My 500 Words

Rabu, 08 Februari 2012

Meningkatkan Minat Tulis dan Baca Guru (Jurnal Medan, 8 Februari 2012)

Oleh : Jannerson Girsang

Sumber foto:  berbagiterbaru.blogspot.com

Duduk di ruang rapat guru dan seorang kepala sekolah dengan senyum bertanya kepada guru bantunya. Dia baru saja mendapat pujian dari pejabat pendidikan karena seorang guru bantunya mendapat penghargaan sebagai seorang pembaca dan penulis yang produktif.

Dia bertanya kepada guru-gurunya yang lain ingin mengetahui sejauh mana guru-gurunya sudah memiliki minat baca dan minat tulis.
 .
“Berapa buku yang kamu baca tahun ini?”

“Berapa buku atau artikel yang kamu tulis tahun ini?”.

”Berapa yang diterbitkan di media atau blog anda?”

”Kamu mendapat penghargaan dari sekolah dan dari pemerintah, karena kamu menjadi guru paling banyak membaca dan menulis”

”Rekan-rekan guru sekalian, silakan mengusulkan biaya yang Anda butuhkan untuk menghasilkan karya, serta buku-buku yang diperlukan dalam program minat baca dan tulis. Guru yang baik adalah kalau mereka memiliki minat baca dan tulis, karena akan memberikan nilai tambah kualitas pengajaran di sekolah kita”.

Arahan seorang Kepala Sekolah seperti di atas adalah ”mimpi” kita dalam ruang rapat guru di sekolah-sekolah di seantero negeri ini. Ruang rapat tidak melulu terdengar suara mendiskusikan kurikulum, kegiatan rutin, kenaikan pangkat, tanpa ada arahan seperti di atas.

Menulis Mudah, Tapi?

Dua tahun lalu, saya menjadi moderator untuk makalah Prof Dr Dian Armanto, PhD dalam acara Job Matching 2010 yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Kota Medan di sebuah hotel berbintang di Medan.

Acara tersebut dimaksudkan untuk memberi kemampuan menulis bagi para guru yang pesertanya berasal dari  dari berbagai Sekolah Kejuruan di Medan sekitarnya. Sungguh sebuah langkah tepat untuk mendorong agar para guru mau menulis.

Saya terkesan dengan penjelasan professor muda itu tentang menulis bagi para guru-guru peserta diskusi ini. ”Menulis adalah  menyusun gagasan pokok--bisa merupakan hal yang bertentangan atau hal yang belum tuntas, merumuskannya dalam sebuah kalimat lengkap.

Contohnya:  Partisipasi masyarakat merupakan unsur yang paling penting sekali bagi keberhasilan program pendidikan.

Tugasnya kemudian adalah mencari hal-hal yang mendukung gagasan pokok tersebut. Untuk itu, tentu guru harus mencari informasi, salah satunya dengan membaca. ”Mudah kan,” kata Prof  yang disambut peserta yang terdiri dari guru-guru SMK di kota Medan itu. .

Sayangnya, menurut guru besar Unimed itu, di kalangan guru telah tercipta sebuah persepsi bahwa menulis itu susah, apalagi menulis karya ilmiah. Hingga mereka tidak mau menulis.

Padahal, menurut Prof Dr Dian Armanto, “Menulis karya ilmiah jangan dibayangkan susahnya. Tetapi mulailah dari persoalan yang mudah di sekitar kita. Masalah-masalah yang kita hadapi di lapangan”

Penyajiannya yang begitu sederhana dan contoh-contoh yang sederhana, hingga di akhir acara, beberapa guru mengatakan. ”Wah kalau begitu mudah dong pak, tapi kami nanti bisa menghubungi bapak kalau ada masalah ya,” katanya.

Tapi, menurut Prof Dian, “semuanya akan terjadi, kalau bapak-bapak dan ibu-ibu memulainya”

Menulis karya ilmiah atau menulis artikel di media, dalam ruangan diskusi seperti itu memang mudah. Semoga Dinas Pendidikan Kota Medan membuat evaluasi sejauh mana produktivitas menulis para guru yang ikut dalam pembekalan yang sangat baik itu.

Kegiatan seperti itu tentunya tidak boleh berhenti di situ saja. Ada tindaklanjut berupa fasilitasi kebutuhan mereka, penghargaan kepada mereka yang berprestasi menulis dan membaca para guru, sampai suatu ketika di ruang rapat guru terjadi diskusi seperti di awal tulisan ini.  

Eko Wurianto: Profil Guru Pembaca dan Penulis

Dengan berkembangnya teknologi dan informasi dewasa ini, muncul para guru yang menulis dengan inisiatifnya sendiri. Tidak sedikit guru yang peduli kepada usaha meningkatkan minat baca dan tulis, di luar tugas utamanya sebagai guru.

Eko Wurianto, salah satu contohnya. Beberapa hari yang lalu, saya terkesima melihat sebuah blog milik Eko Wurianto, seorang guru SMP 2 Kebonagung, Pacitan, Jawa Timar.

Nama situsnya http://guruindo.blogspot.com/2008/04/minat-baca-guru-dan-siswa.html. Selain dalam bahasa Indonesia, blog ini dilengkapi juga dengan Bahasa Inggeris. Pengunjung blognya sudah mencapai 90 ribu lebih.

Saya terkesan dengan kepeduliannya atas pendidikan, minat baca tulis para guru. Dia memiliki rasa resah atas kondisi pendidikan—yang dituangkannya dalam tulisan yang bersambung, sejak 2008. Tulisan pertamanya pada Kamis 24 April 2008, saat memulai posting di blognya  berjudul : STOP REKAYASA NILAI!.

”Yang salah, sehingga timbul budaya katrol nilai, adalah pandangan bahwa kecerdasan diukur dari memiliki nilai-nilai sempurna di setiap mata pelajaran-jika seorang anak tidak mendapat nilai yang baik, pasti dia tidak cerdas. Sungguh suatu pandangan yang bodoh. Kita bisa lihat di sekitar. Anak yang pulang dengan buku raport yang ‘hitam’ sempurna, orang tua akan sangat gembira, membelikannya hadiah dan membanggakannya dihadapan orang lain. Tetapi ketika nilainya ‘merah’, orang tua akan cemberut, memarahi dan menghukum, bahkan mungkin malu dengan anaknya yang (dengan sangat sembrono dicap sebagai anak) bodoh”.

Itu hanyalah salah satu keresahan hatinya yang dituangkannya dalam bentuk tertulis yang bisa dibaca ribuan orang, termasuk para pejabat dan rekannya sesama guru.

Eko Wurianto dalam blognya lebih memikat dalam tulisannya yang lain soal baca tulis dengan mengutip Emerson. “If we encounter a man of rare intellect, we should ask him what books he reads.” Terjemahan bebasnya ; jika kita menjumpai seseorang yang mempunyai kecerdasan luar biasa, kita mestinya bertanya kira-kira buku apa yang dibacanya.

Menurut Eko, ucapan Emerson itu pastilah bukan omong kosong yang tanpa makna. Dimanapun tempat dan waktu, orang-orang yang memiliki intelektual tinggi selalu bergaul rapat dengan buku-buku.

Buku yang dibaca seorang guru menentukan kualitas pengetahuannya yang akan ditularkan kepada siswa-siswanya. Kalau guru hanya membaca buku minimal (buku-buku pelajaran yang diwajibkan) maka itulah yang bisa ditularkannya kepada murid-muridnya.

Dengan pengetahuan guru yang minim maka seperti kata pepatah: “Kalau guru kencing berdiri, maka muridnya kencing berlari”. Artinya, perilaku guru begitu kuat mempengaruhi anak didiknya.

Ternyata, membiasakan murid membaca atau menulis banyak tergantung kepada seorang guru. Bayangkan kalau lebih dari 2.7 juta guru di Indonesia bisa menjadi fasilitator menulis bagi siswa sejak di Sekolah Dasar, maka tidak mustahil 10 tahun ke depan, budaya membaca dan menulis kita akan meningkat drastis.

Profil guru seperti Eko Wurianto--peduli dan memiliki kemampuan menulis tentang masalah-masalah di lingkungannya, bisa dijadikan inspirasi menulis para guru, sekaligus gambaran naik turunnya minat menulis.

Eko Wurianto adalah seorang guru yang memiliki minat baca dan budaya tulis--memberi manfaat ganda: meningkatkan kualitas mengajarnya, dan menjadi teladan menulis baca bagi anak-anak didiknya maupun rekan sejawatnya sesama guru.

Mengurai Penghambat Menulis

Menelusuri blog Eko, saya menemukan minatnya menulis naik turun. Seorang guru memerlukan stimulus agar mau terus menulis.

 ”Nampaknya baru kali ini saya benar - benar malas menulis. Beberapa lama yang lalu saya begitu bersemangat dalam menulis di blog saya ini. Hingga setiap hari saya selalu menulis satu postingan.  Namun seperti mungkin anda lihat, blog saya terlantar saat ini. Saya benar - benar tidak tahu apa yang membuat saya begitu malas menulis. Padahal masih ada banyak hal yang bisa ditulis. Seperti Amelia, tokoh dalam buku Marissa Moss,” ujarnya.

“Saya sangat tidak ingin berhenti menulis. Tapi selalu saya merasa tidak memiliki cukup waktu untuk duduk di depan komputer untuk menulis. Kemalasan saya yang menciptakannya bukan karena saya benar - benar tidak memiliki waktu. Mungkin Amelia bisa membantu saya”:

Sejak Mei 2011, blognya tidak diupdate lagi. Mengapa?. Pengalaman berharga Eko mungkin bisa mengurai masalah mengapa guru tidak menulis.

Adakah orang, instansi yang ingin mengetahui dan mencari jalan keluarnya berhentinya Eko Wurianto mengupdate blognya?.

Berhentinya Eko menulis, barangkali bisa menjadi masukan bagaimana mengembangkan minat baca dan tulis di kalangan guru. Selain itu, tentunya pertanyaan mendasar adalah, apakah pemerintah memiliki kebijakan yang dilaksanakan secara konsisten sehingga mimpi di atas bisa tercapai? Semoga!.

Tidak ada komentar: