Oleh : Jannerson Girsang
Di tengah-tengah puncak suksesnya, di saat jutaan penonton menunggu penayangan lagu hitsnya Tak Gendong di televisi atau diperdengarkan di radio, ketika dirinya sedang diberitakan dan diulas media, Mbah Surip tiba-tiba pergi untuk selamanya. Penggemarnya tidak pernah mendengar pria pujaannya itu sakit, atau dirawat di rumah sakit.
Pria bernama asli atau Urip Ahmad Aryanto menemui ajalnya pukul 10.30, Selasa 5 Agustus 2009.”Kita mengenalnya sebagai cahaya yang tiba-tiba melintas di langit industri hiburan, tetapi dalam sekejap mata ditelan kabut” (Kompas, 4 Agustus 2009), yang menggambarkan kemunculan dan kepergian Mbah Surip. Bak meteor!.
Orang-orang yang sedang nongkrong di kedai-kedai, restoran mewah, di kediamannya masing-masing, tempat kerja, menyaksikan dengan sedih kepergian ayah empat orang anak itu saat berita kematiannya tersiar. Bahkan pemimpin tertinggi negeri ini, Presiden SBY merasa perlu menggelar jumpa pers untuk menyampaikan belasungkawa atas kepergiannya. Sama seperti yang dilakukan Presiden Amerika Serikat, Obama saat kepergian bintang Pop Amerika, Michael Jackson bulan Juni lalu. Kelebihannya, kalau Michael Jackson sudah terkenal puluhan tahun sebelumnya.
Mbah Surip beristrahat dengan tenang di pekuburan Bengkel Teater Depok. Pada sebuah acara televisi, sehari sebelum Mbah Surip meninggal, seorang dedengkot musik Indonesia, Ahmad Dhani menempatkan Mbah Surip sebagai musikus Indonesia yang hebat. ”Dia unik dan punya gagasan yang bisa diterima masyarakat” ujarnya. Di kesempatan lain, Cak Nun, seorang Budayawan terkenal negeri ini, menggambarkan Mbah Surip sebagai ”Manusia Indonesia Sejati” yang tidak pernah merasa susah, tidak pernah gelisah, tidak pernah sedih dan selalu tertawa, meskipun seringkali di ledek orang, tidak pernah dendam.
Kepergian Mbah Surip tidak hanya meninggalkan lagu-lagunya yang sedang digandrungi jutaan penggemarnya, tetapi juga sebuah kisah kehidupan unik. Di balik ketenarannya, Mbah Surip memberikan pelajaran berharga bagi kita!
Sukses Bukan Tujuan Akhir!
Mbah Surip mengajarkan pentingnya ketekunan dan kesabaran menuju sukses. Puluhan tahun Mbah Surip berkelana. Selain itu, Mbah Surip menginspirasi kita, sukses bisa diraih kapan saja dan puncak sukses bukan segalanya. .
Mbah Surip meraih sukses setelah bertahun-tahun menyanyi dari panggung ke panggung tak mengenal lelah, tempat di berbagai tempat di Jakarta. Lagunya, Tak Gendong bahkan sudah dinyanyikan sejak 2002. Berbagai usaha mempromosikan diri dilakukannya sebelum ini. Mulai dari menjual album yang direkam sendiri sejak 1997. Menawarkan langsung satu demi satu kepada para pengunjung pasar seni di Ancol atau tempat lain. Bahkan, konon tak banyak laku, dan tak banyak membantu ekonominya. Namun, tidak menghentikan semangatnya menanyi terus, mencipta terus, menjual terus. Ironis memang, baru saja dia mulai dikenal luas di tengah-tengah masyarakat luas, Mbah harus pergi.
Dari kehidupannya kita bisa belajar bahwa sebuah sukses bukan tujuan akhir. Sukses Mbah Surip kemudian menuntutnya bekerja lebih keras lagi. Masa istirahat Mbah Surip berkurang. Belakangan hanya tidur 3 jam . Faktor usia dan menurunnya kondisi fisik seharusnya membutuhkan istirahat yang lebih banyak, justru sebaliknya. Sukses, memang tidak serta merta mendatangkan kebahagiaan, hidup senang atau santai.
Keseimbangan di balik sukses sudah menjadi sebuah keharusan. Ada keseimbangan hidup yang perlu dijaga—tanpa mengabaikan keyakinan kita bahwa ajal di tangan Tuhan. Undangan manggung, tuntutan kesempurnaan penampilan dan berbagai harapan orang terhadap sebuah kesuksesan bisa membuat seseorang kelelahan, frustrasi dan gangguan lain Seorang di puncak kesuksesan harus mampu menjaga keseimbangan, bekerja menurut kemampuannya.
Ingatan kita masih segar dengan kisah Michael Jackson. Setelah mencapai sukses, bintang pop Amerika ini malah merasakan kesepian, kehilangan jati diri. Merubah wajahnya dengan operasi plastik sampai berkali-kali, supaya baik dipandang. Menggunakan bantuan obat-obatan mendukung saya tahan fisiknya yang menurun demi memenuhi tuntutan kerja yang meningkat. Obat-obatan yang justru merusak kesehatannya bahkan merenggut nyawanya sendiri .
Pahami Seniman dengan Benar!
Pada kesempatan ini, artikel ini ingin mengkritisi media khususnya dalam memberitakan seorang seniman. Kejelian media dalam mempublikasikan seorang seniman diakui sungguh-sungguh luar biasa mengangkat seorang seniman. Itu sebabnya, media dituntut melihat seorang seniman dengan data dan pemahaman yang benar. Kisah Mbah Surip mempertontonkan betapa media kita kurang jeli atas data pribadi seorang seniman.
Dari tangal lahir dan riwayat perjalanan Mbah Surip diberitakan dalam berbagai versi. Mulai dari 5 Mei 1949, 5 Mei 1959, dan beberapa versi lain. Tidak mungkin seseorang dilahirkan dengan tanggal yang berbeda! Riwayat hidupnya sebelum ia tenar juga disajikan dalam berbagai versi. Bukan mengatakan itu hal terpenting, tetapi hal ini menunjukkan media kita kurang jeli melihat riwayat seorang seniman. Media kurang kreatif menggali informasi tentang kehidupan seorang Mbah Surip.
Di sisi lain, kehidupan Mbah Surip menyadarkan kita kembali bagaimana seorang seniman menyampaikan gagasannya, pesan-pesannya. Mbah Surip memilih jalan yang unik. Mbah Surip menjadi sebuah contoh betapa gagasan seni itu banyak di luar kebiasaan. Bahkan dia menyebutnya”belajar salah”. Lagu-lagunya, penampilannya, suaranya, berbeda dari puitisnya lagu Ebiet G.Ade, berbeda dengan merdunya suara emas Bob Tutupoly. Mbah Surip memiliki ciri dan cara sendiri, namun bisa mampu menyejajarkan diri dengan penyanyi-penyanyi tenar itu.
Masyarakat kita acapkali mengekang seorang seniman dengan aturan-aturan yang kadang tidak mengakomodasi kreativitas. Mbah Surip menikmati kebebasan berkreasi sehingga menghasilkan karya yang unik. Seunik lagu Tak Gendong, yang tak ada dimana-mana, hanya ada pada Mbah Surip!
Jangan lihat kulitnya, jangan hanya lihat salahnya. Lihatlah makna yang ingin disampaikannya. Mbah Surip mencurahkan isi hatinya dengan sederhana, tapi membawa pesan kuat. Mengajak saling mengasihi, gotong royong dengan caranya sendiri. Pesan yang menembus seluruh lapisan masyarakat, tak membedakan agama, suku, dan golongan. Kadang masyarakat lupa, kritik yang sering mereka lontarkan kepada seniman hanya dari satu sisi, acapkali mengabaikan pesan utamanya.
Kesederhanaan dan Hidup Bagi Orang Lain
Di tengah-tengah suksesnya, Mbah Surip mempertontonkan kesederhanaan. Sebuah sikap yang menjadi impian masyarakat dalam dunia yang sangat konsumtif sekarang ini. Seorang bintang, lazimnya hidup glamour dan merubah penampilannya. Mbah Surip konsisten dalam memegang prinsip hidup kesederhanaan, Sikap yang tampak jelas dalam penampilannya di televisi, baik cerita yang kita baca melalui media. Bahkan diberitakan dia meninggal saat menumpang tidur di rumah temannya, permintaan terakhirnya burjo ”bubur kacang ijo”, makanan kesukaannya.
Mbah Surip hidup untuk orang lain. Sebagian hasil sukses adalah milik orang lain yang papa. Tidak semua jerih payahnya untuk diri sendiri. Dia senantiasa memikirkan amal kepada mereka yang papa. ”Uang itu sebagian akan saya simpan di bank, sebagian akan disumbangkan untuk amal,”, ungkapnya dalam sebuah wawancara. Ungkapan sederhana yang menunjukkan sikapnya atas orang tak berpunya.
Merokok, minum kopi 20 gelas sehari, itulah yang banyak dinikmati Mbah Surip dari hasil kerja kerasnya. Sisanya akan dinikmati anak-anaknya, keluargana Tentunya juga para orang papa, sesuai dengan cita-citanya seperti seringkali diungkapkannya di televisi. Dia pergi saat sedang berada di puncak sukses. Mbah Surip meninggalkan warisan yang tidak akan pernah dinikmatinya. Hasil kerjanya memberi kehidupan bagi banyak orang.
Selamat Jalan Mbah Surip : I Love You Full!
Mbah Surip sudah dimakamkan di pekuburan Bengkel Teater Selasa malam. Kita semua,para pencinta lagu-lagunya hanya bisa menahan sedih. Tetapi, sebuah pengalaman hidup, dan keunikan karya-karya Mbah Surip tidak akan lenyap. Kisah perjalanan dan prinsip hidupnya menjadi sesuatu yang abadi dan kenangan terindah dari seorang Mbah Surip. Selamat jalan Mbah Surip. I love you Full, jargon yang tidak akan kami lupakan. Semangatmu akan terpatri di hati para seniman Indonesia dan para penggemarmu. Semoga arwahmu diterima disisiNya. Amin!.
Sumber : Analisa, 7 Agustus 2009. Bisa juga diakses dengan mengunjungi: www.analisadaily.com
"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Tampilkan postingan dengan label Orbituari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Orbituari. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 08 Agustus 2009
Selasa, 04 Agustus 2009
Selamat Jalan Pdt Dr Armencius Munthe MTh
In Memoriam Pdt Dr Armencius Munthe MTh
“Pelayanannya Menembus Semua Lapisan”
Oleh : Jannerson Girsang
Kepergiaan Pendeta Dr Armencius Munthe, mantan Ephorus Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) begitu tiba-tiba. Pagi itu, 18 Juli 2009, ia masih memberangkatkan istrinya menghadiri pesta perkawinan anak seorang warga GKPS, dan beberapa jam kemudian beliau terjatuh di rumahnya karena terserang stroke. Diangkut ke rumah sakit dan seminggu kemudian menghembuskan nafas terakhir.
GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun), umat Kristen umumnya kehilangan seorang tokoh yang cerdas, humoris dan pelayanannya menembus semua lapisan dan sekat-sekat denomimasi.
”Bapak sudah pergi bang,”demikian pemberitahuan singkat Ruth Munthe, putri bungsu Dr Armencius Munthe MTh, kepada penulis melalui telepon genggamnya beberapa saat setelah Mantan Ephorus GKPS itu meninggal di Rumah Sakit Herna, Medan Sabtu malam menjelang pukul 22.00 wib, 25 Juli 2009. Beliau meninggal setelah seminggu dirawat di rumah sakit milik keluarga Dr TD Pardede itu.
Beberapa jam setelah pendeta yang pensiun dari GKPS pada 1999 ini dinyatakan meninggal, suasana Jalan Flamboyan I/1 No 12 berbeda dari sebelumnya. Beberapa menit memasuki 26 Juli 2009, rumah itu dipenuhi para pendeta, jemaat dan keluarga. Mereka bukan mengadakan kebaktian (partonggoan). Sebuah mobil ambulans dengan suara sirene yang meraung-raung memasuki halaman rumah sederhana itu. Di dalam ambulans terbujur kaku jenazah Pendeta Dr Armencius Munthe MTh.
Beberapa pendeta dan anggota keluarga mengangkat jenazahnya ke dalam rumah, kemudian membaringkannya di atas dipan di ruang tamu. Beliau telah menghadap sang Pencipta. Isak tangis memenuhi ruangan. Kesedihan menerpa seluruh penghuni rumah menyaksikan kepergiannya.
Berita meninggalnya Dr Armencius Munthe, begitu mengagetkan. Penulis sendiri masih berbicara sekitar tiga jam hari Kamis, 16 Juli (dua hari sebelum beliau diangkut ke rumah sakit, karena terkena stroke). Pria yang mengakhiri masa jabatan Sekjen GKPS pada 1995 ini, masih terlihat segar bugar.
Warga sekitar rumahnya tak menduga kepergiannya yang begitu cepat, karena beberapa hari sebelumnya masih sehat. “Kami masih jalan kaki bersama-sama, sebelum beliau masuk rumah sakit,”ujar Dr J.Raplan Hutauruk, sahabat akrabnya dan tinggal tidak jauh dari rumahnya.
Beberapa waktu sebelumnya, beliau masih memberikan ceramah atau khotbah di berbagai tempat. ”Beliau masih memberi ceramah di acara Gereja Methodis Indonesia (GMI) akhir bulan Juni lalu,”ujar Bishop GMI, Pendeta Dolok Saribu, terisak-isak, tak mampu menahan rasa sedihnya, saat melayatnya Senin, dua hari setelah beliau meninggal. Bahkan sesudah acara itu, beliau masih memimpin acara pengumpulan dana di GKPS Siantar Timur dan khotbah di Gereja GKPS Cikoko, Jakarta.
Pendeta Dr Armencius Munthe MTh sudah pergi meninggalkan kita. Begitu panjang pengalaman melayani yang dijalaninya, begitu banyak orang yang dilayaninya, begitu beragam liku-liku hidup yang dialaminya. Semuanya beliau maknai dengan sebuah kalimat "Aku bersykur kalau masih bisa melayani".
Tidak mudah menggambarkan secara lengkap seorang tokoh seperti ini, apalagi dalam tulisan singkat. Artikel ini hanya melihat sepintas dari sosoknya dari sisi kemampuan intelektual, komunikasinya, serta pelayananannya. Tulisan ini banyak bersumber dari ungkapan-ungkapan para pelayat dan ungkapan para tokoh yang sudah didokumentasikan dalam bentuk tulisan, serta observasi penulis sendiri.
Pelayanannya Menembus Semua Lapisan
Dr Armencius adalah teman satu angkatan dengan Pendeta PWT Simanjuntak (Mantan Ephorus HKBP) dan Pendeta RMG Marbun (mantan Bishop GKPI), yang lulus dari STT HKBP Nommensen pada 1958. Beliau adalah seorang anak desa dan hidup dalam kesederhanaan. ”Kami berdualah yang tidak pernah makan bakmi diantara mahasiswa, ketika kuliah karena tidak punya uang,”ujar RMG Marbun saat menjenguk rekannya itu di rumah duka. Kesederhanaan dilakonkan Dr Munthe sampai akhir hayatnya.
Kesederhanaan bukan berarti alasan untuk tidak menyenangkan orang lain. Beliau adalah orang yang mampu memberikan suasana menyenangkan bagi sekelilingnya. Dalam setiap perjumpaan atau pertemuan, Dr Armencius Munthe senantiasa membuat suasana segar. ”Kadang kami mendengar beliau berceramah sampai tiga jam, tanpa merasa capek. Beliau kaya dengan kata-kata humor disertai ekpresinya yang membuat orang ketawa,”ujar Pendeta Dr Dolok Saribu, Bishop Gereja Methodis Indonesia (GMI) saat melayatnya Senin 27 Juli 2009. .
Lulusan Master Theologia dari Fakultas Teologia, Universitas Hamburg 1965 ini adalah seorang intelektual yang bisa mengkomunikasikan ide-ide dan pikirannya kepada berbagai lapisan masyarakat. Orang berkumpul kalau dia datang, orang mendengar kalau dia berbicara. ”Beliau adalah salah seorang pemimpin GKPS yang memiliki kemampuan intelektual sekaligus mampu berkomunikasi dengan segala lapisan masayarakat, sehingga kehadirannya sangat dirindukan semua jemaat,” demikian Prof Dr Bungaran Saragih, dalam biografinya Anugerah Tak Terhingga (2004).
Dalam kapasitasnya sebagai seorang dosen, pria yang selama dua tahun melayani sebagai dosen di Seminari BNKP Ombolata Nias (1966-1968) ini digambarkan oleh Dr H. Doloksaribu, sebagai seorang yang pintar, humoris, jujur, ramah, peduli. suka memberi dan rendah hati. Tentang kisah suka memberi, Dr H. Doloksaribu menceritakan sebuah pengalaman mahasiswa yang pernah di dengarnya. Beliau mengisahkan betapa sebagai dosen pembimbing mahasiswa Pasca Sarjana, mantan dosen STT Abdi Sabda dan STT HKBP Nommensen ini acapkali merogoh koceknya untuk uang transportasi mahasiswa pulang. ”Sulit dicari dosen pembimbing seperti pak Munthe,” ujarnya.
Beberapa pimpinan gereja yang melayatnya hari Senin 27 Juli mengungkapkan betapa beliau sepanjang hidupnya mencurahkan diri untuk melayani, mengkomunikasikan ide-ide dan pemikirannya ke tengah-tengah masyarakat. ”Aku bersyukur kalau masih bisa melayani,”demikian mottonya yang dikutip Pendeta Belman Purba Dasuha, STh, Ephorus GKPS saat melayatnya hari itu. Dasuha mengatakan, meski sudah pensiun sebagai pendeta, sepanjang hidupnya Pendeta Munthe terus memenuhi undangan berkhotbah ke berbagai gereja di Medan ataupun di Jakarta dan tempat-tempat lainnya di Sumatera.
Di luar tugasnya sebagai gembala rohani dan dosen, pria yang pernah aktif sebagai pengurus berbagai organisasi gereja dunia maupun nasional ini, adalah seorang penasehat sejarah, adat dan tradisi orang Simalungun kepada para tamu-tamunya dari luar negeri. ”Ephorus Munthe menjadi penasehat yang berharga bagi saya secara khusus dalam hal sejarah, adat dan tradisi orang Simalungun. Dalam waktu yang tidak berapa lama orang dapat berhubungan dengan beliau secara terbuka dan bersahabat,:ujar Pendeta Clem Schmidt, Gereja Lutheran, Australia.
Kemampuannya berkomunikasi dengan semua lapisan masyarakat membuat pelayanannnya dirindukan banyak orang. Tidak hanya sebatas jemaat dan para majelis dan pendeta di gerejanya di GKPS, tetapi juga berbagai denominasi. Dr Armencius Munthe MTh acapkali berkhotbah di Gereja HKBP, GKPI, GBKP, BNKP Nias, HKI, Gereja Methodist dan gereja lainnya, persekutuan-persekutuan di kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan dan kebaktian-kebaktian rumah tangga..
Peduli Kualiatas Pelayanan
Suami Floriana Tobing ini, tidak hanya berkomunikasi lewat khotbah langsung kepada jemaat. Sejak awal beliau memikirkan komunikasi khotbah lewat media dan buku-buku. Sebuah kegiatan yang hingga akhir hayatnya terus beliau lanjutkan.
Buletin Ambilan pakon Barita (AB), yang bulan Juli 2009 ini memasuki No 424, diterbitkan pertama kali pada bulan Desember 1970. Saat itu adalah tahun-tahun pertama beliau menjabat sebagai Sekjen GKPS, mendampingi Ephorus Pendeta Lesman Purba (1970-1972). Perlu diketahui, beliau juga mendampingi Ephorus Pendeta SP Dasuha, mantan Ephorus GKPS (1972-1977), dan Ephorus Pendeta JAS Damanik, STh (1990-1995). Sebelumnya saat menjabat Ephorus (1977-1990), beliau didampingi Sekjen Pendeta HM Girsang. .
Semasa kepemimpinannya baik sebagai Sekjen maupun sebagai Ephorus, mertua Rebecca br Situmeang, Kurniaty br Purba, Darty br Purba dan Lamsihar Pasaribu ini, peduli pada penerbitan bahan-bahan pelayanan. Sebut saja beberapa diantaranya, seperti penyediaan buku-buku bahan khotbah, penerbitan Bibel berbahasa Simalungun (yang diterjemahkan Pendeta Petrus Purba), Parmahan Na Madear, Buku Doding Haleluya, buku-buku tentang pengaturan organisasi gereja, kursus-kursus peningkatan kemampuan menulis bagi para pendeta dan mejelis jemaat, garis besar kebijakan umum gereja dan lain-lain, dan pengembangan Kolportase GKPS.
Selain itu, beliau sendiri tidak henti-hentinya menulis buku-buku bacaan baik bagi para pendeta maupun jemaat. Pikiran-pikirannya yang dituangkan dalam puluhan buku akan menjadi warisan emas bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang, diantaranya Kamus Teologia yang ditulisnya bersama pendeta D. Tappenbeck dan Pendeta J.Wismar Saragih, Pargamon: Parlajaran Parguru Manaksihon, Marthin Luther, Limbaga Pasal Harajaon ni Naibata, Injil dan Orang-orang Miskin, Homeletika, Firman Hidup 45, Kabar Baik dalam Perumpamaan Yesus, Tema-tema Perjanjian Baru, Jalan Menuju Tahta, Perjanjian Baru versi Mudah dibaca, serta beberapa buku lainnya. Buku Back to Bible dan Terjemahan Perjanjian Lama yang belum sempat diterbitkan akan menjadi warisan berharga darinya.
Bersinar Terus!
Ayah dari Elisa Munthe, Markus Munthe, Paul Munthe dan Ruth Munthe ini mendapat simpati dari berbagai pihak. Penghormatan berupa deretan karangan bunga yang berjajar mulai dari jalan besar ke arah Pajak Melati dan jalan masuk ke Kompleks Perumahan Pemda II, kemudian bersambung ke jalan Flamboyan, menunjukkan besarnya simpati bagi pendeta yang rajin melayani ke berbagai lapisan masyarakat dan berbagai denominasi gereja ini.
Lebih dari 1500 orang yang melayatnya di tengah guyuran hujan adalah bukti kecintaan mereka atas pria pemegang gelar Doktor Honoris Causa dari Academy of Ecumenical Indian Theology, Chennai, India 1997 ini. Mereka—yang berasal dari warga GKPS di Medan, dan luar Medan, warga dari gereja berbagai denominasi, bersempit-sempit untuk sekedar melihatnya terakhir kalinya, menghibur keluarga yang ditinggalkannya.
Pendeta Dr Armencius Munthe, dilahirkan 12 Februari 1934 di desa Pangambatan, Kabupaten Karo. Lokasinya persis di perbatasan Kabupaten Karo dan Simalungun. Penduduknya memiliki adat kebiasaan yang sedikit berbeda dengan kedua suku di atas. Adat Sipitu Huta, demikian mereka menyebutnya, mewarnai upacara pemberangkatan pria yang pernah satu tahun tinggal bersama neneknya di daerah Lehu, Dairi ini.
Para lelaki memakai ”bulang” berwarna merah-kuning—berbeda dengan ”bulang” yang dipakai di Simalungun dan Karo. Serangkaian upacara berlangsung, mulai dari ”Pamasuk hu Rumah na Baru”, acara khusus keluarga dan manortor dari Tondong, Sanina/Pariban, boru dan rekan-rekan sejawat, maupun teman sekampung (hasoman sahuta).
Acara manortor membuat suasana pekarangan dan rumah sempit jadi penuh sesak. Puluhan orang dalam satu rombongan menyebabkan lokasi yang hanya berukuran 4 meter kali delapan meter yang dibatasi pagar dan hanya satu pintu keluar itu terasa sesak dan panas. Ditambah lagi panas terik di pagi hingga siang itu membuat orang-orang berkeringat.
.
Sebuah penghormatan adat bagi seorang pemimpin pelayan (Servant Leader), meski gereja masih sering mempersoalkannya sebagai sebuah kegiatan yang memerlukan penyederhanaan. Acara adat memang cukup lama, bahkan sesudah makan siang masih tersisa beberapa rombongan boru. Acara adat memang menyita waktu hingga beberapa acara lainnya harus terpotong, karena acara di gereja harus dilaksanakan pukul 16.00 di di Gereja GKPS Maranatha.
Di gereja itulah beliau terdaftar sebagai anggota jemaat, sejak bermukim di Medan pada 1995. Meski di tengah hujan deras tak mengurungkan para pemimpin gereja dan tokoh-tokoh masyarakat mengikuti kebaktian yang dilaksanakan sore hari 28 Juli 2009. Hampir separuh ruangan terisi oleh para pendeta dari berbagai denominasi. Kebaktian pemberangkatan dipimpin oleh Ephorus GKPS, Pdt Belman Purba Dasuha, STh, didampingi Sekjen GKPS, Pendeta Rumanja Purba, STh, Msi.
Pada acara pemberangkatan tersebut, Pendeta Dr MSE Simorangkir (Bishop GKPI), mewakili gereja tetangga, menyampaikan ucapan belasungkawa, pesan dan kesan. Selain itu, perwakilan dari GKPS Resort Medan Selatan, St Japitah Sinaga, SE menyampaikan ungkapan duka yang mendalam.
Ijon do Marsaran!
Di Taman Pemakaman Simalingkar B—yang berjarak sekitar 10-15 menit perjalanan dengan kenderaan dari GKPS Maranatha, dilakukan acara pemakaman dan disaksikan para pendeta GKPS dan gereja lainnya dan keluarga yang mengantar anak tertua dari enam bersaudara itu. Di tengah guyuran hujan dengan menggunakan payung, Ephorus GKPS memimpin acara pemakaman. Keharuan merebak, saat menurunkan peti jenazah anak tertua enam bersaudara buah perkawinan almarhum Jalias Munthe dan Honim br Gisang, ke liang lahat berukuran panjang 220 centimeter dan lebar 90 centimeter. Tangis tanda kesedihan perpisahanpun tak tertahankan.
Dr Armencius Munthe diberangkatkan dalam sebuah peti yang hanya berisi seperangkat pakaian yang melekat ditubuhnya dan barang-barang tak berharga lainnya. Beliau tidak membawa serta mas, uang, berlian, mobil atau rumah sederhana miliknya.
Pimpinan Pusat menjatuhkan bongkahan tanah kecil sebanyak tiga kali. ”Dari tanah, kembali ke tanah!”. Disusul oleh keluarga dan para pengantar lainnya. Lobang yang berisi peti itu kemudian ditimbun dengan tanah urukan dari lobang yang sama, hingga seluruhnya tertutup.
Sebuah salib dipancangkan dengan tuliskan : ”Ijon do Marsaran” (Rest in Peace) : Pendeta Dr Armencius Munthe, MTh (Ompung Theofil Munthe). (*) 12 Februari 1934, (+) 25 Juli 2009”. Di tengah guyuran hujan, sore itu, para pengantar meninggalkan Pendeta Dr Armencius Munthe MTh sendirian. Sepi, dingin!
Peristirahatan terakhir Dr Armencius Munthe terletak di lokasi strategis--tidak jauh dari pinggir akses jalan masuk di dalam makam. Dikompleks pekuburuan yang menampung sekitar 9000 makam itulah tempat tinggalnya sementara menanti kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya.
Di kompleks pekuburuan yang terawat dan bersih itu, puluhan orang setiap harinya bekerja menggali, membangun dan merawat makam. Mereka juga mengatur para pengunjung, mulai dari parkir dan serta para penjual bunga dan keperluan makam lainnya. Para pengelola yang berada di sekitarnyapun, meski seharian bersama-sama di satu tempat di sekitar makamnya, tetapi mereka hanya berkomunikasi tanpa suara, tanpa kata-kata. Mereka akan merawat makam Dr Armencius Munthe, MTh sama seperti makam-makam lainnya.
Dr Armencius Munthe tidak merasakan apa-apa lagi, tidak ada senyum, tawa dan khotbah yang memukau. Dia tidak akan pernah kaget lagi seperti ketika dia menumpang mobil saya yang tiba-tiba kemasukan air hujan menerpanya karena angin kencang. Beliau tidak lagi berceramah, tidak lagi mengunjungi jemaat yang sedang mengalami masalah hidup, tak ada kiriman pulsa kepada orang-orang yang memerlukan, tak ada lagi pemberian buku-buku gratis kepada jemaat dan rekan-rekan yang lazim dilakukannya.!
Kamar khususnya di salah satu bagian rumahnya yang dipenuhi ribuan buku-bukunya, tak lagi dihuninya. Dari rumah sempit itulah beliau menghasilkan karya-karya gemilang, mempersiapkan khotbah-khotbahnya kepada ribuan jemaat, ceramah-cermah bagi para majelis gereja dan para pendeta dari berbagai denominasi.
Ruangan itu kini ditinggal kosong. Tidak ada lagi pria yang duduk di depan komputer mengerjakan naskah-naskah buku atau bahan khotbah. Beberapa file yang ditulisnya masih tersimpan di komputernya. Email-email yang masuk ke komputernya tidak akan pernah dibukanya lagi. Dia tidak pernah membalas kepada pengirimnya. Bukunya masih dibiarkan seperti sedia kala. Terpampang fotonya di salah satu sudut ruangan itu.
Kini, semua aktivitas fisik yang Dr Armencius Munthe berhenti, namun hasil pekerjaannya selama puluhan tahun tidak akan hilang dan akan terus bertumbuh. ”Harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama”.
Idenya mengadakan operasi katarak gratis kepada penduduk di Simalungun dan Tapanuli Utara, seperti diungkapkan Andreas dari Yayasan Setia Bakti, Jakarta saat melayatnya tidak akan berhenti sebatas usulan. ”Kami akan mewujudkannya dan ini merupakan karya terakhir almarhum semasa hidupnya,” ujar Andreas mewakili yayasan itu.
Para petani peternak di Pangambatan yang baru saja memulai usahanya dengan dorongan Dr Munthe sebelum beliau pergi, hanya bisa sedih merelakan kepergian pria yang meski di usia tuanya senantiasa memperhatikan kemajuan kampungnya itu.
Meski Pendeta Armencius Munthe telah menyatu dengan tanah di Taman Pemakaman Simalingkar B, warisannya hidup ditengah-tengah keluarga, masyarakat GKPS, dan masyarakat gereja-gereja lainnya, teman-teman sejawatnya serta bagi siapa saja yang pernah bersama-sama dengan kakek dari Theofil Munthe, Cecilia Munthe, Tabitha Munthe, Kevin Munthe, Steven Munthe dan Samuel Pasaribu ini. .
Selamat jalan Pendeta Dr Armencius Munthe!.
“Pelayanannya Menembus Semua Lapisan”
Oleh : Jannerson Girsang
Kepergiaan Pendeta Dr Armencius Munthe, mantan Ephorus Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) begitu tiba-tiba. Pagi itu, 18 Juli 2009, ia masih memberangkatkan istrinya menghadiri pesta perkawinan anak seorang warga GKPS, dan beberapa jam kemudian beliau terjatuh di rumahnya karena terserang stroke. Diangkut ke rumah sakit dan seminggu kemudian menghembuskan nafas terakhir.
GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun), umat Kristen umumnya kehilangan seorang tokoh yang cerdas, humoris dan pelayanannya menembus semua lapisan dan sekat-sekat denomimasi.
”Bapak sudah pergi bang,”demikian pemberitahuan singkat Ruth Munthe, putri bungsu Dr Armencius Munthe MTh, kepada penulis melalui telepon genggamnya beberapa saat setelah Mantan Ephorus GKPS itu meninggal di Rumah Sakit Herna, Medan Sabtu malam menjelang pukul 22.00 wib, 25 Juli 2009. Beliau meninggal setelah seminggu dirawat di rumah sakit milik keluarga Dr TD Pardede itu.
Beberapa jam setelah pendeta yang pensiun dari GKPS pada 1999 ini dinyatakan meninggal, suasana Jalan Flamboyan I/1 No 12 berbeda dari sebelumnya. Beberapa menit memasuki 26 Juli 2009, rumah itu dipenuhi para pendeta, jemaat dan keluarga. Mereka bukan mengadakan kebaktian (partonggoan). Sebuah mobil ambulans dengan suara sirene yang meraung-raung memasuki halaman rumah sederhana itu. Di dalam ambulans terbujur kaku jenazah Pendeta Dr Armencius Munthe MTh.
Beberapa pendeta dan anggota keluarga mengangkat jenazahnya ke dalam rumah, kemudian membaringkannya di atas dipan di ruang tamu. Beliau telah menghadap sang Pencipta. Isak tangis memenuhi ruangan. Kesedihan menerpa seluruh penghuni rumah menyaksikan kepergiannya.
Berita meninggalnya Dr Armencius Munthe, begitu mengagetkan. Penulis sendiri masih berbicara sekitar tiga jam hari Kamis, 16 Juli (dua hari sebelum beliau diangkut ke rumah sakit, karena terkena stroke). Pria yang mengakhiri masa jabatan Sekjen GKPS pada 1995 ini, masih terlihat segar bugar.
Warga sekitar rumahnya tak menduga kepergiannya yang begitu cepat, karena beberapa hari sebelumnya masih sehat. “Kami masih jalan kaki bersama-sama, sebelum beliau masuk rumah sakit,”ujar Dr J.Raplan Hutauruk, sahabat akrabnya dan tinggal tidak jauh dari rumahnya.
Beberapa waktu sebelumnya, beliau masih memberikan ceramah atau khotbah di berbagai tempat. ”Beliau masih memberi ceramah di acara Gereja Methodis Indonesia (GMI) akhir bulan Juni lalu,”ujar Bishop GMI, Pendeta Dolok Saribu, terisak-isak, tak mampu menahan rasa sedihnya, saat melayatnya Senin, dua hari setelah beliau meninggal. Bahkan sesudah acara itu, beliau masih memimpin acara pengumpulan dana di GKPS Siantar Timur dan khotbah di Gereja GKPS Cikoko, Jakarta.
Pendeta Dr Armencius Munthe MTh sudah pergi meninggalkan kita. Begitu panjang pengalaman melayani yang dijalaninya, begitu banyak orang yang dilayaninya, begitu beragam liku-liku hidup yang dialaminya. Semuanya beliau maknai dengan sebuah kalimat "Aku bersykur kalau masih bisa melayani".
Tidak mudah menggambarkan secara lengkap seorang tokoh seperti ini, apalagi dalam tulisan singkat. Artikel ini hanya melihat sepintas dari sosoknya dari sisi kemampuan intelektual, komunikasinya, serta pelayananannya. Tulisan ini banyak bersumber dari ungkapan-ungkapan para pelayat dan ungkapan para tokoh yang sudah didokumentasikan dalam bentuk tulisan, serta observasi penulis sendiri.
Pelayanannya Menembus Semua Lapisan
Dr Armencius adalah teman satu angkatan dengan Pendeta PWT Simanjuntak (Mantan Ephorus HKBP) dan Pendeta RMG Marbun (mantan Bishop GKPI), yang lulus dari STT HKBP Nommensen pada 1958. Beliau adalah seorang anak desa dan hidup dalam kesederhanaan. ”Kami berdualah yang tidak pernah makan bakmi diantara mahasiswa, ketika kuliah karena tidak punya uang,”ujar RMG Marbun saat menjenguk rekannya itu di rumah duka. Kesederhanaan dilakonkan Dr Munthe sampai akhir hayatnya.
Kesederhanaan bukan berarti alasan untuk tidak menyenangkan orang lain. Beliau adalah orang yang mampu memberikan suasana menyenangkan bagi sekelilingnya. Dalam setiap perjumpaan atau pertemuan, Dr Armencius Munthe senantiasa membuat suasana segar. ”Kadang kami mendengar beliau berceramah sampai tiga jam, tanpa merasa capek. Beliau kaya dengan kata-kata humor disertai ekpresinya yang membuat orang ketawa,”ujar Pendeta Dr Dolok Saribu, Bishop Gereja Methodis Indonesia (GMI) saat melayatnya Senin 27 Juli 2009. .
Lulusan Master Theologia dari Fakultas Teologia, Universitas Hamburg 1965 ini adalah seorang intelektual yang bisa mengkomunikasikan ide-ide dan pikirannya kepada berbagai lapisan masyarakat. Orang berkumpul kalau dia datang, orang mendengar kalau dia berbicara. ”Beliau adalah salah seorang pemimpin GKPS yang memiliki kemampuan intelektual sekaligus mampu berkomunikasi dengan segala lapisan masayarakat, sehingga kehadirannya sangat dirindukan semua jemaat,” demikian Prof Dr Bungaran Saragih, dalam biografinya Anugerah Tak Terhingga (2004).
Dalam kapasitasnya sebagai seorang dosen, pria yang selama dua tahun melayani sebagai dosen di Seminari BNKP Ombolata Nias (1966-1968) ini digambarkan oleh Dr H. Doloksaribu, sebagai seorang yang pintar, humoris, jujur, ramah, peduli. suka memberi dan rendah hati. Tentang kisah suka memberi, Dr H. Doloksaribu menceritakan sebuah pengalaman mahasiswa yang pernah di dengarnya. Beliau mengisahkan betapa sebagai dosen pembimbing mahasiswa Pasca Sarjana, mantan dosen STT Abdi Sabda dan STT HKBP Nommensen ini acapkali merogoh koceknya untuk uang transportasi mahasiswa pulang. ”Sulit dicari dosen pembimbing seperti pak Munthe,” ujarnya.
Beberapa pimpinan gereja yang melayatnya hari Senin 27 Juli mengungkapkan betapa beliau sepanjang hidupnya mencurahkan diri untuk melayani, mengkomunikasikan ide-ide dan pemikirannya ke tengah-tengah masyarakat. ”Aku bersyukur kalau masih bisa melayani,”demikian mottonya yang dikutip Pendeta Belman Purba Dasuha, STh, Ephorus GKPS saat melayatnya hari itu. Dasuha mengatakan, meski sudah pensiun sebagai pendeta, sepanjang hidupnya Pendeta Munthe terus memenuhi undangan berkhotbah ke berbagai gereja di Medan ataupun di Jakarta dan tempat-tempat lainnya di Sumatera.
Di luar tugasnya sebagai gembala rohani dan dosen, pria yang pernah aktif sebagai pengurus berbagai organisasi gereja dunia maupun nasional ini, adalah seorang penasehat sejarah, adat dan tradisi orang Simalungun kepada para tamu-tamunya dari luar negeri. ”Ephorus Munthe menjadi penasehat yang berharga bagi saya secara khusus dalam hal sejarah, adat dan tradisi orang Simalungun. Dalam waktu yang tidak berapa lama orang dapat berhubungan dengan beliau secara terbuka dan bersahabat,:ujar Pendeta Clem Schmidt, Gereja Lutheran, Australia.
Kemampuannya berkomunikasi dengan semua lapisan masyarakat membuat pelayanannnya dirindukan banyak orang. Tidak hanya sebatas jemaat dan para majelis dan pendeta di gerejanya di GKPS, tetapi juga berbagai denominasi. Dr Armencius Munthe MTh acapkali berkhotbah di Gereja HKBP, GKPI, GBKP, BNKP Nias, HKI, Gereja Methodist dan gereja lainnya, persekutuan-persekutuan di kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan dan kebaktian-kebaktian rumah tangga..
Peduli Kualiatas Pelayanan
Suami Floriana Tobing ini, tidak hanya berkomunikasi lewat khotbah langsung kepada jemaat. Sejak awal beliau memikirkan komunikasi khotbah lewat media dan buku-buku. Sebuah kegiatan yang hingga akhir hayatnya terus beliau lanjutkan.
Buletin Ambilan pakon Barita (AB), yang bulan Juli 2009 ini memasuki No 424, diterbitkan pertama kali pada bulan Desember 1970. Saat itu adalah tahun-tahun pertama beliau menjabat sebagai Sekjen GKPS, mendampingi Ephorus Pendeta Lesman Purba (1970-1972). Perlu diketahui, beliau juga mendampingi Ephorus Pendeta SP Dasuha, mantan Ephorus GKPS (1972-1977), dan Ephorus Pendeta JAS Damanik, STh (1990-1995). Sebelumnya saat menjabat Ephorus (1977-1990), beliau didampingi Sekjen Pendeta HM Girsang. .
Semasa kepemimpinannya baik sebagai Sekjen maupun sebagai Ephorus, mertua Rebecca br Situmeang, Kurniaty br Purba, Darty br Purba dan Lamsihar Pasaribu ini, peduli pada penerbitan bahan-bahan pelayanan. Sebut saja beberapa diantaranya, seperti penyediaan buku-buku bahan khotbah, penerbitan Bibel berbahasa Simalungun (yang diterjemahkan Pendeta Petrus Purba), Parmahan Na Madear, Buku Doding Haleluya, buku-buku tentang pengaturan organisasi gereja, kursus-kursus peningkatan kemampuan menulis bagi para pendeta dan mejelis jemaat, garis besar kebijakan umum gereja dan lain-lain, dan pengembangan Kolportase GKPS.
Selain itu, beliau sendiri tidak henti-hentinya menulis buku-buku bacaan baik bagi para pendeta maupun jemaat. Pikiran-pikirannya yang dituangkan dalam puluhan buku akan menjadi warisan emas bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang, diantaranya Kamus Teologia yang ditulisnya bersama pendeta D. Tappenbeck dan Pendeta J.Wismar Saragih, Pargamon: Parlajaran Parguru Manaksihon, Marthin Luther, Limbaga Pasal Harajaon ni Naibata, Injil dan Orang-orang Miskin, Homeletika, Firman Hidup 45, Kabar Baik dalam Perumpamaan Yesus, Tema-tema Perjanjian Baru, Jalan Menuju Tahta, Perjanjian Baru versi Mudah dibaca, serta beberapa buku lainnya. Buku Back to Bible dan Terjemahan Perjanjian Lama yang belum sempat diterbitkan akan menjadi warisan berharga darinya.
Bersinar Terus!
Ayah dari Elisa Munthe, Markus Munthe, Paul Munthe dan Ruth Munthe ini mendapat simpati dari berbagai pihak. Penghormatan berupa deretan karangan bunga yang berjajar mulai dari jalan besar ke arah Pajak Melati dan jalan masuk ke Kompleks Perumahan Pemda II, kemudian bersambung ke jalan Flamboyan, menunjukkan besarnya simpati bagi pendeta yang rajin melayani ke berbagai lapisan masyarakat dan berbagai denominasi gereja ini.
Lebih dari 1500 orang yang melayatnya di tengah guyuran hujan adalah bukti kecintaan mereka atas pria pemegang gelar Doktor Honoris Causa dari Academy of Ecumenical Indian Theology, Chennai, India 1997 ini. Mereka—yang berasal dari warga GKPS di Medan, dan luar Medan, warga dari gereja berbagai denominasi, bersempit-sempit untuk sekedar melihatnya terakhir kalinya, menghibur keluarga yang ditinggalkannya.
Pendeta Dr Armencius Munthe, dilahirkan 12 Februari 1934 di desa Pangambatan, Kabupaten Karo. Lokasinya persis di perbatasan Kabupaten Karo dan Simalungun. Penduduknya memiliki adat kebiasaan yang sedikit berbeda dengan kedua suku di atas. Adat Sipitu Huta, demikian mereka menyebutnya, mewarnai upacara pemberangkatan pria yang pernah satu tahun tinggal bersama neneknya di daerah Lehu, Dairi ini.
Para lelaki memakai ”bulang” berwarna merah-kuning—berbeda dengan ”bulang” yang dipakai di Simalungun dan Karo. Serangkaian upacara berlangsung, mulai dari ”Pamasuk hu Rumah na Baru”, acara khusus keluarga dan manortor dari Tondong, Sanina/Pariban, boru dan rekan-rekan sejawat, maupun teman sekampung (hasoman sahuta).
Acara manortor membuat suasana pekarangan dan rumah sempit jadi penuh sesak. Puluhan orang dalam satu rombongan menyebabkan lokasi yang hanya berukuran 4 meter kali delapan meter yang dibatasi pagar dan hanya satu pintu keluar itu terasa sesak dan panas. Ditambah lagi panas terik di pagi hingga siang itu membuat orang-orang berkeringat.
.
Sebuah penghormatan adat bagi seorang pemimpin pelayan (Servant Leader), meski gereja masih sering mempersoalkannya sebagai sebuah kegiatan yang memerlukan penyederhanaan. Acara adat memang cukup lama, bahkan sesudah makan siang masih tersisa beberapa rombongan boru. Acara adat memang menyita waktu hingga beberapa acara lainnya harus terpotong, karena acara di gereja harus dilaksanakan pukul 16.00 di di Gereja GKPS Maranatha.
Di gereja itulah beliau terdaftar sebagai anggota jemaat, sejak bermukim di Medan pada 1995. Meski di tengah hujan deras tak mengurungkan para pemimpin gereja dan tokoh-tokoh masyarakat mengikuti kebaktian yang dilaksanakan sore hari 28 Juli 2009. Hampir separuh ruangan terisi oleh para pendeta dari berbagai denominasi. Kebaktian pemberangkatan dipimpin oleh Ephorus GKPS, Pdt Belman Purba Dasuha, STh, didampingi Sekjen GKPS, Pendeta Rumanja Purba, STh, Msi.
Pada acara pemberangkatan tersebut, Pendeta Dr MSE Simorangkir (Bishop GKPI), mewakili gereja tetangga, menyampaikan ucapan belasungkawa, pesan dan kesan. Selain itu, perwakilan dari GKPS Resort Medan Selatan, St Japitah Sinaga, SE menyampaikan ungkapan duka yang mendalam.
Ijon do Marsaran!
Di Taman Pemakaman Simalingkar B—yang berjarak sekitar 10-15 menit perjalanan dengan kenderaan dari GKPS Maranatha, dilakukan acara pemakaman dan disaksikan para pendeta GKPS dan gereja lainnya dan keluarga yang mengantar anak tertua dari enam bersaudara itu. Di tengah guyuran hujan dengan menggunakan payung, Ephorus GKPS memimpin acara pemakaman. Keharuan merebak, saat menurunkan peti jenazah anak tertua enam bersaudara buah perkawinan almarhum Jalias Munthe dan Honim br Gisang, ke liang lahat berukuran panjang 220 centimeter dan lebar 90 centimeter. Tangis tanda kesedihan perpisahanpun tak tertahankan.
Dr Armencius Munthe diberangkatkan dalam sebuah peti yang hanya berisi seperangkat pakaian yang melekat ditubuhnya dan barang-barang tak berharga lainnya. Beliau tidak membawa serta mas, uang, berlian, mobil atau rumah sederhana miliknya.
Pimpinan Pusat menjatuhkan bongkahan tanah kecil sebanyak tiga kali. ”Dari tanah, kembali ke tanah!”. Disusul oleh keluarga dan para pengantar lainnya. Lobang yang berisi peti itu kemudian ditimbun dengan tanah urukan dari lobang yang sama, hingga seluruhnya tertutup.
Sebuah salib dipancangkan dengan tuliskan : ”Ijon do Marsaran” (Rest in Peace) : Pendeta Dr Armencius Munthe, MTh (Ompung Theofil Munthe). (*) 12 Februari 1934, (+) 25 Juli 2009”. Di tengah guyuran hujan, sore itu, para pengantar meninggalkan Pendeta Dr Armencius Munthe MTh sendirian. Sepi, dingin!
Peristirahatan terakhir Dr Armencius Munthe terletak di lokasi strategis--tidak jauh dari pinggir akses jalan masuk di dalam makam. Dikompleks pekuburuan yang menampung sekitar 9000 makam itulah tempat tinggalnya sementara menanti kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya.
Di kompleks pekuburuan yang terawat dan bersih itu, puluhan orang setiap harinya bekerja menggali, membangun dan merawat makam. Mereka juga mengatur para pengunjung, mulai dari parkir dan serta para penjual bunga dan keperluan makam lainnya. Para pengelola yang berada di sekitarnyapun, meski seharian bersama-sama di satu tempat di sekitar makamnya, tetapi mereka hanya berkomunikasi tanpa suara, tanpa kata-kata. Mereka akan merawat makam Dr Armencius Munthe, MTh sama seperti makam-makam lainnya.
Dr Armencius Munthe tidak merasakan apa-apa lagi, tidak ada senyum, tawa dan khotbah yang memukau. Dia tidak akan pernah kaget lagi seperti ketika dia menumpang mobil saya yang tiba-tiba kemasukan air hujan menerpanya karena angin kencang. Beliau tidak lagi berceramah, tidak lagi mengunjungi jemaat yang sedang mengalami masalah hidup, tak ada kiriman pulsa kepada orang-orang yang memerlukan, tak ada lagi pemberian buku-buku gratis kepada jemaat dan rekan-rekan yang lazim dilakukannya.!
Kamar khususnya di salah satu bagian rumahnya yang dipenuhi ribuan buku-bukunya, tak lagi dihuninya. Dari rumah sempit itulah beliau menghasilkan karya-karya gemilang, mempersiapkan khotbah-khotbahnya kepada ribuan jemaat, ceramah-cermah bagi para majelis gereja dan para pendeta dari berbagai denominasi.
Ruangan itu kini ditinggal kosong. Tidak ada lagi pria yang duduk di depan komputer mengerjakan naskah-naskah buku atau bahan khotbah. Beberapa file yang ditulisnya masih tersimpan di komputernya. Email-email yang masuk ke komputernya tidak akan pernah dibukanya lagi. Dia tidak pernah membalas kepada pengirimnya. Bukunya masih dibiarkan seperti sedia kala. Terpampang fotonya di salah satu sudut ruangan itu.
Kini, semua aktivitas fisik yang Dr Armencius Munthe berhenti, namun hasil pekerjaannya selama puluhan tahun tidak akan hilang dan akan terus bertumbuh. ”Harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama”.
Idenya mengadakan operasi katarak gratis kepada penduduk di Simalungun dan Tapanuli Utara, seperti diungkapkan Andreas dari Yayasan Setia Bakti, Jakarta saat melayatnya tidak akan berhenti sebatas usulan. ”Kami akan mewujudkannya dan ini merupakan karya terakhir almarhum semasa hidupnya,” ujar Andreas mewakili yayasan itu.
Para petani peternak di Pangambatan yang baru saja memulai usahanya dengan dorongan Dr Munthe sebelum beliau pergi, hanya bisa sedih merelakan kepergian pria yang meski di usia tuanya senantiasa memperhatikan kemajuan kampungnya itu.
Meski Pendeta Armencius Munthe telah menyatu dengan tanah di Taman Pemakaman Simalingkar B, warisannya hidup ditengah-tengah keluarga, masyarakat GKPS, dan masyarakat gereja-gereja lainnya, teman-teman sejawatnya serta bagi siapa saja yang pernah bersama-sama dengan kakek dari Theofil Munthe, Cecilia Munthe, Tabitha Munthe, Kevin Munthe, Steven Munthe dan Samuel Pasaribu ini. .
Selamat jalan Pendeta Dr Armencius Munthe!.
Labels:
Orbituari
Selasa, 17 Maret 2009
Selamat Jalan SK Trimurti
Oleh : Jannerson Girsang
Dunia jurnalis Indonesia berkabung!. SK Trimurti yang nama lengkapnya Surastri Karma Trimurti, seorang tokoh pers nasional meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta dalam usia 96 tahun. Wanita kelahiran Boyolali 11 Mei 1912 menghadap khalikNya, sembilan hari setelah Ulang Tahunnya ke 96, tepatnya 20 Mei 2008 sekitar pukul 18.30 WIB. Saat itu bertepatan dengan saat berlangsungnya puncak perayaan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional yang dirayakan di Senayan, Jakarta.
Seluruh stasion televisi dikerahkan untuk menayangkan berita perayaan itu secara langsung (live), sehingga peristiwa meninggalnya istri Sayuti Melik—juru ketik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia itu tertelan hirukpikuknya perayaan akbar itu.
Dua buku yakni “SK Trimurti : Wanita Pengabdi Bangsa”, yang ditulis Soebagio IN (1982) dan "Jagat Wartawan Indonesia" yang juga ditulis Soebagio IN (1980) menjadi sumber utama penulisan artikel ini, disamping beberapa sumber lain.
Meninggalkan Guru Memasuk Dunia Pergerakan dan Wartawan
Perjalanan hidup SK Trimurti, pantas dijadikan sebagai salah seorang teladan pers Indonesia, khususnya pemahamannya akan kondisi bangsanya, semangat dan keberanian menyatakan sikapnya sebagai seorang wartawati dan sekaligus pejuang.
Setelah berjuang melalui media dan aktif di masa pergerakan memperjuangkan Indonesia Merdeka, ia bergerak bersama suaminya, Sayuti Melik di malam-malam terakhir persiapan pembacaan Proklamasi. Sayuti Melik adalah juru ketik naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Trimurti ikut hadir saat pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945. Dialah seorang perempuan saksi pembacaan Proklamasi.
Setelah Indonesia merdeka SK Trimurti menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, anggota Pengurus Besar Partai Buruh Indonesia dan atas nama partainya menjadi Menteri Buruh Indonesia yang pertama. Selain itu, ia menjadi anggota Dewan Nasional Angkatan 45, Anggota MPRS, anggota Perintis Kemerdekaan Indonesia serta memperoleh beberapa bintang tanda jasa. Ia diminta berperan, bukan merengek-rengek minta peran, apalagi menyogok untuk diberi jabatan!. SK Trimurti pernah menjadi utusan negara ke berbagai pertemuan di luar negeri seperti Yugoslavia (1962) sebagai anggota dewan Perancang Nasional, ke Kongres Wanita Internasional di Moskow (1963), serta Jerman Timur (1964). Semasa Orde Baru SK Trimurti aktif menghadiri seminar, upaca-upaca peringatan hari-hari bersejarah, berdialog dengan para pemimpin bangsa
Awalnya, SK Trimurti adalah seorang guru. Dia hanyalah lulusan Sekolah Guru Putri (Meisjes Normal School) di Jebres, Solo. Semasa menjadi guru hatinya mulai tergugah untuk belajar berorganisasi. Masuk menjadi anggota perkumpulan Rukun Warga, dan kadang-kadang ikut rapat Budi Utomo yang kala itu sudah mempunyai cabangnya di Banyumas, tempatnya mengajar. Lantas, aktif mengikuti pertemuan-pertemuan organisasi yang lebih besar bahkan hadir ke berbagai kota di Jawa. Setelah masuk menjadi anggota Partindo, Surastri kemudian pindah ke Bandung. Di sana, selain aktif di pergerakan, pada pagi hari mengajar di Sekolah Dasar Perguruan Rakyat. Pada akhirnya, pekerjaan itupun terpaksa dihentikannya, karena ada larangan mengajar karena alasan “untuk kepentingan umum", yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat melalui Asisten Residen.
Alkisah, di masa 1930-an, dalam sebuah kesempatan, Bung Karno pernah mengajak SK Trimurti menulis di media yang dipimpinnya. “Tri, tulislah karangan, nanti kami muat dalam majalah Fikiran Rakyat,” ujar Bung Karno kepada SK Trimurti, seperti ditulis Soebagio I.N dalam buku “Jagat Wartawan Indonesia” (1980). Kala itu Bung Karno adalah pemimpin Fikiran Rakyat di Bandung.
Dalam buku itu, disebutkan SK Trimurti merasa tertantang sekaligus bingung, karena saat itu dia belum pernah menulis dalam majalah ataupun koran. Singkat cerita, Trimurti akhirnya mengirimkan tulisannya ke Fikiran Rakyat. Tulisannya benar-benar dimuat!. Trimurti bersemangat. Ia menjadi jurnalis yang ditempa masanya, dengan semangat membebaskan bangsanya dari cengkeraman bangsa asing. “Sayangnya, baru sekali mengirim tulisan, kemudian Soekarno ditahan Belanda,” kisah Soebagio dalam bukunya. Tantangan ini tidak serta merta menurunkan semangat juangnya.
Kehilangan pekerjaan sebagai guru dan ditutupnya Pikiran Rakyat, SK Trimurti meninggalkan Bandung dan pulang ke kampungnya di Klaten. Di kampungnya, ia tidak tinggal diam. Kebiasaannya di Bandung berlanjut di sana. Mengisi kekosongan waktu selama di kampung ia mengirimkan tulisannya ke harian Berdjoeang pimpinan Doel Arnowo di Surabaya.
Atas ajakan rekan-rekannya, Trimurti kemudian memimpin majalah Bedoeg yang berbahasa Jawa. Siar majalah Bedoeg dianggab kurang luas, karena soal bahasa yang digunakan. Kemudian nama majalah tersebut diganti menjadi Terompet yang berbahasa Indonesia.
Di kemudian hari ia bergabung dengan temannya seorang wanita bernama Sri Panggihan, menerbitkan majalah Marhaeni. Isinya berupa pendidikan-pendidikan yang ditujukan kepada kaum wanita agar ikut serta dalam perjuangan rakyat untuk pembebasan tanah air. Semboyan Persatuan Marhaeni sendiri jelas. “Masyarakat adil dan makmur, dengan melalui Indonesia Merdeka”.
SK Trimurti, tidak puas hanya sebagai seorang wartawati atau redaktris. Dari uang hadiah tulisannya, ia mendirikan sebuah majalah, yakni Suluh Kita, yang pengelolaannya diserahkan kepada orang lain. Trimurti kemudian mendapat tawaran bekerja sebagai redaktris pada majalah Sinar Selatan, sebuah harian yang diterbitkan seorang keturunan Jepang.
Menghadapi Risiko Sebagai Wartawan
SK Trimurti menjalani kehidupan jurnalis dan pejuang kemerdekaan dengan segala risiko dan kondisi kehidupan yang dialaminya. “Dia lebih dikenal sebagai seorang wartawati, yang keluar masuk bui karena tulisannya yang terkenal tajam. Banyak karangannya waktu itu dimuat dalam harian Sinar Selatan, kemudian di mingguan Pesat yang terbit di Semarang”, demikian diungkapkan Soabagio IN dalam biografinya berjudul SK Trimurti : Wanita Pengabdi Bangsa (1982).
Salah satu contoh kejelian dan keberaniannya adalah ketika ia menjadi redaktris di Sinar Selatan. Suatu saat SK Trimurti menerima sebuah tulisan berjudul “Pertikaian Jepang-Tiongkok, Sikap yang Patut Diambil Bangsa Indonesia terhadap Pertikaian Tiongkok-Jepang”. Isinya, “Rakyat Indonesia tidak usah membela Belanda. Sebab Belanda Imperialis. Juga tidak perlu membela Jepang sebab Jepang kemungkinan juga imperialis. Yang baik, sikap bangsa Indonesia ialah memperkuat diri sendiri, untuk mempersiapkan kemerdekaan sendiri”. Ia meloloskan tulisan yang menyatakan sikap yang seharusnya ditempuh oleh pemimpin bangsa. Tulisan ini menyebabkan penguasa ketika itu naik pitam. Trimurti diganjar 6 bulan penjara.
SK Trimurti mengambil peran penting melalui dunia wartawan, sekaligus berperan dalam perjuangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Dari kedua buku tentang SK Trimurti kami melihat bahwa ia memahami kondisi bangsanya, merumuskan visi dengan jelas dan dapat dimengerti orang lain, serta memiliki sikap yang konsisten dengan perjuangan bangsanya.
Selain sebagai seorang penulis, SK Trimurti aktif dalam pergerakan. Seperti telah disebut di atas, ia menjadi anggota Partindo dan pernah menjadi Ketua PB Marhaeni Indonesia. Karena ketahuan menyebarkan pamflet yang berbau anti penjajah, Trimurti dijatuhi hukuman 9 bulan penjara.
Penjara, ternyata tidak bisa menghentikan suara dan karya seorang wartawan. Selepas dari penjara, Trimurti justru memperoleh hadiah sejumlah uang dari surat kabar “Penebar Semangat” karena memenangkan penulisan cerita sandiwara.
Media dan Apresiasi Pejuang Perempuan!
Kalau anda jeli menonton televisi atau membaca media cetak, sebuah rasa keprihatinan muncul atas sikap mereka dalam pemberitaan kedua tokoh nasional itu. Salah satu harian terbesar di Indonesia, menempatkan peristiwa meninggalnya SK Trimurti dibelakang berita Ali Sadikin. Kalau Ali Sadikin mendapat porsi 3 kolom penuh di halaman muka dan bersambung dua kolom di halaman 15 dan dengan penjelasan yang lebih lengkap, maka pemberitaan tentang meninggalnya SK Trimurti hanya diapresiasi dengan sub-judul : “Berpulang dalam sepi” dan hanya dua kolom yang tidak penuh. Kesan pembaca, Ali Sadikin jauh lebih populer dan lebih berjasa dari SK Trimurti.
Detik.com menampilkan peristiwa itu dengan judul : “Ali Sadikin dan SK Trimurti Wafat”. Walau hanya berita singkat, keduanya diberi porsi berita dan penjelasan yang seimbang. Memang, seharusnya keduanya mendapat porsi pemberitaan yang proporsional.
Ada sebuah keprihatinan dalam benak kami : kalau media saja tidak memberi apresiasi yang besar atas seorang tokoh media, lalu siapa?. Wanita besar seperti apa yang menarik media untuk diapresiasi?. Sikap media atas tokoh pejuang perempuan perlu terus digaungkan. Himbauan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta baru-baru ini untuk lebih mengapresiasi prestasi para pejuang perempuan perlu direnungkan.
Bagi insan pers perlu meningkatkan kepekaannya menampilkan tentang karya-karya perempuan dan tokoh perempuan. Sungguh sebuah ironi, kalau meninggalnya seorang rokoh perempuan sekaliber SK Trimurti tidak diberi porsi istimewa di dalam pemberitaan media, mengingat dia adalah tokoh pers nasional.
Berikan Akses Media
Bercermin ke belakang, memang cerita tokoh pers perempuan masih sangat minim diungkap di media maupun buku-buku. Buku “Jagad Wartawan Indonesia” (1980), mengungkapkan bahwa dari 111 biografi singkat tokoh wartawan Indonesia, hanya tercantum dua wartawati yakni Rasuna Said (halaman 502-506) dan Surastri Karma Trimurti (hal 397-402). Tidak jelas mengapa demikian. Barangkali, tidak tampilnya karya-karya dan tokoh pers perempuan bisa jadi merupakan gambaran minimnya peran perempuan dalam dunia jurnalistik kita di masa itu. Tetapi bisa jadi, sama seperti kejadian yang menimpa SK Trimurti, media kita masih lebih berpihak pada tokoh laki-laki.
Dampak dari situasi ini jelas. Cerita perjuangan dan sukses perempuan secara individual boleh dikata masih sangat minim. Popularitas perempuan jauh dibawah laki-laki!. Di alam demokrasi sekarang ini, hal ini berakibat pada akses perempuan di pentas politik dan berbagai jabatan strategis lainnya di masa mendatang. Jangan heran, kalau apresiasi media atas peran perempuan seperti kondisi ini, maka untuk mengejar target 30% perempuan mengambil peran dalam kepengurusan Partai maupun anggota Parlemen dan juga jabatan-jabatan strategis lainnya, akan berjalan tertatih-tatih.
Sejarah menunjukkan, media adalah salah satu cara efektif masuknya orang ke dalam kancah politik Posisi yang tidak hanya membutuhkan kemampuan (skill), tetapi juga popularitas dan dukungan masyarakat. Tanpa memfasilitasi akses media kepada perempuan, maka kesetaraan gender akan terus menjadi wacana, tanpa sesuatu perubahan yang signifikan.
Kepergiaan SK Trimurti merupakan momen penting untuk menghimbau media agar memberikan porsi yang lebih besar untuk suara perempuan dan karya-karya mereka serta juga berikan kesempatan bagi mereka menciptakan dan menilai berita yang layak bagi bangsa ini. Keputusan menetapkan berita pada sebagian besar harian umum, majalah umum mingguan yang besar, stasion televisi, radio masih perlu ditata agar memberikan porsi yang benar bagi apresiasi karya perempuan.
SK Trimurti-SK Trimurti Baru
Momen ini juga sekaligus menghimbau agar kaum perempuan Indonesia lebih banyak menyuarakan ide atau keluhannya melalui media. SK Trimurti menyadarkan kita bahwa gagasan-gagasan perempuan bisa diketahui publik kalau disampaikan kepada masyarakat melalui media. Jangan biarkan karya-karya, buah pikiran tersimpan di benak hati, di dalam laptop atau hard disk komputer. Belajar dari pengalaman SK Trimurti, menuangkan opini atau berita di media adalah alat penting bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan nasib kaumnya dan sekaligus nasib bangsanya sendiri. Sentuhan hati dan nurani perempuan yang lembut namun “berpengaruh”.
Polesan kalimat mereka dibutuhkan untuk menjelaskan dan menyadarkan kita semua atas kondisi faktual saat ini seperti : “korupsi berjamaah” yang kian hari semakin merasuk masyarakat kita, harga-harga kebutuhan yang terus meroket akibat rencana kenaikan BBM, lapangan kerja sulit, praktek percaloan pegawai, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Lihatlah Kabinet dibawah SBY sekarang!. Beberapa hari terakhir menampilkan Sri Mulyani dan Mari Pangestu sebagai “alat pendingin” pemerintah soal kenaikan BBM. Mungkin mereka sadar bahwa Hawa berhasil membujuk Adam untuk memakan “buah terlarang”. Tentunya perempuan juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi “masyarakat” memahami “tindakan pemerintah”-terlepas apakah tindakan itu benar atau salah.
Tentu “SK Trimurti-SK Trimurti baru” bisa melakukan hal yang sebaliknya, memberikan penjelasan kepada pemerintah untuk lebih memahami masyarakatnya. Kalau SK Trimurti berani meloloskan berita-berita keras dan berpengaruh di zaman Belanda, mengapa di zaman sekarang ini para perempuian tidak melakukan hal yang sama untuk memperjuangkan rakyatnya!.
Bangsa ini sedang menunggu “SK Trimurti-SK Trimurti baru” menyuarakan karya-karya perempuan dan bangsanya sendiri. Assosiasi Jurnalis Perempuan yang muncul belakangan ini memiliki beban besar yakni memberi warna yang berbeda dari assosiasi jurnalis lainnya. Selamat jalan SK Trimurti, keteladananmu sebagai wartawati akan menjadi pendorong semangat para wartawan Indonesia, khususnya wartawati Indonesia lebih mengapresiasi karya-karya dan tokoh-tokoh perempuan!. Dimuat di Harian Analisa Mei 2008.
Keterangan Foto : (JAKARTA, 27/8 - TUTUP USIA. SK Trimurti seorang wartawati, penulis, pengajar, dan istri dari Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi dan pernah menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II, tutup usia pada saat bangsa Indonesia memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Foto diambil pada acara temu generasi dalam rangka Proklamasi RI, di Gedung Joang 45, Jakarta, Jumat (27/8), SK.Trimurti bersalaman dengan Benny Wenas, disaksikan Ketua Dewan Harian Daerah 45 DKI Jakarta, HR Soeprapto. FOTO ANTARA/Audy Alwi/hm/hp/08diselenggarakan di Senayan, Jakarta dan dihadiri Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia).
Labels:
Orbituari
Jumat, 13 Maret 2009
SELAMAT JALAN JP SILITONGA
”Mengabdi Sampai Akhir Hayat”
Oleh : Jannerson Girsang
“Bapak JP Silitonga meninggal dunia di Rumah Sakit Permata Bunda sekitar pukul 21.00”, demikian pesan singkat (sms) yang kami terima dari Pendeta Dr Armencius Munthe—sahabat dekat JP Silitonga dan mantan Ephorus GKPS itu, pada pukul 21.30 Kamis 20 September 2007. Setelah konfirmasi dengan Magdalena Silitonga, anak tertua beliau, kami juga mengirimkan beberapa pesan singkat ke teman-teman menginformasikan berita duka itu. Sumatera Utara kehilangan seorang tokoh yang gigih dan berani, peduli sesama dan berkarya hingga akhir hayatnya. Sampai akhir khayatnya beliau masih meluangkan waktu mengajar Kewiraan di USU Medan.
Kematian, tak seorangpun tau kapan datangnya. Sama halnya dengan yang berlaku pada pak JP Silitonga. Sembilan bulan berselang, Januari 2007 lalu, kami bertemu dalam sebuah pesta perkawinan saudara Huger Saragih—dirigen Paduan suara Sola Gratia di Kaban Jahe. Saat itu, beliau masih segar dan senantiasa mengeluarkan lelucon-lelucon yang membuat gelak tawa.
Kami teringat peristiwa dua tahun lalu. Entah sudah mengetahui ”harinya” sudah dekat, saat itu beliau meminta kami membantu menulis otobiografinya. Buku otobiografinya berjudul ”Bicaralah Tuhan Hambamu Mendengarkan”, diluncurkan 2 Januari 2006, di Medan Club dalam merayakan Ulang Tahunnya ke 80. Acara tersebut dihadiri oleh keluarga dan teman-teman beliau. Dari tamu-tamu yang hadir ketika itu, menunjukkan bahwa JP Silitonga memiliki pergaulan yang sangat luas dari segala lapisan. Kehangatan dan kepedulian. Itulah yang mungkin akan selalu dikenang oleh siapa saja yang dekat dengannya. Sebagai seorang anak guru zending, mengenyam pendidikan di pertanian dan militer, kemudian berkarier di militer, pemerintahan, dosen dan aktif di organisasi kemasyarakatan, JP Silitonga memiliki sejumlah prestasi yang pantas kita kenang.
Anak Seorang Guru Zending
Johan Pandapotan Silitonga dilahirkan di Desa Tigabolon, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun pada 2 Januari 1926, dari pasangan GM Kalvin Silitonga dan Doriana boru Simanjuntak. GM Kalvin Silitonga adalah seorang guru zending di sebuah sekolah di Sidamanik. Di saat usianya masih balita, ayahnya pindah tugas ke Sipahutar, Tapanuli Utara, sekitar 40 kilometer dari kota Tarutung atau kira-kira 100 kilometer lebih dari Tigabolon.. Oleh ayahnya, beliau disekolahkan ke HIS Sigompulan—sebuah sekolah untuk para orang tua kelas atas saat itu.
Usai menyelesaikan sekolahnya di HIS Sigompulon, Tapanuli Utara, beliau berangkat ke Jawa, dan sekolah di Cultuur School (Sekolah Perkebunan) di Malang, Jawa Timur. Hanya beberapa bulan setelah beliau memasuki sekolah itu, Jepang masuk dan menguasai sekolah itu bahkan menangkapi guru-guru mereka, orang-orang Belanda. Kemudian Jepang mengganti nama sekolah itu menjadi Noogokai dan JP bersama teman-temannya bisa melanjutkan sekolahnya sampai selesai. Beliau bahkan sempat menikmati kehidupan sebagai pegawai perkebunan seperti apa yang dibayangkannya ketika beliau memilih sekolah itu.
Memasuki Militer
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, kemudian mengubah jalan hidupnya. Perkebunan ditinggalkan dan masuk menjadi lasykar di Surabaya. Beliau menjadi tentara. Pengetahuan yang masih minim tentang kemiliteran, membuat beliau tertarik untuk mengikuti pendidikan militer di Gombong selama empat bulan. Kemudian memasuki Cadet Malang (1945-1948). Di sela-sela waktu belajar, mereka ikut bertempur dalam penugasan-penugasan khusus. Kemudian beliau ditugaskan Kepala Staf Angkatan Perang Kol TB Simatupang, untuk melakukan tugas khusus di Sumatera, sampai penyerahan kedaulatan. Penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia, merupakan akhir masa tugas khusus tersebut. “Itulah sebabnya, di kalangan angkatan 45 di Sumatera Utara saya tidak begitu banyak dikenal,”. katanya.
Kariernya di militer tergolong sukses. Beliau pernah menjadi perwira seksi I (intelijen) di Tentara Teritorial I Sumatera Utara (T & T 1 S.U), terlibat tugas-tugas operasi seperti Penumpasan Gerombolan di sekitar Tanah Karo pada periode 1951-1953 (beliau menikah dengan Ida Pola br Pasaribu pada 1951).
Tugas lainnya adalah penumpasan Gerombolan DI Daud Beureuh di Aceh (1953-1954), Komandan Kodim di Sampit (saat almarhum Raja Inal Siregar, mantan Gubsu menjadi perwira pertama), wakil komandan Rindam II, di Pematangsiantar, ASS-2 KAS KODAM II Bukit Barisan (1970-1973), lalu terakhir menjadi DAN RINIF DAM II Bukit Barisan (1973-1980). Saat menjadi Dan Rindam II, JP Silitonga berkesempatan melakukan perjalanan ke desa-desa di Simalungun dan beliau mengenal wilayah ini lebih mendalam. Beliau pensiun dengan pangkat terakhir Kolonel.
Ayah tujuh putri dan satu putri ini memperoleh beberapa penghargaan diantaranya : Bintang Gerilya : Penugasan dalam Aksi Belanda I dan Kedua (1945-1950), Medali Sewindu : Kesetiaan kepada Republik Indonesia (1945-1954), Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer I : Melawan Belanda waktu Aksi I (1945-1947), Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer II : Melawan Belanda waktu Aksi II (1948-1950), Satya Lencana GOM VII : Operasi Melawan DI di Aceh Tengah : (1953-1954), Satya Lencana Kesetiaan XVI Tahun : Kesetiaan 16 tahun kepada Republik Indonesia (1945-1961), Satya Lencana Guru : Melaksanakan tugas guru di Koplat (1964-1968), Satya Lencana Sapta Marga : Melawan PRRI (1958-1959), Satya Lencana Penegak : Membersihkan G-30-S/PKI (1965-1968), Bintang Oranye van Massau : Menjaga keselamatan Pangeran Bernard (Belanda) ketika kunjungan di Sumatera Utara.
Menjadi Bupati Simalungun (1980-1990)
Selama menjadi bupati Simalungun, usai menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai militer, beliau ingin mewujudkan Simalungun sebagai daerah penghasil (lumbung) beras. Untuk itu, salah satu yang harus dibenahi adalah pembangunan saluran irigasi. ”Tanpa irigasi yang baik, pembangunan pertanian di Simalungun tidak mungkin bisa digenjot produktivitasnya,” ujar JP. Proyek pembangunan irigasi tersebut dikenal dengan PIS (Proyek Irigasi Simalungun), mendapat sokongan dana dari Asian Development Bank (ADB) sebesar Rp 173 milyar. Perjuangan mewujudkan bantuan yang ditandatangani pada 1984 itu, tidak berjalan mulus begitu saja. Beberapa saat kemudian, penebangan hutan Sibatuloting berlanjut oleh sebuah perusahaan swasta. ”Padahal Sibatuloting merupakan kawasan hutan lindung yang menjadi sumber penyimpanan air. ADB juga mensyaratkan bahwa proyek tersebut hanya bisa berjalan jika ada jaminan bahwa hutan di hulu sungai tidak boleh ditebang karena sumber air untuk irigasi akan terganggu. ADB sempat mengancam menghentikan bantuannya kalau hutan di sana tidak dipertahankan,”ujar JP.
Selain itu, beliau mengembangkan Simalungun sebagai wilayah Pariwisata. Dengan menata Prapat sebagai kota tujuan wisata. Saat itu, kawasan pingiran pantai dibebaskan dari perumahan penduduk yang sering membuang limbah rumah tangganya ke pantai agar air Danau Toba bersih dari buangan samah dan limbah. Proses pemindahan penduduk berhasil dilakukan secara damai dengan menyadarkan masyarakat Sosor Pasir agar mau berpindah ke Sosor Saba.
Prioritas pembangunan yang lain adalah pengembangan kota kecamatan dengan membangun kantor Camat dan rumah untuk para camat. ”Ketika itu sebagian besar camat tinggal di Pematangsiantar dan tidak mau tinggal di ibu kota kecamatan karena sarana perumahannya memang belum ada. Akibatnya pelayanan birokrasi kepada masyarakat menjadi agak tersendat,” ujar JP. Selain itu, dengan kondisi seperti di atas, ”Camat juga menjadi kurang mengenal daerah yang menjadi tanggungjawabnya. Karena itu agar camat dekat rakyat, saya bangunkan mereka rumah camat”.
Pembangunan pendidikan dan kesehatan di tiap kecamatan adalah prioritas lain yang beliau kembangkan. Beliau meminta kepada para camat agar menyediakan tanah untuk pendirian sekolah tingkat lanjutan atas (SMA), minimal sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP) dan SD. Dengan begitu setiap ada jatah anggaran dari pusat untuk pembangunan sekolah, Simalungun selalu mengusulkan untuk diberi jatah. Pernah ada sebuah kabupaten yang berhak memperoleh jatah pembangunan sekolah, namun karena pemda tidak siap dengan lahan sekolahnya, akhirnya jatah tersebut dioper ke Simalungun. Selain itu untuk menunjang kesehatan masyarakat, di setiap kecamatan beliau juga memprioritaskan untuk membangun Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat).
Kepedulian beliau terhadap korpsnya sangat besar. Semasa menjabat Bupati Simalungun, para penghuni perumahan Rindam di Kelapa Dua Pematangsiantar, tentu tidak akan melupakan inisiatif JP Silitonga dalam menyediakan perumahan itu untuk mereka. Beliau prihatin melihat nasib para prajurit dan perwira yang pensiun dari Rindam. “Kalau sudah pensiun sebagian besar mereka tidak memiliki rumah, padahal mereka harus keluar dari asrama,”, ujarnya . Karena prajurit atau perwira-perwira yang baru akan menggantikan mereka. Sekitar 100 prajurit dan perwira bisa memiliki perumahan sendiri di Jalan Sisingamangaraja, di kota itu ke arah jalan ke Prapat.
Mengembangkan Universitas Simalungun
Untuk mendukung prioritas pembangunan pendidikan, salah satu obsesinya adalah menjadikan Universitas Simalungun menjadi perguruan tinggi swasta yang besar dan terbuka. Obsesi itu dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa tidak semua lulusan SMA dari wilayah ini yang mampu melanjutkan kuliahnya di Medan.
Dalam pandangannya saat itu, yang perlu dilakukan USI adalah meningkatkan kualitasnya baik dari segi fisik, kurikulum maupun tenaga pengajarnya. Konsepnya ketika itu adalah agar USI mampu seperti Universitas Satyawacana Salatiga dalam sepuluh tahun ke depan. Tenaga-tenaga pengajar dikirimkan belajar di sana dan studi banding juga dilaksanakan. Dalam masa kepemimpinannya sebagai Ketua Umum Yayasan Universitas Simalungun (1982-1990, pembangunan fisik adalah prestasinya yang luar biasa. Belum pernah pembangunan fisik sebesar itu dilakukan sepanjang sejarah USI, hingga sekarang ini. Dengan berbagai usaha, beliau mewujudkan pembangunan sarana fisik seperti Biro Rektor, Fakultas Hukum, Aula Rajamin Purba SH (beberapa tahun lalu terbakar, dan kini belum selesai pembangunannya), FKIP, Fakultas Pertanian, Perpustakaan, Mess untuk para dosen yang berasal dari luar kota dan beberapa rehabilitasi sarana pendukung lainnya, seperti jalan di lokasi kampus, dibangun secara bertahap dan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan lokal, pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat. Menurut kami, kalau Brigjen Rajamin Purba adalah pendiri Universitas Simalungun, JP Silitonga adalah membangun sarana fisik untuk mewujudkan cita-cita beliau.
Disamping mengembangkan Universitas Simalungun, beliau juga melihat potensi pariwisata di Kabupaten Simalungun dan Pematangsiantar cukup besar. Sehingga dibutuhkan tenaga-tenaga trampil di bidang itu, sementara sekolah pariwisata belum ada. Untuk itu, sekitar 1989, Yayasan USI bersama-sama dengan Rektor USI (ketika itu kami jabat) dan Direktur SMA Y-USI menghadap Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sumatera Utara agar diberi izin untuk membangun Sekolah Industri Pariwisata (SMIP) di kompleks Universitas Simalungun. Hingga saat ini sekolah tersebut masih berjalan dan jumlah muridnya sudah cukup lumayan dan menjadi salah satu tulang punggung keuangan Yayasan Universitas Simalungun.
Memasuki Usia Tua
Usai menyelesaikan tugasnya sebagai bupati, beliau memutuskan pindah ke Medan. Alasannya, ”istri saya masih menjadi dosen di Universitas Sumatera Utara dan saya sendiri masih ingin menyumbangkan tenaga yang saya miliki,” ujarnya pada Buku Otobiografinya berjudul ”Bicaralah Tuhan, Hambamu Mendengarkan”. Setelah istrinya Ida Pola Pasaribu meninggal pada 1985, JP Silitonga menikah dengan Dr Datten Bangun—seorang staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang mendampingi beliau sampai akhir khayatnya .
Di samping aktif sebagai dosen Kewiraan di USU, JP Silitongan juga aktif di SOKSI. Beliau terpilih menjadi Ketua Depidar Soksi selama satu periode. Beliau juga aktif sebagai Pengurus Persatuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah Sumatera Utara (PGIW SU).
JP Silitonga telah mendengar Tuhannya untuk menghadap. Meninggalkan istri tercinta Dr Datten Bangun yang dinikahinya pada 1988 dan tujuh putrinya, satu putra, 23 cucu dan 3 cicit, serta karya-karyanya selama ini. Perjalanan Johan Pandapotan Silitonga mengajarkan kita akan kebijakan dan campur tangan Tuhan dalam kemelut hidup yang dialaminya. Peduli kepada teman-teman seperjuangan dan berbakti terus tidak mengenal usia untuk memajukan bangsa.
Selamat Jalan Pak JP Silitonga. Semoga karya-karya anda menjadi bukti nilai bakti anda bagi kami generasi muda!.
Dimuat di Harian Analisa, Halaman 29 Rubrik Opini, 27 September 2007.
http//www.analisadaily.com
Labels:
Orbituari
Langganan:
Postingan (Atom)