My 500 Words

Selasa, 01 April 2014

Mengenang Sembilan Tahun Gempa Nias: “Bencana Lepas, Jangan Selepas Itu Dilupakan”



Oleh: Jannerson Girsang[1]
Sembilan tahun peristiwa tragis dan memilukan itu berlalu. Mengisahkan kembali Gempa terbesar lima puluh tahun terakhir dengan 8.7 Skala Richter yang menerjang Nias dan menewaskan ratusan penduduk, ribuan rumah penduduk hancur dan bangunan pemerintah, serta fasilitas umum lainnya rusak parah, mengingatkan kita bagaimana bangsa ini pernah memiliki pengalaman keluar dari bencana dahsyat itu.  Penderitaan penduduk, karya-karya ratusan lembaga-lembaga internasional/dalam negeri, dan pemerintah dalam menangani bencana menghasilkan sesuatu peradaban manusia untuk menaklukkan alam dan diwariskan ke generasi berikutnya. 

Catatan Pribadi

28 Maret 2005, sekitar pukul 23.00. Saat penduduk Medan bersiap-siap ke peraduan, tiba-tiba merasakan goncangan hebat. Lampu listrik di kamar bergoyang-goyang, terdengar bunyi krek..krek di atas atap dan dinding. Semua anggota keluarga berhamburan ke luar rumah.  Malam itu, penduduk Medan bisa tidur lelap. 
Ternyata, saat yang sama penduduk Nias semalama tidak bisa tidur. Mereka kehilangan sanak saudara tewas tertimpa runtuhan bangunan, menjerit meminta pertolongan dan berlarian ketakutan menuju ke perbukitan akibat terjarang gempa berskala 8,7 Skala Richter, dan khawatir disusul tsunami. 

Sehari sesudah gempa, sebagai Information Officer untuk sebuah kantor lembaga donor, saya ditugaskan ke lokasi bencana. Penerbangan regular masih tertutup, karena bandara Binaka rusak berat. Kalaupun ada sangat terbatas, karena hanya pesawat khusus.  Dengan menumpang  Ferry dari Sibolga dan mengarungi Samudera Hindia selama dua belas jam, saya tiba di pelabuhan Gunungsitoli, pagi hari sekitar pukul 06.00, 30 Maret 2005.

Ketika menyusuri jalan  dengan ojek—saat itu satu-satunya alat transportasi yang tersedia, dari pelabuhan pusat kota, saya menyaksikan kerusakan hebat di sepanjang jalan. Di sebelah kanan jalan, Bank BRI—kantor perbankan satu-satunya di sana ketika itu,  rubuh. Di pusat kota, hotel-hotel berlantai dua-empat rata dengan tanah, ratusan rumah penduduk rusak berat. Sedih melihat rombongan yang baru saja kembali dari pemakaman mengantar mayat. Saya kamum melihat  beberapa sukarelawan sedang melakukan penggalian bangunan untuk mencari mayat yang belum ditemukan.

Saya meninjau lokasi korban di sekitar daerah Pelita, rumah-rumah rubuh dan penduduk mengungsi. Di sebuah mesjid dekat lapangan Pelita terdapat ratusan pengungsi yang tertidur dan sebagian memasak indo mie, mungkin persediaan makanan terakhir mereka. Sangat menyedihkan!.

Malam pertama saya di sana suasana begitu menyeramkan. Saya sendiri menginap di kompleks kampus Sunderman, sebuah bangunan terbuat dari kayu yang tahan gempa. Malam hari kota itu begitu mencekam. Gelap gulita, karena jaringan listrik rusak, rumah-rumah kosong karena penduduk mengungsi ke bukit-bukit di sekitar Gunungsitoli, seperti Mega View dll. Di tengah kegelapan, terkadang di daerah tertentu saya mencium bau mayat.  Mungkin masih ada mayat yang belum sempat diangkut dari reruntuhan bangunan.

Kembali ke penginapan, di depan tempat saya menginap di Kompleks STT Sundherman, saya kisah-kisah menyedihkan dari beberapa korban yang mengunsi di sana. Ada yang keluarganya patah kaki, atau kehilangan anak-anak mereka karena tewas tertimpa bangunan. 

Telekomunikasi tidak sepenuhnya berfungsi (hanya beberapa oprator yang bisa terhubung), lapangan terbang rusak, jalan-jalan rusak dan sebagian tidak bisa dilalui kenderaan roda empat.  Transportasi laut dengan kapal Ferry menjadi alat transportasi vital. Akibatnya, kebutuhan sehari-hari penduduk, terutama makanan langka.

Pulau ini benar-benar terisolasi. Sudah tertimpa  bencana, akses masuk terbatas pula. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh dari tangga, tertimpa tangga pula. Masyarakat yang tertimpa gempa hanya  menggantungkan diri kepada bantuan dari luar pulau. Mereka memerlukan kebutuhan pokok, obat-obatan, serta penghiburan.

Selama berada di sana, saya menyaksikan helikopter menjadi alat transportasi yang sangat efektif, menunggu bandara selesai direhab. Lapangan sepakbola di Jalan Pelita seolah menjadi bandara oengganti yang menghubungkan Nias dengan bandara Polonia Medan dan Meulaboh. Berkali-kali saya menyaksikan Helikopter Xinox milik Singapura  mendarat di lapangan Pelita, membawa relawan dan pejabat (termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sudah berada di Nias beberapa hari setelah gempa), serta mengangkut kembali para korban yang luka-luka dan membutuhkan perawatan ke rumah sakit di Medan.  

Saat seperti itu, informasi atau laporan situasi menjadi  sangat penting, dan harus segera sampai kepada mereka yang bisa memberi bantuan. Beberapa information officer lembaga-lembaga internasional, wartawan asing hadir di sana. Saya bertemu beberapa wartawan asing (Reuter, AFP dll), serta wartawan-wartawan lokal.   Peran mereka sangat strategis dalam mengisahkan kejadian itu ke luar Nias. Muncul solidaritas nasional dan internasional membantu Nias!

Pasca Bencana: Nias dengan Wajah  Baru

Hari ini, sembilan tahun peristiwa itu berlalu. Akibat gempa itu, pulau ini mendapat kucuran dana yang cukup besar, dan belum pernah dialami sepanjang sejarah pulau itu. Ratusan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri dan pemerintah pusat dan daerah mengulurkan tangan melalui bantuan keuangan,  fisik dll.

Pemerintah kemudian menetapkan tahapan-tahapan penanganan  bencana Nias, mulai dari Tahap Darurat, Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Tiga tahapan yang memiliki karakteristik penanganan yang berbeda.  Rehabilitas dan rekonstruksi wilayah yang terkena bencana gempa besar seperti di Nias dan Aceh, memerlukan koordinasi yang baik.

Setelah melalui masa darurat, pemerintah membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR Aceh-Nias) yang mencakup wilayah bencana Aceh dan Nias (PP No 2/2005, dan Kepres No 30/2005). Badan ini bertugas membangun kembali masyarakatAceh dan Nias, membangun kembali infrastruktur dan fisik, membangun kembali ekonomi agar bisnis berjalan normal, membangun kembali pemerintahan untuk melayani masyarakat.  

Dengan dana yang bersumber dari APBN, Negara-negara/Lembaga-lembaga Donor (multilateral dan bilateral), Palang Merah Internasional/Negara Indonesia/Indonesia, NGO/LSM (Internasional dan local). Kalau sebelum gempa dana pemsukan daerah hanya ratusan miliar per tahunnya (1999: Rp 111 miliar), maka selama rekonstruksi dan rehabilitasi triliunan rupiah dana mengalir ke pulau berpenduduk 800 ribu lebih itu. 
BRR Aceh-Nias membangun kembali berbagai fasilitas misalnya jalan, pelabuhan, perkantoran dan pembangunan kembali rumah-rumah yang rusak, serta berbagai bidang kehidupan masyarakat lainnya. Kalau sebelum gempa dana pemsukan daerah hanya ratusan miliar per tahunnya (1999: Rp 111 miliar), maka selama rekonstruksi dan rehabilitasi triliunan rupiah dana mengalir ke pulau berpenduduk 800 ribu lebih itu.

Saat ini, kemajuan Nias secara fisik dengan mudah bisa disaksikan pada jalan-jalan mulus yang dibangun pasca gempa. Nias sebelumnya tidak pernah memiliki jalan semulus itu. Lapangan terbang diperluas dan kini menjadi lapangan terbang kedua terbesar di Sumatera Utara setelah Kuala Namu, Medan. Bangunan-bangunan yang rusak sudah kembali diperbaiki dan di banyak tempat lebih baik dari sebelumnya. Penduduk mendapat peningkatan kapasitas, mengenal  teknik-teknik baru bercocok tanam dan berbagai usaha baru membangun kembali mata pencaharian mereka.  

Pada kunjungan terakhir ke Nias, Maret 2012, saya menyaksikan kemajuan ekonomi yang luar biasa di pulau ini. Perbankan kini sudah menyebar ke berbagai kota. Kantor BRI berdiri megah, demikian pula kantor BNI menjadi bangunan kebanggan kota itu. SPBU yang dimasa sebelum tsunami hanya terdapat di Gunungsitoli, kini memiliki beberapa SPBU, termasuk di Teluk Dalam, Nias Selatan, restoran-restoran di tepi pantai Gunungsitoli lebih ramai.

Jembatan No yang hancur oleh gempa, kini berganti menjadi jembatan yang kokoh memperindah wajah Gunungsitoli. Pasar Yahowu yang hancur, kini berubah menjadi parasa modern di pusat kota. Pasar Yahowu yang hancur akibat gempa, kemudian berubah wajah dengan pasar yang modern dan  kini berdiri megah menghiasi kota itu. 

Kalau sebelum gempa, kapasitas pemerintah, LSM dan masyarakat Nias dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pembangunan masih jauh tertinggal dibanding wilayah lain di Sumatera Utara, kehadiran  BRR, lembaga-lembaga donor, maupun NGO asing memberikan pengalaman berharga bagi pulai ini merancang dan melaksanakan sebuah pembangunan yang berkelanjutan. Belakangan, pemerintahanpun dimekarkan dari dua Kabupaten menjadi 5 Kabupaten dan Kota.

Kesiapsigaan Bencana

“Tahun demi tahun negeri ini tak lepas dari bencana. Namun, selepas bencana itu datang, selepas itu orang lupa. Tak berubah cara berfikir masyarakat maupun pengelola pemerintah,” kata buku Jurnalisme Bencana dan Bencana Jurnalisme yang ditulis Ahmad Arif, seorang wartawan senior.

Sebuah potongan kritik atas penyakit lupa bangsa ini terhadap peristiwa bencana, padahal kita berada di lingkungan bencana. Pengalaman kita mengelola bencana seharusnya menjadi kearifan yang bisa digunakan pada gempa berikutnya dan bahkan bisa berguna bagi dunia lainnya yang mengalami bencana. Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana pengelolaan bencana di negeri ini. Bangsa ini masih perlu belajar menggunakan pengalaman sebagai guru yang baik.  

Bayi yang lahir pada 28 Maret 2005, kini sudah berusia 9 tahun. Mereka mungkin sudah kelas dua atau tiga SD. Sekolah-sekolah di Nias seharusnya memiliki muatan lokal pelajaran tentang Gempa besar itu. Anak-anak balita ketika gempa terjadi  kini sudah remaja atau menjelang dewasa juga perlu pengetahuan tentang peristiwa ini. Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) daerah harus lebih gesit ke depan.  
  
Semoga peristiwa 28 Maret 2005 membawa pelajaran bagi bangsa ini di masa datang. Jangan sampai, “Bencana Lepas, Selepas itu pula Kita Lupa”.


[1] Mantan Information Officer untuk Action by Churches Together (ACT-Intl) dan Program Manager Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (2005-2006). Keduanya donor dan Implementing Partner untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. Pernah menjadi konsutan media website http://www.nias-bangkit.com dan beberapa kali mengunjungi Nias hingga 2012.    

Tidak ada komentar: