My 500 Words

Senin, 16 Desember 2013

Beban Orang Tua Makin Berat Kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (Dimuat di Harian Analisa, 14 Desember 2013)

Oleh: Jannerson Girsang. 

Memutar memori pengalaman membiayai kuliah anak-anak di Perguruan Tinggi Negeri sejak 2003, ternyata dari tahun ke tahun, beban orang tua makin berat. Perubahan demi perubahan kebijakan saringan masuk perguruan tinggi di negeri ini, membuat orang tua hanya menikmati rasa gembira diterima di PTN hanya berlangsung sesaat.

Pengalaman kami menyekolahkan tiga mahasiswa di PTN ini mungkin berguna bagi orang tua lain serta bahan bagi pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakan pendidikan sejak sepuluh tahun terakhir ini.

Tiga Anak, Tiga Perlakuan

Saya memiliki empat orang anak. Tiga diantaranya menjalani pendidikan dan sudah lulus dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ”terbaik” di Indonesia yang berlokasi di Depok. 

Perkembangan sejak 2003, saat anak pertama saya masuk di Universitas Indonesia ternyata hingga anak saya yang ketiga, pertambahan beban itu cukup signifikan. Saat anak pertama saya masuk, saya hanya membayar uang kuliah, sebesar Rp 1.250.000, serta membayar uang asrama Rp 100 ribu per bulan. Tidak ada yang namannya uang ”pembangunan” atau ”sumbangan”.

Tapi saya merasa aneh, karena anak teman saya di USU dengan jurusan yang sama, uang kuliahnya lebih rendah. Apa bedanya ya USU dengan UI, tokh sama-sama PTN. Tiap PTN memiliki kebijakan yang berbeda soal uang kuliah. 

Tiga tahun kemudian (2006), putri kedua saya lolos ujian masuk di UI di kelompok sosial. Sama dengan anak saya yang pertama. Kita senang dan memperhitungkan belanja yang relatif sama dengan anak pertama.

Ternyata, setelah pengumuman keluar, selain membayar uang kuliah yang naik menjadi Rp 1.350.000 per semester (naik Rp 100 ribu), saya harus menanggung uang ”pembangunan”. sebesar Rp 9 juta. Meski akhirnya, dapat keringanan membayarnya dengan tiga kali cicilan.  

Artinya, hanya berselang tiga tahun dari anak pertama, saya harus menanggung beban yang naik hingga 800 persen. Logikanya, pemerintah seharusnya memberi keringanan kepada biaya anak kedua, tetapi justru sebaliknya, malah semakin besar. Logikanya, uang sudah terkuras membiayai anak pertama.

Jujur saja, karena kesulitan keuangan, putri saya kedua ini harus rela bekerja di tata usaha perpustakaan Indonesia untuk melepaskan sebagian beban berat itu. Kasihan benar dia!. (Untungnya, dia sudah lulus dan bekerja di Jakarta).

Pada 2008, lima tahun setelah anak saya pertama menginjak PTN, putra saya (anak kami yang ke tiga) masuk di Politeknik Negeri Jakarta. Lokasinya masih satu kompleks dengan Universitas Indonesia di Depok.

Saat pengumuman, banyak orang mengatakan saya beruntung. Tapi, jangan salah. Uang kuliah di Politeknik, hampir dua kali lipat besarnya dari yang kuliah di kelompok sosial di UI. Besarnya tidak mungkin dijangkau oleh orang tua yang bekerja hanya sebagai penulis, yang masih dihargai dengan pekerja ”upahan” di pabrik.

Di saat kemampuan ekonomi menurun, justru saya harus menanggung beban yang lebih berat. Saat itu saya harus menjual aset yang paling saya butuhkan. Mobil terjual. Demi ”Anakkon hi do hamoraon di ahu, anakku harta paling berharga”. Anak-anak harus memperoleh pendidikan agar masa depannya lebih cerah.   

Syukur ketiga-tiganya bisa lulus tepat waktu, meski dengan kehidupan yang pas-pasan. Belakangan, informasi yang saya peroleh dari teman-teman anak saya yang masuk sesudah mereka, ternyata terus meroket. Uang kuliah dan pembangunan terus merangkak naik. Semoga rekan-rekan orang tua berikutnya mampu membiayai anak-anaknya dengan beban yang makin meningkat itu. 

Anak Keempat Masuk Swasta

Pada 2011, anak saya keempat tidak lolos ke PTN. Tidak ada perasaan yang mengganjal meski dia tidak masuk PTN.”Masuk Perguruan Tinggi Swasta aja nak, karena di negeripun biayanya mahal,” demikian saya menghiburnya. Kebetulan, bulan Maret tahun itu anak saya sudah lulus pada sebuah perguruan tinggi swasta yang pengantar kuliahnya berbahasa Inggeris di Cikarang, Jakarta.

Ungkapan seperti ini mungkin belum pernah saya dengar dari orang tua saya, yang di masa saya mahasiswa. Mereka selalu berusaha agar anaknya masuk PTN, walau harus berkorban setahun menunggu UMPTN berikutnya.

Uang kuliahnya memang tiga kali lipat dari uang kuliah anak saya yang di Politeknik. Meski saya menjerit, masih bersyukur karena tidak perlu membayar uang pembangunan. Dengan membayar Rp 10 juta di semester pertama, ditambah uang asrama Rp 3 juta per 4 bulan (mahasiswa bebas mengambil kos di luar asrama setelah setahun kuliah). Dengan uang Rp 13 juta dia bisa kuliah.

Tapi saya hitung-hitung, masih rasional, ketimbang beberapa teman yang anaknya masuk ke PTN melalui jalur Mandiri. Uang kuliah dan uang pembangunannya cukup mencekik juga. Saya punya keluarga yang masuk melalui jalur Mandiri di program Diploma Universitas Indonesia pada tahun yang sama, membayar uang kuliah Rp 5 juta per semester dan uang pembangunannya di atas Rp 20 juta.   

Kebanggaan masuk PTN, jauh dari kebanggaan saya ketika masuk di IPB pada 1980. Saat itu tidak ada uang yang namanya uang pembangunan, bahkan uang kuliahpun relatif rendah. Ayah saya yang hanya guru SD tidak begitu sulit membiayai saya di perguruan tinggi, biayanya sangat murah, hanya Rp 12 ribu per semester. Padahal, honor saya saja sebagai asisten dosen mata kuliah Foto Udara ketika itu, Rp 18 ribu per semester. Saya masih beruntung Rp 6000 per semester. Dan, selama empat tahun saya kuliah, tidak pernah ada kenaikan uang kuliah.

Saya kira kisah di atas adalah sebuah ironi. Saat kita menjalani abad ke-21, abad informasi dan ilmu pengetahuan, ketika negeri ini sedang membutuhkan orang-orang terdidik, masyarakat semakin sulit membiayai anaknya kuliah di perguruan tinggi.

Ironisnya lagi, justru di tengah-tengah beban seperti ini, muncul pula berita para pejabat di Perguruan Tinggi Negeri diperiksa KPK karena dugaan korupsi. Lha, bagaimana kita percaya uang kuliah yang terus meningkat, bisa dinikmati mahasiswa? ***

Jumat, 22 November 2013

Maksud Baik, Harus Dikomunikasikan Baik

Oleh: Jannerson Girsang

Maksud baik yang tidak terkomunikasi dan dipahami dengan baik oleh dua pihak, maka hasilnya bisa membuat dua pihak kecewa. Tapi, meski kesalahan pahaman terjadi bisa diatasi bila masing-masing pihak memahami titik persoalan dan memaknai dengan positif.

Kemaren saya berjanji dengan teman, akan bertemu di depan Carfour. Kemudian saya ingin memperjelas Carfour yang mana?. Ketika saya ingin memperjelas, teman saya tidak mengangkat HPnya.

Lalu, saya menuju Carfour dekat Sekip. Saya ingin menolongnya, karena rumahnya dekat ke Carfour Sekip.  Teman saya memacu kenderaannya ke Carfour Padang Bulan (Di Kompleks Citra Garden). Dia juga berniat baik, karena Carfour Padang Bulan lebih dekat ke rumah saya di Simalingkar.

Setelah sama-sama tiba di tempat tujuan, saya meneleponnya. "Wah saya sudah di Carfour dekat Sekip,". Betapa kagetnya saya ketika dia mengatakan : "Saya sudah menunggu beberapa menit di Carfour Citra  Garden,"katanya.

Kalau ada yang merekam dalam kamera video, betapa lucunya,  ketika kami saling berpapasan di  satu titik antara Carfour Citra Garden dengan Carfour dekat Sekip. 


Win win Solution

Solusinya, teman saya akhirnya menemui saya di Carfour dekat Sekip, karena rumahnya tidak jauh dari sana. Sayapun tidak merasa keberatan karena pagi itu mau menuju kantor di Jalan Perintis Kemerdekaan.

Untungnya, kami tidak saling menyalahkan, tetapi mencari solusi sehingga kesalahan pahaman diterima dengan "senyum dan bahkan membuat kami tertawa, ketika bertemu"

Kami kehilangan waktu sekitar 20-30 menit. Jarak antara kedua lokasi itu mungkin sekitar 3-4 kilometer, dalam keadaan jam macet di pagi hari sekitar 06.30

Saya menyerahkan sebuah draft  sebuah buku untuk dibawa ke sebuah temapat yang akan berangkat pukul delapan pagi itu. Draft tidak terlambat dibawa, dan semua suka cita.

Maksud yang baik harus dikomunikasikan dengan baik dan benar, dipahami dengan benar. Komunikasi yang tidak baik, bisa membuat maksud baik tidak dinikmati kedua belah pihak.

Cukup banyak kasus yang lebih besar terjadi, masalahnya solusi dilakukan dengan ego masing-masing dan cenderung memenangkan pihak tertentu.

Rabu, 16 Oktober 2013

Tak Berbuat Apa-apa.

 
 
Kau seorang yang pandai membual
bahwa sesuatu yang hebat kan kau capai,
pada suatu saat nanti.

Tapi sebenarnya kau hanya mau pamer,
betapa luas pengetahuanmu,
betapa jauh jalan yang mau kau tempuh

Setahun sudah kita lewatkan,
Adakah gagasan baru keluar dari otakmu?
Dua belas bulan waktu telah kau genggam,
Adakah hal nyata yang telah kau lakukan?

Kuperiksa daftar orang berhasil; namamu tidak tercatat,
Jelaskan mengapa?
Bukan peluang yang tak kau punya!
Seperti biasa: Kau tidak berbuat apa-apa.

(Herbert Kauffman)
Dikopi dari : facebook Guru Etos Jansen Sinamo

Sabtu, 12 Oktober 2013

Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (4)


Sambungan dari Bagian 3
“Tadi malam juga saya susah tidur,”katanya berbohong.

Ibunya percaya saja kepada kisah bohong anaknya.Dia masih yakin anaknya tidak akan melanggar aturannya. “Tidak boleh makan ikan lebih dari satu potong”.

Selesai memasak,  ibunya menyiapkan makanan siang untuk  Sarioto.  Nasi, sayur dan sepotong ikan mujahir.

Pagi itu, mereka berdua tetap sarapan dengan ubi jalar yang direbus.Minumnya air putih yang dimasak sendiri oleh ibunya.

Ibu Sarioto berangkat menuju ladang tempatnya memburuh berjalan kaki selama setengah jam. 

Ia bekerja seharian untuk mempertahankan hidupnya dan anaknya semata wayang itu dan meninggalkan Sarioto sendirian di rumah.

Melanggar Aturan Ibu, Jadi Kera

Sepeninggal ibunya, Sarioto berpikir keras cara melaksanakan niat jahatnya melanggar aturan ibunya demi memenuhi nafsunya: makan sepuasnya ikan yang di dalam periuk tanah.

Dengan wajah lemas, dia mengamati piring berisi nasi, sayur dan ikan sepotong.Dia teringat ketika ayahnya masih hidup.

“Waktu ayahku hidup, saya pernah memakan daging hingga berhari-hari, kini ibu hanya mampu menyediakan sepotong ikan setiap kali makan,” keluhnya dalam hati.

Jam demi jam berlalu. Angin berhembus menerpa pohon beringin di atas rumahnya membuat hatinya bukannya tambah lembut melainkan makin gusar.Pikirannya hanya tertuju pada nafsunya melahap ikan simpanan ibunya.

Dia mondar mandir di rumah kecil itu, sesekali melihat tempat ikan dimana ibunya menyimpanya dengan rapi.Para-para itu cukup jauh dari jangkauannya.

Tengah hari menjelang waktu makan siang tiba, Sarioto  baru mendapatkan ilham bagaimana caranya mengambil periuk tanah yang berisi penuh  ikan mujahir itu.

Dia mencuri sebuah tangga bambu milik tetangganya.Tidak terlalu panjang, sehingga bisa memasukkannya dari pintu rumahnya dan tidak sampai menyentuh langit-langit yang kurang dari empat meter itu.

Syarat lainnya, tidak boleh ada orang lain yang tau. Sarioto menunggu hingga anak-anak tidak ada yang bermain di pekarangannya.

Saat anak-anak yang lain diam di rumahya makan siang, perlahan-lahan Sarioto menyeret tangga dan memasukkannya ke rumah. Dia berhasil meletakkan tangga ke salah satu kayu penahan para-para.Tangga sudah siap!

Kemudian Sarioto menaiki tangga hingga mencapai para-para dan mengambil periuk itu dengan susah payah. Maklum masih anak kecil.

Hampir saja dia terjatuh.Karena kakinya tiba-tiba menginjak penahan yang tangga sudah lapuk.

Setelah semua aman dia mengembalikan tangga tetangganya dengan cara mengendap endap.Setelah berhasil mengembalikan tangga, dia kembali ke rumah dengan senyum-senyum seperti orang gila.Tanggannya gemetar, jantungnya berdegup cepat.Sarioto bersiap-siap melanggar aturan ibunya.

Satu gangguan lagi, seekor kucing tiba-tiba masuk dan ingin mencicipi ikan itu, sesaat setelah Sarioto meletakkannya di lantai. Dia buru-buru mengusirnya dan menutup pintu rapat-rapat.

Kembali Sarioto ke tempat makanan siang yang disediakan ibunya. Dia mulai melahapnya. Sepotong ikan mujahir tidak cukup untuk menghabiskan nasi dan sayur dan membuka periuk tanah yang berisi ikan mujahir yang bagi Sarioto sangat lezat rasanya.

Saqrioto mengambil satu potong. Ternyata tidak cukup. Potongan yang kedua dilahap, nafsunya makin bertambah. Tiga sampai empat potong, ternyata membuat dirinya makin merasa ketagihan meski ada rasa takut dimarahi ibunya.

Hingga sore hari, Sarioto sendirian di rumah dan terus melahap ikan-ikan di dalam periuk itu, hingga kosong.

Bahkan sisa berupa kuahpun masih ingin dicicipinya. Hingga kepalanya dimasukkannya ke lobang periuk untuk menjilatinya hingga tidak bersisa lagi.

Saat kepalanya masih dalam periuk tanah, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu sambil memanggilnya.

“Sarioto…Sarioto….buka Nak. Ibu sudah pulang,”dengan teriakan  lemah ibunya menyapanya dari luar rumahdengan beban kayu api di kepalanya.

Dia kenal betul suara itu suara ibunya.Mendengar suara ibunya, Sarioto terkejut dan ketakutan.

Sarioto tidak tau berbuat apa-apa.Dia mencoba mengeluarkan kepalanya, tetapi tidak bisa.Dia hanya mampu memasukkan, tetapi tidak bisa mengeluarkan kepalanya.Dia menyerah.Hanya berdiam diri di tepi tungku di bawah para-para rumahnya.

“Sarioto…Sarioto…..buka pintunya Nak!. Ibu sudah capek,”kembali ibunya yang sudah lelah seharian bekerja di ladang memanggil Sarioto.

Sarioto kemudian membalas dari dalam dengan suara yang agak aneh.“Uuuuuuuum,”suara Sarioto dari dalam periuk tanah.

Ibunya memanggil Sarioto beberapa kali, tetapi balasan suara yang aneh itu membuat dirinya merasa ada sesuatu yang terjadi pada anak semata wayangnya itu.

Dia menurunkan beban kayu api dikepalanya, cangkul yang berada di pundaknya serta sayur mayur hasil petikannya dari ladang dan berada dalam gendongannya.

Tanpa pikir panjang ibunya mendobrak pintu.Alangkah terkejut ibu Sarioto melihat kepala anaknya dibungkus periuk tanah itu.

Lantas rasa geram dan marah yang memuncak menghinggapi perasaannya mengingat ikan yang disimpannya dengan rapi  untuk persiapan seminggu itu, ludes dimakan anaknya.

Ibunya kemudian lari ke samping tunggu. Melihat sendok nasi yang terbuat dari bambu dan memungutnya.Dia memegang ujungnya yang runcing dan memukul kepala anaknya dengan pangkal sendok yang tumpul itu.

Setelah memukul kepala anaknya yang terbungkus periuk tanah itu, ibunya Sarioto kaget  bukan main!. Kepala anaknya berubah jadi kepala kera.

Tapi bukan menghentikan aksinya, malah karena geramnya dia menusukkan ujung sendok yang tajam ke pantat anaknya.Anehnya, ujung sendok itupun berubah berubah menjadi ekor kera.

Sarioto yang telah menjadi kera itu meloncat melalui jendela rumahnya yang sempit ke luar rumah.

Ibunya tersadar dan mengejar Sarioto yang sudah jadi kera dan menyaksikannya memanjat dengan lincahnya diantara cabang pohon beringin di samping rumahya.

Sarioto terus memanjat hingga ke puncak pohon dan berpindah ke pohon yang lain, lantas menghilang.

Menyaksikan apa yang terjadi, ibu Sarioto menangis terisak-isak. Badannya terasa lemas,  kelelahan karena seharian bekerja di ladang. Lapar dan tak memiliki lauk untuk seminggu ke depan.
Dia sadarkan diri dan kemudian menyesali perbuatannya.

Ibu Sarioto tinggal sebatang kara. Dia ditinggal  suami dan anak semata wayangnya yang sudah menjadi kera.

Sejak itu, para anak di desa itu mematuhi perintah orang tua dan orang tua dilarang memukul kepala anaknya. (Habis)

(Artikel ini adalah asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel ini untuk dijadikan buku. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya melalui email: girsangjannerson@gmail.com. Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut). 

Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (3)

Sambungan dari bagian 2
 
Oleh: Jannerson Girsang

Suatu hari, pagi-pagi sekali, ibunya pergi ke tiga.Semasa ayahnya hidup, ibunya membawa gula aren.

Kini, ibunya hanya membawa hasil pungutan ubi atau sayur dari ladang tempatnya bekerja atau sedikit beras untuk ditukar dengan ikan atau kebutuhan pokok lainnya.

Sepulang dari tiga,ibunya membawa beberapa ekor ikan mujahir serta bumbu jeruk asam, cabe, kemiri, kunyit dan garam.Demikian juga buah-buahan.Pisang Ambon adalah makanan kesukaan Sarioto.

Air liur Sarioto meleleh membayangkan malam itu dia akan menikmati ikan mujahir yang enak luar biasa.

Sebelum memasak, ibunya memberinya beberapa buah pisang Ambon yang membuat pipinya seperti bengkak karena kepenuhan.

Biasanya Sarito tidak merasa cukup dari pemberian ibunya.Sambil mengunyah-ngunyah pisang yang satu sudah mau habis, dia merengek minta lagi, sampai ibunya marah.

Jangan Lebih Sepotong Ikan

Sore itu Sarioto dengan setia mendampingi ibunya yang baru pulang dari tiga mempersiapkan lauk untuk memasak ikan mujahir.

Dia memperhatikan ibunya memotong jeruk nipis.Sesekali dia disuruh ibunya mengambil air ke pancuran yang tidak jauh dari rumahnya.Pulangnya, ikannya belum masak.

Sarioto tidak sabar menunggu.Sekali-sekali dia meninggalkan ibunya dan bermain dengan teman-temannya di halaman rumahnya.

Capek bermain, dia kembali lagi ke rumah karena diciumnya bau masakan  yang mengundang air liurnya.

Sore itu dia memang sudah lapar, karena sejak siang tidak makan.Ditambah lagi, sejak sehari sebelum tiga, mereka hanya memakan nasi dan sayur rebus, tanpa ikan.  Pasalnya, ibunya hanya berbelanja sekali seminggu.Lauk ikan selama seminggu dimasak hanya satu kali di dalam periuk tanah.Itulah lauk mereka hingga tiga berikutnya

Setelah lelah bermain di luar, Sarioto kembali masuk ke rumah.

“Sudah masak ikannya Bu?,”ujarnya, sambil menyeka keringatnya.

“Sebentar lagi Nak, main dulu dengan teman-temanmu, nanti Ibu panggil kalau sudah masak,” bujuk ibunya dengan sabar anak semata wayangnya itu. Ibunya merasa kasihan melihat anaknya yang sudah kelaparan, namun apa boleh  buat, bahan bakar kayu api tidak bisa memasak dengan cepat.

Setelah bermain beberapa lama, Sarioto dipanggil ibunya.

“Sarioto….Sarioto…..!. Mari Nak ikannya sudah masak.Mari makan……,” terdengar suara ibunya memanggil dari dalam rumah.

“Jalotup, aku permisi dulu ya.Kami mau makan,”pintanya kepada teman-temannya dan pamit meninggalkan mereka sedang margala. (main petak umpat yang diberi garis segi empat sebanyak empat petak)

Mendengar panggilan ibunya, Sarioto langsung memikirkan lezatnya makanan dan tanpa pikir panjang langsung meninggalkan teman-temannya. Permainanpun  bubar.

“Uuuu…h,”gerutu teman-temannya yang ingin terus bermain dengan Sarito.Merekapun bubar karena satu anggotanya sudah pergi.

Sarioto berlari cepat menuju rumahnya, tanpa menghiraukan ocehan teman-temannya. Hampir saja dia menabrak pintu karena cepatnya berlari. Dari depan pintu dia sudah mencium bau sambal dari dapur rumahnya. Dibukanya pintu rumah yang sudah hampir rubuh itu, lalu masuk dan disambut ibunya dengan hangat.

”Mari Nak, ibu sudah siapkan makan malam,”ujar ibunya, sambil menuangkan kuah ikan mujahir ke piringnya. 

Meski dibawah sinar lampu teplok berbahan bakar minyak tanah, mata Sarioto begitu tajam memilih daging ikan, tanpa kena durinya. Pertunya yang sudah lapar segera dipenuhi oleh makanan lezat di depannya.

Sayangnya, seenak apapun ikan yang dimasak ibunya, Sarioto hanya boleh memakan sepotong saja. Aturan keras dari ibunya, karena ibunya hanya mampu menyediakan sepotong ikan bagi anak dan dirinya setiap kali makan.

Tetapi malam itu, Sarioto tidak mau turut aturan.“Bu, aku tidak cukup satu potong ikan malamini.Dua potong ya Bu,”ujarnya.

Dengan berat hati, ibunya meluluskan permohonan anaknya.

“Ya, boleh.TapI hanya malam ini.Besok harus sepotong sekali makan,”perintah ibunya.

Malam itu, Sarioto makan dengan  lahapnya. Tiga piring nasi dan dua potong ikan mujahir yang cukup besar.Mulutnya penuh dan sebelah pipinya terlihat bengkak.

Tapi, setelah selesai makan dan dua potong ikan sudah habis, Sarioto masih meminta tambah.

Kali ini Sarioto harus mengigit jari.Ibunya melarangnya sambil marah.Dia tidak diizinkan lagi memakan ikan tambahan.

“Ini ikan kita seminggu Nak. Kalau dimakan lebih dari satu potong, ikan kita tidak cukup,”ujar ibunya geram, karena dengan memberinya dua potong malam itu, berarti malam sebelum tiga berikutnya dia akan makan tanpa ikan lagi.

Ibunya kemudian menyimpan semua ikan yang dimasaknya dalam periuk tanah dan menyimpannya di atas para-para.

Tamak: Awal Menipu

Malam itu Sarioto tidur gelisah.  Dia memikirkan enaknya ikan mujahir yang disimpan ibunya di dalam  periuk tanah. Sementara ibunya hanya mengizinkannya satu potong setiap kali makan.Matanya tidak bisa terpejam walau tengah malam sudah menjelang.

“Ah…bagaimana caranya agar saya bisa makan ikan-ikan itu?,” pikirnya, sambil melirik ibunya yang sudah mulai lelap disertai dengkuran yang memecah kesunyian di rumah itu.

Keinginan Sarioto untuk melahap ikan yang tersisa untuk persiapan seminggu itu diurungkannya untuk sementara.Diapun tertidur di atas tikar beralas tanah di samping ibunya.

Pagi-pagi sekali Sarioto sudah bangun. Tidak seperti biasanya, dia membangunkan ibunya waktunya tiba untuk memasak makanan mereka hari itu.

“Bu…Bu. Bangun Bu…masak!,”katanya sambil menggoyang-goyang tubuh ibunya.

Ibunya terbangun dan heran biasanya dia yang membangunkan anaknya, justru sebaliknya. Tetapi dia senang karena anaknya memberi perhatian padanya.

“Kamu makin besar anakku, makin pintar,”ujarnya sambil mencubit pipi Sarioto. Sarioto tersipu dan menunduk malu. Dia sebenarnya berpura-pura baik. Padahal dalam hatinya tersimpan sebuah rencana jahat.

Ibunya tidak mengetahui niat jahat anaknya.Saat itu Sarioto sedang mencari alasan tidak ikut ibunya ke ladang.Sarioto sudah mengatur alasannya semalaman.

“Bu, saya hari ini tidak ikut ke ladang ya.Badan saya tidak enak, karena kena hujan semalam,”katanya.

Sarioto juga menceritakan mengapa dia tidak bisa tidur malam sebelumnya.