My 500 Words

Minggu, 21 April 2013

Bawömataluo, Keindahan dan Misteri










Saya berdiri di dekat hombo batu di Bawömataluo, akhir Maret 2011.

NBC — Akhir Maret 2011, saya mengunjungi Desa Bawömataluo, Kecamatan Fanayama, desa yang penuh dengan karya megalitik suku Nias. Desa yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Nias Selatan ini memberi rasa kagum yang tidak kalah unik dibanding dengan kawasan wisata budaya lainnya, misalnya Borobudur dan kawasan wisata budaya lainnya di Indonesia yang pernah saya kunjungi.

Great! Itulah kata dalam bahasa Inggris penilaian saya bagi Desa yang terletak di atas perbukitan dengan ketinggian 250 meter di atas permukaan laut itu.  Tentu pengamatan sepintas ini tidak akan membahas banyak tentang sejarah dan kisah masa lalu lokasi ini.

Masuk dari Sorake

Kami memasuki Bawömataluo setelah sebelumnya mengunjungi Pantai Sorake dan Lagundri—dua lokasi yang membawa Nias sampai ke seluruh penjuru dunia, bahkan sebelum tsunami terjadi. (Baca juga artikel saya: Laporan dari Nias Selatan (1): Pertanian Bergairah tapi Pelabuhan Terbengkalai)
Dari Sorake, dengan mobil carteran L-300 dari Gunungsitoli, kami menuju Bawömatoluo melintasi jalan hotmix ke arah Teluk Dalam. Tiba di sebuah petigaan, kami menemukan plang petunjuk arah, lurus ke Teluk Dalam dan belok kiri ke Bawömataluo.

Setelah sekitar 20 menit, kami pun sampai. Kami memarkir mobil di sebuah lokasi di sana, persis di samping sebuah tembok tinggi, di sebelah tangga menuju Desa Bawömataluo. Begitu turun dari mobil, beberapa laki-laki yang masih berusia remaja mendatangi  kami menawarkan jasanya. Salah seorang laki-laki menegor dengan ramah. “Pak, mari saya tuntun ke atas,” ujarnya, meski saya didampingi teman yang paham lokasi itu dan suaminya berasal dari Bawömataluo.

Kami menerima dengan baik bantuan mereka. Saya kagum atas semangat anak-anak ini. Mereka bangga menjelaskan keagungan desanya, meski tidak jelas berapa kami harus membayar mereka. “TST saja, tau sama tau,” mungkin demikianlah di benak mereka.

Sebuah Misteri

Sebelum mendaki tangga, kami membeli minuman atau makanan ringan yang tersedia di sebuah kios di Bawagöli untuk bekal.  Saat menuju kios itu, Ketjel Zagötö berujar, “Kita harus mendaki ke atas,” sambil menunjuk ke arah tangga berkemiringan 45 derajat.

Mencapai Desa Bawömataluo, dari dasar perbukitan Desa Bawagöli kami harus berjalan kaki menaiki 86 anak tangga yang terbuat dari batu. Saya tidak tau persis berapa ketinggian tangga itu, tetapi saya perkirakan lebih dari 15 meter.


Masyarakat sedang antre mengambil air di salah satu Sudut Desa Bawömataluo.

Lantas, kami memulai pendakian ke puncak tangga. Sebuah keasyikan tersendiri! Serasa olahraga menyegarkan setelah penat naik mobil sejak pagi hari dari Gunungsitoli dan berputar-putar di sekitar Teluk Dalam, Sorake, dan Lagundri.

Saya bergurau kepada teman saya, Ketjel, ”Mendaki tangga ini layaknya menikmati keindahan alam dan mengungkap misteri!” Sang teman itu pun tertawa. “Ada-ada saja Abang ini,” katanya.
Saya sebenarnya bukan bergurau. Dalam pendakian itu, beberapa kali saya berhenti sambil melihat ke belakang. Di belakangku terbentang pemandangan desa di bawah tangga dan pemandangan Pantai Sorake dan kehijauan pepohonan yang menakjubkan, sementara di depanku sebuah misteri. Rasa ingin tahu yang besar seperti apa gerangan perkampungan Bawömataluo yang kesohor itu!

Kembali ke Alam Megalitik



Setelah mencapai tangga ke-86 atau tangga terakhir, saya berdiri sejenak. Meski beberapa penjaja suvenir yang ramah yang mendekati kami, perhatian saya tetap pada misteri yang ada di hati. Menikmati indahnya pemandangan yang terhampar di depan mata ratusan meter ke depan.


Pemandangan Desa Bawömataluo

Memasuki perkampungan Bawömataluo, yang dalam bahasa Nias berarti Bukit Matahari, adalah berada di sebuah wilayah masa megalitik yang masih terpelihara hingga saat ini.
Tampak di atas hamparan lahan yang luas dan rata berdiri rumah-rumah penduduk yang saling berhadapan. Bawömataluo, yang menurut Hikayat Manaö, pemuka adat setempat, berpenduduk sekitar 1.200 kepala keluarga itu berdiri megah di atas lahan seluas 5 hektar dan berada di perbukitan dengan ketinggian 250 meter di atas permukaan laut.

Saya menyaksikan di sebelah kiri deretan rumah penduduk dan sebuah rumah raja (Omo Sebua) yang atapnya terlihat menjulang tinggi. Sementara di sebelah kanan, berjejer rumah adat penduduk desa (Omo Hada) dan sebuah balai desa, tempat musyawarah bagi warga Desa Bawömataluo.
Beberapa referensi mengatakan jumlah rumah-rumah itu sekitar 250-300 buah. Jalan yang membatasi deretan rumah tersusun rapi oleh bebatuan, berbeda dengan kampung yang biasanya tertutup dengan tanah.

Melangkahkan kaki beberapa meter ke depan, di sebelah kanan tampak sebuah meriam yang dibuat pada zaman Belanda, letaknya di depan balai musyawarah warga Desa Bawömataluo. Di sebelah meriam tersebut terletak beberapa batu berwarna hitam dengan panjang masing-masing kurang lebih 10 meter.

Ratusan rumah adat yang masih terpelihara keasliannya berjejer rapi, layaknya sebuah kota kecil di atas bukit. Bedanya, di kampung ini tidak ada mobil atau kenderaan bermotor, karena mencapai desa itu harus melalui tangga.

Jalan kaki sambil melirik keunikan di kiri kanan, rasa senang tak terlukiskan saat saya mendekati sebuah batu dengan ukuran panjang sekitar 90 sentimeter, lebar 60 sentimeter, dan tinggi mencapai 2 meter. Sebuah arena lompat batu atau oleh masyarakat setempat disebut Hombo Batu—olahraga yang sudah berusia ratusan tahun.

Bagi saya, orang yang berada di luar Nias, Hombo Batu inilah wisata populer dari Desa Bawömatoluo, di samping rumah-rumah adat dan peninggalan megalitik yang lain.

Hombo Batu menunjukkan betapa Nias memiliki seleksi yang luar biasa untuk meloloskan para prajurit perangnya. “Siapa yang mampu melompat dan melewati batu, boleh menjadi prajurit, ikut perang,” ujar Hikayat Manaö, pria berusia 52 tahun dan salah seorang pelompat batu di masa mudanya. Menurut dia, bagi masyarakat Desa Bawömataluo, suatu kebanggaan dan kehormatan jika berhasil melompati batu tersebut.

Sayangnya, saat itu tidak ada acara lompat batu. Sehingga tidak menyaksikan bagaimana laki-laki perkasa kampung Bawömataulo beraksi. Khusus di Desa Bawömataluo, pelancong bisa menikmati sajian Tari Perang (Baluse) dan lompat batu (hombo batu), dua tradisi Nias yang amat terkenal itu.

Dua tradisi ini sekarang kerap diperagakan khusus untuk menjamu para pelancong.”Diperlukan biaya jutaan rupiah untuk memperagakan tarian yang melibatkan para pemain yang jumlahnya mencapai 50 orang,” kata Hikayat Manaö kepada NBC sore itu di rumahnya.

Kini, meski masih berusaha mempertahankan keaslian bangunan, beberapa rumah di Bawömataluo sudah merubah atap rumah aslinya dari pohon rumbia menjadi atap seng. Kampung itu kini sudah dimasuki modernisasi dan penduduk sudah menikmati kemajuan teknologi.

Menjelang mentari terbenam di ufuk barat, kami pun bergegas meninggalkan Bawömataluo untuk kembali ke Gunungsitoli. Remaja laki-laki yang membawa kami menaiki tangga sudah berdiri di samping mobil. Setelah memberikan tip, tanpa tau berapa isinya, saya memasukkan ke kantongnya. “Saohagölö”, begitu ujar anak itu berterima kasih tanpa bertanya berapa uang yang saya masukkan.

“Ya’ahowu”, kami mengangkat tangan dan mereka senang!

Dalam hati, terbersit kapan-kapan saya pasti kembali lagi ke Bawömataluo, bagaimana dengan Anda! Mungkin, menyaksikan pesta budaya yang akan digelar 13-15 Mei 2011 ini adalah sebuah kesempatan besar bagi Anda dengan hanya membayar tiket yang relatif murah. [JANNERSON GIRSANG]. 

Artikel ini masih bisa diakses di http://www.nias-bangkit.com dan  http://travel.detik.com.

Sabtu, 13 April 2013

Aku Ingat Dokter Go


Oleh: Jannerson Girsang

Keramahan dan ketulusan melayani bisa membuat perubahan besar bagi sekelilingnya bahkan tanpa dirasakan orang yang melakukannya.

Di era 60-an sampai 70an, saat saya masih duduk di Sekolah Dasar, seorang dokter bekerja di Rumah Sakit Bethesda Saribudolok, 112 km di sebelah Selatan kota Medan. Beliau  sangat berkesan dalam kehidupan saya, keluarga besar kami,  dan tentunya penduduk Desa Nagasaribu, salah satu dari 33 desa yang dilayani rumah sakit itu. Kami tidak akan pernah melupakan Dr Go.

Saat itu, setiap Senin pagi beliau sudah berdiri di samping mobil Rumah Sakit Bethesda--milik Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), berwarna putih,dan berbincang dengan penduduk di depan rumah pangulu (almarhum Pa Polir Girsang). Jaraknya  hanya beberapa meter dari rumah kami. Bersama dengan beberapa suster (Suster orang Belanda, saya lupa namanya. Ada juga suster Samianna Purba), beliau siap melakukan pelayanan kesehatan bagi penduduk desa. 

Beberapa menit kemudian, dia sudah mendapat pasien. Dengan steteskop di tangan, diselingi ucapan-ucapan dan sapaan yang ramah, beliau  memeriksa, menasehati dan memberi obat yang diperlukan.   
Meski beliau seorang dokter  suku Tionghoa, tetapi sangat lancar berbahasa Simalungun dan Karo.

Artikel ini saya tulis karena melihat fotonya di Facebook almarhum Sita Damanik, saya memperoleh foto terakhirnya. Saya ingat: Verba Volen Scripta Manen. (yang terucap akan lenyap, yang tertulis tetap).    

Inilah salah satu fotonya yang saya peroleh dari Facebook bapa almarhum Sita Damanik. Foto ini begitu menggugah saya. Pasangan ini tampak berbahagia. Saya kira usia mereka sudah di atas 75 tahunan, tetapi masih segar dan energik. Setelah selesai bertugas di RS Bethesda, beliau ternyata sekolah di Jerman dan kemudian bekerja di sana. 

 Photo

Selamat berbahagia Dr Go, semoga suatu ketika kita bisa bertemu. Kita rindu dokter yang melayani dengan hati, dan mendidik masyarakat hidup sehat.

Saya masih ingat ketika suatu ketika beliau dengan lembut memegang perut saya. Menekan dan bertanya  Maborit. Ija deba maborit, (sakit, dimana lagi yang sakit)”ujarnya menyapa, saat saya suatu ketika menderita sakit perut. “Lang pala mahua, malum do holi in (nggak apa-apa, nanti juga sembuh ,”katanya meyakinkan.

Kemampuan Dr Go berbahasa Simalungun sangat penting bagi kami penduduk desa, yang hanya mampu berbahasa Simalungun. Saya sendiri, baru meninggalkan desa itu saat berusia 16 tahun, dan baru menggunakan bahasa Indonesia sehari-sehari, ketika memasuki SMA kelas 1 di SMA Negeri 2 Pematangsiantar.

Keramahannya, kehangatannya turut menumbuhkan semangat,dan membantu menyembuhkan penyakit.

Beliau tidak hanya mengobati, tetapi juga menasehatkan kami menjaga kebersihan dan rajin sekolah. Dokter Go mengajarkan saya tidak takut disuntik. Waktu itu semua anak-anak takut disuntik.

Dia mengajarkan cara  mencuci tangan yang baik sebelum makan.  Waktu itu, di luar sekolah, semua anak-anak bekerja di ladang. Tangan kami hamper setiap hari memegang pupuk organik (kotoran ternak). Katanya di dalam kotoran seperti itu banyak kuman yang bisa menyebabkan perut sakit, cacingan.

Saat itu anak-anak banyak yang cacingan. Saya mengalami sendiri. Pagi-pagi dari lubang dubur kita keluar cacing. Aduh..geli dan jijik!.

Kami juga diberi susu gratis. Saat itu minum susu dianggab sebagai penyebab penyakit perut. Sehingga banyak anak-anak tidak mau minum susu meski dikasi gratis.

Empat sehat dan lima sempurna. Itulah pelajaran penting.. Ketika itu, kami hanya makan nasi, ikan dan sayur. Buah jarang, hanya waktu hari pekan Saribudolok saja (Rabu). Atau kalau ada pisang yang matang di ladang. Sebelum dokter Go datang, kami kebanyakan belum mengenal susu.

Saya ingat susunya berupa tepung dan harus diaduk di dalam air panas. Kadang tepungnya yang menggumpal mengambang di permukaan gelas karena tidak larut. Tidak seperti susu tepung sekarang, bisa dimasak tanpa ada gumpalan yang mengambang.  

Kebaikan kecil yang telah dibuatnya banyak merubah pandangan penduduk desa NAGASARIBU tentang kesehatan, pendidikan yang membuka mata mereka melihat dunia yang lebih indah.

Terima kasih Dr Go.  Saya tetap akan mengingat jasamu.

Rabu, 10 April 2013

Selamat Jalan Bapa Sita Damanik “Kami Rindu Mengenang Komentarmu yang Menginspirasi”


Oleh: Jannerson Girsang

 
Sita Damanik (Sumber: FB Sita Damanik)

Melalui Facebook (FB), hari ini saya mendapat berita duka dari Nantulang Sally Pardede yang tinggal di Negeri Belanda.  

Sita Damanik, laki-laki yang sangat simpatik dan saya kenal melalui Facebook, dan sudah puluhan tahun bertempat tinggal di Dusseldorf, Jerman, meninggal dunia Selasa 9 April 2013, dalam usia 75 tahun.

Saya mengenal keduanya melalui FB. Saling bertutur dan sharing, hingga memiliki hubungan emosional, layaknya bersaudara.  
Sally Pardede adalah putri Batak  asal kota turis Prapat,Simalungun, Sumatera Utara yang menikah dengan orang Belanda. Kini mereka bemukim di  Negeri Kincir Angin itu. 

Saya belum pernah bertemu muka dengan Sally dan Sita, tetapi selalu berkomunikasi lewat FB.   Kita bertemu  melalui hati. Benar yang dikatakan Hellen Keller, “Sesuatu yang terindah adalah hal-hal yang tak bisa dilihat mata, diraba dengan tangan dan didengar oleh telinga”. Begitulah pergaulan kami selama ini, hanya melalui ungkapan hati.

Ungkapan-ungkapan dan komentar Sita Damanik yang senantiasa membangun semangat. "Kita suka ini". "Kita semua senang". "Malas uhur". "Jenges tumang pandapotmu Tuan Girsang". Sangat menyejukkan dan menyemangati.

Anak Sinaman, Simalungun ini, seringkali memberi “like” atau komentar pada status saya, khususnya yang menyangkut keadaan di Simalungun. Bahkan tanggal 1 April 2013, dia masih membuat komentar di statusnya soal kejadian di Dolok Pardamean (pembunuhan Kapolsek Dolok Pardamean Andar Siahaan) : “KAMI MERASA SEDIH DENGAR BERITA2 jg TERJADI di KAMPUNG DOLOK SARIBU ITU”. Meski tinggal di negeri yang jauh, beliau masih peduli daerah asalnya.

Dia selalu memanggil saya Tuan Girsang. Saya juga tidak mengerti. Mungkin karena sudah lama bermukim di luar, atau ada kisahnya yang lain tentang marga Girsang.

Hal yang membuat saya cukup berkesan adalah kesannya tentang kampung saya di Nagasaribu, minatnya kepada Simalungun tempat kelahirannya, serta sambutannya yang sangat positif setelah membaca buku yang saya edit, otobiografi Pdt HM Girsang. “Saya sudah membaca bukunya dan bagus sekali Tuan Girsang,” demikian komentarnya dua tahun lalu di status FB saya.    

Saya tambah terharu membaca berita si status FB dari teman saya di Siantar Damertina Saragih. Beliau adalah mantan Ketua Umum Wanita GKPS dan anggora DPRD Simalungun, yang turut mengucapkan duka atas kejadian ini di FB saya.  

Ternyata istri Bapa Sita Damanik sedang berada di Siantar pula, saat suaminya meninggal. Mereka baru saja kembali liburan dari Bali. 



“Turut berduka cita,....kita kehilangan sorang Simalungun yg sdh mnetap d Dusseldorf berpuluh thn tp tetap peduli dgn Simalungun/GKPS .Tadi pagi kakak Ny Sita Damanik boru Saragih sdh brkt dr Siantar k Medan(lg kunj kluarga ) u kembali k Dusseldorf bersm putrinya Evy n suaminya yg lg liburan k Bali.Smoga perjlnn mrk lancr dan Tuhan mmbri penghiburan n kekuatan bg kluarga yg dtinggal”. (Damertina Saragih)

Sebuah pelajaran berharga bagi facebookers. Kesan sangat kuat tentang seseorang adalah ucapan-ucapannya. Pemaknaan seseorang atas diri kita. Kalau seseorang senantiasa memberi hormat, pujian ataupun kritik yang membangun, kesannya akan sangat kuat dan diingat dalam waktu yang lama.

Mari kita bangun komunikasi dengan baik dan benar. “"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,  perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 12:7).

Facebook telah menghubungkan kita dengan seluruh dunia dan bisa berteman dan berbagi tanpa dibatasi jarak.   Gunakanlah dengan baik, sehingga menambah saudara di seluruh dunia. 

Selamat jalan Bapa Sita Damanik. Kita tidak sempat bertemu di Nagasaribu ya.Semoga perkenalan ini menjadi sesuatu kenangan yang tak terlupakan. 

Medan, 10 April 2013