My 500 Words

Minggu, 22 Maret 2015

Merindukan Jurnalis Penyuara Kebenaran (Rubrik Opini Analisa, Selasa, 17 Maret 2015)

Oleh: Jannerson Girsang.

Peran jurnalis sungguh sangat besar dalam menegakkan kebenaran, seba­gai salah satu dari empat pilar demo­krasi. Me­reka adalah pe­nyuara kebe­naran, pembela orang-orang lemah, sehingga masyarakat lemah terlindu­ngi, merasa aman dan tercerdaskan.

Jurnalis adalah orang yang istimewa. Mereka memiliki informasi yang tak dimiliki kebanyakan manusia biasa; memiliki akses ke segala lapisan ma­syarakat dan segala tingkatan sumber informasi, mulai dari informasi umum, hingga informasi yang off the record.

Pagi-pagi mereka bisa mewawan­carai seorang tukang becak, malamnya diundang makan malam di hotel ber­bintang dan bertemu dengan seorang Panglima berpangkat Jenderal. Besok­nya, bertemu dengan tamu negara, Kepala Badan Intelijen negara asing. Malam besoknya, mendengar curhat se­orang mantan pejabat tinggi, yang sakit hati kepada pemerintah yang berkuasa.Jurnalis memiliki cerita di balik berita yang sangat berharga dalam menegakkan kebenaran.

Jurnalis adalah Orang-orang Terhor­mat

“I became a journalist because I did not want to rely on newspapers for information” kata Christopher Eric Hitchens (13 April 1949 – 15 December 2011), seorang penulis, jurnalis Inggeris-Amerika.Seseorang disebut jurnalis karena dia tidak hanya mempercayai apa yang tertulis di media, informasi umum yang diketahui masyarakat luas. Dia memili­ki informasi baru yang berbeda.

Mereka adalah pemberita fakta yang benar, mampu menceritakan sesuatu yang belum pernah di dengar publik, dengan cerdas: mencerahkan dan menghibur.Selain itu, jurnalis mengetahui hidden agenda (agenda tersembunyi) dari pesan yang disampaikannya. Dia mengetahui "Berita di balik Berita".

Salah satu kehebatan jurnalis adalah mampu membedakan mana yang pan­tas dan tidak pantas diberitakan. Mereka punya kode etik. Jurnalis Indoensia memiliki kode etik jurnalis yang harus dipatuhi setiap jurnalis. Kalau melang­gar, mereka akan dihu­kum pemba­ca.

John Pilger mengatakan: “It is not enough for journalists to see themselves as mere messengers without under­standing the hidden agendas of the message and the myths that surround it.”

Para jurnalis adalah orang-orang terhormat, orang yang sangat dihargai, sangat istimewa. Cerita mereka tak ternilai harganya.

Saking kagumnya kepada jurnalis, Mahatma Gandhi, seorang pencinta persamaan hak dari India membedakan jurnalis dengan masyarakat lainnya. “I believe in equality for everyone, except reporters and photographers,” katanya.

Membekali Diri Pengalaman Jurnalis Cerdas dan Pemberani

Di era 1990-an, ketika kami diper­siap­kan menjadi jurnalis sebuah maja­lah, dalam pembekalan jurnalistik sela­lu muncul dua nama teladan jurnalis cer­das dan berani yakni Bernstein dan Bob Woodward. Dari Indonesia biasa­nya dimunculkan nama Mochtar Lubis.Kisah mereka sunggung menggugah dan memberi semangat besar dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik. Mereka adalah jurnalis penyuara kebenaran.

Bernstein dan Woodward misalnya. Di usia muda, mereka berhasil mem­bong­kar kasus Watergate. sKasus Watergate—melibatkan Presiden Nixon, merupakan skandal politik besar yang terjadi di Amerika Serikat pada 1970-an.Skandal itu mencuat di Kantor Pusat Komite Partai Demokrat di Washing­ton, D.C pada 17 Juni 1972, berkat peran kedua jurnalis muda itu. Skandal ini akhirnya memaksa Presiden Nixon mengundurkan diri pada 9 Agustus 1974—satu-satunya peristiwa pengun­duran diri seorang Presiden AS hingga saat itu.

Di tengah usaha Presiden Nixon mencoba menutupi keterlibatannya, kedua jurnalis ini dengan gigihnya menyuarakan kebenaran yang mereka miliki, meski menantang bahaya.Saat kasus itu terjadi keduanya masih berusia muda. Carl Bernstein, pris kelahiran 14 Pebruari 1944 (saat membuka kasus itu berusia 27 tahun), dan Robert Upshur “Bob” Woodward kelahiran 26 Maret 1943 (saat itu berusia 28 tahun).Melalui media tempat mereka bekerja The Washington Post, kedua­nya memberitakan hal-hal terpenting dalam Skandal Watergate.

Skandal itu menghasilkan dakwaan, pengadilan, dan penahanan empat puluh tiga orang, dan puluhan di anta­ranya adalah pejabat administrasi Nixon. Penggantinya Gerald Ford, kemudian mengeluarkan pengam­punan kepada Nixon.

Atas perannya mengungkap Skandal itu, Bernstein menerima banyak penghargaan, dan pekerjaannya mem­buat The Washington Post memperoleh penghargaan Pulitzer untuk Public Service, 1973. Bernstein sendiri adalah seorang jurnalis investigasi Amerika dan penulis nonfiksi. Dia bekerja di The Washington Post sejak 1971 sebagai reporter, dan sekarang adalah associate editor harian itu.

Keduanya mampu membuat sejarah jurnalistik yang menginspirasi banyak jurnalis dunia. Jika jurnalis mau dan memiliki dedikasi yang tinggi untuk menegakkan kebenaran, maka sehebat apapun penguasa yang tidak benar pasti akan jatuh! Masyarakat luas merindukan jurna­lis-jurnalis pembela kebenaran, pem­bela orang-orang lemah.

Indonesia juga memiliki jurnalis-jurnalis cerdas dan berani mengungkap kebenaran. Dalam pelatihan jurnalistik yang saya ikuti, biasanya disebut-sebut nama Mochtar Lubis, jurnalis pembe­rani Indonesia yang membongkar kasus Pertamina di era 1970an, hampir bersa­maan waktunya dengan kasus Water­gate di Amerika.

Meski tidak sekaliber kasus besar yang diungkap kedua jurnalis Amerika itu, Mochtar Lubis, adalah salah satu icon jurnalis cerdas dan pemberani dari Indonesia. Mochtar Lubis melalui harian yang dipimpinnya Indonesia Raya berhasil membongkar kasus Pertamina yang melibatkan Ibnu Sotowo.Kisah Mochtar Lubis selalu menjadi cerita yang awet dan menginspirasi setiap jurnalis.

Kisah kecerda­san dan keberaniannya “tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan”. Harian Merdeka misalnya, dalam penerbitannya 21 Oktober 2013, menulis topik tentang kisah Mochtar Lubis.“Mochtar Lubis lewat Harian Indo­nesia Raya berusaha menguliti dan mem­bongkar kasus korupsi di Perta­mina yang dilakukan Ibnu Sutowo. Dua koper bukti dugaan korupsi di perusa­haan milik negara itu disodorkan, tapi toh Ibnu Sutowo tetap melenggang kang­kung dan menikmati hasil korupsi­nya,” ungkap Harian Merdeka, 21 Oktober 2013.

Muchtar Lubis di tengah-tengah penegak hukum yang enggan menyeret Ibnu Sotowo dalam kasus Pertamina, dengan berani memberitakan pelangga­ran yang dilakukan mantan Direktur Pertamina itu."Tidak ada penegak hukum yang saat itu memeriksa atau memang­gil dia atas berita korupsi yang kami beritakan. Tidak ada, dia seperti kebal hukum," ujar mantan Redaktur Pelak­sana Harian Indonesia Raya, Atma­kusumah, seperti dikutip redaksi merdeka.com.

Mendengar bang Bahrul Alam (Mantan Redaktur Pelaksana Majalah Perospek, dan terakhir Koordinator Liputan Seputar Indonesia, RCTI) mengisahkan dua nama jurnalis Amerika itu, serta nama Mochtar Lubis, seketika muncul semangat baru: jurnalis harus cerdas dan berani. Kita merasa kecil, tidak ada apa-apanya, dan harus belajar banyak dari pengalaman mereka! Mudah-mudahan jurnalis kita pernah mendengar kisah itu, sehingga mereka memiliki sema­ngat yang membara dalam menegakkan kebenaran.

Penutup

Kita berharap, jurnalis Indonesia adalah orang-orang cerdas dan pembe­rani, menguasai dan mampu memahami persoalan di tengah-tengah masyarakat, UU No 44/199 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.Mereka adalah orang-orang terhor­mat,. Di saat pejabat takut menegakkan kebenaran, dan cenderung menyem­bunyi­kan kasus seperti Presiden Nixon, jurnalis adalah benteng terakhir rakyat.

***Penulis adalah mantan wartawan majalah Ekonomi Prospek, kini penulis biografi. Tinggal di Medan. Email: girsangjannerson@gmail.com. Blog: http://www.harangan-sitora.blogspot.com

Tidak ada komentar: