My 500 Words

Kamis, 04 April 2013

Selamat Jalan Pak Ali Soekardi



Oleh: Jannerson Girsang

Berita duka kuterima sekitar pukul 23.00 WIB. Pertama melalui statusnya Prof Dr Hadiluwih. Kemudian aku buka sms dari Rizal Surya, teman akrabku di Harian Analisa.  Ternyata, sebuah berita duka!

Ali Soekardi, Wapemred Analisa--harian terbesar di Sumatera, meninggal dunia 03 Maret 2013 sore. Saya kaget. Pasalnya, Januari lalu beliau masih segar bugar, saat peluncuran bukunya. Berbicara dengan santai dan kocak, di dekat pintu masuk ruang peluncuran di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Pemprovsu. Itulah pertemuan saya yang terakhir dengan wartawan tiga zaman itu.

Dari hasil pengamatan tentang beliau selama ini, suasana peluncuran buku dan perbincangan kami,  saya menuliskan profilnya dan dimuat di Harian Analisa 22 Januari 2013.

Hampir tengah malam, saya menelepon Rizal Surya, penulis buku Biografinya dan salah seorang redaktur harian Analisa. Akrab saya sesama penulis sejak beberapa tahun terakhir ini. Malam itu Rizal masih di kantor. Mungkin sedang menulis sesuatu tentang sang tokoh.

“Kemaren siang kami masih bercanda Bang.  Cuma hari ini dia nggak masuk. Saya juga kaget mendengar pak Ali meninggal,”ujarnya. Dari Rizal saya dapat informasi bahwa Pak Ali akan dikebumikan besok. Berarti saya masih bisa melihat jazadnya untuk terakhir kali.

Ali Soekardi adalah seorang jurnalis teladan. Malam ini tak banyak yang bisa kuungkapkan tentang beliau. Saya menuliskan kesan saya di FB, memberitahukan bahwa pak Ali sudah berpulang, kembali ke sisi sang Pencipta. 

“Sebentar aja tidak buka FB dan ketinggalan HP langsung kehilangan berita. Saya baru buka Rizal Surya dan baca statusnya Prof Subanindyo Hadiluwih mengatakan bahwa Bapak Ali Soekardi (Wapemred Harian Analisa) sudah meninggal dunia hari ini. Padahal saya baru Januari lalu menghadiri peluncuran bukunya: 80 Tahun Ali Soekardi. Saya masih menulis profilnya di Harian Analisa, Selasa, 22 Jan 2013.”

“Pilihannya untuk tetap bekerja kepada media tempatnya bekerja, niatnya untuk mempersiapkan generasi penggantinya, adalah teladan loyalitas korps yang tidak banyak dimiliki wartawan di era reformasi ini. Dia bukan kutu loncat, peri laku banyak wartawan dengan banyaknya media. Ali sudah bekerja di harian itu, sejak 1973 atau empat puluh tahun yang lalu, satu tahun setelah harian itu berdiri dan tidak pernah berpindah ke media lain. Lebih dari 30 tahun, dia memegang jabatan Wakil Pemimpin Redaksi” demikian kutuliskan kesan saya di Harian Analisa dalam sebuah artikel berjudul: Selamat Ultah ke-80 Pak Ali Soekardi "…Terus Membaca dan Menulis, Maka Kita Tidak Pikun"
Berbagai nama disebut-sebut menjuluki pria yang 4 Januari 2013 lalu genap berusia 80 tahun. "Rosihan Anawar dari Sumatera Utara" yang muncul di peluncuran bukunya, atau "Wartawan Tiga Zaman" yang dijuluki harian Orbit beberapa hari lalu. Entahlah, biarlah masyarakat yang menilainya!.

Selamat jalan Pak Ali, semoga kami dapat mewarisi keteladananmu.Pertemuan terakhir kami adalah saat peluncuran bukunya: 80 Tahun Ali Soekardi di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda)  Pemprovsu, dekat Istana Maimun Medan, 19 Januari 2013.

Tak sedikitpun saya menduga beliau akan meninggal secepat itu. Masih banyak yang ingin digali dari seorang Ali Soekardi.

Malam ini saya berdoa khusus untuk bapak Ali Soekardi. Semoga keluarga yang ditinggalkan mendapat penghiburan dan keteladanan beliau menjadi warisan berharga bagi kita semua.
Selamat jalan Pak Ali. Kami kehilanganmu!.

Medan, 04 April 2013 (00.34). Semoga saya bisa melayatmu besok. 

Update 4 April 2013

Pagi-pagi saya membaca harian Analisa. Menyimak dua artikel tentang pak Ali. "Wapemred Analisa Ali Soekardi telah Tiada" ditulis War Jamil, Sekretaris Redaksi Harian Analisa, dan "perbincangan Terakhir dengan Pak Ali" ditulis Rizal Surya, redaktur Harian Analisa.

Siang hari, saya beruntung bisa melayat ke rumah pak Ali di Kompleks Perumahan PWI, Jalan Letter Press, di daerah Sidorukun Medan. Puluhan papan bunga menghiasi halaman rumah. Dekat dengan tempat dudukku, ada papan bunga Soepandi (Hakim Agung)), Walikota Medan Rahudman Harahap dan lain-lain.

Halaman rumah dan jalan depan rumah dipasangi beberapa tiang taratak. Ratusan pelayat dan keluarga dekat almarhum memenuhi kursi yang disiapkan. Tampak H Sofian, Pemred Analisa, Pak Supandi Kusuma, Pemimpin Perusahaan Analisa, War Jamil, Sekretaris Redaksi Harian Analisa, tokoh-tokoh pers Sumatera Utara (mantan Ketua PWI Moh Yazid, Zaki Abdullah), Ketua PWI  Drs Muhammad Syahrir, JA Ferdinandus (mantan Dirut PTP IX). Muhammad TWH--tokoh senior jurnalis Sumut dan puluhan wartawan lainnya.

Saya bertemu Brilian Mohtar, anggota DPRD Sumut. Saya duduk bersama Rizal Surya, penulis Biografi Ali Soekardi. "Sebenarnya masih ada rencana menulis buku tentang pemikiran pak Ali. Dia sedang mempersiapkan bahan, tapi keburu beliau pergi," ujar Rizal. Sempat bersalaman dengan Ali Murtado--redaktur harian Analisa, J Anto, Direktur KIPPAS. Dua tokoh yang saya kagumi karena sangat produktif menulis.

Beberapa menit saya tiba, Pak Sulaiman, mewakili keluarga dan War Jamil--mewakili Harian Analisa, Lilik Suhairi--mewakili  PT Sumatra Bakri Plantation, Muhammad Syahrir--mewakili PWI Sumut, memberikan kata sambutan. Intinya, Ali Soekardi adalah seorang ayah teladan, bergaul luwes dengan tetangga. Dia juga adalah seorang jurnalis yang sangat disiplin dan senantiasa memikirkan peningkatan kualitas penerbitan harian yang dipimpinnya.

Kemudian jenazah pak Ali dibawa ke Mesjid Nur Chadidjah, beberapa puluh meter dari rumah duka dan selanjutnya dimakamkan di pekuburan muslim Jalan Krakatau, 1-2 kilometer dari rumah duka.
Saya pulang sekitar jam 12.00 saat jenazah disembahyangkan di mesjid. "Selamat jalan pak Ali. Adakah lagi wartawan yang memiliki semangat belajar dan menulis hingga ujur. Wartawan yang lembut, sopan dan ramah seperti beliau?".

Update 5 April

Gambar: Sejumlah pelayat dari keluarga, dan rekan kerja mengantarkan jenazah Wakil Pemred Harian Analisa, Alm. H Ali Soekardi saat akan dikebumikan di Tempat Pemakaman Muslim Krakatau Medan, Kamis (4/4).  Ali Soekardi tutup usia 80 tahun, meninggalkan tujuh orang anak, dan 12 orang cucu. (Analisa, 5 April 2013)
 

Senin, 01 April 2013

Catatan Hidup dan Arti Sebuah Kematian


Biografi Floriana Tobing, 2009
Oleh: Jannerson Girsang

The life of the dead is placed in the memory of the living. (Marcus Tullius Cicero).

Dalam dua bulan terakhir ini saya kehilangan beberapa teman yang banyak mewarnai kehidupan saya. Hari ini aku begitu sedih, karena aku kehilangan Floriana Tobing, yang meninggal  di RS Elizabeth Medan, 30 Maret 2013, dalam usia 82 tahun.

Untungnya, saya sudah menulis pengalaman hidupnya Berdoa dan Menabur Kasih. Meski dia sudah pergi, saya masih bisa membaca kenangan berharga dari dirinya.

Kematian seorang teman memutus hubungan saya secara fisik dan rohani dengan mereka.  Saya tidak lagi merasakan perasaan mereka, demikian sebaliknya. Tidak ada lagi komunikasi timbal balik. 

Kematian berarti terputusnya komunikasi, dan lambat laun sejalan waktu kita akan melupakan mereka. Waktu cenderung melupakan, karena komunikasi adalah darah dari sebuah persahabatan, bukti  bahwa kita masih menyayangi seseorang. 

Bagi sebagian orang mendirikan makam yang bagus, dan melakukan ziarah dalam waktu-waktu tertentu. Tetapi, itu hanya bangunan fisik yang mudah hancur. Ketika makam seseorang  jauh dari tempat tinggal, maka tidak ada lagi komunikasi yang bisa dilakukan. Apalagi keadaan ekonomi tidak memungkinkan untuk mengunjunginya. Banyak makam yang sudah tidak dirawat lagi dan akhirnya hilang begitu saja.  

Bukti-bukti sudah banyak.  Tidak sedikit di dunia ini seorang anak tidak tau sekedar nama seorang kakek neneknya, apalagi mengetahui keteladanan mereka.  

Begitukah akhir hubungan kita dengan orang-orang yang sudah meninggal. Sayang sekali!. Apa yang bisa menghubungkan kita dengan keluarga atau rekan kita yang sudah meninggal?. 

Salah satunya adalah mencatat kehidupan mereka dan mengenang hal-hal baik yang dilakukannya sebagai teladan dan hal-hal buruk yang tidak perlu ditiru. 

Mengenang orang yang meninggal adalah mengenang nilai-nilai yang ditinggalkannya. Sebuah kisah!

Setiap orang dilahirkan ke dunia memiliki missi khusus. Setiap orang punya tantangan  khas dalam hidupnya, yang diatasi dengan tindakan-tindakannya dan makna yang kita peroleh dari  ungkapan-ungkapannya yang menghasilkan kebaikan yang menjadi teladan dan keburukan atau kesalahan yang tidak perlu diulangi. 

Inilah nilai terbesar seorang manusia selama hidup di dunia. Hellen Keller mengatakan: “Hal-hal terindah di dunia ini bukan sesuatu yang dapat dilihat dengan mata atau dapat diraba dengan tangan, tetapi sesuatu yang dapat dirasakan dengan hati”. 

Harta, jabatan dan kemegahan yang dapat dilihat dengan mata, akan hilang karena itu hanya bersifat sementara. Tetapi kisah hidup, sesuatu yang dapat dirasakan dengan hati, akan tetap sampai selama-lamanya. 

Sebuah catatan hidup baik itu tulisan maupun gambar atau video adalah alat komunikasi abadi dengan teman-teman kita yang sudah meninggal. Mari menuliskan kenangan tentang teman-teman kita, mengenang mereka agar mereka tetap hidup.  Our dead are never dead to us, until we have forgotten them.(George Eliot).

Selamat jalan inang Floriana Tobing. Saya akan tetap mengenang kebaikan-kebaikanmu, ketulusanmu dan kelembutanmu.   

Jumat, 29 Maret 2013

Teknologi dan Paskah 2013

Oleh: Jannerson Girsang

Teknologi dan Perayaan Paskah!. Kemajuan teknologi telah memungkinkan kita memenuhi kehidupan rohani dengan mudah. 

Menjelang Perayaan Paskah jam 12.00, hari ini, saya membuka internet: memilih lagu-lagu rohani, membaca ulasan Firman Tuhan dari video-video para pengkhotbah beken, keren, menonton film-film tentang Paskah. 

Semua gratis!. 

Tak masanya lagi kita tidak tau latar belakang peristiwa tertentu. Peristiwa apa saja. Kalau hanya sekedar pengetahuan, internet adalah gudangnya.

Mau lihat artikel tentang ulasan :Paskah, buka Google aja. Semua yang diinginkan ada. Mau yang teks, foto, video semua ada. Youtube misalnya, menyediakan ribuan video tinggal pilih sesuai selera.  Tidak ada lagi hal tentang Paskah yang tidak diulas di internet.

Bukan jamannya lagi kita layaknya ikan di dalam laut yang selalu bertanya. "Dimana laut?. Padahal, laut ada di sekelilingnya".

Di sekeliling kita sudah penuhi dengan pengetahuan soal Paskah. Kalau mau khotbah yang kualitasnya asal-asalan sampai sekelas Billy Graham, Chris Manusama, Steven Tong ada. Tapi jangan salah, khotbah yang masuk telinga kiri, keluar telinga kanan atau tanpa isi juga ada.  

Teknologi membuat hidup lebih mudah dan nyaman, asalkan hati bersih, sabar, rela menerima, meluangkan waktu beberapa saat, maka pengetahuan yang diperlukan sudah tersedia. 

Cuma jangan salah!. 

Internet adalah gudangnya pengetahuan baik dan pengetahuan jahat. Seluruh dunia mestinya tau itu. Terserah, Anda mau milih yang mana. 

Alih-alih memilih topik tentang Paskah,  Bisa tergoda memilih video yang membuat pikiran Anda melayang dan membayangkan hal-hal yang jorok. 

Selasa, 26 Maret 2013

Patsy Wida Kuswara: Kisah Jurnalis Indonesia di Negeri Paman Sam (Harian Analisa, 26 Maret 2013)



Patsy Widakuswara (Photo: The Washington Post)

Oleh: Jannerson Girsang. 

Patsy Widakuswara seorang perempuan Indonesia kelahiran Maret 1974, memiliki pengalaman menarik sebagai penyiar di The Voice of America (VOA). Hingga kisahnya dimuat The Washington Post, dalam artikel berjudul “Bringing the news of America to Indonesia”, edisi 18 Maret 2013 yang lalu.

Setelah lulus dari Jurusan Komunikasi di FISIP UI, co-founder kelompok debat bahasa Inggris pertama di Indonesia, English Debating Society di UI dan peraih beberapa gelar juara nasional dan internasional ini bekerja beberapa tahun di media elektronik nasional, mendapat bea siswa memperoleh gelar Master di bidang TV Journalism di London, kemudian bekerja di VOA. 

Pelajaran penting dia peroleh selama di Inggeris. Menurut Anne Budianto selama di London, Patsy sempat membuat 2 program dokumenter, untuk Channel 4 dan BBC. “Saya merasa tercerahkan selama di sana. Prinsip jurnalisme yang saya kenal saat itu hanya “check and balances,” yang mementingkan keseimbangan narasumber. 

Sementara di Inggris jurnalis menggunakan pendekatan “journalism of attachment.” Artinya, mereka lebih menyuarakan pihak-pihak yang tidak punya kekuasaan, marjinal, atau di luar kaum elitis,” paparnya. (http://www.mail-archive.com/idakrisnashow@yahoogroups.com/msg13802.html). 

***
Para pemirsa televisi di Indonesia yang sering mengikuti siaran Indonesia televisi VOA tentu tidak asing dengan wajah Patsy. Kesehariannya, peraih gelar M.A di bidang jurnalisme televisi dari University of London ini, meliput berbagai issu mulai White House hingga Capitol Hill dan issu-issu lainnya. Laporannya disiarkan secara regular di delapan dari sebelas stasion televisi di Indonesia dan beberapa afiliasi televisi lokal. 

Selaku Senior TV Produser, Patsy Widakuswara mengepalai produksi berita di VOA. Selain memproduksi, Patsy juga membawakan beberapa acara termasuk Laporan VOA untuk Metro TV, Apa Kabar Amerika di tvOne dan Kilas VOA yang ditayangkan di beberapa afiliasi VOA. Patsy juga sering memproduksi program-program in-depth investigative terkait kebijakan luar negeri AS seperti Operasi Terselubung CIA dan Penjara Guantanamo. (http://www. voaindonesia.com/author/4159.html)

Ketika membaca kisahnya melalui mediaonline The Washington Post, Patsy membawa saya ke memori beberapa tahun ke belakang. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, dia acapkali muncul sebagai penyiar di Metro TV. Saat itu masa-masa kejatuhan Gus Dur 2001. 

Beberapa tahun Patsy seolah menghilang dari dunia televisi. Ternyata pada 2001 itu, ibu seorang putra ini mendapat beasiswa Chevening untuk gelar Master di bidang TV Journalism di Goldsmiths College, University of London, kemudian bekerja membuat film dokumenter untuk Channel 4 dan BBC. Dari London, Patsy pindah ke Washington, DC dan bergabung dengan VOA tahun 2003.

**

Pemunculannya di The Washington Post tentunya menjadi inspirasi bagi para jurnalis di tanah air. Seorang jurnalis perempuan Indonesia mampu berkiprah di arena global dan mendapat perhatian sebuah surat kabar. Harian ini memiliki sirkulasi rata-rata 471,800 per hari dan sirkulasi minggu sebesar 687,200 eksemplar. 

Ingin tau seberapa besar respon dunia atas berita itu, saya mengunjungi status Kedutaaan Besar Amerika di Jakarta di Facebook. Status ini mengatakan: “Congratulations, Patsy Widakuswara! Profilnya ditulis di koran Washington Post, salah satu koran paling penting di AS”. Itulah ungkapan kalimat pertama sebuah paragraph di status itu menggapi pemuatan berita tentang Patsy Widakuswara. 

Saya mengklik “Like” untuk status itu (20 Maret 2013 pukul 10.00 pagi). Sudah 1854 orang lebih dulu melakukan hal yang sama, dan membaca 247 komentar dari orang Indonesia di berbagai penjuru dunia. Mereka mengungkapkan rasa bangga, kagum serta berbagai pujian bagi Patsy. 

“Pasty Widakuswara, jadilah kebanggaan bangsa. Biarlah kau mewakili Indonesia di dalam tugasmu. Selamat berkarya ya!!!!,” komentar seorang Facebooker di status itu. Tentu saja ada yang juga membuat komentar miring, hal wajar di dunia yang kini sedang dilanda euphoria kebebasan. 

**
Artikel yang saya baca di website harian The Washington Post, menampilkan sebuah foto diri peraih VOA Excellence in Programming Awards ini duduk tersenyum di depan Capitol Hill, Washington DC. 

Memandang ke depan dengan tangan dilipat di atas kedua kakinya yang bersila dan tubuh dibalut celana jeans warna biru—ikat pinggang coklat dan kaus lengan panjang hitam. Pakaian lapangan seorang reporter televisi yang serasi dengan warna kulit Indonesianya yang sawo matang. 

Keteguhan dan kesederhanaan terpancar di balik wajah manisnya. Menampilkan senyum khas seorang wanita global Indonesia. Bukti dirinya bekerja dengan sukacita, mampu merajut hubungan bangsanya dengan dunia lain, ribuan kilometer dari tanah airnya.

Sehari-hari, Patsy mengumpulkan fakta dari berbagai penjuru di Amerika dan Indonesia. Dia punya tugas penting, merekam dan menulis fakta-fakta, serta memberi makna. 

“Dalam laporannya, Widakuswara berusaha membuat hubungan antara apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di Indonesia dan mencari topik-topik yang menjadi kepentingan audiensnya di Indonesia,” demikian The Washington Post menggambarkan pentingnya tugas seorang jurnalis, seperti Patsy untuk Indonesia dan Amerika. 

Dia melaporkan berbagai hal penting di Amerika dan Indonesia. Melaporkan Pemilihan Presiden Obama dan juga Pemilihan Gubernur DKI yang waktunya hampir bersamaan, dan juga melaporkan kondisi tahanan di Guantanamo, serta berbagai hal penting lainnya. 

Widakuswara juga melaporkan kisah kemanusiaan, dengan fokus orang-orang Indonesia yang tinggal di Amerika. “Saya membuat kisah-kisah tentang imigran Indonesia yang berhasil di Amerika Serikat, sesuatu yang ingin didengar orang-orang saat kembali ke rumah,” katanya. Dia mengeksplorasi bagaimana sulitnya memulai bisnis di AS dan berbagai isu-isu budaya lainnya. 

Sebuah prestasi yang belum banyak dilirik perempuan Indonesia di era globalisasi ini, mengingat dunia jurnalisme masih didominasi kaum laki-laki. Patsy adalah sebuah symbol bahwa perempuan juga mampu berkibar di dunia jurnalisme, bahkan bekerja di sebuah media asing dan bersaing dengan para wartawan asing lainnya. 

**

Istri seorang pria yang bekerja di Smithsonian Institution ini, mencintai pekerjaan jurnalisnya dan memotivasinya menekuni kariernya. “Jurnalisme memungkinkan saya fokus pada issu-issu yang penting dan saya pikir harus diketahui oleh orang-orang. Saya merasa bangga dan menikmati menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari saya sendiri dan memiliki hubungan dengan kemanusiaan,” ujarnya seperti dikutip The Washington Post. 

Sama seperti kondisi di seluruh negeri di dunia ini, sebagai jurnalis, Patsy juga menghadapi kesulitan akses ke penguasa (policymakers). “Pulanglah, Anda bisa datang dengan kamera dan mendapat akses. Di sini di Washington, Anda harus menelepon terlebih dahulu dan mengirim daftar pertanyaan ,” kisahnya. 

Sebagai seorang wartawan VOA—lembaga resmi penyiaran eksternal pemerintah federal Amerika, Patsy punya missi sebagai seorang wartawan, mencari sumber untuk ditulis dalam laporannya dan berharap menulis laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat. “Kami mencoba untuk menyajikan perdebatan secara keseluruhan,” katanya. 

Perempuan Indonesia hebat!. Apalagi, membaca komentar Norman Goodman, Kepala VOA Siaran Indonesia dalam artikel tersebut. Norman mengatakan Widakuswara adalah “Profesional sempurna, sangat serius tentang pekerjaannya, memiliki rasa yang baik tentang berita dan tahu apa yang diinginkan pemirsa Indonesia,” seperti dikutip The Washington Post. 

Kini, Patsy yang gemar membaca dan memasak ini tinggal di Maryland bersama suami dan seorang putranya. Selamat buat Patsy, semoga kisahnya menginspirasi kita di tanah air. 

Patsy hanyalah salah satu diantaranya. Merry Riana yang sukses di Singapura menjadi perempuan si Mimpi Satu Juta Dollar di usia 26 tahun (dan tercapai), Anggun C Sasmi penyanyi yang hits dengan Snow in Sahara dan sukses menjadi wakil Perancis ke Euro Vision 2012, Jenny S Bev yang sukses sebagai seorang kolumnis dan penulis buku di negeri Paman Sam. Tentu tak lupa Sri Mulyani yang kini menjadi Managing Director Bank Dunia.  (Diolah dari berbagai sumber).  

Rabu, 20 Maret 2013

Proyek Kecil Membawa Pendapatan Mantap

Para penulis, apakah itu penulis kehidupan pribadi, kisah perusahaan, atau penulis lainnya tidak luput dari situasi tidak memperoleh pendapatan yang tetap. Seperti yang saya alami beberapa tahun ini. Kadang meski ada proyek penulisan buku, tetapi uangnya dibayarkan dalam waktu yang lama bahkan tidak tepat waktu.  

Selain itu, bisa waktu penyelesaiannya molor, yang tentunya akan membuat kerugian waktu untuk mengerjakan pekerjaan lain. Tetapi cintailah pekerjaan Anda! Bagaimana bisa?.

Kadang memang bisa sampai membawa kita kepada situasi untuk meninggalkannya. Malam ini saya terkesan dengan pengalaman seorang penulis yang hampir sama dengan yang saya pilih. Julie McDonald Zander dari Chapter of Life dulu bekerja sebagai reporter surat kabar dan editor selama 20 tahun sebelum meluncurkan bisnis sejarah pribadinya (personal historian busnis) pada tahun 1999. Proyek penulisan kisah pribadinya mulai dari buklet 13-halaman ulang tahun kecil-90 hingga kisah perusahaan 500-halaman.

Dia juga sesungguhnya menulis secara freelance, editing, dan desain. Dia mempresentasikan sebuah lokakarya tentang proyek-proyek kecil di konferensi tahunan APH di Victoria, British Columbia, dan di St Louis.

Seperti pengalaman para penulis proyek kisah hidup, mengandalkan proyek seperti ini bisa tidak mampu mendukung kehidupan. Beginilah Julie McDonald Zander mengisahkan pengalamannya memperoleh pendapatan lain di antara waktu menulis proyek besarnya. Artikel ini saya terjemahkan dari Small Projects Bring Steady Income. (http://www.chaptersoflife.com/) Julie McDonald Zander membagi kisahnya untuk kita. Ketika saya pertama kali bergabung dengan Asosiasi Sejarawan pribadi (The Association of Personal Historians) pada tahun 1999, saya membaca nasihat bijak pada listserv: Jangan menyerah pekerjaan anda.

Ketika saya mengembangkan bisnis sejarah pribadi itu, saya mengerti mengapa. Menciptakan penghasilan tetap dari proyek sejarah pribadi membutuhkan waktu, terutama bila proyek-proyek besar menghasilkan bayaran yang menguntungkan tetapi bersifat sporadis. Untuk mengatasi masalah ini, saya mencoba pilihan pendapat lainnya, kajian yang dimulai dengan menilai kemampuan dan pengalaman saya. Setelah bekerja 20 tahun sebagai reporter surat kabar dan editor, saya tahu bagaimana melakukan wawancara, menulis, mengedit, dan mendesain halaman.

Semua penulis kisah pribadi memiliki keterampilan khusus yang mereka dapat pasarkan untuk memberikan pendapatan di sela-sela proyek-proyek besar. Tidak ada proyek terlalu kecil untuk menghasilkan pendapatan, dan proyek-proyek kecil dapat menciptakan aliran uang tunai lebih mantap. Pilihan untuk menghasilkan penghasilan tambahan termasuk membuat transkrip secara freelance, menulis, dan editing, pekerjaan yang menghasilkan uang tanpa memerlukan investasi waktu yang lama. Penulis freelance dapat memasarkan layanan mereka kepada sejarawan pribadi lainnya, atau kerja paruh waktu untuk surat kabar lokal, majalah, buletin, atau publikasi online.

Pewawancara yang terampil dapat menawarkan rekaman dasar audio atau video, dengan memasang tarif per jam sambil membantu keluarga melestarikan bagian yang paling berharga dari sejarah mereka. Pewawancara dengan keterampilan menulis dapat memasarkan layanan mereka untuk membantu orang melestarikan kehendak etis atau warisan spiritual. Orang dengan Photoshop, desain, dan keterampilan komputer dapat membantu klien mengatur foto dan membuat foto memoar pendek atau cerita digital untuk wisuda, ulang tahun, pernikahan, pemakaman, atau tonggak sejarah yang lain. Juru ketik cepat dapat menuliskan kaset, buku harian, dan surat-surat. Desainer grafis dapat membuat sampul buku kustom yang indah, jadwal sejarah, dan grafik silsilah yang rinci, atau bahkan pelatih desainer pemula. Orang dengan keterampilan berbicara di depan umum dapat mengajarkan menulis memoar atau kelas-kelas lain seperti seni pusaka.

Proyek sejarah kecil dapat mencakup buklet atau video tentang rumah-rumah bersejarah dan bangunan komersial, reuni keluarga atau liburan khusus, resep favorit keluarga dan pusaka. Sejarawan pribadi dapat membuat buku-buku kecil yang menceritakan kisah hidup orang tua bagi bayi yang akan diadopsi, atau bekerja dengan calon orang tua yang prospektif dalam membuat profil bagi lembaga adopsi.

Buku kisah pribadi terkecil saya, buklet 13-halaman untuk ulang tahun ke-90, hanya membutuhkan waktu tiga atau empat jam dan mendapatkan $ 120. Enam anak dari pemilik buku itu mengemail saya ingatan ibu mereka, yang saya diedit menjadi narasi. Saya menscan beberapa foto dan merancang sebuah buku kecil, yang saya cetak dan bundel di rumah. Sebuah kolom surat kabartempat saya menulis membayar saya sedikit setiap minggu. Satu set audio wawancara saya lakukan menghasilkan $ 1.300.

Kegiatan ini semua menambah penghasilan, menciptakan sumber pendapatan untuk membantu membay
ar tagihan menunggu gaji yang lebih besar dari proyek-proyek yang lebih besar.

Mudah-mudahan menginspirasi Anda!

Selasa, 19 Maret 2013

Mau Jadi Politisi? Jadilah Anti Narkoba (Harian Analisa, 18 Maret 2013)

Oleh: Jannerson Girsang. 

Menghadapi Pemilu 2014 rakyat berharap tidak ada lagi politisi yang terkait dengan narkoba, apakah sebagai pengguna, atau bersahabat apalagi berhubungan dengan barisan penyalahgunaan narkoba. Mereka wajib menjadi anti narkoba, atau icon anti narkoba. 

Kasus yang menimpa Wanda Hamidah, meski sudah dinyatakan bebas dan tidak terlibat narkoba (30 Januari 2013), tetapi namanya masih tetap melekat dan ramai diberitakan hingga minggu-minggu ini. Media masih terus menyebut namanya dikaitkan dengan keterlibatan Raffi Ahmad yang kini menjadi tersangka penyalahgunaan narkoba. Wanda Hamidah sendiri sempat menginap beberapa malam di BNN. 

Wanda memang sudah bebas, dan justru para politisi harus belajar dari pengalamannya. Peristiwa ini menjadi momen penting untuk mengingatkan bahwa rakyat menginginkan para politisi bersih dari narkoba dan turut berperan memerangi narkoba. Para politisi yang terlibat narkoba akan mendapat hukuman berat dari rakyat. 

***

Para politisi, sebagaimana kata ahli politik Alfian, adalah elit pemimpin yang transformasional, orang yang memiliki visi dan mampu membumikannya dalam program nyata dan berimbas pada pencerdasan politik publik. Politisi adalah orang yang terpanggil untuk berpolitik, dan politiknya adalah demi kesejahteraan rakyat. Menjadi politisi adalah memperbaiki Negara. 

Alfian selanjutnya mengingatkan berpolitik bukan mengejar kekayaan atau memproteksi diri dari masalah pribadinya. Itulah idealnya seorang pemimpin yang menjadi tumpuan harapan rakyat. 

Sayangnya, rakyat masih bersedih hati. Beberapa tahun terakhir ini kasus-kasus penyalahgunaan narkoba menimpa segelintir politisi. Padahal, politisilah yang mereka harapkan turut serta dalam menurunkan jumlah penyalahgunaan narkoba. 

Rakyat bersyukur, partai-partai politik sangat keras menghukum para kader-kadernya yang terlibat narkoba. Kader partai, anggota parlemen yang terlibat narkoba mendapat hukuman yang berat, bahkan dipecat. Ingat kasus Ate Dunggara, seorang kader PDIP Tasikmalaya dipecat sebagai anggota DPRD karena positif terlibat narkoba. (Kompas, 4 Januari 2013). Seorang kader Partai Demokrat (PD), Asep Oki Thakik yang duduk sebagai anggota Komisi A DPRD Karawang dipecat, terkait kasus penggunaan narkoba oleh AOT beberapa bulan sebelumnya. (Pikiran Rakyat, 9 April 2012). 

Tantangan negeri ini memerangi penyalahgunaan narkoba sungguh-sungguh serius. Kita tentu merasa ngeri membaca laporan-laporan di media dimana jumlahnya para pengguna narkoba di ibu kota Negara kita sendiri mencapai 300 ribu orang dan secara nasional mencapai 3,8 juta penduduk. 

Para politisi “harus” bersih dari narkoba agar angka-angka di atas bisa turun dengan membuat peraturan-peraturan yang mempersempit ruang gerak para pelaku penyalahgunaan narkoba. Pasalnya, negeri ini sudah mendapat cap sebagai negeri surga bagi pelaku kejahatan itu. Dengan kata lain, kalau para politisi tidak serius memberantasnya, maka negeri ini berada diambang kehancuran. 

Dr Soebagyo Partodiharjo mengatakan, narkoba dapat mengubah manusia menjadi kejam, tidak berperikemanusiaan, berbudi pekerti rendah, berperangai dan berahlak lebih buruk dari binatang. Narkoba bisa mengakibatkan kualitas sumberdaya manusia merosot, kriminalitas meningkat, kamtibmas terganggu, kerawanan ekonomi, kerawanan sosial politik dan kerawanan sosial budaya yang pada akhirnya mengancam keutuhan dan kehancuran bangsa. 

Adalah cita-cita yang agung dan sudah ditetapkan menjadi target nasional, Indonesia Bebas Narkoba 2015. Waktunya tinggal dua tahun lagi. Menuju cita-cita agung itu, politisi, bersama elemen-elemen lainnya harus menjadi barisan terdepan anti narkoba. 


Sebagai garda terdepan, para kader partai harus memiliki system rekruitmen yang memasukkan unsur bebas narkoba sebagai salah satu syarat. Mereka yang terbukti terlibat, tidak diberi peluang masuk dimanapun dalam struktur partai, apalagi direkomendasi mereka menjadi anggota parlemen, atau menjabat jabatan strategis di pemerintahan. 

Harian Jurnas 28 Januari 2013 mengingatkan partai-partai politik. “PARTAI Politik harus mewajibkan para calon anggota Legislatif (Caleg) pada Pemilihan Umum tahun 2014 untuk tes urine guna memastikan terbebas dari penggunaan narkotika dan obat terlarang lainnya. Sebab politisi pengguna narkoba akan mengancam masa depan Negara”. 

*** 

Para politisi mewakili kepentingan masyarakat, karena mereka memang terpanggil untuk itu. Mereka harus sempurna, sehat jasamani dan rohani. Ibarat pecandu bola yang sedang menonton pemain bola David Beckham yang bermain di lapangan, rakyat berharap mereka harus sempurna, kalau tidak mau menjadi bahan olok-olokan. 

Kita semua sadar, jam kerja politisi sangat ketat, banyak over time. Berbeda dengan pegawai biasa yang bisa masuk jam 08, pulang jam 16.00. Para politisi menghadapi masalah yang begitu kompleks, serta lingkungan pergaulannya yang tak terbatas yang kadang tidak mampu diidentifikasi secara detil. Pekerjaan politisi memang bisa mengundang stress. Tapi mereka harus mampu mengatasi masalah itu dengan mencari hiburan yang sehat. Berdiskusi dengan mahasiswa, menyuarakan suara rakyat di persidangan atau melalui media, mengunjungi para konstituennya, menampung keluhan mereka dan menuangkannya ke dalam peraturan yang pro-rakyat. 

Para politisi harus mampu belajar dari motto Pegadaian: “menyelesaikan masalah tanpa masalah”. Bukan menyelesaikan kepenatan atau lari dari masalah dengan lari ke narkoba. Masalah tidak selesai, malah menambah masalah baru. Mereka harus ingat, dunia narkoba sangat erat dengan pelacuran, korupsi, manipulasi serta kriminalitas. Menghancurkan dirinya sendiri dan bangsa ini. 

*** 

Rakyat berharap banyak kepada para politisi kita sebagai icon anti narkoba. Memasuki Pemilu 2014, bangsa ini memiliki kader-kader partai yang bersih dari penyalahgunaan narkoba. Para politisi hendaknya menjadi garda terdepan untuk memerangi narkoba yang sudah merangsek ke segala profesi di negeri ini. 

Dr Soebagyo Partodiharjo telah membuka mata kita semua bahwa “Kualitas suatu bangsa dibangun di atas kualitas sumberdaya manusianya. Narkoba tidak hanya merusak generasi muda, tetapi juga pejabat dan aparat, polisi dan politisi, pengusaha dan penguasa, ayah dan ibunda, semua lapisan dan kelompok masyarakat. Dalam peperangan melawan penyalahgunaan narkoba, pencinta negeri ini bersatu padu bahu membahu”. (Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya, dr Soebagyo Partodiharjo, ” 

Memasuki Pemilu 2014, mari bahu membahu memerangi narkoba, pilihlah politisi yang tak terkait atau anti narkoba. Ingat, politisi yang terlibat penyalahgunaan narkoba mengancam tujuan proklamasi 17 Agustus 1945!. (Dimuat di Harian Analisa, 18 Maret 2013)