(Kisah ini Hanyalah Khayalanku Belaka, bukan Peristiwa Nyata)
Usai Pileg kemaren, aku sadar, setelah suara yang masuk di TPS begitu
mengecewakanku. Dengan suara tidak sampai 1000 dari TPS andalanku pasti aku tidak lolos ke
DPRD Tingkat I.
Uang yang sudah kukeluarkan Rp 1 miliar itu
rupanya banyak. Begitu mudahnya aku membelanjakannya hanya dalam waktu
sepuluh bulan. Aku taburkan uang rata-rata Rp 100 juta per bulan.
Seandainya tidak jadi Caleg, aku bisa gunakan uang Rp 1 miliar itu
buat belanja anak namboruku yang akhirnya putus sekolah. Padahal mereka
sudah datang ke rumahku meminta tolong. Sayangnya, saat itu semua tim
suksesku butuh biaya. Jadi tidak tersedia uang kas lagi di tanganku. Di
mataku Caleg adalah segala-galanya.
Uang itu bisa kupakai
untuk membelanjai tiga putri saudaraku yang yatim piatu, sampai tamat
kuliah. Caleg, memang segala-galanya, sehingga aku buta melihat
keluargaku yang miskin. Kini, baru aku sadar, merekalah sebenarnya suara
Tuhan itu. "Menolong orang yang berkekurangan".
Aku lebih
suka memalingkan telingaku dan mendengar para tim suksesku yang meski
hanya suara "kosong". "Kita pasti menang, kita pasti menang". Tapi
entah kenapa, aku selalu yakin. Suara mereka selalu kuyakini, seperti
Suara Tuhan!
Aku malah mengabaikan nasehat teman-temanku, yang
selama ini cukup bijak. Mereka beberapa kali mengatakan tidak usah
mencalon, karena biayanya besar dan persaingan sangat ketat dan tidak
mungkin menang. Aku benci nasehat mereka. Padahal, merekalah yang
seharusnya kudengar. Banyak diantara mereka sangat berpengalaman
mengelola kampanye.
Aku banyak menipu mereka. Berkali-kali
mereka datang, tak pernah sekalipun kuhargai, bahkan tak memberinya
transport. Padahal ide-ide merekalah yang kucuri dan kupakai dalam
kampanyeku. Soalnya di dalam timku, tidak ada yang berpengalaman.
Aku selalu sindir teman-temanku yang ahli kampanye itu dengan
kata-kata, "jangan banyak teorilah". Padahal, aku hanya menghindari
supaya jangan membayar honor atas ide mereka mahal itu. Aku hanya mau
membayar tim yang selalu memujiku, meskipun mereka tidak punya
pengalaman apa-apa.
Aku malah tidak kasihan melihat
beberapa temanku yang karena idealis mereka hanya bisa naik sepeda
motor, datang menemuiku di panas matahari. Bahkan aku sering mengejek
mereka, tidak bisa cari duit. Dengan uang segitu banyak, aku seharusnya
bisa menolong mereka dengan membeli mobil sederhana agar tugas
pelayanannya lancar.
Aku tidak sedikitpun peduli temanku yang
sudah 4 tahun hanya naik sepeda motor, setelah mobilnya dijual untuk
membelanjai anaknya. Aku butuh mereka yang punya mobil, supaya tidak
menyediakan lagi biaya transportnya. Itu sebabnya, di depan centerku
selalu parkir mobil-mobil mewah.
Kini aku sadar, bahwa mereka
hanyalah kontraktor-kontraktor yang tak punya massa, bahkan tak punya
teman. Mereka hanyalah para pragmatis yang mengharapkan aku bisa menang.
Mereka akan mendapatkan proyek dengan mudah menggunakan namaku kelak.
Mereka memang membantuku, tetapi bukanlah bantuan yang tulus.
Ah, anakku lagi. Selama kampanye untuk ngasi uang jajannya saja kadang
aku lupa. Angan-angannnya sekolah di Amerika seringkali kuabaikan.
Dengan uang Rp 1 miliar, aku tidak usah pusing lagi menyekolahkan anak
saya ke Singapura, Australia, atau cita-citanya sekolah ke Amerika.
Kalung istriku, kebanggaannya kalau duduk di gereja. Gelang yang
melekat di tangannya, rante mas yang melingkar di lehernya, liontin
berlian mempercantik dirinya, kini semua sudah lenyap.
Utangku...oh
utangku. Kuharapkan bisa lunas, kalau aku jadi Caleg. Kemaren petugas
bank sudah datang dan menyegel rumahku. Aku jadi malu. Selama ini aku
dikenal sebagai orang yang suka menyumbang, khususnya rumah ibadah. Kemana mukaku, kalau besok dia datang lagi.
Tetangga akan mengejek aku. "Hari gini nggak bisa bayar utang?". Aku mau bilang apa?
Kini aku hanya bisa berandai-andai.
Uang satu miliar lenyap. Orang menyalahkanku. Semua teman-teman
menjauhiku. Padahal, beberapa hari sebelumnya, mereka masih menerima
uang ratusan juta untuk mengawasi TPS.
Bahkan smspun sudah hampir tidak masuk lagi. Dulu ribuan sms masuk ke HPku: "Kita pasti menang bos. Lanjut".
Sadarlah aku arti peribahasa ini: "Arang habis, besi binasa"
Oh seandainya aku tidak Mencaleg!
Medan, 10 April 2014
Jannerson Girsang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar