My 500 Words

Kamis, 09 Februari 2012

Menyambut Hari Pers Nasional 2012 Merenungkan Perjuangan SK Trimurti (Jurnal Medan, 9 Pebruari 2012)


Oleh: Jannerson Girsang

Sumber foto:  pustakacombat.blogspot.com

Membaca kisah Tawakkol Karman, seorang jurnalis perempuan Yaman yang memenangkan Hadiah Nobel 2011, muncul rasa iri. Tawakkol adalah aktivis pro demokrasi yang memahami nasib bangsanya dan berjuang melepaskan mereka dengan cara-cara damai.  

Selain Tawakkol, tahun lalu dua perempuan Nigeria, Ellen Johnson Sirleaf dan Leymah Gbowe juga mendapat Hadiah Nobel untuk aktivitas mereka. Ketiga perempuan pemenang Nobel 2011 ini merupakan bukti bahwa perempuan kini mampu berada di barisan depan membawa suara bangsanya.  

Usaha perempuan menyuarakan suara bangsanya melalui gerakan dan tulisan, ternyata bukan isapan jempol belaka. Untuk itu, memeringati Hari Pers Nasional yang jatuh Hari ini 9 Februari 2012, perlu peran yang lebih besar bagi kaum perempuan terlibat dalam dunia jurnalis dan penulisan. Mari kita sejenak merenungkan sejenak perjuangan seorang jurnalis perempuan Surastri Karma Trimurti atau lebih popular dengan SK Trimurti. Beliau meninggal pada 20 Mei 2008.

Kisah istri pengetik nasakah Proklamasi Republik Indonesia itu tertuang dalam Buku “Jagad Wartawan Indonesia”, karya Soebagio IN (hal 397-402). Mungkin bukunya sudah tidak banyak lagi dimiliki para jurnalis kita. Semoga artikel ini bisa membantu mengingatkan kembali semangat juangnya serta visinya sebagai jurnalis..

Bung Karno: “Menulislah Tri…..”

Melongok sejarah masa lalu, peran kaum perempuan di dalam dunia jurnalis memang sangat sedikit. Di masa 1920-an sampai pergerakan kemerdekaan, dunia jurnalis kita hampir sepenuhnya dikuasai oleh kaum laki-laki.

Bung Karno mengajaknya menulis di media yang dipimpinnya. “Tri, tulislah karangan, nanti kami muat dalam majalah Fikiran Rakyat,”ujar Bung Karno kepada SK Trimurti—seorang tokoh perempuan jurnalistik Indonesia, pada suatu pertemuan mereka di era 1920-an.

Sebuah ajakan yang tentu bukan sesuatu tanpa dasar. Suara perempuan penting bagi keberlanjutan suatu media. Bukan hanya bagi keberlanjutan media, juga keberlanjutan suatu bangsa juga tidak terlepas dari peran perempuan. Bung Karno ketika itu adalah pemimpin Fikiran Rakyat di Bandung..

Trimurti yang hanya lulusan Sekolah Guru itu tertantang sekaligus bingung. Tentu banyak kita temukan hingga sekarang ini, banyak yang enggan kalau disuruh menulis. Tetapi, semangat juang yang membara di dada Tri, mendorong dirinya menuliskan isi hati, kondisi ril bangsanya ketika itu.
,
Singkat cerita, akhirnya Trimurti mengirim tulisannya ke Fikiran Rakyat. Tulisannya benar-benar dimuat!. Trimurti bersemangat. Sayangnya, baru sekali mengirim tulisan, kemudian Soekarno ditahan Belanda. Fikiran Rakyat kemudian ditutup.

Setelah Pikiran Rakyat ditutup, perempuan kelahiran Boyolali, 11 Mei 1912 ini, pulang ke kampungnya di Klaten. Mengisi kekosongan waktu selama di kampung dia mengirimkan tulisannya ke harian Berdjoeang pimpinan Doel Arnowo di Surabaya.

Atas ajakan rekan-rekannya, kemudian Trimurti memimpin majalah Bedoeg yang berbahasa Jawa.. Siar majalah Bedoeg dianggab kurang luas, karena bahasa yang digunakan pembacanya terbatas. Lantas, nama majalah tersebut diganti menjadi Terompet yang berbahasa Indonesia.

Di kemudian hari Tri bergabung dengan Sri Panggihan, menerbitkan majalah Marhaeni. Isinya pendidikan-pendidikan yang ditujukan  kepada kaum wanita agar ikut serta dalam perjuangan rakyat untuk pembebasan tanah air. Semboyan Persatuan Marhaeni sendiri adalah : Masyarakat adil dan makmur, dengan melalui Indonesia Merdeka.

Selain sebagai seorang penulis, dia juga aktif dalam pergerakan. Terpilih menjadi Ketua PB Marhaeni Indonesia dan pindah ke Semarang. Karena ketahuan menyebarkan pamflet yang berbau anti penjajah, dia dijatuhi hukuman 9 bulan penjara. Selepas dari penjara, Trimurti .justru memperoleh uang dari surat kabar “Penebar Semangat” karena memenangkan penulisan cerita sandiwara.

Uang tersebut digunakan untuk mendirikan majalah Suluh Kita, bukan untuk berfoya-foya atau beli mobil mewah, layaknya trend kebanyakan kita saat ini. Dengan memberikan pengelolaan Majalah Suluh Kita kepada orang lain, Trimurti kemudian mendapat tawaran bekerja sebagai redaktris pada majalah Sinar Selatan, sebuah harian yang diterbitkan seorang Jepang.

Ketika menjadi redaktris di Sinar Selatan, dia menerima sebuah tulisan berjudul “Pertikaian Jepang-Tiongkok, Sikap yang patut diambil bangsa Indonesia terhadap pertikaian Tiongkok-Jepang”. Isinya, “Rakyat Indonesia tidak usah membela Belanda. Sebab Belanda Imperialis. Juga tidak perlu membela Jepang sebab  Jepang kemungkinan juga imperialis. Yang baik, sikap bangsa Indonesia ialah memperkuat diri sendiri, untuk mempersiapkan kemerdekaan sendiri”.

Penguasa ketika itu naik pitam. Trimurti diganjar 6 bulan penjara. Trimurti meloloskan tulisan yang menyatakan sikap bangsa yang seharusnya ditempuh dan mempengaruhi sikap para pemimpin.

Tri tidak menulis novel-novel picisan yang penuh romatika, tetapi nasib bangsanya dan sikap yang seharusnya ditempuh para pemimpin bangsa.

Menjadi Pejabat Penting

Dalam pentas politik di Indonesia di kemudian hari, SK Trimurti mendapat kedudukan terhormat di negeri ini. Pada zaman kemerdekaan dia menjadi anggota KNI Pusat, anggota Pengurus Besar Partai Buruh Indonesia dan atas nama partainya menjadi Menteri Buruh Indonesia yang pertama, anggota Dewan Nasional Angkata 45, Anggota MPRS, anggota Perintis Kemerdekaan Indonesia serta memperoleh beberapa bintang tanda jasa.  

Kita belajar bahwa perempuan mengambil peran penting dalam dunia jurnalis sebagai jalan masuk berperan dalam perjuangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Dalam tulisan-tulisannya, SK Trimurti memahami kondisi bangsanya, merumuskan visi dengan jelas, dapat dimengerti orang lain serta memiliki sikap yang konsisten dengan perjuangan bangsanya.

Sesudah merdeka, SK Trimurti dibutuhkan negeri ini dalam berbagai jabatan penting, bukan merengek-rengek minta peran, apalagi menyogok untuk diberi jabatan!.

Menulislah

Ajakan Bung Karno kepada SK Trimurti rasanya masih relevan bagi perempuan kita saat ini. Fakta menunjukkan bahwa dewasa ini jumlah dan kualitas kaum perempuan di dunia jurnalistik memang masih jauh dibawah kaum laki-laki.

Keputusan menetapkan berita pada sebagian besar harian umum, majalah umum mingguan yang besar, stasion televisi, radio masih di tangan kaum lelaki. Komposisi berita di media akhirnya didominasi berita prestasi laki-laki. Perempuan kebanyakan muncul, kalau mendampingi suaminya yang pejabat, manajer perusahaan atau pemimpin partai. Cerita perjuangan dan sukses perempuan secara individual boleh dikata masih sangat minim.

Dampaknya, popularitas perempuan jauh dibawah laki-laki!. Ini tentu berakibat pada akses perempuan di pentas politik dan berbagai jabatan strategis lainnya di masa mendatang. Jangan heran, kalau di masa datang dengan kondisi media kita seperti ini, laki-laki akan terus menguasai pentas politik kita. Padahal UU sudah mengisyaratkan agar 30% perempuan mengambil peran dalam kepengurusan Partai maupun anggota Parlemen dan juga jabatan-jabatan strategis lainnya yang tidak hanya membutuhkan kemampuan (skill), tetapi juga popularitas dan dukungan masyarakat..

Sejarah menunjukkan, media adalah salah satu cara efektif masuknya orang ke dalam kancah politik  Tanpa memfasilitasi akses media kepada perempuan, maka kesetaraan gender akan terus menjadi wacana, tanpa sesuatu perubahan yang signifikan.

SK Trimurti menyadarkan kita bahwa suaranya, gagasan-gagasannya akan diketahui publik bila disampaikan melalui media. Belajar dari pengalaman SK Trimurti,  menuangkan opini atau berita di media adalah alat penting bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan nasib kaumnya dan sekaligus nasib bangsanya sendiri. Akses perempuan ke media sangat penting, apalagi di zaman globalisasi ini.

Tidak cukup berbicara hanya di dalam ruangan, di ruang kantor-kantor LSM Peduli Perempuan, di dapur, di pekarangan rumah atau di ruang-ruang pertemuan-pertemuan di hotel-hotel berbintang.

Kartini sendiri tidak bisa menjangkau dunia luar hanya dengan berteriak-teriak dari dalam kamarnya yang sempit di Jepara. Dia menuliskannya dalam bentuk surat-surat yang benar-benar mencerminkan “jeritan” yang sesungguhnya. Dia mengirimkannya keluar dari kamarnya. Tawakkol Harman tidak hanya berteriak di jalan, tetapi menulis di The New Yorks Times atau media asing lainnya. Jeritan hatinya dibaca dunia, orang-orang di luar kamarnya bertindak untuk kemaslahatan masyarakat dan bangsanya.  

Sentuhan hati dan nurani perempuan yang lembut namun “berpengaruh”, mungkin dapat membuat para pemimpin kita—yang kebanyakan kaum laki-laki, lebih mengerti dan menghayatinya. Bukankah Hawa berhasil membujuk Adam untuk memakan “buah terlarang”. Tentunya perempuan juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi laki-laki untuk berbuat “kebaikan”.

Assosiasi Jurnalis Perempuan yang muncul belakangan ini memiliki beban yakni memberi warna yang berbeda dari assosiasi jurnalis lainnya

Suara penulis dan jurnalis perempuan yang mampu dan berani seperti SK Trimurti kini ditunggu-tunggu. Polesan kalimat yang menyadarkan kita semua atas kondisi faktual saat ini seperti : “korupsi berjamaah” yang semakin melebar, harga-harga kebutuhan yang terus meroket, lapangan kerja sulit, praktek percaloan pegawai, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan.

Korban paling besar dari situasi ini sebenarnya adalah perempuan dan anak-anak. Dibutuhkan ratusan bahkan ribuan perempuan yang mampu menyentuh perasaan para pengambil keputusan melalui tulisan. Tidak cukup hanya demonstrasi di jalan-jalan atau berkoar-koar di bundaran-bundaran pusat kota. Tulislah apa yang kamu lihat,rasakan dan lakukan, serta maknailah!

Tri (kaum perempuan Indonesia--penulis), kirimkanlah tulisanmu ke media, supaya dimuat”. Ajakan Bung Karno kepada SK Trimurti ini rasanya masih relevan ditawarkan kepada perempuan Indonesia dewasa ini.

Para pemilik suratkabar atau media lainnya, : “Berikan porsi yang lebih besar untuk suara perempuan dan berikan kesempatan mereka menciptakan dan menilai  berita yang layak bagi bangsa ini,” 

Semoga!. Dirgahayu Hari Pers Nasional 2012. .



[1] Jurnal Medan, 9 Pebruari 2012

Tidak ada komentar: