My 500 Words

Jumat, 05 April 2013

In Memoriam 7 Tahun Meninggalnya Pdt Prof Dr Sutan Hutagalung (2006-2013): Verba Volan Scripta Manen! (Analisa Cetak, 6 April 2013 Hal 25)



Sutan Hutagalung

Oleh: Jannerson Girsang.

 Ungkapan Romawi, verba volan srcipta manen (yang terucap lenyap dan yang tertulis tetap) penting menjadi kesadaran bagi setiap insan di tengah masyarakat kita yang tengah menghadapi berbagai krisis kehidupan. Kita perlu menuliskan kearifan masa lalu, menjadikan pelajaran berharga atas setiap kearifan dalam menghadapi permasalahan dan mewariskannya dalam bentuk tertulis kepada generasi berikut. 

**

Sabtu 23 Maret 2013 saya menuju ruang pertemuan di HoteI Polonia Medan. Ruangan itu sudah dipenuhi sekitar 100-an undangan. Sebuah perhelatan sederhana: Peluncuran Buku Pemikiran Prof Dr Sutan Hutagalung, dalam rangka peringatan tujuh tahun sang tokoh. Acara diawali dengan kebaktian yang dipimpin Pendeta O Siahaan, kemudian dilanjutkan dengan bedah buku. 

Saya menyaksikan beberapa tokoh gereja, diantaranya, Dr JR Hutauruk (mantan Ephorus HKBP dan banyak menulis sejarah gereja), Patut Sipahutar MTh, Bishop GKPI, Pdt Oloan Pasaribu MTh, Sekjen GKPI. Satu meja dengan penulis, akademisi dari sekolah teologia dosen Institut Teologia Abdi Sabda (ITAS), Dr Jontor Situmorang MTh (Rektor ITAS Medan), Dr Jan Jahaman Damanik MTh dosen ITAS dan penulis masalah-masalah teologia dan kemasyarakatan.

Tampak juga diantara para undangan antara lain, penulis masalah-masalah gereja dan sosial Pendeta Estomihi Hutagalung dari Gereja Methodist Indonesia (GMI), Rainy MP Hutabarat (penulis bahasa dan cerpenis di harian Kompas), para para wartawan daerah ini. 

**

Semua hanya satu fokus. Ingin mengetahui pemikiran-pemikiran muncul dari pengalaman dan cara benar menghadapi tantangan lingkungan sekelilingnya. Kali ini adalah pemikiran-pemikiran seorang tokoh gereja penting di masa lalu, Prof Dr Sutan Hutagalung. 

Prof Dr Sutan Hutagalung, yang lahir di Sosor Topi Aek, Hutagalung, Tapanuli Utara, 20 Agustus 1921. Dari kehidupan anak yang besar di desa kecil di Tapanuli Utara, mendapat pendidikan di atas rata-rata pria seusianya. 

Menjalani pendidikan mulai dari Holland Inlandsche School (setingkat SD) di Sigompulon, Tapanuli Utara (lulus 1929), kemudian MULO, setingkat SMP di Tarutung dan Pematangsiantar, lantas melanjut ke AMS (2 tahun). Sempat menjadi Kepala Bagian Keamanan penjara Sragen, Jawa Tengah, dan ikut berjuang melawan penjajah di daerah pegunungan Kapur Selatan. Hingga kemudian terpanggil memasuki sekolah teologia. 

“Mukzijat terjadi ketika pada 1949 Sutan mendapat bea siswa untuk melanjutkan kuliah di STT Jakarta. Usianya ketika itu sudah 28 tahun,” demikian dituliskan dalam buku Dari Judas ke Tugu dan ke Kemiskinan. 

Setelah menyelesaikan kuliahnya di STT Jakarta (1953), Sutan diterima menjadi penerima beasiswa untuk program Master Teology (MTh) dan Doctor of Philosophy (Ph.D) di Fakultas Teologia, Yale University, Amerika Serikat. Yale University adalah juga tempat kuliah Dr William Liddle, yang dikenal luas sebagai pengamat politik Indonesia. William Liddle bersahabat dekat dengan Sutan dan berkenan menuliskan kesannya dalam buku Otobiografinya: “Hanya Oleh Karena Belas KasihanNya (2005)”. 

Sutan lulus doktor teologia dengan desertasi berjudul “Masalah Kebebasan Beragama di Indonesia 1800-1958”. Suami Juliana Tumiar br Hutabarat ini adalah doktor teologia kedua di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), menyusul Dr Andar Lumbantobing yang lulus dari Jerman pada 1957. 

Setelah menyelesaikan kuliahnya di Amerika, Sutan kembali ke Indonesia dan melayani di gereja HKBP. Sempat menjadi Dekan Fakultas Keguruan dan ilmu Pengetahuan, Nommensen Pematangsiantar. 

Hingga sebuah konflik besar, terjadi Pasca Synode Gereja terbesar di Asia Tenggara itu. “Desakan dari warga jemaat untuk memisahkan diri dari HKBP mendorong Sutan bersama rekannya Dr Andar Lumbantobing untuk mendirikan Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), 30 Agustus 1964,” ungkap buku Dari Judas ke Tugu dank e Kemiskinan.

Selama periode 1966-1977 dan 1983-1988 Sutan menjadi Sekretaris Jenderal GKPI. Sutan juga pernah menjadi guru besar tamu di Lutheran School of Theology, Chicago dan Wittenberg University, kemudian di Lembaga Riset LWF Strassbourg, Prancis (1977-1982). Selain aktif di gereja, Sutan juga aktif di lingkungan pemerintahan dan politik, antara lain sebagai anggota DPR-GR Kota Pematangsiantar. 

Prof Dr Sutan Hutagalung meninggal di rumah sakit Elizabeth Medan, 5 Maret 2006 dalam usia 85 tahun.

**
Sepanjang perjalanan itu, Sutan rajin mencatat, menuliskannya dalam artikel berupa bahan-bahan khotbah maupun pemikirannya merespon peristiwa atau kondisi sekelilingnya. Paper-paper itu disimpan dan semasa hidupnya sering diungkapkan agar dibukukan, tapi syukur masih dapat diwujudkan. Tidak banyak pemimpin gereja yang memiliki keinginan untuk mendokumentasikan pemikiran dan pengalamannya dalam bentuk tertulis.

Potongan-potongan paper itulah kemudian dikumpulkan oleh para editor dan mendokumentasikannya ke dalam dua buku. “Saya mendapat setumpuk besar bahan-bahan dan dari sanalah kami menyusun kedua buku itu,”ujar Jansen Sinamo, dari penerbit Institut Darma Mahardika. Penyuntingnya memang bukan orang sembarangan. Jansen Sinamo, Guru Ethos Indonesia. Jansen Sinamo dibantu beberapa editor diantaranya Salomo Simanungkalit (editor bahasa Harian Kompas, Rainy Hutabarat (cerpenis dan penulis bahasa Kompas) dan Hasudungan P Sirait, seorang guru para penulis dan pelatih wartawan kondang. 

Mereka mengolah tumpukan-tumpukan artikel itu hingga membuahkan empat tema yang dirangkai dalam dua buku: Pemberian adalah Panggilan dan Dari Judas ke Tugu Kemiskinan.
Buku Pemberian adalah Panggilan berisi tema pertama dengan tajuk Pemberian adalah Panggilan (kumpulan khotbah dan ceramah), tema kedua dengan tajuk Maka Lahirlah GKPI (artikel-artikel yang mengisahkan lahirnya GKPI). 

Sedangkan buku Dari Judas ke Tugu Kemiskinan berisi tema ketiga, yakni kekristenan (diwakili oleh Judas), serta sosial kemasyarakatan (diwakili oleh kemiskinan) dan tema keempat “Stop…Pikirkan Dulu”. Stop…Pikir Dulu adalah nama rubrik di Harian Sinar harapan yang kerap memuat tulisan Sutan di era 1967-1969. 

Sentuhan para penulis-penulis besar memberikan makna dan keunggulan tersendiri bagi kedua buku itu. Mulai dari pembabakannya dan juga sentuhan bahasanya yang renyah dan semakin mudah dibaca berbagai kalangan. Terasa berbeda dalam kualitas penulisan, ketika para penulis besar memberi perhatian menuliskan kearifan dari tokoh-tokoh daerah ini. Sumut punya banyak tokoh yang membanggakan dan menginspirasi. Sayangnya belum banyak yang ditulis dan dikomunikasikan dalam bentuk buku. 

**

Kedua buku ini setidaknya telah memberi peluang bagi masyarakat luas untuk mempelajari kembali pemikiran-pemikiran yang pernah muncul dari seorang yang memiliki liku-liku panjang perjalanan hidupnya, berbagai tantangan dan cara menghadapi tantangan. 

“Kumpulan tulisan yang mencakup kurun waktu yang panjang membantu para pendeta, pelayan gerejawi, aktivis dan warga jemaat memperoleh masukan-masukan teologis yang jernih, tajam dan proporsional” kata Dr Enar M Sitompul. 

Salah seorang pembicara dalam bedah buku itu, Pdt Dr JR Hutauruk mengatakan, semasa hidupnya Sutan Hutagalung menempatkan dirinya sebagai pendeta, pemikir dan praktisi. Dia memiliki metoda khotbah yang khas, dan khotbah dan ceramah-ceramahnya memiliki alamat tertentu dengan ulasan teologis, etis dan politik yang tajam, serta menggunakan kiasan-kiasan dalam khotbah-khotbahnya. Dia memaparkan data apa adanya, memberikan usul yang mencerahkan, mencari kebenaran dan keadilan Tuhan 

Dia punya gaya bahasa tubuh yang khas pula. “Matanya itu lho,” ujar Raplan Hutauruk, dan melanjutkan, “Kalau mengucapkan sesuatu dan matanya berkedip, berarti itu penting,” demikian Dr Hutauruk sambil tersenyum menggambarkan salah satu ciri khas Dr Sutan. 

Menurutnya, Sutan termasuk generasi lulusan teologia yang baru di lingkungan gereja di masanya. Sebelumnya, Ephorus Justin Sihombing adalah produksi zaman Zending. Sementara Sutan adalah lulusan Batavia, kemudian kuliah di Amerika dan kembali ke Tanah Batak. 

Menggali ulang pemikiran salah seorang tokoh pendiri GKPI tersebut sangat tepat disaat kondisi bangsa sedang carut marut. Menurut Patut Sipahutar MTh (Bishop GKPI), Sutan adalah sosok pendeta yang berkhotbah yang selalu melihat relevansinya dengan lingkungannya. “Dalam khotbah-khotbah dan ceramahnya beliau mampu merespon kejadian dan situasi sekelilingnya,” ujar Pdt Patut Sipahutar. 

“Tulisan-tulisan Dr Sutan yang dihimpun dalam buku ini sangat kaya membahas berbagai esensi eksistensi relevansi dari berbagai realitas kehidupan ini. …Yang pasti, tulisan ini mengajak kita untuk menjadikan hidup dan kehidupan ini bermakna besar bagi sesama dan semesta” ujar Patut Sipahutar, mengomentari isi buku itu. 

Verba volan srcipta manen (yang terucap akan lenyap, yang tertulis tetap). Semoga memberi inspirasi bagi kita semua. ***

Penulis Editor buku Otobiografi Prof Dr Sutan Hutagalung: “Hanya Oleh Karena Belas KasihanNya (2005)”. 

(Bisa juga diakses ke Website Harian Analisa, 6 Maret 2013 www.analisadaily.com/news/2013/7131/verba-volan-scripta-manen/).

Kamis, 04 April 2013

Selamat Jalan Pak Ali Soekardi



Oleh: Jannerson Girsang

Berita duka kuterima sekitar pukul 23.00 WIB. Pertama melalui statusnya Prof Dr Hadiluwih. Kemudian aku buka sms dari Rizal Surya, teman akrabku di Harian Analisa.  Ternyata, sebuah berita duka!

Ali Soekardi, Wapemred Analisa--harian terbesar di Sumatera, meninggal dunia 03 Maret 2013 sore. Saya kaget. Pasalnya, Januari lalu beliau masih segar bugar, saat peluncuran bukunya. Berbicara dengan santai dan kocak, di dekat pintu masuk ruang peluncuran di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Pemprovsu. Itulah pertemuan saya yang terakhir dengan wartawan tiga zaman itu.

Dari hasil pengamatan tentang beliau selama ini, suasana peluncuran buku dan perbincangan kami,  saya menuliskan profilnya dan dimuat di Harian Analisa 22 Januari 2013.

Hampir tengah malam, saya menelepon Rizal Surya, penulis buku Biografinya dan salah seorang redaktur harian Analisa. Akrab saya sesama penulis sejak beberapa tahun terakhir ini. Malam itu Rizal masih di kantor. Mungkin sedang menulis sesuatu tentang sang tokoh.

“Kemaren siang kami masih bercanda Bang.  Cuma hari ini dia nggak masuk. Saya juga kaget mendengar pak Ali meninggal,”ujarnya. Dari Rizal saya dapat informasi bahwa Pak Ali akan dikebumikan besok. Berarti saya masih bisa melihat jazadnya untuk terakhir kali.

Ali Soekardi adalah seorang jurnalis teladan. Malam ini tak banyak yang bisa kuungkapkan tentang beliau. Saya menuliskan kesan saya di FB, memberitahukan bahwa pak Ali sudah berpulang, kembali ke sisi sang Pencipta. 

“Sebentar aja tidak buka FB dan ketinggalan HP langsung kehilangan berita. Saya baru buka Rizal Surya dan baca statusnya Prof Subanindyo Hadiluwih mengatakan bahwa Bapak Ali Soekardi (Wapemred Harian Analisa) sudah meninggal dunia hari ini. Padahal saya baru Januari lalu menghadiri peluncuran bukunya: 80 Tahun Ali Soekardi. Saya masih menulis profilnya di Harian Analisa, Selasa, 22 Jan 2013.”

“Pilihannya untuk tetap bekerja kepada media tempatnya bekerja, niatnya untuk mempersiapkan generasi penggantinya, adalah teladan loyalitas korps yang tidak banyak dimiliki wartawan di era reformasi ini. Dia bukan kutu loncat, peri laku banyak wartawan dengan banyaknya media. Ali sudah bekerja di harian itu, sejak 1973 atau empat puluh tahun yang lalu, satu tahun setelah harian itu berdiri dan tidak pernah berpindah ke media lain. Lebih dari 30 tahun, dia memegang jabatan Wakil Pemimpin Redaksi” demikian kutuliskan kesan saya di Harian Analisa dalam sebuah artikel berjudul: Selamat Ultah ke-80 Pak Ali Soekardi "…Terus Membaca dan Menulis, Maka Kita Tidak Pikun"
Berbagai nama disebut-sebut menjuluki pria yang 4 Januari 2013 lalu genap berusia 80 tahun. "Rosihan Anawar dari Sumatera Utara" yang muncul di peluncuran bukunya, atau "Wartawan Tiga Zaman" yang dijuluki harian Orbit beberapa hari lalu. Entahlah, biarlah masyarakat yang menilainya!.

Selamat jalan Pak Ali, semoga kami dapat mewarisi keteladananmu.Pertemuan terakhir kami adalah saat peluncuran bukunya: 80 Tahun Ali Soekardi di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda)  Pemprovsu, dekat Istana Maimun Medan, 19 Januari 2013.

Tak sedikitpun saya menduga beliau akan meninggal secepat itu. Masih banyak yang ingin digali dari seorang Ali Soekardi.

Malam ini saya berdoa khusus untuk bapak Ali Soekardi. Semoga keluarga yang ditinggalkan mendapat penghiburan dan keteladanan beliau menjadi warisan berharga bagi kita semua.
Selamat jalan Pak Ali. Kami kehilanganmu!.

Medan, 04 April 2013 (00.34). Semoga saya bisa melayatmu besok. 

Update 4 April 2013

Pagi-pagi saya membaca harian Analisa. Menyimak dua artikel tentang pak Ali. "Wapemred Analisa Ali Soekardi telah Tiada" ditulis War Jamil, Sekretaris Redaksi Harian Analisa, dan "perbincangan Terakhir dengan Pak Ali" ditulis Rizal Surya, redaktur Harian Analisa.

Siang hari, saya beruntung bisa melayat ke rumah pak Ali di Kompleks Perumahan PWI, Jalan Letter Press, di daerah Sidorukun Medan. Puluhan papan bunga menghiasi halaman rumah. Dekat dengan tempat dudukku, ada papan bunga Soepandi (Hakim Agung)), Walikota Medan Rahudman Harahap dan lain-lain.

Halaman rumah dan jalan depan rumah dipasangi beberapa tiang taratak. Ratusan pelayat dan keluarga dekat almarhum memenuhi kursi yang disiapkan. Tampak H Sofian, Pemred Analisa, Pak Supandi Kusuma, Pemimpin Perusahaan Analisa, War Jamil, Sekretaris Redaksi Harian Analisa, tokoh-tokoh pers Sumatera Utara (mantan Ketua PWI Moh Yazid, Zaki Abdullah), Ketua PWI  Drs Muhammad Syahrir, JA Ferdinandus (mantan Dirut PTP IX). Muhammad TWH--tokoh senior jurnalis Sumut dan puluhan wartawan lainnya.

Saya bertemu Brilian Mohtar, anggota DPRD Sumut. Saya duduk bersama Rizal Surya, penulis Biografi Ali Soekardi. "Sebenarnya masih ada rencana menulis buku tentang pemikiran pak Ali. Dia sedang mempersiapkan bahan, tapi keburu beliau pergi," ujar Rizal. Sempat bersalaman dengan Ali Murtado--redaktur harian Analisa, J Anto, Direktur KIPPAS. Dua tokoh yang saya kagumi karena sangat produktif menulis.

Beberapa menit saya tiba, Pak Sulaiman, mewakili keluarga dan War Jamil--mewakili Harian Analisa, Lilik Suhairi--mewakili  PT Sumatra Bakri Plantation, Muhammad Syahrir--mewakili PWI Sumut, memberikan kata sambutan. Intinya, Ali Soekardi adalah seorang ayah teladan, bergaul luwes dengan tetangga. Dia juga adalah seorang jurnalis yang sangat disiplin dan senantiasa memikirkan peningkatan kualitas penerbitan harian yang dipimpinnya.

Kemudian jenazah pak Ali dibawa ke Mesjid Nur Chadidjah, beberapa puluh meter dari rumah duka dan selanjutnya dimakamkan di pekuburan muslim Jalan Krakatau, 1-2 kilometer dari rumah duka.
Saya pulang sekitar jam 12.00 saat jenazah disembahyangkan di mesjid. "Selamat jalan pak Ali. Adakah lagi wartawan yang memiliki semangat belajar dan menulis hingga ujur. Wartawan yang lembut, sopan dan ramah seperti beliau?".

Update 5 April

Gambar: Sejumlah pelayat dari keluarga, dan rekan kerja mengantarkan jenazah Wakil Pemred Harian Analisa, Alm. H Ali Soekardi saat akan dikebumikan di Tempat Pemakaman Muslim Krakatau Medan, Kamis (4/4).  Ali Soekardi tutup usia 80 tahun, meninggalkan tujuh orang anak, dan 12 orang cucu. (Analisa, 5 April 2013)
 

Senin, 01 April 2013

Catatan Hidup dan Arti Sebuah Kematian


Biografi Floriana Tobing, 2009
Oleh: Jannerson Girsang

The life of the dead is placed in the memory of the living. (Marcus Tullius Cicero).

Dalam dua bulan terakhir ini saya kehilangan beberapa teman yang banyak mewarnai kehidupan saya. Hari ini aku begitu sedih, karena aku kehilangan Floriana Tobing, yang meninggal  di RS Elizabeth Medan, 30 Maret 2013, dalam usia 82 tahun.

Untungnya, saya sudah menulis pengalaman hidupnya Berdoa dan Menabur Kasih. Meski dia sudah pergi, saya masih bisa membaca kenangan berharga dari dirinya.

Kematian seorang teman memutus hubungan saya secara fisik dan rohani dengan mereka.  Saya tidak lagi merasakan perasaan mereka, demikian sebaliknya. Tidak ada lagi komunikasi timbal balik. 

Kematian berarti terputusnya komunikasi, dan lambat laun sejalan waktu kita akan melupakan mereka. Waktu cenderung melupakan, karena komunikasi adalah darah dari sebuah persahabatan, bukti  bahwa kita masih menyayangi seseorang. 

Bagi sebagian orang mendirikan makam yang bagus, dan melakukan ziarah dalam waktu-waktu tertentu. Tetapi, itu hanya bangunan fisik yang mudah hancur. Ketika makam seseorang  jauh dari tempat tinggal, maka tidak ada lagi komunikasi yang bisa dilakukan. Apalagi keadaan ekonomi tidak memungkinkan untuk mengunjunginya. Banyak makam yang sudah tidak dirawat lagi dan akhirnya hilang begitu saja.  

Bukti-bukti sudah banyak.  Tidak sedikit di dunia ini seorang anak tidak tau sekedar nama seorang kakek neneknya, apalagi mengetahui keteladanan mereka.  

Begitukah akhir hubungan kita dengan orang-orang yang sudah meninggal. Sayang sekali!. Apa yang bisa menghubungkan kita dengan keluarga atau rekan kita yang sudah meninggal?. 

Salah satunya adalah mencatat kehidupan mereka dan mengenang hal-hal baik yang dilakukannya sebagai teladan dan hal-hal buruk yang tidak perlu ditiru. 

Mengenang orang yang meninggal adalah mengenang nilai-nilai yang ditinggalkannya. Sebuah kisah!

Setiap orang dilahirkan ke dunia memiliki missi khusus. Setiap orang punya tantangan  khas dalam hidupnya, yang diatasi dengan tindakan-tindakannya dan makna yang kita peroleh dari  ungkapan-ungkapannya yang menghasilkan kebaikan yang menjadi teladan dan keburukan atau kesalahan yang tidak perlu diulangi. 

Inilah nilai terbesar seorang manusia selama hidup di dunia. Hellen Keller mengatakan: “Hal-hal terindah di dunia ini bukan sesuatu yang dapat dilihat dengan mata atau dapat diraba dengan tangan, tetapi sesuatu yang dapat dirasakan dengan hati”. 

Harta, jabatan dan kemegahan yang dapat dilihat dengan mata, akan hilang karena itu hanya bersifat sementara. Tetapi kisah hidup, sesuatu yang dapat dirasakan dengan hati, akan tetap sampai selama-lamanya. 

Sebuah catatan hidup baik itu tulisan maupun gambar atau video adalah alat komunikasi abadi dengan teman-teman kita yang sudah meninggal. Mari menuliskan kenangan tentang teman-teman kita, mengenang mereka agar mereka tetap hidup.  Our dead are never dead to us, until we have forgotten them.(George Eliot).

Selamat jalan inang Floriana Tobing. Saya akan tetap mengenang kebaikan-kebaikanmu, ketulusanmu dan kelembutanmu.   

Jumat, 29 Maret 2013

Teknologi dan Paskah 2013

Oleh: Jannerson Girsang

Teknologi dan Perayaan Paskah!. Kemajuan teknologi telah memungkinkan kita memenuhi kehidupan rohani dengan mudah. 

Menjelang Perayaan Paskah jam 12.00, hari ini, saya membuka internet: memilih lagu-lagu rohani, membaca ulasan Firman Tuhan dari video-video para pengkhotbah beken, keren, menonton film-film tentang Paskah. 

Semua gratis!. 

Tak masanya lagi kita tidak tau latar belakang peristiwa tertentu. Peristiwa apa saja. Kalau hanya sekedar pengetahuan, internet adalah gudangnya.

Mau lihat artikel tentang ulasan :Paskah, buka Google aja. Semua yang diinginkan ada. Mau yang teks, foto, video semua ada. Youtube misalnya, menyediakan ribuan video tinggal pilih sesuai selera.  Tidak ada lagi hal tentang Paskah yang tidak diulas di internet.

Bukan jamannya lagi kita layaknya ikan di dalam laut yang selalu bertanya. "Dimana laut?. Padahal, laut ada di sekelilingnya".

Di sekeliling kita sudah penuhi dengan pengetahuan soal Paskah. Kalau mau khotbah yang kualitasnya asal-asalan sampai sekelas Billy Graham, Chris Manusama, Steven Tong ada. Tapi jangan salah, khotbah yang masuk telinga kiri, keluar telinga kanan atau tanpa isi juga ada.  

Teknologi membuat hidup lebih mudah dan nyaman, asalkan hati bersih, sabar, rela menerima, meluangkan waktu beberapa saat, maka pengetahuan yang diperlukan sudah tersedia. 

Cuma jangan salah!. 

Internet adalah gudangnya pengetahuan baik dan pengetahuan jahat. Seluruh dunia mestinya tau itu. Terserah, Anda mau milih yang mana. 

Alih-alih memilih topik tentang Paskah,  Bisa tergoda memilih video yang membuat pikiran Anda melayang dan membayangkan hal-hal yang jorok. 

Selasa, 26 Maret 2013

Patsy Wida Kuswara: Kisah Jurnalis Indonesia di Negeri Paman Sam (Harian Analisa, 26 Maret 2013)



Patsy Widakuswara (Photo: The Washington Post)

Oleh: Jannerson Girsang. 

Patsy Widakuswara seorang perempuan Indonesia kelahiran Maret 1974, memiliki pengalaman menarik sebagai penyiar di The Voice of America (VOA). Hingga kisahnya dimuat The Washington Post, dalam artikel berjudul “Bringing the news of America to Indonesia”, edisi 18 Maret 2013 yang lalu.

Setelah lulus dari Jurusan Komunikasi di FISIP UI, co-founder kelompok debat bahasa Inggris pertama di Indonesia, English Debating Society di UI dan peraih beberapa gelar juara nasional dan internasional ini bekerja beberapa tahun di media elektronik nasional, mendapat bea siswa memperoleh gelar Master di bidang TV Journalism di London, kemudian bekerja di VOA. 

Pelajaran penting dia peroleh selama di Inggeris. Menurut Anne Budianto selama di London, Patsy sempat membuat 2 program dokumenter, untuk Channel 4 dan BBC. “Saya merasa tercerahkan selama di sana. Prinsip jurnalisme yang saya kenal saat itu hanya “check and balances,” yang mementingkan keseimbangan narasumber. 

Sementara di Inggris jurnalis menggunakan pendekatan “journalism of attachment.” Artinya, mereka lebih menyuarakan pihak-pihak yang tidak punya kekuasaan, marjinal, atau di luar kaum elitis,” paparnya. (http://www.mail-archive.com/idakrisnashow@yahoogroups.com/msg13802.html). 

***
Para pemirsa televisi di Indonesia yang sering mengikuti siaran Indonesia televisi VOA tentu tidak asing dengan wajah Patsy. Kesehariannya, peraih gelar M.A di bidang jurnalisme televisi dari University of London ini, meliput berbagai issu mulai White House hingga Capitol Hill dan issu-issu lainnya. Laporannya disiarkan secara regular di delapan dari sebelas stasion televisi di Indonesia dan beberapa afiliasi televisi lokal. 

Selaku Senior TV Produser, Patsy Widakuswara mengepalai produksi berita di VOA. Selain memproduksi, Patsy juga membawakan beberapa acara termasuk Laporan VOA untuk Metro TV, Apa Kabar Amerika di tvOne dan Kilas VOA yang ditayangkan di beberapa afiliasi VOA. Patsy juga sering memproduksi program-program in-depth investigative terkait kebijakan luar negeri AS seperti Operasi Terselubung CIA dan Penjara Guantanamo. (http://www. voaindonesia.com/author/4159.html)

Ketika membaca kisahnya melalui mediaonline The Washington Post, Patsy membawa saya ke memori beberapa tahun ke belakang. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, dia acapkali muncul sebagai penyiar di Metro TV. Saat itu masa-masa kejatuhan Gus Dur 2001. 

Beberapa tahun Patsy seolah menghilang dari dunia televisi. Ternyata pada 2001 itu, ibu seorang putra ini mendapat beasiswa Chevening untuk gelar Master di bidang TV Journalism di Goldsmiths College, University of London, kemudian bekerja membuat film dokumenter untuk Channel 4 dan BBC. Dari London, Patsy pindah ke Washington, DC dan bergabung dengan VOA tahun 2003.

**

Pemunculannya di The Washington Post tentunya menjadi inspirasi bagi para jurnalis di tanah air. Seorang jurnalis perempuan Indonesia mampu berkiprah di arena global dan mendapat perhatian sebuah surat kabar. Harian ini memiliki sirkulasi rata-rata 471,800 per hari dan sirkulasi minggu sebesar 687,200 eksemplar. 

Ingin tau seberapa besar respon dunia atas berita itu, saya mengunjungi status Kedutaaan Besar Amerika di Jakarta di Facebook. Status ini mengatakan: “Congratulations, Patsy Widakuswara! Profilnya ditulis di koran Washington Post, salah satu koran paling penting di AS”. Itulah ungkapan kalimat pertama sebuah paragraph di status itu menggapi pemuatan berita tentang Patsy Widakuswara. 

Saya mengklik “Like” untuk status itu (20 Maret 2013 pukul 10.00 pagi). Sudah 1854 orang lebih dulu melakukan hal yang sama, dan membaca 247 komentar dari orang Indonesia di berbagai penjuru dunia. Mereka mengungkapkan rasa bangga, kagum serta berbagai pujian bagi Patsy. 

“Pasty Widakuswara, jadilah kebanggaan bangsa. Biarlah kau mewakili Indonesia di dalam tugasmu. Selamat berkarya ya!!!!,” komentar seorang Facebooker di status itu. Tentu saja ada yang juga membuat komentar miring, hal wajar di dunia yang kini sedang dilanda euphoria kebebasan. 

**
Artikel yang saya baca di website harian The Washington Post, menampilkan sebuah foto diri peraih VOA Excellence in Programming Awards ini duduk tersenyum di depan Capitol Hill, Washington DC. 

Memandang ke depan dengan tangan dilipat di atas kedua kakinya yang bersila dan tubuh dibalut celana jeans warna biru—ikat pinggang coklat dan kaus lengan panjang hitam. Pakaian lapangan seorang reporter televisi yang serasi dengan warna kulit Indonesianya yang sawo matang. 

Keteguhan dan kesederhanaan terpancar di balik wajah manisnya. Menampilkan senyum khas seorang wanita global Indonesia. Bukti dirinya bekerja dengan sukacita, mampu merajut hubungan bangsanya dengan dunia lain, ribuan kilometer dari tanah airnya.

Sehari-hari, Patsy mengumpulkan fakta dari berbagai penjuru di Amerika dan Indonesia. Dia punya tugas penting, merekam dan menulis fakta-fakta, serta memberi makna. 

“Dalam laporannya, Widakuswara berusaha membuat hubungan antara apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di Indonesia dan mencari topik-topik yang menjadi kepentingan audiensnya di Indonesia,” demikian The Washington Post menggambarkan pentingnya tugas seorang jurnalis, seperti Patsy untuk Indonesia dan Amerika. 

Dia melaporkan berbagai hal penting di Amerika dan Indonesia. Melaporkan Pemilihan Presiden Obama dan juga Pemilihan Gubernur DKI yang waktunya hampir bersamaan, dan juga melaporkan kondisi tahanan di Guantanamo, serta berbagai hal penting lainnya. 

Widakuswara juga melaporkan kisah kemanusiaan, dengan fokus orang-orang Indonesia yang tinggal di Amerika. “Saya membuat kisah-kisah tentang imigran Indonesia yang berhasil di Amerika Serikat, sesuatu yang ingin didengar orang-orang saat kembali ke rumah,” katanya. Dia mengeksplorasi bagaimana sulitnya memulai bisnis di AS dan berbagai isu-isu budaya lainnya. 

Sebuah prestasi yang belum banyak dilirik perempuan Indonesia di era globalisasi ini, mengingat dunia jurnalisme masih didominasi kaum laki-laki. Patsy adalah sebuah symbol bahwa perempuan juga mampu berkibar di dunia jurnalisme, bahkan bekerja di sebuah media asing dan bersaing dengan para wartawan asing lainnya. 

**

Istri seorang pria yang bekerja di Smithsonian Institution ini, mencintai pekerjaan jurnalisnya dan memotivasinya menekuni kariernya. “Jurnalisme memungkinkan saya fokus pada issu-issu yang penting dan saya pikir harus diketahui oleh orang-orang. Saya merasa bangga dan menikmati menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari saya sendiri dan memiliki hubungan dengan kemanusiaan,” ujarnya seperti dikutip The Washington Post. 

Sama seperti kondisi di seluruh negeri di dunia ini, sebagai jurnalis, Patsy juga menghadapi kesulitan akses ke penguasa (policymakers). “Pulanglah, Anda bisa datang dengan kamera dan mendapat akses. Di sini di Washington, Anda harus menelepon terlebih dahulu dan mengirim daftar pertanyaan ,” kisahnya. 

Sebagai seorang wartawan VOA—lembaga resmi penyiaran eksternal pemerintah federal Amerika, Patsy punya missi sebagai seorang wartawan, mencari sumber untuk ditulis dalam laporannya dan berharap menulis laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat. “Kami mencoba untuk menyajikan perdebatan secara keseluruhan,” katanya. 

Perempuan Indonesia hebat!. Apalagi, membaca komentar Norman Goodman, Kepala VOA Siaran Indonesia dalam artikel tersebut. Norman mengatakan Widakuswara adalah “Profesional sempurna, sangat serius tentang pekerjaannya, memiliki rasa yang baik tentang berita dan tahu apa yang diinginkan pemirsa Indonesia,” seperti dikutip The Washington Post. 

Kini, Patsy yang gemar membaca dan memasak ini tinggal di Maryland bersama suami dan seorang putranya. Selamat buat Patsy, semoga kisahnya menginspirasi kita di tanah air. 

Patsy hanyalah salah satu diantaranya. Merry Riana yang sukses di Singapura menjadi perempuan si Mimpi Satu Juta Dollar di usia 26 tahun (dan tercapai), Anggun C Sasmi penyanyi yang hits dengan Snow in Sahara dan sukses menjadi wakil Perancis ke Euro Vision 2012, Jenny S Bev yang sukses sebagai seorang kolumnis dan penulis buku di negeri Paman Sam. Tentu tak lupa Sri Mulyani yang kini menjadi Managing Director Bank Dunia.  (Diolah dari berbagai sumber).