Oleh: Jannerson Girsang[1]
Sembilan tahun peristiwa tragis dan memilukan itu berlalu. Mengisahkan
kembali Gempa terbesar lima puluh tahun terakhir dengan 8.7 Skala Richter yang
menerjang Nias dan menewaskan ratusan penduduk, ribuan rumah penduduk hancur
dan bangunan pemerintah, serta fasilitas umum lainnya rusak parah, mengingatkan
kita bagaimana bangsa ini pernah memiliki pengalaman keluar dari bencana
dahsyat itu. Penderitaan penduduk, karya-karya
ratusan lembaga-lembaga internasional/dalam negeri, dan pemerintah dalam menangani
bencana menghasilkan sesuatu peradaban manusia untuk menaklukkan alam dan
diwariskan ke generasi berikutnya.
Catatan Pribadi
28 Maret 2005, sekitar pukul 23.00. Saat penduduk Medan bersiap-siap
ke peraduan, tiba-tiba merasakan goncangan hebat. Lampu listrik di kamar
bergoyang-goyang, terdengar bunyi krek..krek di atas atap dan dinding. Semua
anggota keluarga berhamburan ke luar rumah. Malam itu, penduduk Medan bisa tidur lelap.
Ternyata, saat yang sama penduduk Nias semalama tidak bisa
tidur. Mereka kehilangan sanak saudara tewas tertimpa runtuhan bangunan, menjerit
meminta pertolongan dan berlarian ketakutan menuju ke perbukitan akibat terjarang
gempa berskala 8,7 Skala Richter, dan khawatir disusul tsunami.
Sehari sesudah gempa, sebagai Information Officer untuk sebuah kantor lembaga donor, saya ditugaskan ke lokasi bencana. Penerbangan regular masih tertutup, karena bandara Binaka rusak berat. Kalaupun ada sangat terbatas, karena hanya pesawat khusus. Dengan menumpang Ferry dari Sibolga dan mengarungi Samudera Hindia selama dua belas jam, saya tiba di pelabuhan Gunungsitoli, pagi hari sekitar pukul 06.00, 30 Maret 2005.
Ketika menyusuri jalan dengan ojek—saat itu satu-satunya alat
transportasi yang tersedia, dari pelabuhan pusat kota, saya menyaksikan kerusakan
hebat di sepanjang jalan. Di sebelah kanan jalan, Bank BRI—kantor perbankan
satu-satunya di sana ketika itu, rubuh.
Di pusat kota, hotel-hotel berlantai dua-empat rata dengan tanah, ratusan rumah
penduduk rusak berat. Sedih melihat rombongan yang baru saja kembali dari pemakaman
mengantar mayat. Saya kamum melihat beberapa sukarelawan sedang melakukan penggalian
bangunan untuk mencari mayat yang belum ditemukan.
Saya meninjau lokasi korban di sekitar daerah Pelita,
rumah-rumah rubuh dan penduduk mengungsi. Di sebuah mesjid dekat lapangan
Pelita terdapat ratusan pengungsi yang tertidur dan sebagian memasak indo mie,
mungkin persediaan makanan terakhir mereka. Sangat menyedihkan!.
Malam pertama saya di sana suasana begitu menyeramkan. Saya
sendiri menginap di kompleks kampus Sunderman, sebuah bangunan terbuat dari
kayu yang tahan gempa. Malam hari kota itu begitu mencekam. Gelap gulita,
karena jaringan listrik rusak, rumah-rumah kosong karena penduduk mengungsi ke
bukit-bukit di sekitar Gunungsitoli, seperti Mega View dll. Di tengah
kegelapan, terkadang di daerah tertentu saya mencium bau mayat. Mungkin masih ada mayat yang belum sempat
diangkut dari reruntuhan bangunan.
Kembali ke penginapan, di depan tempat saya menginap di Kompleks STT Sundherman, saya kisah-kisah menyedihkan dari beberapa korban yang mengunsi di sana. Ada yang keluarganya patah kaki, atau kehilangan anak-anak mereka karena tewas tertimpa bangunan.
Telekomunikasi tidak sepenuhnya berfungsi (hanya beberapa
oprator yang bisa terhubung), lapangan terbang rusak, jalan-jalan rusak dan
sebagian tidak bisa dilalui kenderaan roda empat. Transportasi laut dengan kapal Ferry menjadi
alat transportasi vital. Akibatnya, kebutuhan sehari-hari penduduk, terutama
makanan langka.
Pulau ini benar-benar terisolasi. Sudah tertimpa bencana, akses masuk terbatas pula. Ibarat
kata pepatah, sudah jatuh dari tangga, tertimpa tangga pula. Masyarakat yang
tertimpa gempa hanya menggantungkan diri
kepada bantuan dari luar pulau. Mereka memerlukan kebutuhan pokok, obat-obatan,
serta penghiburan.
Selama berada di sana, saya menyaksikan helikopter menjadi
alat transportasi yang sangat efektif, menunggu bandara selesai direhab. Lapangan
sepakbola di Jalan Pelita seolah menjadi bandara oengganti yang menghubungkan
Nias dengan bandara Polonia Medan dan Meulaboh. Berkali-kali saya menyaksikan
Helikopter Xinox milik Singapura mendarat di lapangan Pelita, membawa relawan
dan pejabat (termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sudah berada di
Nias beberapa hari setelah gempa), serta mengangkut kembali para korban yang
luka-luka dan membutuhkan perawatan ke rumah sakit di Medan.
Saat seperti itu, informasi atau laporan situasi menjadi sangat penting, dan harus segera sampai kepada mereka yang bisa memberi bantuan. Beberapa information officer lembaga-lembaga internasional, wartawan asing hadir di sana. Saya bertemu beberapa wartawan asing (Reuter, AFP dll), serta wartawan-wartawan lokal. Peran mereka sangat strategis dalam mengisahkan kejadian itu ke luar Nias. Muncul solidaritas nasional dan internasional membantu Nias!
Pasca Bencana: Nias
dengan Wajah Baru
Hari ini, sembilan tahun peristiwa itu berlalu. Akibat gempa
itu, pulau ini mendapat kucuran dana yang cukup besar, dan belum pernah dialami
sepanjang sejarah pulau itu. Ratusan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam
dan luar negeri dan pemerintah pusat dan daerah mengulurkan tangan melalui
bantuan keuangan, fisik dll.
Pemerintah kemudian menetapkan tahapan-tahapan
penanganan bencana Nias, mulai dari
Tahap Darurat, Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Tiga tahapan yang memiliki
karakteristik penanganan yang berbeda. Rehabilitas
dan rekonstruksi wilayah yang terkena bencana gempa besar seperti di Nias dan
Aceh, memerlukan koordinasi yang baik.
Setelah melalui masa darurat, pemerintah membentuk Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR Aceh-Nias) yang mencakup wilayah
bencana Aceh dan Nias (PP No 2/2005, dan Kepres No 30/2005). Badan ini bertugas
membangun kembali masyarakatAceh dan Nias, membangun kembali infrastruktur dan
fisik, membangun kembali ekonomi agar bisnis berjalan normal, membangun kembali
pemerintahan untuk melayani masyarakat.
Dengan dana yang bersumber dari APBN,
Negara-negara/Lembaga-lembaga Donor (multilateral dan bilateral), Palang Merah
Internasional/Negara Indonesia/Indonesia, NGO/LSM (Internasional dan local).
Kalau sebelum gempa dana pemsukan daerah hanya ratusan miliar per tahunnya
(1999: Rp 111 miliar), maka selama rekonstruksi dan rehabilitasi triliunan
rupiah dana mengalir ke pulau berpenduduk 800 ribu lebih itu.
BRR Aceh-Nias membangun kembali berbagai fasilitas misalnya jalan,
pelabuhan, perkantoran dan pembangunan kembali rumah-rumah yang rusak, serta
berbagai bidang kehidupan masyarakat lainnya. Kalau sebelum gempa dana pemsukan
daerah hanya ratusan miliar per tahunnya (1999: Rp 111 miliar), maka selama
rekonstruksi dan rehabilitasi triliunan rupiah dana mengalir ke pulau
berpenduduk 800 ribu lebih itu.
Saat ini, kemajuan Nias secara fisik dengan mudah bisa disaksikan pada jalan-jalan mulus yang dibangun pasca gempa. Nias sebelumnya tidak pernah memiliki jalan semulus itu. Lapangan terbang diperluas dan kini menjadi lapangan terbang kedua terbesar di Sumatera Utara setelah Kuala Namu, Medan. Bangunan-bangunan yang rusak sudah kembali diperbaiki dan di banyak tempat lebih baik dari sebelumnya. Penduduk mendapat peningkatan kapasitas, mengenal teknik-teknik baru bercocok tanam dan berbagai usaha baru membangun kembali mata pencaharian mereka.
Pada kunjungan terakhir ke Nias, Maret 2012, saya menyaksikan
kemajuan ekonomi yang luar biasa di pulau ini. Perbankan kini sudah menyebar ke
berbagai kota. Kantor BRI berdiri megah, demikian pula kantor BNI menjadi
bangunan kebanggan kota itu. SPBU yang dimasa sebelum tsunami hanya terdapat di
Gunungsitoli, kini memiliki beberapa SPBU, termasuk di Teluk Dalam, Nias
Selatan, restoran-restoran di tepi pantai Gunungsitoli lebih ramai.
Jembatan No yang hancur oleh gempa, kini berganti menjadi
jembatan yang kokoh memperindah wajah Gunungsitoli. Pasar Yahowu yang hancur,
kini berubah menjadi parasa modern di pusat kota. Pasar Yahowu yang hancur
akibat gempa, kemudian berubah wajah dengan pasar yang modern dan kini berdiri megah menghiasi kota itu.
Kalau sebelum gempa, kapasitas pemerintah, LSM dan
masyarakat Nias dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pembangunan
masih jauh tertinggal dibanding wilayah lain di Sumatera Utara, kehadiran BRR, lembaga-lembaga donor, maupun NGO asing memberikan
pengalaman berharga bagi pulai ini merancang dan melaksanakan sebuah
pembangunan yang berkelanjutan.
Belakangan, pemerintahanpun dimekarkan dari dua Kabupaten menjadi 5 Kabupaten
dan Kota.
Kesiapsigaan Bencana
“Tahun demi tahun negeri ini tak lepas dari bencana. Namun,
selepas bencana itu datang, selepas itu orang lupa. Tak berubah cara berfikir
masyarakat maupun pengelola pemerintah,” kata buku Jurnalisme Bencana dan
Bencana Jurnalisme yang ditulis Ahmad Arif, seorang wartawan senior.
Sebuah potongan kritik atas penyakit lupa bangsa ini terhadap peristiwa bencana, padahal kita berada di lingkungan bencana. Pengalaman kita mengelola bencana seharusnya menjadi kearifan yang bisa digunakan pada gempa berikutnya dan bahkan bisa berguna bagi dunia lainnya yang mengalami bencana. Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana pengelolaan bencana di negeri ini. Bangsa ini masih perlu belajar menggunakan pengalaman sebagai guru yang baik.
Bayi yang lahir pada 28 Maret 2005, kini sudah berusia 9
tahun. Mereka mungkin sudah kelas dua atau tiga SD. Sekolah-sekolah di Nias
seharusnya memiliki muatan lokal pelajaran tentang Gempa besar itu. Anak-anak
balita ketika gempa terjadi kini sudah
remaja atau menjelang dewasa juga perlu pengetahuan tentang peristiwa ini.
Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) daerah harus lebih gesit ke depan.
Semoga peristiwa 28 Maret 2005 membawa pelajaran bagi bangsa
ini di masa datang. Jangan sampai, “Bencana Lepas, Selepas itu pula Kita Lupa”.
[1] Mantan
Information Officer untuk Action by Churches Together (ACT-Intl) dan Program
Manager Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (2005-2006). Keduanya donor dan
Implementing Partner untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. Pernah
menjadi konsutan media website http://www.nias-bangkit.com
dan beberapa kali mengunjungi Nias hingga 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar