Oleh: Jannerson Girsang.
Memutar memori pengalaman
membiayai kuliah anak-anak di Perguruan Tinggi Negeri sejak 2003, ternyata dari
tahun ke tahun, beban orang tua makin berat. Perubahan demi perubahan kebijakan
saringan masuk perguruan tinggi di negeri ini, membuat orang tua hanya
menikmati rasa gembira diterima di PTN hanya berlangsung sesaat.
Pengalaman kami menyekolahkan tiga mahasiswa di PTN
ini mungkin berguna bagi orang tua lain serta bahan bagi pemerintah untuk
mengkaji kembali kebijakan pendidikan sejak sepuluh tahun terakhir ini.
Tiga Anak, Tiga Perlakuan
Saya memiliki empat orang anak. Tiga diantaranya
menjalani pendidikan dan sudah lulus dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
”terbaik” di Indonesia yang berlokasi di Depok.
Perkembangan sejak 2003, saat anak pertama saya
masuk di Universitas Indonesia ternyata hingga anak saya yang ketiga,
pertambahan beban itu cukup signifikan. Saat anak pertama saya masuk, saya
hanya membayar uang kuliah, sebesar Rp 1.250.000, serta membayar uang asrama Rp
100 ribu per bulan. Tidak ada yang namannya uang ”pembangunan” atau
”sumbangan”.
Tapi saya merasa aneh, karena anak teman saya di
USU dengan jurusan yang sama, uang kuliahnya lebih rendah. Apa bedanya ya USU
dengan UI, tokh sama-sama PTN. Tiap PTN memiliki kebijakan yang berbeda soal
uang kuliah.
Tiga tahun kemudian (2006), putri kedua saya lolos
ujian masuk di UI di kelompok sosial. Sama dengan anak saya yang pertama. Kita
senang dan memperhitungkan belanja yang relatif sama dengan anak pertama.
Ternyata, setelah pengumuman keluar, selain
membayar uang kuliah yang naik menjadi Rp 1.350.000 per semester (naik Rp 100
ribu), saya harus menanggung uang ”pembangunan”. sebesar Rp 9 juta. Meski
akhirnya, dapat keringanan membayarnya dengan tiga kali cicilan.
Artinya, hanya berselang tiga tahun dari anak
pertama, saya harus menanggung beban yang naik hingga 800 persen. Logikanya,
pemerintah seharusnya memberi keringanan kepada biaya anak kedua, tetapi justru
sebaliknya, malah semakin besar. Logikanya, uang sudah terkuras membiayai anak
pertama.
Jujur saja, karena kesulitan keuangan, putri saya
kedua ini harus rela bekerja di tata usaha perpustakaan Indonesia untuk
melepaskan sebagian beban berat itu. Kasihan benar dia!. (Untungnya, dia sudah
lulus dan bekerja di Jakarta).
Pada 2008, lima tahun setelah anak saya pertama
menginjak PTN, putra saya (anak kami yang ke tiga) masuk di Politeknik Negeri
Jakarta. Lokasinya masih satu kompleks dengan Universitas Indonesia di Depok.
Saat pengumuman, banyak orang mengatakan saya
beruntung. Tapi, jangan salah. Uang kuliah di Politeknik, hampir dua kali lipat
besarnya dari yang kuliah di kelompok sosial di UI. Besarnya tidak mungkin
dijangkau oleh orang tua yang bekerja hanya sebagai penulis, yang masih
dihargai dengan pekerja ”upahan” di pabrik.
Di saat kemampuan ekonomi menurun, justru saya
harus menanggung beban yang lebih berat. Saat itu saya harus menjual aset yang
paling saya butuhkan. Mobil terjual. Demi ”Anakkon hi do hamoraon di ahu,
anakku harta paling berharga”. Anak-anak harus memperoleh pendidikan agar masa
depannya lebih cerah.
Syukur ketiga-tiganya bisa lulus tepat waktu, meski
dengan kehidupan yang pas-pasan. Belakangan, informasi yang saya peroleh dari
teman-teman anak saya yang masuk sesudah mereka, ternyata terus meroket. Uang
kuliah dan pembangunan terus merangkak naik. Semoga rekan-rekan orang tua
berikutnya mampu membiayai anak-anaknya dengan beban yang makin meningkat
itu.
Anak Keempat Masuk Swasta
Pada 2011, anak saya keempat tidak lolos ke PTN.
Tidak ada perasaan yang mengganjal meski dia tidak masuk PTN.”Masuk Perguruan
Tinggi Swasta aja nak, karena di negeripun biayanya mahal,” demikian saya
menghiburnya. Kebetulan, bulan Maret tahun itu anak saya sudah lulus pada
sebuah perguruan tinggi swasta yang pengantar kuliahnya berbahasa Inggeris di
Cikarang, Jakarta.
Ungkapan seperti ini mungkin belum pernah saya
dengar dari orang tua saya, yang di masa saya mahasiswa. Mereka selalu berusaha
agar anaknya masuk PTN, walau harus berkorban setahun menunggu UMPTN
berikutnya.
Uang kuliahnya memang tiga kali lipat dari uang
kuliah anak saya yang di Politeknik. Meski saya menjerit, masih bersyukur
karena tidak perlu membayar uang pembangunan. Dengan membayar Rp 10 juta di
semester pertama, ditambah uang asrama Rp 3 juta per 4 bulan (mahasiswa bebas
mengambil kos di luar asrama setelah setahun kuliah). Dengan uang Rp 13 juta
dia bisa kuliah.
Tapi saya hitung-hitung, masih rasional, ketimbang
beberapa teman yang anaknya masuk ke PTN melalui jalur Mandiri. Uang kuliah dan
uang pembangunannya cukup mencekik juga. Saya punya keluarga yang masuk melalui
jalur Mandiri di program Diploma Universitas Indonesia pada tahun yang sama,
membayar uang kuliah Rp 5 juta per semester dan uang pembangunannya di atas Rp
20 juta.
Kebanggaan masuk PTN, jauh dari kebanggaan saya
ketika masuk di IPB pada 1980. Saat itu tidak ada uang yang namanya uang
pembangunan, bahkan uang kuliahpun relatif rendah. Ayah saya yang hanya guru SD
tidak begitu sulit membiayai saya di perguruan tinggi, biayanya sangat murah,
hanya Rp 12 ribu per semester. Padahal, honor saya saja sebagai asisten dosen
mata kuliah Foto Udara ketika itu, Rp 18 ribu per semester. Saya masih
beruntung Rp 6000 per semester. Dan, selama empat tahun saya kuliah, tidak
pernah ada kenaikan uang kuliah.
Saya kira kisah di atas adalah sebuah ironi. Saat
kita menjalani abad ke-21, abad informasi dan ilmu pengetahuan, ketika negeri
ini sedang membutuhkan orang-orang terdidik, masyarakat semakin sulit membiayai
anaknya kuliah di perguruan tinggi.
Ironisnya lagi, justru di tengah-tengah beban
seperti ini, muncul pula berita para pejabat di Perguruan Tinggi Negeri
diperiksa KPK karena dugaan korupsi. Lha, bagaimana kita percaya uang kuliah
yang terus meningkat, bisa dinikmati mahasiswa? ***