Oleh: Jannerson Girsang
Pagi ini, sebelum berangkat kerja, setelah seminggu menjalani kehidupan: mendampingi istri yang sakit, menyelesaikan persiapan keluarga menghadapi pernikahan seorang putri adik kami, menyelesaikan pekerjaan, ulang tahun putri kedua saya hari ini, saya teringat nasehat ibu saya.
Saya teringat sebuah peristiwa. Dulu, suatu hari di bulan September 1978, ketika saya berangkat belajar ke pulau Jawa orang tua saya mengatakan:
"Sekolahlah nak supaya kamu bisa menempatkan dirimu di lingkunganmu nantinya. Jangan lupa ke gereja. Langsung daftarkan dirimu di gereja terdekat. Jumpai famili-famili, supaya kalau ada kesusahanmu bisa kamu minta tolong. Jagalah anak-anak mereka kalau waktumu senggang"
Orang tua saya seorang guru SD--walau mungkin dia tidak mampu merumuskan nasehatnya dengan baik, intinya beliau menyuruh saya sekolah tidak hanya mengumpulkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi orang yang bijaksana.
Di sekolah kita belajar memahami gejala alam, sosial, ekonomi dll dan kaitannya dengan kehidupan pada bidang yang dipelajari, sehingga memudahkan kita untuk memecahkan persoalan yang dihadapi di bidangnya masing-masing.
Kita pintar menjelaskaan sebuah gejala alam, sosial dan memindahkannya ke kertas ujian. Hasilnya nilai di sekolah adalah nilai dari guru: 9 untuk sejarah, 9 bahasa Inggeris dan demikian juga untuk pelajaran yang lain.
Guru ketika itu juga menilai disiplin, kerajinan, dan budi pekerti yang diranking dengan: sangat baik, baik dan buruk. Misalnya melawan guru, memukul teman, tidak hadir atau terlambat di sekolah akan mendapat nilai buruk
Sejalan dengan proses belajar, kita berinteraksi dengan kehidupan nyata. Pulang sekolah tinggal di rumah kos, bergaul dengan teman-teman, masyarakat sekitar. Kita mengumpulkan nilai juga, yaitu kebijaksanaan.
Anak-anak, keluarga kita, masyarakat tidak peduli kita pintar atau bodoh di sekolah. Mereka taunya adalah kita berkontribusi kepada mereka baik secara material maupun immaterial.
Kehadiran kita di keluarga, masyarakat adalah sharing pengalaman hidup yang membuat orang lain merasa hidup--memanusiakan manusia, tidak hanya sharing pengetahuan.
Makanya jangan heran kalau kuping kita panas mendengar kata-kata: "percumanya dia sarjana, percumanya dia master, percumanya dia doktor, percumanya dia professor".
Kita dinilai masyarakat dari kebiasaan kita yang bermanfaat bagi mereka, apa yang kita lakukan berguna bagi mereka, pemikiran atau tindakan kita memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Bukan "aksi sesaat" yang sering mengelabui mereka, yang kemudian mengecewakan mereka.
Keluarga, masyarakat mengharapkan kita tidak hanya pintar, tapi "bijaksana", mempraktekkan ilmunya dalam kehidupan, membuat lingkungan lebih baik. Kita dituntut sebagai mahluk sosial yang peduli kepada sekitarnya.
Kita berjuang dalam kehidupan untuk mengumpul kebijaksanaan, belajar seumur hidup mengumpulkan prestasi-prestasi yang bijak, menjadikan sesuatu berguna bagi diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat sekitar.
Orang yang hanya mengejar dirinya pintar memindahkan ilmu pengetahuan ke kertas ujian--sarjana kertas, atau dalam kehidupan memikirkan dirinya sendiri, sering mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan.
Banyak sarjana dengan IPK 3,6 tidak bisa mencari pacar, susah bergaul, susah mendapat pekerjaan. Menjadi beban, bahkan tidak mampu menyelesaikan persoalannya sendiri.
Mari terus belajar kehidupan di tengah-tengah lingkungan masyarakat kita, sehingga kepintaran itu berguna bagi orang banyak, tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan , tetapi juga bijaksana.
Who will cry when you die, itulah ukuran kebijaksanaan seseorang. Jutaan orang menangis ketika Mahatma Gandhi, Mother Theresia meninggal dunia.
Selamat Pagi, selamat beraktivitas!. Selamat Ulang Tahun buat Putriku: Patricia Marcelina Girsang. Semoga menjadi istri yang bijaksana.
Buat tulangku yang bijaksana: Markus Sinaga, Kuntas Sijabat
Medan, 23 Maret 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar