Mengunjungi lokasi pantai untuk pertama kalinya memberi kesan yang menarik dan semua yang dilihat sangat mengesankan. Itulah pengalaman saya ketika berkunjung ke Silalahi, pantai Danau Toba Silalahi, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara.
21 Januari 2012 sore hari. Saya duduk di sebuah panggung di tepi pantai milik Sopo Morina tempat kami menginap. Saat itu baru sekitar satu jam setelah kami tiba sana. Saya ikut rombongan Sektor III GKPS Simalingkar sebanyak 10 mobil pribadi (berpenumpang 6-7 orang) yang mengadakan kunjungan ke sana.
Saya memilih duduk sambil memandang ke danau, melepas penat, setelah menyetir selama 4 jam dari Medan. Teman-teman lainnya ada yang menyanyi diiringi musik, bermain atau tidur siang.
Dari panggung beratap seng yang terletak persis di pinggir Danau itu, saya memandang ke depan. Silalahi, desa berkat yang terletak di sebuah teluk, dan di depannya menjulang perbukitan-perbukitan pulau Sumatera, dibatasi danau, dan pulau Samosir.
Perbukitan di depan mata menghalangi pandangan saya ke danau lepas di balik perbukitan itu. Dari tempat saya duduk,terlihat seolah Danau Toba hanya sebatas Tao Silalahi. Mungkin itu sebabnya ada istilah Tao Silalahi. Itu hanya dugaan saya saja.
Setelah memesan segelas kopi, saya mengalihkan pandangan ke danau yang membiru dikejauhan. Suasana yang membuat perasaan segar kembali. Biru…biru..biru, warna yang dominan saya rasakan sore itu.
Angin sepoi-sepoi sore menerpa wajah dan memberi rasa sejuk, dan menimbulkan riak kecil ombak danau terbesar di Asia Tenggara itu. Ditambah lagi suguhan kopi Sidikalang yang panas dan manis oleh seorang petugas penginapan, membuat tubuh terasa hangat dan segar. Tak ada kesan menyeramkan atas Danau yang sering kudengar di sore itu.
Memandang ke sebelah kanan, terlihat semenanjung yang merupakan bukit tandus berbatu menjulang tinggi. Semenanjung ini berujung ke tepi danau. Mata saya tertuju pada sebuah bangunan yang kokoh, seolah menempel di kaki bukit.
Mengalihkan pandangan ke kanan sambil memutar kepala, saya mengamati sepanjang pantai ini. Selain bangunan kokoh itu, tampak bangunan-bangunan kecil di tepi pantai berpasir yang indah. Orang menyebutnya Pantai Mutiara, tapi kadang mereka sebut Proyek, mungkin muncul ketika pembangunan Proyek PLTA Renun dulu. Entahlah!.
Dari jauh,pantai ini terlihat putih bersih. Sepanjang pantai berderet bangunan untuk istirahat, tukar pakaian dan bernaung menghindari panas. Tak tampak satu karambapun di sepanjang pantai di sebelah Selatan desa ini.
Berbeda ketika saya mengalihkan pandangan ke sebelah kiri. Saya menyaksikan beberapa baris karamba. Karamba adalah tempat beternak ikan yang terapung di atas drum-drum besar. Memang belum separah Haranggaol, tempat yang sering saya kunjungi. Beberapa laki-laki tampak sedang memberi makan ikan. Mereka mencapainya dengan sebuah rakit dan bergantung pada sebuah tali, seperti yang biasa saya lihat di berbagai penyeberangan sungai di berbagai tempat di Jakarta, di masa lalu. Pintar juga mereka.
Memandang ke kejauhan di sebelah kiri, saya menyaksikan pemandangan di sekitar Sipisopiso dan Baluhut.
Di belakang desa Silalahi lterdapat persawahan dan pertanian dan dibatasi perbukitan yang menjulang kearah jalan Medan Sidikalang.
Lukisan alam yang diciptakan Sang Maha Pencipta. Betapa agung Engkau ya Tuhan!.
***
Tiba-tiba saya mengamati sebuah kapal penumpang bermuatan sekitar 200 orang sandar, tidak jauh dari tempat saya duduk.
“Ayo-ayo, satu orang 10 ribu. Keliling Tugu Silalahi, proyek dan kembali ke sini lagi,”katanya dalam bahasa Batak Silalahi yang khas. Suara itu menggugah lamunan saya, dan tertarik ikut dengan perjalanan itu.
“Satonga jam do, Hanya sekitar setengah jam,”ujar kernet kapal, yang kemudian saya kenal namanya Herkules Girsang, satu marga dengan saya. Tawaran ini menggugah beberapa orang dari rombongan kami. .
Sekitar 40-an penumpang naik ke kapal. Setelah bergerak beberapa puluh meter, melaju lebih cepat. Angin danau mulai terasa dingin. Untung saya memakai jaket.
Dari kapal—yang menurut Herkules baru beroperasi sekitar dua minggu sebelumnya, bergerak pelan-pelan ke sebelah kiri dari tempat saya duduk semula. Kapal kini berada agak ke tengah Danau dan bergerak ke sebelah Utara menyusur pantai.
Saya menikmati pemandangan yang sungguh-sungguh berkesan. Gunung Sipiso-piso—lokasi air terjun yang terkenal itu saya saksikan dari posisi yang berbeda dari sebelum ini. Selama ini Gunung itu saya lihat dari desa saya di Silima Kuta atau dari arah Lae Pondom, jalan Medan Sidikalang. Sungguh-sungguh luar biasa!.
Kemudian saya fokus memandang ke arah pantai desa Silalahi yang sejak 2004 lalu sudah dimekarkan menjadi kecamatan Silahi Sabungan dan Silalahi kini jadi ib kota kecamatan itu. “Desa Silalahi kini terdiri dari tiga desa yakni Desa Silalahi 1, Silalahi II, Silalahi III,”ujar Herkules menjelaskan sambil menunjuk arah desa yang dimaksudnya.
(Menurut data BPS Kabupaten Dairi, kecamatan Silalahi Sabungan terdiri dari lima Desa yakni Desa Silalahi I, Silalahi II, Silalahi III, Paropo dan Paropo 1 dan berpenduduk lebih dari 5000 jiwa).
Saya menyaksikan bibir pantai sebagian sudah di isi karamba. Tapi syukur masih belum sepadat seperti karamba di Haranggaol.
Kapal terus bergerak dan kemudian Herkules memberi tahu saya, kalau kami sedang menuju Tugu Silalahi. Dari kejauhan saya melihat sebuah bukit menjulang tinggi. Di kaki bukit terdapat titik putih. “Itu tugu Silalahi” kata Hercules Girsang.
Kapal semakin mendekat dan kami tiba di depan tugu besar dan menjulang tinggi. Bangunan paling menonjol di wilayah pantai Silalahi. Sayang, sore itu kami hanya bisa memandang dari jarak beberapa ratus meter, karena tidak merapat ke pantai. Sejenak saya mengamati tugu yang megah itu. Disebelah tugu terapat bangunan rumah adat besar.
Kapal makin melambat, kemudian berputar kanan 180 derajat.
“Kita mau menuju Proyek PLN Renun,” ujar Hekules.
Perjalanan menuju Proyek Renun memakan waktu sekitar 15 menit. Saya memanfaatkan kesempatan untuk melihat sebanyak-banyaknya keindahan Danau dan Perbukitan di sekitarnya.
Dari Danau di tengah kapal yang sedang bergerak, saya memandang ke sebelah pantai Silalahi. Kali ini pandangan saya arahkan pada perbukitan di kejauhan yang berwarna kebiruan. Di puncak perbukitan itu berdiri beberapa tower. Tower-tower itu terletak di pinggiran jalan Medan-Sidikalang.
Saya teringat beberapa jam sebelumnya!. Ternyata dari perbukitan itulah kami berbelok ke arah Silalahi. Turun dari jalan Sidikalang, menempuh jarak 17 kilometer, melewati jalan hotmik yang berkelok-kelok bagai ular melata. Tidak seperti jalan ke Haranggaol atau Tongging, jalannya jauh lebih mulus dan lebih lebar. Sehingga jarak itu bisa ditempuh dalam waktu 30 menit.
Beberapa kilometer sebelum tiba, saya sempat memandang ke arah Silalahi. Mengingatkan saya atas kota Sibolga yang saya pandang dari Bonan Dolok. Silalahi, terletak disebuah teluk dan didepannya terdapat pulau Samosir.
Sejuknya memandang Danau Toba, dan indahnya perbukitan yang mengelilingi desa ini memacu saya mengendari mobil, memacu kenderaan meski di kelokan dan sekali-sekali hampir kepergok dengan sepeda motor yang melaju kencang dan kadang mencuri jalan.
Ah, saya melamun lagi!. Lamunan saya terhenti tatkala mata saya alihkan kembali kearah pantai di sebelah kanan. Perkampungan Silalahi memanjang beberapa kilometer. Beberapa bangunan gereja begitu menonjol dan khas dan di belakang perkampungan terhampar sawah-sawah penduduk.
Kapal mulai mendekat ke arah Pantai lokasi PLN Renun. Dari atas kapal, dengan jarak sekitar 20-30 meter. Bangunan yang selama ini hanya bisa saya amati dari Air Terjun Sipisopiso, kini sudah di depan mata. PLTA Renun dengan kapasitas 2 x 41 MW. Konon, bangunan yang dibangun sejak 1993 itu, menggunakan teknologi canggih, dan menelan biaya 26,6 miliar yen. http://www.djlpe.esdm.go.id--website.
Bangunannya sendiri terletak persis di bibir pantai. Dari atas kapal saya menyaksikan bangunan modern itu seperti sebuah hotel bertingkat. Di sebelahnya berdiri gardu-gardu setinggi puluhan meter. Di belakangnya adalah bukit setinggi hampir lima ratus meter. Beberapa meter dari bawah terdiri dari ibangunan beton yang terlihat kokoh untuk menghindari menghindari longsoran. Ternyata Silalahi juga memiliki objek wisata teknologi yang bagus dikunjungi anak-anak sekolah.
Kapal terus bergerak menuju tempat kami menginap. Memandang ke sebelah kiri saya menyaksikan lebih dekat pemandangan pantai pasir yang saya lihat sebelumnya dari panggung tempat saya duduk.
Panggung-panggung tempat istirahat, tukar pakaian, kedai-kedai kopi, serta dua buah bangunan penginapan (hotel kecil) berdiri di sepanjang pantai yang terkesan bersih. Beberapa orang sedang berenang di tepi pantai. Mereka memandang kami dan melambaikan tangan persahabatan. Horas....!.
***
Kami kembali ke panggung tempat duduk semula. Duduk sebentar mengenang keindahan yang baru saja saya saksikan. Wah, sungguh beruntung saya ke Silalahi hari itu. Seumur-umur, dalam usia 51 tahun, baru pertama kali ke Silalahi.
Sore itu, saya berenang bersama teman-teman di pantai pasir yang saya sebut sebelumnya. Bebas karamba. Menurut petugas di sana, lokasi itu baru dikembangkan sekitar dua tahun yang lalu. Saya kagum melihat bangunannya yang asri meski sederhana.
Memasuki wilayah itu kami dipungut biaya masuk Rp 3000, sepertinya biaya parkir mobil. Sayangnya hujan turun begitu lebatnya, sehingga saya tidak bisa puas menikmati renang, olah raga yang sangat saya senangi.
Teman saya Sy Edi Sahman Purba berkata: ”Saya akan kembali ke sini. Hanya bawa anak dan istri. Ini tempat yang bagus untuk wisata keluarga,”ujar, Ketua seksi Bapa GKPS Simalingkar itu.
****
Lantas, saya dan beberapa orang yang ikut berenang kembali ke Sopo Morina—kurang dari satu kilometer jaraknya dari lokasi berenang itu.
Morina terletak pada sebuah perbukitan menghadap danau, tidak jauh dari kantor Kepala Desa Silalahi 1, sebelah kiri jalan mulus yang menghubungkan Silalahi-Tongging. Rombongan kami mengetahui penginapan itu dari teman-teman gereja yang sebelumnya sudah pernah ke sana.
Penginapan ini terdiri dari satu kamar utama: enam kamar dan satu ruang besar, serta dua kamar mandi. Selain itu Morina juga menyediakan penginapan 5 kamar (2 orang), serta selebihnya beberapa kamar dengan jumlah penginap 4 sampai 5 orang). Tarifnya, itu tentu rahasia!. Yang jelas, menurut saya murah.
Karena saya dalam rombongan sebanyak 70-an orang, maka menyewa kamar utama lebih murah dan nyaman. Hanya perempuan yang tidur di kamar dan laki-laki tidur di atas tikar di ruang pertemuan/tamu yang cukup luas. Semua urusan makan dan penginapan diserahkan kepada pemilik penginapan, sehingga kami bisa melaksanakan acara kebaktian malam dan pagi harinya dan plesiran sekaligus.
Penginapan ini juga memiliki pantai yang dapat digunakan untuk berenang, pertemuan-pertemuan terbuka. Lokasi ini menyeberang jalan Silalahi-Tingging dan jaraknya hanya beberapa meter berjalan kaki.
Selain Morina, terdapat dua penginapan yang layak untuk pengunjung, terletak di Pantai Pasir. Bangunannya masih baru dan di depannya pantai bebas karamba.
Tertarik?. Silakan rencanakan kunjungan ke Silalahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar