My 500 Words

Sabtu, 12 Oktober 2013

Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (3)

Sambungan dari bagian 2
 
Oleh: Jannerson Girsang

Suatu hari, pagi-pagi sekali, ibunya pergi ke tiga.Semasa ayahnya hidup, ibunya membawa gula aren.

Kini, ibunya hanya membawa hasil pungutan ubi atau sayur dari ladang tempatnya bekerja atau sedikit beras untuk ditukar dengan ikan atau kebutuhan pokok lainnya.

Sepulang dari tiga,ibunya membawa beberapa ekor ikan mujahir serta bumbu jeruk asam, cabe, kemiri, kunyit dan garam.Demikian juga buah-buahan.Pisang Ambon adalah makanan kesukaan Sarioto.

Air liur Sarioto meleleh membayangkan malam itu dia akan menikmati ikan mujahir yang enak luar biasa.

Sebelum memasak, ibunya memberinya beberapa buah pisang Ambon yang membuat pipinya seperti bengkak karena kepenuhan.

Biasanya Sarito tidak merasa cukup dari pemberian ibunya.Sambil mengunyah-ngunyah pisang yang satu sudah mau habis, dia merengek minta lagi, sampai ibunya marah.

Jangan Lebih Sepotong Ikan

Sore itu Sarioto dengan setia mendampingi ibunya yang baru pulang dari tiga mempersiapkan lauk untuk memasak ikan mujahir.

Dia memperhatikan ibunya memotong jeruk nipis.Sesekali dia disuruh ibunya mengambil air ke pancuran yang tidak jauh dari rumahnya.Pulangnya, ikannya belum masak.

Sarioto tidak sabar menunggu.Sekali-sekali dia meninggalkan ibunya dan bermain dengan teman-temannya di halaman rumahnya.

Capek bermain, dia kembali lagi ke rumah karena diciumnya bau masakan  yang mengundang air liurnya.

Sore itu dia memang sudah lapar, karena sejak siang tidak makan.Ditambah lagi, sejak sehari sebelum tiga, mereka hanya memakan nasi dan sayur rebus, tanpa ikan.  Pasalnya, ibunya hanya berbelanja sekali seminggu.Lauk ikan selama seminggu dimasak hanya satu kali di dalam periuk tanah.Itulah lauk mereka hingga tiga berikutnya

Setelah lelah bermain di luar, Sarioto kembali masuk ke rumah.

“Sudah masak ikannya Bu?,”ujarnya, sambil menyeka keringatnya.

“Sebentar lagi Nak, main dulu dengan teman-temanmu, nanti Ibu panggil kalau sudah masak,” bujuk ibunya dengan sabar anak semata wayangnya itu. Ibunya merasa kasihan melihat anaknya yang sudah kelaparan, namun apa boleh  buat, bahan bakar kayu api tidak bisa memasak dengan cepat.

Setelah bermain beberapa lama, Sarioto dipanggil ibunya.

“Sarioto….Sarioto…..!. Mari Nak ikannya sudah masak.Mari makan……,” terdengar suara ibunya memanggil dari dalam rumah.

“Jalotup, aku permisi dulu ya.Kami mau makan,”pintanya kepada teman-temannya dan pamit meninggalkan mereka sedang margala. (main petak umpat yang diberi garis segi empat sebanyak empat petak)

Mendengar panggilan ibunya, Sarioto langsung memikirkan lezatnya makanan dan tanpa pikir panjang langsung meninggalkan teman-temannya. Permainanpun  bubar.

“Uuuu…h,”gerutu teman-temannya yang ingin terus bermain dengan Sarito.Merekapun bubar karena satu anggotanya sudah pergi.

Sarioto berlari cepat menuju rumahnya, tanpa menghiraukan ocehan teman-temannya. Hampir saja dia menabrak pintu karena cepatnya berlari. Dari depan pintu dia sudah mencium bau sambal dari dapur rumahnya. Dibukanya pintu rumah yang sudah hampir rubuh itu, lalu masuk dan disambut ibunya dengan hangat.

”Mari Nak, ibu sudah siapkan makan malam,”ujar ibunya, sambil menuangkan kuah ikan mujahir ke piringnya. 

Meski dibawah sinar lampu teplok berbahan bakar minyak tanah, mata Sarioto begitu tajam memilih daging ikan, tanpa kena durinya. Pertunya yang sudah lapar segera dipenuhi oleh makanan lezat di depannya.

Sayangnya, seenak apapun ikan yang dimasak ibunya, Sarioto hanya boleh memakan sepotong saja. Aturan keras dari ibunya, karena ibunya hanya mampu menyediakan sepotong ikan bagi anak dan dirinya setiap kali makan.

Tetapi malam itu, Sarioto tidak mau turut aturan.“Bu, aku tidak cukup satu potong ikan malamini.Dua potong ya Bu,”ujarnya.

Dengan berat hati, ibunya meluluskan permohonan anaknya.

“Ya, boleh.TapI hanya malam ini.Besok harus sepotong sekali makan,”perintah ibunya.

Malam itu, Sarioto makan dengan  lahapnya. Tiga piring nasi dan dua potong ikan mujahir yang cukup besar.Mulutnya penuh dan sebelah pipinya terlihat bengkak.

Tapi, setelah selesai makan dan dua potong ikan sudah habis, Sarioto masih meminta tambah.

Kali ini Sarioto harus mengigit jari.Ibunya melarangnya sambil marah.Dia tidak diizinkan lagi memakan ikan tambahan.

“Ini ikan kita seminggu Nak. Kalau dimakan lebih dari satu potong, ikan kita tidak cukup,”ujar ibunya geram, karena dengan memberinya dua potong malam itu, berarti malam sebelum tiga berikutnya dia akan makan tanpa ikan lagi.

Ibunya kemudian menyimpan semua ikan yang dimasaknya dalam periuk tanah dan menyimpannya di atas para-para.

Tamak: Awal Menipu

Malam itu Sarioto tidur gelisah.  Dia memikirkan enaknya ikan mujahir yang disimpan ibunya di dalam  periuk tanah. Sementara ibunya hanya mengizinkannya satu potong setiap kali makan.Matanya tidak bisa terpejam walau tengah malam sudah menjelang.

“Ah…bagaimana caranya agar saya bisa makan ikan-ikan itu?,” pikirnya, sambil melirik ibunya yang sudah mulai lelap disertai dengkuran yang memecah kesunyian di rumah itu.

Keinginan Sarioto untuk melahap ikan yang tersisa untuk persiapan seminggu itu diurungkannya untuk sementara.Diapun tertidur di atas tikar beralas tanah di samping ibunya.

Pagi-pagi sekali Sarioto sudah bangun. Tidak seperti biasanya, dia membangunkan ibunya waktunya tiba untuk memasak makanan mereka hari itu.

“Bu…Bu. Bangun Bu…masak!,”katanya sambil menggoyang-goyang tubuh ibunya.

Ibunya terbangun dan heran biasanya dia yang membangunkan anaknya, justru sebaliknya. Tetapi dia senang karena anaknya memberi perhatian padanya.

“Kamu makin besar anakku, makin pintar,”ujarnya sambil mencubit pipi Sarioto. Sarioto tersipu dan menunduk malu. Dia sebenarnya berpura-pura baik. Padahal dalam hatinya tersimpan sebuah rencana jahat.

Ibunya tidak mengetahui niat jahat anaknya.Saat itu Sarioto sedang mencari alasan tidak ikut ibunya ke ladang.Sarioto sudah mengatur alasannya semalaman.

“Bu, saya hari ini tidak ikut ke ladang ya.Badan saya tidak enak, karena kena hujan semalam,”katanya.

Sarioto juga menceritakan mengapa dia tidak bisa tidur malam sebelumnya.

Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (2)

 (Sambungan dari bagian 1) 

Oleh: Ir Jannerson Girsang

“Bu, bapak lagi maragat (mengambil air nira dari pohon enau),” kata Sarioto kepada Ibunya, kala ibunya sedang memasak makan malam.

Setelah kegiatan memukul-mukul selesai, ayah Sarioto kemudian menaruh handi-handi yang sudah penuh itu di pundaksebelah kanan.

Hari sudah mulai gelap, ketika dia hendak menuruni tangga. Pandangan mata ayah Sarioto tidak begitu jelas melihat lobang-lobang di bambu tempatnya berpijak.

Baru melangkah ke bawah beberapa tangga, kakinya tergelincir,  hingga kaki berikutnya tidak tepat menginjak lobang. Lalu  tangannya terlepas karena beban air nira yang cukup berat.

Malam senyap dan suara-suara riuh binatang dari dalam hutan menyaksikan ayah Sarioto terjun bebas ke tanah.

“Ras………..,” bunyi tubuhnya yang menyentuh dedaunan di sekitar pohon enau dan dalam hitungan detik, lantas, “Bum………”tubuhnya menyentuh tanah dan tulang-tulangnya remuk.

Di rumah gubuknya, Sarioto dan Ibunya sedang menunggu lelaki yang sangat mereka cintai itu. Keduanya dengan setia menunggunya hingga waktu makan malam tiba.

Malam itu memang berbeda dengan biasanya. Hingga waktu makan malam lewat beberapa lama, ayah Sarioto belum tiba di rumah. Biasanya, sebelum waktu makan malam ayahnya sudah tiba di rumah dan  bercengkerama dengan Sarioto dan ibunya.

Ibunya curiga sudah terjadi sesuatu kepada suaminya. Setelah menyimpan makan malam mereka kembali ke tempat penyimpanan makanan, dia menarik tangan Sarioto, lantas mengajaknya keluar rumah  menuju rumah Pangulu (pemimpin kampung).

Kepada pangulu dia melaporkan bahwa suaminya belum pulang dari “pargulaan” (tempat memasak nira menjadi gula aren). Seketika, pangulu memukul mong-mong dan berkeliling desa.

“Mong….mong….mong,”bunyi pukulan mong-mong--sejenis alat gamelan dari tangan pangulu, sambil memanggil semua para penduduk laki-laki berkumpul di depan kedai. 

Seluruh penduduk kampung berkumpul di kedai tempat ayah Sarioto biasanya menjual tuak.Semua pemuda kampung dan beberapa orang tua  ditugaskan mencari ayah Sarioto.

Puluhan pemuda dan orang tua dengan menggunakan obor berangkat menuju pargulaonayah Sarioto.

Setibanya di tempat itu, mereka berbagi ke dalam beberapa regu mencari ke pohon enau milik lelaki bertubuh kekar itu.

Satu regu menemukan ayah Sarioto. Semuanya terkejut, ketika seseorang berteriak karena menyentuh tubuh yang tergeletak di dekat tangga!.

“Tubuh manusia!,”teriaknya kaget.

“Apa….?,” kata yang lain terkejut.

Setelah seseorang mengamatinya dan yang lain membantu penerangan dengan obor, ternyata adalah ayah Sarioto.

Tubuhnya tergeletak di tanah dan tertimpa handi-handi tempat air nira.Sebagian langsung mendekat dan menggoyang-goyang tubuhnya.Ternyata ayah Sarioto tidak bernyawa lagi.

Beberapa laki-laki mengusungnya ke pargulaon dan di sana mereka membuat tandu dari goni untuk mengangkutnya ke kampung.

Seluruh penduduk kampung malam itu memenuhi rumah kecil dan sebagian besar berkerumun di sekeliling pekarangan rumahnya.Mereka sangat berduka atas meninggalnya ayah Sarioto.

Tinggallah Sarioto yang masih kecil bersama ibunya.

Merindukan Makanan Enak

Setelah ayahnya meninggal dunia, hidup Sarioto bersama ibunya semakin susah. Sarioto tidak pernah lagi memperoleh daging buruan seperti ketika ayahnya masih hidup.

Penghasilan ibunyapun tidak lebih baik, dibanding ketika ayahnya masih hidup.

Sarioto tumbuh menjadi anak laki-laki yang lasak, sering membandel kepada ibunya.Sebaliknya, ibunya tidak mampu memberikan kenikmatan hidup seperti yang dialaminya ketika ayahnya masih hidup.

Semasa  hidup ayahnya, Sarioto menikmati daging hasil buruan ayahnya. Ayahnya bersama-sama para laki-laki sekampungnya  sering  berburu ke hutan. Mereka menangkap babi hutan, rusa, musang dan lain-lain.

Ayahnya juga  memasangsiding (perangkap burung) baik di rerumputan atau semak-semak, maupun pada sarang-sarang burung pipit saat buah padi masih muda. Saat seperti ini, burung-burung pipit dan sejenisnya sangat banyak bersarang di sekitar  ladang di desa tempat tinggal Sarioto

Sarioto sangat senang kalau ayahnya membawa daging hasil buruannya ke rumah. Malamnya dia bisa menikmati  daging sepuasnya.

Sebagian daging tangkapan ayahnya dicampur garam dan dikeringkan di atas para-para. Setelah diperlakukan demikian daging itu akan awet  selama beberapa hari. Daging seperti ini disebut sale-sale dan rasanya sangat nikmat.

Sehingga berhari-hari Sarioto bisa memakan daging saat makan siang atau malam.Bahkan di luar waktu makanpun dia sering mencuri-curi daging hasil buruan ayahnya.

Kini menjelang usianya 6 tahun, dia turut ibunya bekerja memburuh di ladang.Ibunya melarangnya bermain-main di kampung seperti kebanyakan teman-temannya yang lain.  Bahkan seusia itu, Sarioto sudah bisa membantu ibunya menanam jagung di ladang dimana ibunya memburuh dan mendapat sedikit imbalan.

Dia sering disuruh ibunya membantu mengantar bibit jagung dari gubuk pemilik ladang  kepadaibunya di tengah ladang. Saat anak-anak seusianya masih bermain, Sarioto turut andil membantu ibunya menanam jagung.

Ibunya hanya bekerja sebagai buruh tani, dan hanya mampu menyediakan makanan ala kadarnya untuk Sarioto.

Sarapan ubi jalar, makan siang dengan ikan dan nasi bercampur jagung (sakke) atau bubur ubi kayu yang dicampur dengan gula merah.Lauknya hanya sepotong ikan, sayur rebus berupa daun jipang, daun ubi kayu dan lain-lain.

Sarioto sangat merindukan makanan yang enak saat ayahnya masih hidup.Dia sangat jengkel dengan aturan ibunya yang hanya memberinya sepotong ikan setiap kali makan.

Sarioto tinggal di sebuah desa terpencil, terletak sekitar 7 kilometer dari tiga (sebuah pasar mingguan).Hanya dibuka sekali seminggu.

Jarak itu ditempuh dengan jalan kaki selama satu jam. Sekali seminggu ibunya bersama beberapa penduduk  pergi ke tiga yang berjalan kaki telanjang melintasi perladangan, sawah tadah hujan, bahkan beberapa kali melintasi hutan.

Penduduk desa yang status ekonominya lebih tinggi biasanya naik kuda.

Sarioto hanya diizinkan ibunya menikmati pasar satu atau dua kali setahun. Paling-paling dia diperbolehkan ikut ke tiga  ketika menjelang  robu-robu (atau pesta panen).Saat itu adalah hari bahagia bagi Sarioto,karena pulang dari tigadia dibelikan ibunya sarung atau baju bekas. (Bersambung ke bagian 3)

(Artikel ini adalah asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel ini untuk dijadikan buku. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya melalui email: girsangjannerson@gmail.com. Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut). 
 



Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (1)


Oleh: Ir Jannerson Girsang*)

Pengantar

Semasa kecil di era enampuluhan, kisah Sarioto berkali-kali dikisahkan oleh ibu saya seorang guru Sekolah Dasar. Begitu melekatnya kisah ini, hingga puluhan tahun kemudian, saya masih bisa mengisahkannya kepada anak-anak, termasuk kepada pembaca sekalian. 

Kisah ini merupakan penceritaan ulang kisah ibu saya yang memotivasi dan membimbing anak-anaknya melalui berbagai cerita. 

Di masa kecil, anak-anak saya senang mendengar kisah ini dan hingga mereka sudah dewasa dan ada yang menikah, sekali-sekali ingin saya mengisahkannya kembali. Saya menuliskannya untuk turut membantu membentuk karakter anak melalui cerita.  

Alkisah, dahulu kala hiduplah sepasang suami istri dan anak semata wayang mereka bernama Sarioto. Mereka hidup di sebuah desa yang jauh di pedalaman.

Sebagai pendatang ke desa itu, mereka tidak memiliki sebidang tanahpun. Meski keluarga itu miskin, awalnya kehidupan keluarga ini sangat harmonis.

Hingga suatu hari, ayah Sarioto terjatuh dari pohon enau dan meninggal di tempat. Sepeninggal ayahnya, kehidupan Sarioto bersama ibunya makin melarat. Terbatasnya makanan yang bisa disediakan ibunya membuat Sarioto tumbuh menjadi anak yang rakus.

Sarioto melanggar aturan ibunya yang membatasinya makan lauk: “hanya boleh memakan sepotong ikan”. Dia menghabiskan persediaan ikan seminggu, satu periuk tanah ikan dan ibunya menghukumnya: memukul kepala Sarioto hingga menjadi kera. 

Ibunya menjadi sebatang kara dalam dalam penyesalan.

Jangan melanggar aturan ibu dan orang tua tidak boleh memukul anak-anaknya sembarangan. Sebuah pesan yang tentunya masih relevan dengan kehidupan masa kini.

Miskin  Tapi Harmonis

Rumah Sarioto layaknya sebuah gubuk, terletak di bibir sebuah lembah sungai di pinggiran desa Sebuah pohon beringin yang lebat, seolah melindungi rumahnya dari panas matahari, dan membuat rumahnya lembab, karena tidak kena sinar matahari.

Banyak penduduk desa meletakkan sesajen di antara akar-akar pohon. Sesekali, Sarioto mencuri-curi makanan yang ditinggal pemuja pohon itu dan memakannya. Biasanya buah-buahan atau daging ayam yang lezat.  

Rumah itu  beratap ijuk, dengan dinding tepas dan berlantai tanah. Tidak ada batas ruang dapur, ruang tamu, atau ruang tidur. Rumah berukuran 4x5 meter persegi itu memiliki tataring (tungku memasak), para-para tempat menyimpan garam, ikan atau makanan lainnya, dan mengeringkan kayu api untuk memasak.

Sehari-hari, ayah Sarioto bekerja sebagai seorang partalun (penderes enau) dan ibunya adalah seorang pangomo (buruh tani).

Setiap hari, pagi-pagi sekali ayah Sarioto berangkat dari rumah menuju pargulaon  (gubuk tempat mengolah nira menjadi tuak atau gula merah), yang terletak di tengah hutan, sekitar 2 kilometer dari desa itu. 

Di gubuk itulah ayah Sarioto mengolah hasil sadapan nira menjadi tuak atau gula merah.Disanalah tempatnya beristirahat setelah selesai menyadap air nira dan mengolahnya menjadi tuak atau gula merah.

Setiap sore, ayahnya membawa beberapa botol tuak dan  dijual kepada pemilik kedai di kampungnya.Ayahnya juga turut menikmati tuak yang dijualnya sebagai mana sebagian besar laki-laki dewasa di desa itu.

Hasil masakan sebagian nira sadapannya dicetak berbentuk  gula merah (berbentuk segi empat), dan dijual ke pekan mingguan yang berjarak sekitar 7 kilometer dari desanya.

Sementara itu, ibunya bekerja memburuh di ladang orang.Penghasilan ibunya hanya sekitar satu atau dua kaleng beras dalam sebulan.Ibunya juga memungut sisa-sisa buah jagung, atau ubi yang tidak sempat dipanen pemilik ladang.

Hidup mereka boleh dikatakan hanya mampu mencukupi makan sehari-hari serta sandang seadanya.Meski mereka hidup sangat sederhana namun keluarga ini sangat harmonis.

Pulang dari ladang, wajah Sarioto diselimuti debu tanah hingga tampak seperti topeng.Itu sering menjadi tertawaan ayahnya di rumah.Lalu menyuruhnya mandi atau sekedar cuci muka.

Sarioto juga dihibur ibunya dengan menyanyikan lagu-lagu untuk Sarioto.“Besar tidak muat di rumah dan tambah tinggi sampai setinggi atap rumah”.

Sepulang bekerja, ayahnya sering bercerita tentang kisah-kisah yang menarik dan Sarioto dengan tekun mendengarkannya.Cerita ayahnya biasanya berhenti setelah Sarioto tertidur.

Sebuah Malapetaka

Hingga suatu ketika, keluarga ini ditimpa mala petaka.Sore itu, ayah Sarioto sendirian sedang berada di gubuknya menunggu redanya hujan deras yang turun sejak siang hari.

Setelah menunggu beberapa lama, ayahnya memutuskan untuk menyadap nira dari enaunya meski hujan masih rintik-rintik.

Seperti biasa dia mengangkat handi-handinya (tempat menampung air nira hasil sadapan dari pohon enau, terbuat dari bambu besar sepanjang lebih kurang  1 meter), digunakan sebagai tempat tuak hasil sadapan dari pohon enau) dan bergerak menuju pohon enau yang akan disadapnya. Pohon itu  hanya berjarak beberapa puluh  meter dari gubuk itu.

Jalan yang dilaluinya berlumpur dan licin, bahkan dia hampir saja jatuh karena kakinya terpeleset. Untungnya dia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.

Dia memandang pohon enau dan  tangga bambu yang menjulang puluhan meter ke atas. Tangga itu dibuatnya sendiri. Pada setiap ruas bamboo, dia membuat lobang segi empat untuk tempat kakinya bertumpu. Tangga itu diikatkan ke pohon enau agar kokoh.

Ayah Sarioto bersiap-siap memanjat. Dia mengeratkan ikat pinggangnya dan merapikan handi-handinya. Karena diguyur hujan, badannya kedinginan, tubuhnya menggigil. Tetapi dia tetap bersemangat. alu, dia menancapkan kakinya di tangga pertama.

Kakinya menyentuh tangga kedua dan tanggannya hampir lepas pegangan. Dia semakin hati-hati melangkah.

“Aduh.Licin sekali,”keluhnya dalam hati.

Meski tangganya licin karena digury hujan, dia berhasil memanjat hingga ke puncak, tempat cabang enau yang menghasilkan nira.

Resiko apapun yang menimpanya, ayah Sarioto harus mencapai puncak untuk mengambil air nira yang sudah berada di dalam handi-handi. Kalau tidak, maka nira akan rusak dan dia tidak bisa menghasilkan uang untuk membeli makanan keluarganya.

Di puncak, hati ayah Sarioto dliputi rasa senang karena hasil air niranya penuh, bahkan  sebagian sudah tumpah dari handi-handinya. Dia memindahkan handi-handi yang sudah meluap itu ke cabang lain dan mengikatnya di gantungan. Lantas, dia  mengganti handi-handi kosong yang diusungnya dari bawah dan menggantungkannya dekat aliran air nira.

Meski di tengah hujan rintik-rintik, dia harus memukul-mukul batang di sekitar cabang yang menghasilkan nira dengan sepotong kayu. Beberapa kali selama beberapa menit, sebagai syarat agar air nira tetap mengalir.

Konon, dengan memukul-mukul batang dan cabang yang menghasilkan air nira, maka air nira yang dihasilkan makin banyak dan bagus kualitasnya.Itulah menurut keyakinan dan pengetahuan mereka di desa itu.

Bunyi pukulan kayu dengan batang enau itu memecah kesunyian di sekeliling hutan, dan terdengar hingga ke desanya. Orang-orang desa yang mandi di pancuran atau sedang beristirahat di perbukitan kampung mendengarnya, termasuk ibu Sarioto dan Sarioto sendiri. (Bersambung ke bagian 2)

*)Penulis Biografi, Tinggal di Medan

(Artikel ini adalah asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel ini untuk dijadikan buku. Sedang dalam proses menuju sebuah buku kecil, cerita rakyat. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya melalui email: girsangjannerson@gmail.com. Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut. Saya menyimpan di blog ini untuk menghindari virus di komputer dan kerusakan file. Silakan menikmatinya dan membeli bukunya kalau sudah terbit).