu dan mengadakan acara esok harinya.
Setelah semua acara selesai, beberapa orang keluarga dekat masih tinggal di rumah duka. Keluarga berembuk soal rencana acara yang akan dilaksanakan pada hari Senin dan Selasa. Saya sangat bersyukur karena pembicaraan di tengah-tengah keluarga berlangsung dengan baik dan draft kasar acara sudah tersusun. Keluarga dan orang-orang yang bertugas berjanji akan bertemu jam 11.00 hari Senin, merampungkan rencana acara final.
Kemudian saya menyusun konsep berita meninggalnya pak Munthe di Sinar Indonesia Baru dan Analisa, setelah konsultasi dengan Paul Munthe, salah seorang anak almarhum. Berita meninggalnya Armencius Munthe dipublikasikan 28 Juli 2008 di Sinar Indonesia Baru dan harian Analisa, dua harian terbesar di Sumatera Utara.
Tidak sedikit tamu mengetahui meninggalnya Dr A Munthe dari membaca koran, termasuk Ny JP Silitonga istri teman dekat almarhum yang datang tanpa pemberitahuan dari siapa-siapa. ”Saya datang karena membaca koran tadi pagi,”ujarnya. Itulah rupanya sebuah peristiwa penting seperti ini dipublikasikan di media cetak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar