My 500 Words

Jumat, 18 November 2011

Dakka Hutagalung, Pencipta Ratusan Lagu Batak, Lagunya di Puja, Tinggal di Rumah Kontrakan (Analisa Cetak, 18 Nopember 2011)

Oleh: Jannerson Girsang.

 
sumber foto: http://www.news.tobaline.com

Didia Rongkap Hi, Anakkonku, Inang dan ratusan karya Dakka Hutagalung setiap hari dinyanyikan di pesta, kafe, dan acara-acara penting lainnya. Tapi, sama seperti banyak kehidupan pencipta lagu lainnya, kehidupan kesehariannya tak sebanding dengan nama besarnya.

Membaca berbagai berita di Media lokal (Tribunenews, 10 Oktober 2010, Harian Analisa, 13 Oktober 2011), nikmatnya mendengar dan menyanyikan lagu-lagu Batak yang diciptakannya, tidak seenak mendengar kisah di balik kehidupannya di usia 63 tahun. Menurut pemberitaan media-media itu, Dakka masih tinggal dan berkarya di sebuah rumah kontrakan di Tangerang, Jakarta.

Untuk mengapresiasi karya-karyanya, sebuah pagelaran akan digelar di Jakarta. Pesan seorang teman, salah seorang penyelenggara masuk ke Face Book saya 13 Nopember 2011, berbunyi "A Special Music Performance Tribute for Dakka!".

Pagelaran musik dan apresiasi "40 Tahun Dakka Hutagalung Berkarya", yang rencananya akan menghadirkan artis-artis terkenal seperti Joy Tobing, Amigos Band, Silaen Sister, Lamtama Trio, Style Voice, Dipo Pardede, Maria Mamamia Pasaribu, The Heart Simatupang Sister, menjadi sebuah ajang penghormatan yang tulus. Pagelaran sendiri direncanakan akan berlangsung pada Sabtu, 19 Nopember mendatang di Ballroom Hotel Sultan Jakarta.

Artikel ini adalah renungan bersama kita atas nasib seorang pencipta lagu."Without a song, each day would be a century", "Tanpa lagu sehari rasanya seabad," kata Mahalia Jackson. Pencipta lagu adalah awal dari populernya sebuah lagu dan dinikmati penggemarnya. Seorang pencipta lagu, berkontribusi membuat kehidupan kita indah dan menyenangkan.

****

Memutar memori ke awal 1970-an, adalah ketika saya mengenal Dakka Hutagalung lewat Trio Golden Heart yang berbasis di Jakarta. Desa kami dengan penduduk sekitar 100 Kepala Keluarga dan memiliki lebih dari sepuluh tape rekorder, memiliki kaset rekaman mereka di rumah masing-masing. Pemuda dan remaja sangat akrab dengan nama Tri Golden Heart.

Sejak awal kariernya yang dimulai 1971, desa Nagasaribu, Kabupaten Simalungun, yang terletak 100 kilometer lebih dari Medan sudah mengenal lagu-lagu ciptaannya.

Masih jelas dalam memoriku, volume-volume pertama kaset mereka masih menggunakan gitar, belum menggunakan alat musik elektronik. Baru setelah Volume 12 dan seterusnya, saya mendengar suara organ elektronik. Dalam beberapa kaset yang saya miliki ketika itu, Trio Golden Heart menyelipkan lagu-lagu Melayu serta lagu rohani Kristen.

Saya terkesan dengan volume 12, karena selain lagu pop, mereka juga menyisipkan lagu rohani berjudul: "Silang Nabadia" (Salib yang Suci). Kaset C-60 berdurasi enam puluh menit, produksi perusahaan rekaman "Mini Record", Trio Golden Heart yang terdiri dari tiga laki-laki yang tampan, berpakaian rapi (kadang dengan jas), celana panjang dengan garis gosokannya yang tampak jelas, merupakan idola kami ketika itu.

Sore, pagi atau malam, dari salah satu rumah pasti terdengar lagu Trio Golden Heart. Di dalamnya terselip nama Dakka Hutagalung, disamping dua rekannya yang lain, Star Pangaribuan dan Ronald Tobing. Hari Minggu pasti di rumah kami akan mengumandang lagu "Silang Nabadia" yang diiringi organ yang sungguh membuat hati teduh.

****

Beranjak ke masa-masa kuliah di era 80-an, lagu-lagu seperti Anakkonhu, ciptaan Dakka Hutagalung yang dipopulerkan Eddy Silitonga dan Didia Rongkap Hi dipopulerkan Rita Butar-butar adalah dua lagu favorit kami saat kuliah menjadi kenangan yang indah, mengharukan, menginspirasi kami.

Mendengar lagu ini, tak mampu rasanya menahan air mata bila kita berbuat salah kepada orang tua. "Ndang namora au amang, manang parhauma na bidang…….So tung las marisuang, sasudena halojaonki………Di dadang ari ditinggang udan, do hami da amang, di balian an i…. .holan asa boi pasingkolahon ho".

Terjemahan bebasnya: "Saya bukan orang kaya nak, atau pemilik ladang yang luas, Jangan kau sia-siakan semua kelelahanku, Anakku, ….. kami dipanggang matahari, disiram hujan di ladang, hanya supaya kau bisa sekolah".

Bulu kuduk merinding saat mendengar lagu, sambil membayangkan orang tua di kampung. Dalam sebuah acara pelepasan sarjana, sebagian besar kami tak mampu menghempang air mata haru mendengar lagu ini. Membawa pendengar sebah lagu hanyut dalam perasaan penulisnya, merubah sikap pendengarnya, merupakan prestasi luar biasa dari Dakka Hutagalung.

Ketika kami mencari jodoh, lagu Didia Rongkap Hi begitu mengesankan. Syairnya berupa jeritan seorang pemuda yang didorong orang tuanya mencari jodoh, tetapi tidak kunjung bertemu. Orang tuanya sedih karena anaknya tidak dapat jodoh. Padahal, anaknya sudah ke sana kemari mencarinya.

"Nungnga tung loja au, mangalului i, ndang jumpang au na hot di ahu…. Didia Rongkap Hi!. (Aku sudah lelah mencarinya, tapi belum ketemu dengan yang cocok di hati……Dimanakah jodohku?.

Dua lagu itu hingga saat ini, setelah tigapuluh tahun kemudian, saya masih dengan rasa percaya diri yang tinggi menyanyikan lagu-lagunya di pesta-pesta, kafe-kafe dan acara-acara hiburan lainnya.

Saya tentu tidak sendiri. Jutaan orang Batak dan penggemar lagu Batak merasakan hal yang sama. Ratusan lagunya yang lain juga dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat penggemar lagu Batak di berbagai penjuru tanah air dan dunia ini. Pengalaman saya bersama lagu-lagu Dakka, tentu juga dirasakan jutaan penggemarnya dengan kesan yang berbeda.

****
Tak bisa dipungkiri, Dakka Hutagalung juga telah mempopulerkan penyanyi-penyanyi Batak melalui lagu-lagu ciptaanya. Misalnya, artis Rita Butar Butar, melejit diblantika musik Batak setelah melantunkan tembang "Didia Rongkap Hi" yang tidak lain adalah karya nyata komponis Dakka Hutagalung. Tidak jauh beda dengan artis Julius Sitanggang, namanya melejit setelah melantunkan tembang "Tabahlah Mama", juga karya besar komponis Dakka Hutagalung (Analisa, 13 Oktober 2011).

Menyenangkan para penggemar, mengorbitkan beberapa artis melalui lagu-lagu ciptaannya. Dakka telah memberikan kontribusi yang besar dalam memajukan budaya bangsa, khususnya budaya Batak, serta bisnis dunia musik.

Kakek enam cucu ini, yang mencipta lagu sejak 1971, sudah menulis 400 lagu yang menjadi hot lagu Batak. Bahkan menurut http://www.formatnews.com, Dakka, ketika masih bergabung dengan Trio Golden Heart, sudah memproduksi 28 album Batak dan Melayu. Lagu-lagunya menghibur pendengar radio, VCD, televisi, membuat manusia merasa hari-harinya lebih indah.

Tidak hanya itu, sebuah filosofi mencipta lagu bukan hanya melulu mengejar materi dan menjadi pelajaran berharga bagi pencipta lagu lainnya. "Baginya lagu merupakan salah satu alat untuk mengungkapkan rasa berbagai kejadian. Ia mengingatkan kalau lagu diciptakan hanya sekedar untuk tujuan komersial, maka lagu itu tidak mungkin abadi,"ujarnya seperti dikutip www.batakpost. com.

Sayangnya, nasibnya menjadi pencipta lagu, tidak berbeda dengan banyak seniman lainnya di negeri ini. Kasusnya memang klise. Setelah berbulan-bulan, mulai dari mencipta dan mengikuti proses lagunya hingga terkenal, seorang pencipta lagu menerima imbalan yang masih memprihatinkan. Sebuah lagunya yang diciptakannya hanya dihargai antara Rp 1.5-2 juta. Kalau ngetop bisa dapat bonus. Bandingkan dengan pemain key board yang menyanyikan lagunya di pesta, kafe dan tempat-tempat hiburan! Hanya beberapa jam sudah dapat honor sekian ratus ribu. Beberapa kali show, maka penyanyinya dapat duit jauh lebih banyak dari penciptanya.

"Kehidupan Dakka Hutagalung tidak sepadan dengan nama besarnya. Masih menempati sebuah rumah kontrakan di Tangerang," seperti diungkapkan seorang penyelenggara Pagelaran "40 Tahun Dakka Hutagalung Berkarya" kepada media. Kini, setelah mencipta lagu selama 40 tahun, laki-laki kelahiran Pahae Tapanuli Utara itu terus mencipta dan bergelut di studio untuk mengaransemen album yang dipercayakan kepadanya. Selain itu, ia juga aktif di gereja mengajar koor kepada para anak muda dan orangtua atau siapapun yang membutuhkan.

Semoga masyarakat tergerak untuk turut mendukung pagelaran ini. Selamat berkarya buat Dakka!***


Penulis Biografi, tinggal di Medan
Bisa juga diakses di:  http://www.analisadaily.com/news/read/2011/11/18/22262/dakka_hutagalung_pencipta_ratusan_lagu_batak/#.TsWnH1auq9s, http://www.harangan-sitora.blogspot.com

Senin, 14 November 2011

Renungan SEA Games 2011 (Harian Jurnal Medan, 12 Nopember 2011)

Oleh Jannerson Girsang

Peraih Emas, Kini Penarik Becak dan Penjaga Kapal. “Habis manis sepah dibuang”. Itulah luapan perasaan yang muncul dalam benak kami saat mengetahui nasib dua orang peraih medali emas SEA Games di masa lalu melalui media cetak dan televise.

Suharto,mantan peraih medali emas balap sepeda di SEA Games 1979 menjadi tukang becak, dan Jumain, mantan peraih emas nomor perahu naga SEA Games 1986 menjadi penjaga kapal. Keduanya kini berdomisili masing-masing di Surabaya dan Semarang. Sungguh memprihatinkan perhatian negeri ini pada atlitnya yang berprestasi.

Hiruk pikuk menjelang SEA Games 2011 ini hendaknya tidak mengulang kesalahan di masa lalu. Para atlet berprestasi tidak terlantar setelah mereka menyumbangkan prestasi terbaiknya bagi negeri ini. Jangan kecolongan lagi!

Suharto, Jumain: Dipuja, Dihargai, Lalu Dilupakan!

Di tengah gegap gempita, puja-puji dan semangat melaksanakan SEA Games 2011, mari sejenak menjenguk kehidupan dua atlet peraih SEA Games di masa lalu yang kini hidupnya terlantar, tak sebanding dengan prestasinya yang mereka sumbangkan bagi negeri ini.

Harian Republika (31 Agustus 2011) mengungkap kehidupan Suharto. Mantan pembalap yang kini berusia 59 tahun itu pernah merebut medali emas pada SEA Games 1979 di Malaysia untuk nomor "Team Time Trial" jarak 100 kilometer. Bersama tiga rekannya saat itu, yakni Sutiono, Munawar Saleh dan Dasrizal, tim balap sepeda Indonesia mampu mempecundangi pesaingnya dari Malaysia dan Thailand untuk merebut medali emas.

Lalu bagaimana kehidupannya sekarang? Sangat miris membacanya. Republika mengungkap nasib atlet kebanggaan bangsa ini dengan judul: ”Duh...Peraih Emas Balap Sepeda Sea Games Itu, Kini Jadi Penarik Becak”.

Gemerlapnya peristiwa kejayaan Suharto tiga puluh tahun lalu, kini menerima nasib sebagai penarik beca untuk menghidupi kesehariannya bersama istrinya. "Uang dari hasil menarik becak hanya cukup untuk makan keluarga. Kalau ada sisanya kami tabung untuk bayar sewa kamar kos," ujarnya.
Tiga puluh tahun kehidupan mantan atlet berprestasi ini, cukup berpuas diri dengan mengayuh becak dan menciumi medali dan piagam penghargaan yang pernah diperolehnya dari berbagai ajang balapan nasional dan internasional yang tersimpan rapi di rumah kontrakannya.

Nasib Jumain tidak berbeda dengan Suharto. Awal bulan ini SCTV menyiarkan kehidupan  Jumain, peraih Medali emas SEA Games 15 di Nomor Perahu Naga tahun 1986 di Malaysia. Selain itu, dia juga meraih berbagai medali dalam berbagai kejuaraaan internasional di Hong Kong dan Cina. Kini Jumain, jadi penjaga kapal wisata di Pantai Tanjung Emas Semarang.
Suharto dan Jumain hanya contoh dari dua atlet yang di masa tuanya menderita. Tentu banyak lagi yang lain, sebut saja misalnya Elias Pical (tinju), Tati Sumirah (bulu tangkis), Budi Setiawan (Taekwondo), Gurnam Singh (lari), Surya Lesmana (sepakbola). Tentu ruang ini tidak cukup untuk menyebut mereka satu persatu.

Gurnam Singh: Atlet Lari Sumut

Bagi penduduk Sumatera Utara, kita pernah memiliki Gurnam Singh. Sebuah mediaonline mengisahkan bahwa “Gurnam Singh adalah seorang peraih tiga medali emas pada cabang olahraga lari di perhelatan Asian Sea Games pada tahun 1962. Atas prestasinya tersebut pelari tercepat se-Asia ini diundang sebagai tamu kehormatan Presiden Soekarno dan diganjar hadiah berupa 20 ekor sapi, dua buah mobil, serta sebuah rumah di Gang Sawo, Medan. Tetapi kesuksesannya tersebut tidak bertahan lama. Pada tahun 1972 rumahnya digusur oleh pemerintah daerah karena tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal tersebut menambah kepedihan dalam hidupnya setelah sebelumnya istrinya membawa pergi keenam anaknya pada tahun 1969. Setelah itu hidupnya semakin tidak menentu. Ia tinggal berpindah-pindah dari satu kerabat ke kerabat lainnya, bahkan pada tahun 2003 Ia sempat menumpang tinggal di sebuah Kuil di Polonia, Medan. Medali-medali yang pernah didapatnya dari berbagai kejuaraan internasional di Rumania, Filipina, dan Malaysia telah dijualnya untuk menyambung hidup. Dengan menggunakan satu-satunya sepeda tua yang Ia miliki sebagai kendaraan, pria berusia 80 tahun ini kini hidup dengan mengandalkan belas kasihan dan bantuan dari kerabat maupun orang-orang yang mengenalnya”. (http://www.uniknya.com/2011/11/5-olahragawan-yang-terlupakan/). .

Tentu tidak tertutup kemungkinan para atlit-atlit yang lain yang memerlukan perhatian dan tidak dapat kami sebut satu persatu.

Kabar Menggembirakan

Pengalaman adalah guru sejati. Kita berharap pengalaman ini menjadi pelajaran berharga dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Belajar dari kesalahan masa lalu, sebuah sikap yang diperlukan pemerintah kalau ingin memajukan olah raga di negeri ini.

Kisah Jumain dan Suharto di atas menunjukkan betapa negeri ini alpa menghargai para atlitnya yang berprestasi. "Seorang atlet hanya dikenang ketika meraih prestasi dan mengharumkan nama bangsa. Setelah masa kejayaannya berlalu, nasib sang pahlawan negara tersebut tak mendapat perhatian lagi, bahkan disia-siakan. Itulah kenyataan yang harus dihadapi para olahragawan meskipun seharusnya pantas mendapatkan penghargaan atas jasa-jasanya tersebut" (Kompas.com, 1 Juni 2011).

Tentunya, merubah sikap tidak semudah membalik telapak tangan. Kita butuh proses! Dalam pengamatan Tommy Firman, peraih dua medali emas di cabang karate SEA Games XIX Jakarta 1997 penghargaan negeri ini kepada para atlit memang memerlukan perbaikan, setidaknya meniru negara lain. .

Dia membandingkannya dengan negeri jiran kita. “Sebut saja pemerintah Malaysia, Thailand, dan China. Mereka sangat perhatian terhadap atlet yang berhasil menyumbang medali emas bagi negaranya. Kelangsungan hidup serta anak istrinya ditanggung pemerintah,”ujarnya, seperti dikutip Harian Sinar Harapan (09 September 2011). . .

Walau belum berharap banyak, tetapi langkah-langkah dari berbagai pihak untuk memerhatikan kesejahteraan atlet perlu disambut baik. Dari berbagai berita di media, kegiatan Yayasan Olah Raga Indonesia (YOI) beberapa tahun terakhir tampak telah mengambil langkah-langkah untuk memberikan apresiasi bagi para atlet berprestasi di negeri ini. YOI  berencana memberi asuransi kepada mantan-mantan atlet Tanah Air yang pernah berprestasi baik tingkat nasional maupun internasional, seperti diungkapkan  Dewan Pengawas YOI, Rudy Hartono, di Jakarta, pertengahan tahun ini..

Awal September 2011 lalu, Tommy Firman, mantan karateka nasional yang kini bisa hidup mapan sebagai pengusaha, bersama YOI menunjukkan kepedulian dengan memberikan santunan kepada  Wempi Wungau dari cabang binaraga dan Hasan Lobubun mantan petinju nasional.

Setiap daerah harus ikut memperjuangkan atlet-atlet daerahnya yang berkiprah di SEA Games agar ada jaminan kehidupan mereka di masa depan. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang membuka peluang lebar bagi atlet berprestasi yang ingin menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Tahun 2011 ini, Pemkot akan mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menyetujui itu.(Harian Suryaonline, 15 April 2011).

Hal-hal yang baik, tindakan yang ditujukan memperbaiki kesejahteraan atlet-atlet kita, tentu tidak hanya yang kami sebutkan di atas. Banyak perusahaan,  individu atau organisasi lain yang melakukannya.

Semoga artikel kecil ini menggugah pemerintah dan masyarakat agar SEA GAMES 2011 ini tidak mengulangi sikap yang tidak peduli atas atlet terbaiknya.   Sudah barang tentu kita juga menghimbau agar para atlet yang terlantar dijenguk dan diberi bantuan secukupnya

Kamis, 10 November 2011

Mengenal Lucya Chriz, Penulis Novel Amang Parsinuan. “Tinggalkan Pekerjaan Mapan, Fokus Menulis!”

Oleh: Jannerson Girsang

Membaca novel Amang Parsinuan, perasaan saya seperti membaca novel Raumanen, karya Marianne Katoppo.Kisah percintaan Raumanen si gadis Manado berusia 18 tahun dengan Monang, laki-laki (Batak) seorang insinyur muda yang begitu memukau. Ingin membacanya sampai buku tamat, tanpa henti. Demikianlah novel ini saya baca hanya dalam beberapa jam, karena tidak begitu tebal, hanya 125 halaman.

Novel Amang Parsinuan ditulis apik dan bahasa yang renyah, sarat dengan muatan lokal Batak, dengan gaya Medan yang kental.

Kisahnya secara ringkas saya tuturkan berikut ini.

Sebagai seorang kepala keluarga dari Suku Batak Toba, hampir setiap hari Lomo berdoa agar memiliki anak laki-laki  yang kelak menjadi penerus marganya. Namun, istri pertamanya, Uli hanya mampu memberikannya 5 putri yang cantik. Lalu, desakan keluarga pihak keluarga Lomo yang menganjurkan dirinya menikah, sampai ke telinga istrinya. Istrinya frustrasi dan nekad bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya dengan pisau tajam, tanpa seorangpun mengetahuinya.

Lomo menikah lagi dengan istrinya yang kedua, Roma, walau hanya mangalua, karena keluarga perempuan tidak menyetujui perkawinan anak gadisnya dengan duda beranak lima. Seiring waktu, segala impian Lomo terwujud. Dari istri keduanya—wanita muda dan cantik serta berasal dari keluarga kaya di Medan, Lomo memperoleh tiga anak laki-laki dan juga memberinya keberhasilan dari segi materi—percetakannya membuka cabang dimana-mana.

Kebaikan dan kesetiaan isteri keduanya merawat anak-anaknya,  baik dari istri Lomo pertama dan keduanya  ternyata dimaknai berbeda oleh  Lomo. Kesibukan mengurus anak-anaknya, membuat Lomo merasa istrinya kurang memperhatikannya, kurang memberinya kepuasan pelayanan kebutuhannya.

Diam-diam, tanpa sepengetahuan istrinya, Lomo  menikah lagi dengan wanita lain, Pinta, bekas karyawan perusahaan percetakan miliknya, dan menelantarkan ke delapan anak-anak dari istri pertama dan keduanya.

Waktu berjalan, meski tidak diberi nafkah, Roma istri keduanya--dengan modal cincin kawin dan kalung yang nilainya tak seberapa, dia membuka usaha kecil-kecilan dan mampu menghantar ke delapan anak, dari istri pertama Lomo dan tiga laki-laki yang dilahirkan dari rahimnya,  ke jenjang keberhasilan. Semua anaknya sarjana dan mendapat pekerjaan yang baik.

Puluhan tahun tak memperdulikan anak-anak dan istrinya,tiba-tiba  di usianya melewati 70 tahun, Lomo muncul di hadapan istrinya Roma. Selama ini status perkawinannya dengan istri ketiganya Pinta tidak jelas secara adat. Dia datang menggugat cerai isteri keduanya, supaya ketika dia meninggal, mayatnya diberangkatkan secara adat Batak yang semarak. Malum, dia orang kaya, memiliki percetakan di berbagai tempat.

Keterlaluan memang. Mau matipun pengen "sangap" (terhormat), meski kelakuannya bejat. Kisah ini mampu mengundang rasa geram, marah, sedih dan sangat menginspirasi. Silakan baca sendiri bukunya deh!

Itulah imaginasi luar biasa seorang Lucya Chriz. Perempuan  kelahiran Sidikalang 2 Maret 1986 itu adalah lulusan Fakultas Psikologi Universitas Medan Area, dan bergabung dengan Komunitas Sastra Medan Indonesia (KSI) Medan, sejak Maret 2011.

Di sampul belakang buku itu kami kutip beberapa komentar pembaca buku itu. ”Cerita Amang Parsinuan, menarik dan indah sekali. Seindah Danau Toba dan Tanah Batak, dengan tradisinya yang sangat hebat,” ujar Kirana Kejora, seorang novelis yang tinggak di Surabaya. ”Etnisitas yang sangat tinggi dan bagus. Lucya Chriz, mampu memperkenalkan budaya Batak, walau secara halus dia mengkritiknya,”ujar Nestor Rico Tambunan, novelis yang tinggal di Jakarta.

Sambutan mediapun cukup lumanyan. Hal ini tampak dari berita Peluncuran novel yang diselenggarakan di Galeri Seni Medan Payung Teduh di Jalan Sei Bingei, 14 Oktober lalu. Harian Medan Bisnis memuat peluncuran itu dengan judul Lucia Luncurkan Novel Amang Parsinuan, Harian terbesar di Sumatera, Analisa melansir sebuah ulasan panjang dengan judul Novel "Amang Parsinuan", Muatan Lokal Pertentangan Adat dan Gereja), serta berita dan ulasan di media cetak dan online lainnya.

Sebagai penulis pemula, Lucya telah berhasil memikat perhatian para novelis, media serta para pembacanya dan menempatkannya sebagai seorang penulis berbakat dan memiliki potensi sebagai penulis handal ke depan.

Jadi Penulis?. Orang Tua Awalnya Tidak Setuju

Tidak hanya novelnya yang menarik, ternyata kehidupan wanita kelahiran Sidikalang 2 Maret 1986 ini juga tak kalah unik. Keyakinannya akan dunia tulis menulis ke depan adalah sebuah inspirasi bagi penulis-penulis muda daerah ini ang cenderung memandang dunia satu ini sebelah mata.

Menjadi penulis adalah pilihannya dan bahkan meninggalkan pekerjaan yang sudah sempat digelutinya di sebuah perusahaan beberapa lama. ”Saya resign dari perusahaan tempat saya bekerja dan memutuskan untuk konsen sebagai seorang penulis,”ujar lulusan Sarjana Psikologi Universitas Medan Area ini.

Sebuah pilihan yang langka di kalangan anak muda masa kini yang cenderung mengejar materi dan kemewahan. Baginya pilihan ini tidak gampang, karena seluruh keluarga tidak mendukungnya. ”Mungkin mereka akan menganggap otak saya sudah tidak beres. Nilai saya semasa kuliah memuaskan, ditambah sudah bekerja di tempat yang baik, tapi saya justru memilih hidup yang berbeda,”ujarnya mengenang!.  .

Keberuntungan memihak pada Chriz. Belum setahun sesudah berikrar di depan orang tuanya, Lucya Criz berhasil menerbitkan novel Amang Parsinuan, yang menempatkan dirinya sebagai penulis muda yang berbakat dan memenangkan beberapa penghargaan.

Dalam waktu singkat, Lucya berhasil memperoleh beberapa penghargaan dari berbagai pihak, dan menjadi penulis cerpen yang produktif di harian Analisa. .

Lucya merasakan betapa pentingnya seseorang mendapat pembinaan. Sejak bergabung dengan KSI Medan dirinya mendapat bimbingan menulis. "Merekalah yang membina saya sehingga bisa menulis lebih produktif,:"katanya.

 Orang tuanya kini sudah menyadari bakat anaknya yang membanggakan sebagai penulis. Beberapa hari setelah peluncuran novel pertamanya, Lucya Chriz berkunjung ke rumah orang tuanya di Jalan Sisingamangaraja, Sidikalang. ”Orang tua saya bangga saya berhasil menulis. Mereka tidak malu lagi  menceritakan pekerjaan saya sebagai penulis,”ujar Chriz terharu.

Wawancara Tertulis dengan Lucya Chriz.

Untuk mengenal pikiran-pikiran dan keresahan hati salah satu penulis dalam buku antologi ”Kerukunan Umat Beragama” yang diselenggarakan Badan Mahasiswa Universitas Esa Unggul, Maret 2011 ini, kami melakukan wawancara tertulis. Silakan ikuti kisahnya.

Kapan muncul niat untuk menulis cerpen dan novel?

Sejak dulu saya suka menulis, tapi hanya menjadikannya sebagai hoby. Pelajaran Bahasa menjadi pelajaran favorit saya dan sangat senang ketika diberikan tugas mengarang, membuat laporan, dsb yang berhubungan dengan menuliskan sesuatu. Setiap hari saya menyalurkan hobby tersebut di atas lembaran-lembaran buku harian, hal yang dilakukan banyak anak seusia saya.

Ketika duduk di bangku SMA, saya mencoba membuat beberapa cerpen, yang saya tulis dengan tangan di atas kertas folio dan saya jilid dengan rapi. Di akhir setiap naskah selalu saya tuliskan tanggal penulisan dan tidak pernah lupa membubuhkan nama dan tandatangan, merasa saya adalah seorang penulis professional.

Setelah saya kuliah dan berhadapan dengan banyak tugas dan aktif di berbagai kegiatan, hoby itu pun lama-kelamaan terlupakan. Saya tak pernah lagi menulis.

Setelah lulus dan mulai bekerja di sebuah perusahaan swasta di kota Medan, tiba-tiba kerinduan itu muncul kembali. Saya bisa duduk berjam-jam di depan komputer untuk menuliskan berbagai hal yang saya rasakan dan saya pikirkan. Tapi lagi-lagi, tulisan itu hanya saya jadikan sebagai arsip pribadi.

Semakin lama kerinduan itu semakin besar dan rasanya tidak bisa saya bending lagi. Sampai kemudian pada Agustus 2010, saya menuliskan sebuah novelette rohani dan memberanikan diri untuk mengirimkannya kepada panitia sebuah lomba yang tengah mengadakan festival kepenulisan. Desember 2010, diumumkan bahwa saya berhasil meraih posisi sebagai juara harapan. (Catatan: Lucya Chriz berhasil meraih Peringkat Harapan II dalam Lomba Menulis Novelet FPPK, Festival Pembaca dan Penulis Kristiani, yang diselenggarakan oleh Saat Teduh dan BPK Gunung Mulia, Desember 2010)

Itu adalah kemenangan pertama saya dalam kepenulisan dan benar-benar berhasil mendongkrak semangat dan rasa percaya diri saya. Setelah itu, saya mulai mengikuti beberapa lomba menulis cerpen dan puji Tuhan, hampir semua lomba yang saya ikuti, saya termasuk salah satu pemenang di dalamnya.

Saya lalu bertekad untuk menjadi seorang penulis yang konsisten dan professional.

Mengapa Anda melakukannya?

Awalnya saya menulis hanya untuk menyalurkan hobby saja. Tapi lama-kelamaan, mindset saya mulai bergeser. Saya menulis dengan sebuah harapan penuh. Saya ingin menjadi berkat bagi orang lain melalui tulisan-tulisan saya. Saya juga ingin bisa memuliakan nama Tuhan melalui karya saya.

Saya sangat sadar bahwa saya bukanlah siapa-siapa di dunia ini. Tapi saya merasa, bahwa saya bisa berpendapat dan mengeluarkan aspirasi saya. Caranya adalah, melalui tulisan.

Keresahan apa yang ada di hati Anda, sehingga melakukannya?

Saya membaca banyak buku dari luar maupun dalam negeri, tapi saya selalu merasa bahwa seperti ada yang berbeda antara penulis Indonesia dengan penulis luar. Ketika penulis luar dengan bangganya menuliskan tentang kondisi budaya, sosial dan ekonomi negerinya sendiri, penulis Indonesia justru bangga jika bisa menuliskan tentang luar negeri.

Banyak penulis yang mengambil setting di luar negeri demi prestise. Dan ironisnya, hal tersebut sepertinya disambut gembira oleh para pembaca.

Hal itulah yang membuat saya terbebani untuk bisa menuliskan tentang negeri sendiri, karena sesungguhnya di negeri ini terdapat banyak sekali keindahan yang bahakn tidak dimiliki oleh Negara lain. Setelah Negara, saya mulai menyempitkan pikiran. Saya, selaku suku Batak, mencoba untuk mengangkat cerita tentang lokalitas. Tentang kota Medan dan suku serta kebudayaan yang ada di dalamnya.

Semakin saya pelajari, semakin saya bersemangat. Seolah mendapatkan harta karun, saya mengetahui jika Medan dan segala kebudayaannya ternyata memiliki banyak sekali aspek yang menarik. Dan semuanya itu menunggu untuk diangkat ke dalam tulisan.

Saya mencoba menuliskan tentang lokalitas, karena hanya melalui tulisanlah saya bisa menggaungkan kepada seluruh negeri atau bahkan seluruh dunia, tentang keadaan ini. Selain puja-puji, melalui tulisan saya juga bisa mengkritik dan melemparkan pendapat saya dan juga orang lain mengenai kondisi yang sebenarnya.

Kebanyakan anak muda sekarang mencari pekerjaan mapan. Bagaimana dengan saya?
Semuanya tergantung prinsip seseorang. Selepas kuliah, saya mengikuti prosedur yang diyakini semua orang. Bekerja. Saya mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan swasta yang mapan di kota Medan. Saya bekerja selama setahun. Secara financial saya tercukupi, tapi tidak dengan bathin. Saya sangat tidak nyaman dan merasa bahwa hidup saya tidak berada di sana.

Saya merasa kosong dengan segala hasil kerja saya, tapi sebaliknya akan merasa sangat bersemangat ketika membiacarakan dunia kepenulisan. Sehingga pada akhir 2010, saya membuat sebuah keputusan ekstrim. Saya resign dari perusahaan tempat saya bekerja dan memutuskan untuk konsen sebagai seorang penulis.

Tidak gampang, karena seluruh keluarga tidak mendukung saya. Mungkin mereka akan menganggap otak saya sudah tidak beres. Nilai saya semasa kuliah memuaskan, ditambah sudah bekerja di tempat yang baik, tapi saya justru memilih hidup yang berbeda.

Saya lalu bernegosiasi dengan keluarga. Saya meminta mereka memberikan saya waktu selama satu tahun.

Jika dalam waktu setahun saya tidak bisa menghasilkan karya apa-apa, saya akan mundur dan akan mengikuti ke mana pun mereka perintahkan. Tapi jika dalam setahun saya bisa menghasilkan suatu karya, mereka harus merestui saya dengan profesi ini.

Saya berjuang sekuat tenaga. Saya ingin mewujudkan mimpi saya sebagai seorang penulis. Saya tidak bisa mundur begitu saja, karena sudah terlalu banyak yang saya korbankan.

Puji Tuhan, belum setahun, Tuhan menyatakan kuasa-NYA. Lima buku antologi, cerpen yang dimuat di media, serta novel “Amang Parsinuan” telah saya kantongi.

Bagaimana pandanganmu tentang minat baca dan tulis generasi muda yang sekarang?

Kalau melihat anak dan remaja generasi yang sekarang, terus terang saya merasa miris. Pergaulan yang terlalu bebas yang tak jarang membuat saya terkaget-kaget. Anak yang masih saya anggap ingusan, ternyata sudah lebih banyak tahu dari saya tentang berbagai hal. Ironisnya, hal itu adalah yang berkonotasi negative.

Satu hal yang sangat penting yang harus diperhatikan, anak-anak sekarang memiliki minat baca tulis yang sangat sedikit. Dengan bersemangat saya sering menghadiahi teman-teman buku-buku inspiratif, berharap mereka bisa menuai nilai positif di dalamnya. Sayangnya, harapan saya takkan pernah terkabul, karena hadiah saya hanya akan dijadikan penghuni rak paling bawah.

Dua sisi mata uang, syukurlah kalau ternyata masih banyak juga pemuda yang memiliki semangat besar untuk berkarya. Memiliki daya juang tinggi agar bisa menyuarakan hati dan pikirannya melalui tulisan. Hal itu membuat saya sangat bahagia dan ingin mengajak mereka bergandengan tangan, agar kami bisa bersama-sama membuat perubahan besar melalui tulisan.

Artikel ini bisa diakses di : http://www.harangan-sitora.blogspot.com. Anda dibenarkan memperbanyak artikel ini dengan menyebut sumber dan nama penulis. Tulisan ini belum pernah dimuat di media manapun.

Untuk mengenal karya-karya Lucya Chriz, anda bisa mengunjungi websitenya: http://termanis.com, http://lucya-chriz.blogspot.com.

Senin, 07 November 2011

Berkat di Hari Idul Adha (Renunganku di Harian Analisa,30 Nopember 2009)


Oleh Jannerson Girsang

(Artikel ini adalah pengalaman keluarga kami di saat Idul Adha, dua tahun lalu. Semoga memberi makna pada perayaan Idul Adha 1432 H).

27 Nopember 2009 sepanjang hari cuaca begitu cerah di Medan. Secerah suasana hati rekan-rekan saya yang beragama Islam menyambut hari Raya Idul Adha. Warga Muslim berbondong-bondong menuju sejumlah mesjid. Ketika saya keluar rumah, pembagian daging kurban sudah mulai terlihat di beberapa tempat. Arus lalulintas di Kota Medan di Hari Raya Idul Adha 1430H, terlihat sedikit lengang di pagi hari. Warga cukup antusias menyambut dan melaksanakan solat Idul Adha.

Hari Raya Idul Adha, tidak hanya menjadi kebahagiaan bagi umat Muslim, tetapi juga bagi tetangga-tetangga mereka yang berbeda agama. Sebagai tetangga, kami sekeluarga yang beragama Kristen turut merasakannya. Rumah kami bersebelahan dengan pak Halim,seorang Muslim.

Sepulang dari diskusi finalisasi sebuah buku otobiografi, sore hari, ibu Yuli, istri pak Halim menghampiri saya, tidak lama setelah memarkir mobil. Beliau menyapa dengan muka ceria. “Pak Girsang, mana ibu,”ujar ibu Yuli sambil tersenyum, seraya menyerahkan sebuah bungkusan plastik. Saat itu, istri saya sedang tidak berada di rumah. Dia keluar bersama anak bungsu saya memanfaatkan libur hari Raya Idul Adha dengan jalan-jalan. Mungkin beberapa jam sebelumnya, ibu Yuli sudah mencari-cari kami. ”Dari tadi rumahnya tutup ya,” katanya.

Saya menerima bungkusan plastik itu dengan rasa senang yang luar biasa, karena bungkusan seperti itu, layaknya tahun-tahun sebelumnya, pasti berisi daging sapi. Berkat luar biasa bagi kami di saat tetangga kami merayakan Idul Adha.

Benar saja. Ketika bungkusan ini saya buka, isinya adalah daging sapi yang cukup untuk lauk dua kali makan bagi kami bertiga dengan istri dan anak bungsu saya. Kami ikut merasakan nikmatnya Hari Raya Idul Adha melalui tetangga kami yang luar biasa baiknya. Bukan  soal nilai daging sapinya, tetapi perhatiannya.

Tiga anak saya di Jakarta, pernah merasakan pemberian ibu Yuli. Istri saya memberitahukan bahwa kami sudah menerima daguig kurban Idul Adha dari ibu Yuli. ”Salam sama ibu Yuli ya bu,” demikian jawaban mereka kepada istri saya. Mendengar hal itu, mereka turut memaknai perayaan Idul Adha. Meski mereka tidak ikut menikmati daging pemberian bu Yuli, tetapi anak-anak saya ikut merasakan kebahagiaan yang kami nikmati.   

Setiap tahun, pada Hari Raya Idul Adha, ibu Yuli selalu menyisihkan daging sapi bagi kami. Meskipun kami bukan Muslim. Ibu Yuli melakukan hal yang sama, sejak 1996, awal kami mulai bertetangga. Kami merasakan sebuah kedamaian bertetangga sesama umat yang berbeda agama. Kami tidak pernah terkungkung oleh perbedaan, tetapi kami melihatnya sebagai sebuah karunia Tuhan.

Saya teringat pengalaman saya di Ciamis, Jawa Barat di era 1980-an, ketika kami bertugas di sana. Almarhum Haji Badrudin pemilik rumah  kos yang kami tempati di Jalan Sudirman 132 di kota itu,  senantiasa menyisihkan daging kurban Idul Adha kepada keluarga kami.  Begitu indahnya bertetangga andaikata kita memahami persamaan : saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

Ibu Yuli dan pak Halim adalah keluarga yang sederhana dan berbahagia. Keduanya telah menunaikan ibadah haji beberapa tahun yang lalu. Saat mereka berangkat haji, kami juga diundang dalam acara selamatan. Ibu Yuli bekerja pada sebuah surat kabar dan suaminya pak Halim adalah seorang redaktur senior di salah satu surat kabar lokal berpengaruh di Medan.

Di Hari Raya Idul Adha ini, penting bagi kita semua untuk memikirkan cara-cara sederhana dalam bertetangga dan memelihara kedamaian dengan sesama. Kami merasakan makna dalam perbuatan, tanpa sibuk membahas hal-hal yang terkadang rumit. Mengambil cara sederhana, tetapi menciptakan suasana yang saling tergantung dan saling membutuhkan. Kami mampu melaksanakannya, meski kami tidak mengetahui secara mendalam soal teologis, karena kami memang bukan ahli agama.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebagai tetangga ibu Yuli dan suaminya menunjukkan sikap saling membutuhkan dan kedamaian yang menyejukkan hati. Hal-hal sederhana sering kami lakukan sesama tetangga. Kalau hujan datang dan kebetulan tidak ada orang yang tinggal di rumah kami, sementara ibu Yuli kebetulan di rumah, maka dengan cekatan dia akan mengamankan kain jemuran kami ke rumahnya. Kalau kebetulan salah seorang anak saya atau istri saya di rumah dan kejadiannya seperti di atas, maka mereka melakukan hal yang sama. Ujung-ujungnya, ibu Yuli pasti memberikan hadiah. Anak-anak saya acapkali menerima kiriman makanan atau apa saja dari ibu Yuli.   

Sebagai tetangga, karena kesibukan masing-masing, maka kami hanya memiliki waktu tertentu untuk bersilaturahmi. Khususnya pada Tahun Baru dan Lebaran. Saat merayakan Tahun Baru, mereka berdua selalu berkunjung ke rumah kami. Sebaliknya, kami senantiasa berkunjung ke rumah mereka pada saat Lebaran. Memang, di hari-hari biasa, karena kesibukan masing-masing, kami kadang hanya sempat saling tegor atau ”say hello”. Tetapi memiliki makna persahabatan dan saling menghargai.

Selamat merayakan Idul Adha bagi rekan-rekan saya yang beragama Islam. Semoga Idul Adha tahun ini menjadi refleksi bagi kita semua, bahwa kita berbeda karena Tuhan menginginkan kita berbeda. Marilah melakukan tindakan-tindakan sederhana untuk membuahkan kedamaian dengan tetangga kita dan pada akhirnya kedamaian di bumi Indonesia ini.

Semoga kisah-kisah seperti ini bisa dialami oleh rekan-rekan saya sebangsa dan se tanah air.

Artikel ini dimuat di Harian terbesar di Medan Analisa Edisi Cetak, 30 Nopember 2009 di halaman Opini.

Mengenal Alberthiene Endah ”Karya dan Prestasi Perempuan dalam Biografi” (Harian Jurnal Medan, 7 Nopember 2011) l



Oleh: Jannerson Girsang
Albertine Endah
 sumber foto: http://didipi.net/blog/albertine-endah/

Goresan prestasi dan karya-karya perempuan sejak dulu masih tertinggal dari kaum laki-laki. Langkah-langkah penulisan tentang karya perempuan adalah usaha mulia yang mengejar ketertinggalan prestasi kaum hawa ke tengah publik.

Albertiene Endah salah salah satu diantaranya. Setelah sukses menulis novel, dia menulis sedikitnya lima biografi perempuan yang berprestasi di bidangnya sejak 2003. Prestasinya dalam waktu singkat menghasilkan sejumlah biografi kaum perempuan Indonesia patut diacungi jempol.

Para pembaca novel Cewek Matre, Dicintai Jo, Ilove My Boss, Jangan Beri Aku Narkoba, Nyonya Jetset, Ojek Cantik ini, pasti sudah mengenal perempuan lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini.

Lewat biografi, Alberthiene Endah mengangkat perempuan Indonesia dengan menulis hal-hal yang mereka pikirkan, lakukan dan maknai.

****

Alberthiene Endah—akrab dengan panggilan AE, adalah seorang jurnalis, penulis novel dan biografi best seller Indonesia dan sosok inspirasi, khususnya penulisan karya dan prestasi perempuan.

Selain menulis novel, sejak 2003, perempuan kelahiran Bandung ini telah menulis buku biografi diantaranya, Seribu Satu KD (2003), Anne Avantie: Aku, Anugerah dan Kebaya (2007),  Titiek Puspa: A Legendary Diva (2008), Catatan Hati Krisdayanti – My Life, My Secret (2009), Jejak Batin Jenny Rachman: Kutemukan Ridha-Nya (2010), Ani Yudhoyono: Kepak Sayap Putri Prajurit (2010).  Selain itu, dia juga menulis tentang biografi beberapa tokoh laki-laki seperti penyanyi legendaris Chryse dan lain-lain.

Dengan kemampuan menulisnya yang mendapat pujian banyak pihak, Alberthiene Endah memberi inspirasi bagi pembaca tentang kisah perempuan Indonesia yang sukses di bidangnya. Pemenang Adikarya IKAPI 2005 itu telah memperkaya khasanah perbukuan di negeri ini dengan kisah yang membanggakan.
Dia berhasil menghiasi media cetak, online dan televisi, mengisi nuansa baru tentang perempuan Indonesia, mencuri ruang media di tengah berita-berita kasus korupsi yang telah merusak sendi-sendi bangsa ini.

***

Perlakukan diskrimintif atas penulisan karya perempuan sudah melegenda sejak ribuan tahun yang lalu, sejak jaman pra sejarah, revolusi peranian, revolusi industri, hingga ke masa era informasi ini.

Gail Meyer Rolka, penulis buku 100 Wanita yang Mengguncang Dunia, mencatat, hingga abad keduapuluh, penulisan sejarah masyarakat Barat mendominasi dan mengeksploitasi prestasi kaum pria
”Dengan pengecualian yang jarang, informasi dalam karya-karya referensi tradisional (ensiklopedia dan buku-buku sejarah), menunjukkan bias yang nyata terhadap kontribusi laki-laki ketika mengabaikan atau merendahkan kaum wanita. Sebagai contoh, meskipun banyak ilmuwan wanita dikenal dan dihormati di masa mereka, sejarawan cenderung mendiskreditkan kontribusi mereka, atau karena wanita seringkali tidak menerbitkannya dengan nama mereka, gagal mengenalkan usaha mereka” ujar Gail Meyer Polka.

Mayer mengambil contoh peran Marie Lavoisier, yang selama 25 tahun berkolaborasi dengan suaminya meletakkan landasan bagi kimia modern, Emiliedu Chatelet yang sangat mempengaruhi karya temannya Voltaire, Chaterine Green yang membantu menemukan alat pemintal kapas bersama Eli Whiney. Nama-nama yang muncul dan terkenal adalah nama laki-laki.

****

Aneka perjuangan perempuan dalam usahanya keluar dari hanya sekedar penjaga dapur rumah tangga tetap menyala dan membesarkan anak-anak sudah berlangsung selama 5.000 tahun, hingga sekarang ini.

Sebutlah beberapa di antaranya. Sophie Germain (tidak dibenarkan orang tua masuk universitas—bekerja sendiri mengembangkan sejumlah teori), Madame CJ Walker (jutawan pertama di Amerika), Dorothea Dix dan Elizabeth Fry (reformasi penjara), Emmeline Pankhrust (memperjuangkan hak mengeluarkan pendapat di Inggeris), Susan B Anthony dan Charrie Chapman Catt (menjamin hak pilih bagi wanita), serta tokoh-tokoh lain dengan berbagai hambatan yang mereka hadapi.

Emansipasi yang diperjuangkan Raden Ajeng Kartini, pahlawan emansipasi wanita Indonesia pada awal abad 20, sebenarnya tidak hanya peran dalam turut serta mengukir peradaban, tetapi juga penghargaan atas karya-karya mereka. Semangat Putri Sejati Indonesia itu juga menuntut pentingnya persamaan hak untuk ditulis dan dipublikasikan atas prestasi dan karya yang secara proporsional.

Memasuki era globalisasi ini, perempuan memasuki peran di berbagai bidang seperti memajukan teknologi, menemukan tanah-tanah baru, menciptakan seni, musik dan tari inovatif, memimpin pasukan, menambah isi kesustraaan dunia yang penting, memimpin pasukan, menjadi pemimpin nasional berpengaruh, mempertanyakan dan mengubah kepercayaan dan struktur sosial yang sudah ada untuk meningkatkan kualitas hidup semua orang.

Biografi Titik Puspa  misalnya, mengungkapkan peran perempuan dengan perubahan pandangan yang lebih tegas di dalam rumah tangga. Selain fungsi ibu, penyeimbang keluarga, ”Pada posisi tertentu, perempuan harus maju seperti laki-laki. Mencari nafkah, mengerahkan tenaga dan keberanian, membesarkan nyali, melupakan sejenak kemanjaan sebagai perempuan. Hidup seringkali tak pandang bulu dalam menguji ketangguhan. Perempuan harus seberani laki-laki”

Hal ini tentu menuntut usaha-usaha meningkatkan publikasi karya dan prestasi mereka melalui buku-buku atau media. Pemberitaan suara perempuan di media memang masih perlu ditingkatkan. Simaklah kutipan berikut ini. “Do you see the world from the perspective of women and girls?. Only 22% of the voices you hear and read in the news are women’s. Change your viewpoints,” demikian the IPS Gender Wire dalam http://www.ips.org.

Linda Christianty—pemenang Perempuan Award 2010 yang diselenggarakan Radio Suara Perempuan, Banda Aceh, mengatakan bahwa sampai saat ini di media manapun, bukan hanya di Aceh, perempuan masih diberitakan secara bias dan menjadi objek pelaku kesalahan. "Ini menjadi tugas kita semua untuk lebih banyak menulis tentang tema perempuan,"ujar Linda, dalam diskusi pada acara penganugerahan Perempuan Award akhir Juni 2010 lalu.

Penulis, media perlu lebih peka dan memiliki daya kritisnya atas karya dan prestasi perempuan. Kisah-kisah Marie Lavoisier, Emiliedu Chatelet, Chaterine Green cukup menjadi pelajaran bagi kita! Langkah-langkah Elberthiene Endah menjadi teladan yang perlu ditiru para penulis lainnya. Siapa mau turut?

Dimuat di Harian Jurnal Medan, 7 Nopember 2011 

Google Book dan Demokrasi Pengetahuan (Harian Analisa, 7 Nopember 2011)

Oleh : Jannerson Girsang.



Front Cover
 Sumber foto: http://books.google.co.id

Kreasi Google terus berkembang dan membantu meningkatkan pengetahuan penduduk dunia. Bagi para pengguna internet, mungkin masih ingat saya menggunakan Google Translation (terjemahan Google) yang dimuat di harian ini tahun lalu.
Kali ini saya menuliskan pengalaman saya menggunakan Google Book, atau selanjutnya saya sebut Buku Google, sebagai salah satu alternatif memperoleh bacaan-bacaan bermutu dan berguna bagi berbagai bidang pekerjaan.

Buku Google adalah perpustakaan raksasa. 14 Oktober 2010 lalu, Google mengumumkan bahwa jumlah buku yang sudah dipindai (scan) ke dalam Buku Google mencapai lebih dari 15 juta. Suatu jumlah yang tidak sedikit. Google memperkirakan terdapat sekitar 130 juta buku yang unik di dunia (tepatnya 129.864.880), dan Google berniat memindai semuanya pada akhir dekade ini.

Sama dengan beberapa teman saya yang baru-baru ini bertanya bagaimana menggunakan Buku Google, mungkin anda juga belum pernah mencobanya, sama dengan yang saya alami beberapa bulan lalu sebelum menggunakannya.

Demokrasi Pengetahuan

Buku Google adalah layanan Google bagi masyarakat dunia yang sudah dimulai sejak 2004. Dimulai sejak proyek Google Print di Frankfurt Book Fair pada Oktober 2004. Proyek tersebut kemudian berubah nama menjadi Google Book Search dan kini kita kenal sebagai Google Book.

Awalnya proyek ini bernama Google’s Library Project, sekarang dikenal sebagai Google Book Search, yang diumumkan pada bulan Desember 2004.

Oleh banyak pihak proyek ini dipuji sebagai sebuah demokrasi pengetahuan. Penduduk dunia berhak membaca buku dari berbagai negara di dunia baik dalam bahasa mereka sendiri atau bahasa asing.

Buku Google adalah layanan Google yang mencari teks utuh buku yang telah dipindai (scan) oleh Google, dikonversi ke teks menggunakan pengenalan karakter optic (optical character recognition), dan disimpan dalam database digital Google sendiri.

Untuk usaha ini, Google pernah mendapat protes dari berbagai pihak, khususnya penulis yang merasa dirinya dirugikan akibat pemindaian (scanning) atas buku-buku mereka. Google dikabarkan membayar US$ 125 juta untuk melanjutkan pemindaian buku-buku guna mewujudkan demokratisasi pengetahuan dunia.

Google bukan perusahaan sosial. Mereka mendapatkan penghasilan yang tidak sedikit dari iklan atau pendapatan lainnya. Bagi saya atau anda sebagai pengguna, hasil pekerjaan mereka memberikan peluang membaca buku-buku secara gratis.

Memanfaatkan Buku Google

Bagi yang terbiasa menggunakan internet, mencari buku di Google Book tidaklah sulit. Bagaimana caranya, ikuti pengalaman kami!

Masuklah ke http://books.google.co.id (bahasa Indonesia) atau http://books.google. com. Di layar komputer Anda bagian tengah akan terpampang tulisan Google yang berwarna biru, merah, jingga dan hijau.

Di bawahnya tersedia kolom kosong bentuk persegi panjang, tempat mengisi kata-kata atau judul buku yang saya inginkan.

Suatu ketika saya mencari buku-buku tentang penulisan. Saya mengisi kata kunci "Menulis" ke kolom kosong tadi. Lantas meng-klik tombol "telusuri buku" yang terdapat di bawah kolom pencarian.

Dalam hitungan detik, di depan layar komputer saya sudah terpampang buku-buku referensi tentang menulis. Luar biasa!

Inilah buku-buku tulisan dalam bahasa Indonesia yang saya temukan. Berani Menulis Artikel: Babak Baru Kiat Menulis Artikel untuk Media Massa Cetak (Oleh Wahyu Wibowo), Cara Mudah Menulis Buku (Oleh Dodi Mawardi), Menulis Karya Ilmiah (Oleh Etty Indriati), Terampil Menulis Paragraf (Rev) (Oleh Asul Wiyanto), Asyik Belajar Membaca, Menulis, dan Berhitung (Oleh Nida Rizky), Mahir Menulis Huruf a-z TK (Oleh WS. Pribadie), Menulis Siapa Takut (Oleh Imron Rosidi), Hai, Aku suka Menulis (Oleh Ali Muakhir,Asih Gandana).

Ketika kami memerlukan informasi tentang Facebook dan mengklik Facebook, maka di layar komputer terpampang buku-buku seperti : Gaul Ala Facebook untuk Pemula (Oleh Dirgayuza Setiawan), Facebook (Tony Hendroyono), Ayo Buat Facebook-mu Menarik (Bharata & Al Kalam), Kumpulan Status Facebook Paling Seru (Ira Lathief), 101 Aplikasi Facebook Terdahsyat (Jubilee Enterprise), Step By Step Facebook (Sartika Kurniali), Main Facebook Pakai Ponsel (Ridwan Sanjaya), The Facebook effect: The Inside Story of the Company (David Kirkpatrick), Facebook Fanatic: Explode Your Popularity, Secure Your Privacy (Editors of Bottletree Books LLC), Bengkel Facebook (Alif Harsan).

Buku Google sangat membantu saya dalam memilih buku dan memberikan informasi detil sebelum membelinya di toko buku; mendapat referensi yang baik karena sebagian buku dalam pratinjaunya sudah menjelaskan isi buku beberapa bab secara utuh. Sebagian buku-buku di atas adalah buku-buku baru, bahkan ada yang baru diterbitkan pada 2010.

Membaca buku "Cara Mudah Menulis Buku" di Buku Google misalnya. Saya bisa membaca beberapa bab dalam pra tinjau, yang menampilkan informasi soal latar belakang penulisan, filosofi menulis yang memberi wawasan tentang penulisan. Bahkan buku lain bisa menjelaskan kekurangan buku lainnya. Sehingga kalau saya gabungkan bisa memberikan informasi yang hampir utuh bahan yang saya butuhkan.

Buku Google tidak hanya menyediakan buku diital dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa asing. Sebuah perkembangan baru dalam perbukuan dunia yang sebelumnya tidak pernah kita nikmati.

Bagi masyarakat di daerah ini, mengatasi kekurangan buku bacaan khususnya bagi daerah-daerah yang tidak memiliki toko-toko buku yang lengkap (Nias, Dairi, Samosir dan daerah lainnya), Buku Google bisa dimanfaatkan menjadi salah satu alternatif sarana mencari pengetahuan.

Dari meja kerja, sambil minum kopi Sidikalang, saya bisa menjelajah buku-buku yang berisi perkembangan pengetahuan dunia! Silakan memulainya!***

Kamis, 03 November 2011

Motivasi Menulis (Harian Jurnal Medan, 3 Nopember 2011)



Oleh: Jannerson Girsang

“Saya menulis supaya menjadi terkenal dan kaya,” itu sebuah jawaban seorang penulis muda, dalam sebuah acara, ketika ditanya mengapa dia mau menjadi penulis.

“Ooooooo….”, demikian suara di dalam ruangan besar dalam sebuah pelatihan penulisan di Medan, seolah mencibirnya. Tidak ada yang salah dalam hal ini.  Kebanyakan di dalam ruangan itu menganggap bahwa penulis tidak boleh kaya dan harus menjadi orang yang menderita. Sementara menurut anakmuda itu, menulis bisa menjadi orang kaya.

Saya tidak ingin mengarahkan Anda membahas situasi di atas, tetapi ingin mengungkapkan bahwa seorang penulis tidak pernah menghitung perolehannya saat menulis. Karena kalau demikian, dia tidak akan pernah menulis. Mereka termotivasi oleh kepedulian atas sekeliling dan ingin memberi kontribusi dalam pengembangan peradaban umat manusia.

Penulis fokus pada memikirkan ide yang ditulisnya sehingga mampu mempengaruhi pola pikir pembacanya ke arah yang lebih baik, sesuai pemikirannya, bahkan rela menggunakan waktu yang tidak sedikit mulai dari menyusun ide, menulis draft, memeriksanya, membuat draft final. Kadang tidak sesuai dengan “materi”—kekayaan yang diimpikan itu.

Kepedulian, Tidak Cukup Kemampuan

Semakin besar kepedulian penulis atas sekelilingnya, maka semakin besar pula niatnya  untuk memperbaiki lingkungannya ke arah yang lebih baik, dan mendorongnya menulis.

Tidak cukup hanya luasnya pengetahuan dan kemampuan menulis!. Tidak sedikit penulis dengan kemampuan biasa-biasa saja, tetapi mampu menulis banyak buku. Sebaliknya, banyak orang yang keahliannya luar biasa tetapi tidak menulis satu bukupun.

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah bahwa motivasi menulis muncul dari kesadaran dan kemauan untuk berkontribusi bagi negara dan dunia. Karya tulis, baik berupa artikel, puisi, buku merupakan kontribusi besar bagi bangsa dan dunia ini dalam pengembangan peradaban manusia.

”Menulislah sekarang juga. Menulislah apa saja yang bisa Anda tulis. Menulislah tanpa banyak memikirkan dampak yang akan diperoleh dari kegiatan ini. Menulis dan sebarkan sebanyak mungkin kepada orang. Menulis bisa lewat internet, melalui media massa atau buku”. (Cara mudah menulis buku, Dodi Mawardi).

Meski Tangan Diikat, Tetap Menulis

“Meskipun Anda mengikat tangan saya, saya tetap menulis,” ujar JK Rowling. Bagi JK Rowling, menulis merupakan panggilan jiwa, kewajiban. Kalau tidak dilakukan merasa bersalah.

Bagi Mark Twain, menulis adalah mewariskan sesuatu bagi generasi berikutnya. Seratus tahun lamanya Otobiografinya tidak dipublikasikan, meski yang bersangkutan sudah selesai menulisnya  sebelum dirinya meninggal pada 1910. Otobiografinya baru diterbitkan Nopember 2010.

Dia menulis bukan untuk sesuatu yang bisa dinikmatinya semasa hidup. Menulis bukan hanya mengejar materi dan popularitas.

Umumnya penulis sukses terikat sebuah tanggungjawab, jawaban atas pertanyaaan:  kontribusi apa yang harus diberikannya sehingga, lingkungannya semakin mampu memahami keadaan sekelilingnya, mengatasi kesulitannya dan hidup manusia semakin mudah.

Penulis sukses bukan orang yang diberi fasilitas, walaupun itu kadang perlu. Mereka besar dari kekurangannya. Baru-baru ini seorang teman saya kesal, karena tidak ada orang yang mau mensponsori penerbitan bukunya.

Andrea Hirata (penulis novel), pernah ditolak penerbit. Mereka hanya melihat dari sisi bisnis. Karena Andrea bukan penulis terkenal, tentunya dari sisi bisnis tulisan itu kurang menguntungkan. Dengan keyakinannya, Andrea Hirata bahkan membiayai sendiri penerbitan karyanya, dan memasarkannya. Belum ada penulis besar karena menggantungkan diri pada fasilitas orang lain. Mereka bertumpu pada kemampuannya.

Ujung-ujungnya Populer dan Kaya


Para penulis adalah orang yang terpuaskan dengan karyanya dibaca dan dipelajari orang lain sebagai bentuk motivasi, informasi dan pengetahuan baru. Penghargaan-penghargaan seperti honor dan penjualan karya tulis, muncul belakangan. “Pembaca” dan kecintaan mereka atas sebuah karya tulis dan membuat mereka berubah ke arah yang lebih baik, inilah bentuk penghargaan yang paling riel.

Penghargaan ini akan meningkatkan popularitas dan dengan sendirinya karyanya dibeli banyak orang. Dia menjadi kaya. Ini adalah dampak kerja keras dan usaha yang dilandasi motivasi tadi.

Selain itu, semakin orang menulis maka pengetahuannya akan semakin luas. Dia akan menguasai masalah dari berbagai bidang kehidupan yang menyentuh banyak manusia. Tak heran, kalau semakin luas materi sebuah artikel atau buku menyentuh kehidupan masyatakat, maka semakin banyak orang yang dapat terpengaruh.

Buku The Eight Habits (modifikasi dari The Seventh Habits) yang penjualannya melebihi 20 juta eksemplar di seluruh dunia, tidak pelak karena materi yang dibahas di dalam buku itu menyangkut kehidupan banyak orang di dunia ini. Hal itu tercipta dari motivasi penulisnya untuk memperbaiki kepemimpinan, bukan supaya dia terkenal atau kaya.

Steven Covey penulis the Eight Habits tidak pernah menghitung, kalau dia menulis buku akan mendapat sekian juta dollar. Kalaupun itu ditanyakan kepadanya pasti jawabnya: “I have never tought of that, I have just done my best in  writing”.

Jumat, 28 Oktober 2011

In Memoriam: Titi Said (1935-2011) ”Jadilah Angin dan Air yang Baik” (Edisi Analisa Cetak, 28 Oktober 2011 Halaman 38)

Oleh: Jannerson Girsang
 Foto Titie Said. Nomor Foto: 001
Sumber foto: kapanlagi.com

Indonesia berduka!. Bangsa ini kehilangan Titi Said, seorang wanita yang sepanjang hidupnya mendedikasikan dirinya bagi penulisan, serta dunia perfilman Indonesia. Dia dikenal sebagai penulis novel, wartawan dan mantan Ketua Lembaga Sensor Film (LSF).

Titi Said, meninggalkan kita untuk selama-lamanya dalam usia 76 tahun di rumah sakit Medistra Jakarta, 24 Oktober lalu, setelah dirawat sejak 9 Oktober karena menderita stroke. Samadikun, suaminya, meninggal hanya berselang 13 hari dari dirinya, tepatnya 11 Oktober 2011 lalu.

Di kalangan perfiliman Titi dikenal sangat keibuan dan sangat teliti dalam menyeleksi film. “Sewaktu masih di LSF, kalau ada hal yang menurut beliau kurang jelas, beliau pasti memanggil sutradara atau produser filmnya," kenang aktor utama film Gie, seperti dikutip kantor berita Antara.

Menulis 25 Novel, Cerpen dan Essei

Bakat menulisnya sudah muncul saat duduk di bangku SMP dengan menulis cerpen. Bahkan sejak kecil dia dijuluki pelamun kecil. Dia menyelesaikan SMA di Malang, Jawa Timur dan melanjutkan kuliahnya dan lulus Sarjana Muda Arkeologi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1959. .

Wanita kelahiran Desa Kauman, Bojonegoro, 11 Juli 1937 ini sudah terbiasa hidup mandiri sejak kecil lantaran ayah ibunya, Mohammad Said dan Suwanti Hastuti, bercerai.

Usai kuliah di Universitas Indonesia, kemudian menjadi wartawan di Majalah Wanita. Selain itu, dia juga aktif menulis di Majalah Kartini dan Famili. Lulusan sarjana muda Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1959 ini pernah menjadi redaktur majalah Kartini dan memimpin majalah Famili.

Sebagai seorang ibu rumah tangga yang memiliki lima orang anak, prestasi Titi Said pantas diacungi jempol. Sepanjang hidupnya, Titi telah menulis 25 buah novel, cerita pendek dan essai di berbagai majalah dan surat kabar.

Diantara novel yang ditulisnya adalah Perjuangan dan Hati Perempuan (kumpulan cerpen) (1962), serta Jangan Ambil Nyawaku, Reinkarnasi, Ke Ujung Dunia, Perasaan Perempuan, Tembang Pengantin, Fatima, Lembah Duka, Selamat Tinggal Jeanette, Dr Dewayani, Putri Bulan, .Bidadari. Dia juga menulis otobiografi Lenny Marlina, seorang bintang film terkenal di Indonesia pada era 70-an.

Novelnya  Jangan Ambil Nyawaku adalah best seller pada zamannya. Novel yang bercerita tentang seorang yang terserang penyakit kanker itu dikerjakannya setelah melakukan wawancara dengan puluhan dokter.

Sebagian novel-novelnya kemudian dijadikan film. Tahun 1977, Titi menerbitkan bukunya Jangan Ambil Nyawaku dan disusul tahun 1979 dengan Lembah Duka. Bersama tiga penulis wanita lainnya, Titie Said menghimpun cerita pendeknya dalam buku Empat Wajah Wanita (1979).

Kegiatannya dalam perfilman sejak 1973 (novel pertamanya difilmkan), membawa dirinya aktif di LSF (dulu Badan Sensor Film) .  Kemudian, dia dipercaya menjadi LSF pada 2000 dan sampai akhir hidupnya ia masih aktif sebagai anggota LSF.

Dengan posisi sebagai ketua LSF, wajahnya senantiasa muncul ketika sebuah film yang telah beredar memicu kontroversi dalam masyarakat.

Meski kesibukannya menjadi Ketua LSF, Titi Said menulis novel, seperti Diana dan menulis buku Prahara Cinta.

Tak Memaksakan Anak Jadi Penulis

Titi menikah dengan seorang anggota kepolisian yang berpindah-pindah tugas. Tak lama setelah menikah, pada 1965 Titie ikut suami pindah ke Bali. Di sana dia aktif di masyarakat dan pernah menjadi anggota DPRD di provinsi yang pendapatannya berasal dari industri pariwisata itu. Pada 1973 Titie ke Jakarta dan tinggal bersama lima anaknya.

tidak memaksakan anak-anaknya menjadi penulis. Dari lima anaknya, masing-masing yang tertua berprofesi sebagai pebisnis (lulusan ITB), kedua lulusan ITB, sekarang di Bappenas, ketiga di perminyakan, sekarang di Kuwait, keempat di Amerika, bekerja di perminyakan, dan anak bungsunya bekerja di Bank Mandiri.

Hidup baginya adalah menjadi orang yang berguna, dibutuhkan oleh manusia. ”Kita ini seperti angin. Angin dan air bisa menjadi angin yang baik, air yang sangat berguna. Tapi, angin juga bisa menjadi badai dan air juga bisa menjadi banjir. Jadilah angin dan air yang baik, yang selalu dibutuhkan oleh manusia. Angin dan air adalah kesenangan saya,”ujarnya dalam sebuah wawancara dengan harian Republika (2005).

Selamat jalan Titi Said, semoga dedikasimu untuk sastra dan perfilman di Indonesia menjadi teladan bagi generasi masa kini dalam mengembangkan dunia tulis menulis dan perfilman Indonesia.

(Diolah dari Berbagai Sumber)