Catatan: Nias sebuah pulau yang terletak 125 kilometer dari pantai Barat Sumatera, memberi kesan istimewa dalam hidupku. Pertama kali saya mengunjungi pulau ini pada 2004. Sejak itu Nias menjadi bagian dari kehidupan saya selama bertahun-tahun.
Menjadi Information Officer di ACT International (2005) dan Program Manajer Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (YTBI) tahun berikutnya selama masa rehabilitasi bencana Tsunami (26 Desember 2004) dan Gempa Nias (28 Maret 2005) membuat saya memahami lebih jauh tentang pulau ini.
Selama 3 bulan (Maret-Juni 2011), saya membimbing beberapa wartawan mediaonline http://www.nias-bangkit.com, sekaligus menulis beberapa artikel dalam perjalanan saya ke berbagai tempat di Nias. Inilah salah satu artikel yang paling berkesan, karena mendapat tanggapan begitu besar dari masyarakat Nias. Ternyata banyak orang Nias yang belum mengunjungi lokasi ini. "Serasa ikut perjalanannya pak Girsang"ujar seorang pendeta asal Nias yang tinggal di Jakarta.
Artikel ini sudah dimuat di http://www.nias-bangkit.com, http://travel.detik.com dan Jarak Pantau, sebuah media lokal di Nias. Mungkin Anda belum pernah membacanya, itulah alasan artikel ini saya posting hari ini. Silakan Anda menikmatinya!.
Saya berdiri di dekat hombo batu di Bawömataluo, akhir Maret 2011.
NBC — Akhir Maret 2011, saya mengunjungi Desa
Bawömataluo, Kecamatan Fanayama, desa yang penuh dengan karya megalitik
suku Nias. Desa yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Nias
Selatan ini memberi rasa kagum yang tidak kalah unik dibanding dengan
kawasan wisata budaya lainnya, misalnya Borobudur dan kawasan wisata
budaya lainnya di Indonesia yang pernah saya kunjungi.
Great! Itulah kata dalam bahasa Inggris penilaian saya bagi
Desa yang terletak di atas perbukitan dengan ketinggian 250 meter di
atas permukaan laut itu. Tentu pengamatan sepintas ini tidak akan
membahas banyak tentang sejarah dan kisah masa lalu lokasi ini.
Masuk dari Sorake
Kami memasuki Bawömataluo setelah sebelumnya mengunjungi Pantai
Sorake dan Lagundri—dua lokasi yang membawa Nias sampai ke seluruh
penjuru dunia, bahkan sebelum tsunami terjadi. (Baca juga artikel saya:
Laporan dari Nias Selatan (1): Pertanian Bergairah tapi Pelabuhan
Terbengkalai)
Dari Sorake, dengan mobil carteran L-300 dari Gunungsitoli, kami
menuju Bawömatoluo melintasi jalan hotmix ke arah Teluk Dalam. Tiba di
sebuah petigaan, kami menemukan plang petunjuk arah, lurus ke Teluk
Dalam dan belok kiri ke Bawömataluo.
Setelah sekitar 20 menit, kami pun sampai. Kami memarkir mobil di
sebuah lokasi di sana, persis di samping sebuah tembok tinggi, di
sebelah tangga menuju Desa Bawömataluo. Begitu turun dari mobil,
beberapa laki-laki yang masih berusia remaja mendatangi kami menawarkan
jasanya. Salah seorang laki-laki menegor dengan ramah. “Pak, mari saya
tuntun ke atas,” ujarnya, meski saya didampingi teman yang paham lokasi
itu dan suaminya berasal dari Bawömataluo.
Kami menerima dengan baik bantuan mereka. Saya kagum atas semangat
anak-anak ini. Mereka bangga menjelaskan keagungan desanya, meski tidak
jelas berapa kami harus membayar mereka. “TST saja, tau sama tau,”
mungkin demikianlah di benak mereka.
Sebuah Misteri
Sebelum mendaki tangga, kami membeli minuman atau makanan ringan yang
tersedia di sebuah kios di Bawagöli untuk bekal. Saat menuju kios itu,
Ketjel Zagötö berujar, “Kita harus mendaki ke atas,” sambil menunjuk ke
arah tangga berkemiringan 45 derajat.
Mencapai Desa Bawömataluo, dari dasar perbukitan Desa Bawagöli kami
harus berjalan kaki menaiki 86 anak tangga yang terbuat dari batu. Saya
tidak tau persis berapa ketinggian tangga itu, tetapi saya perkirakan
lebih dari 15 meter.
Masyarakat sedang antre mengambil air di salah satu Sudut Desa Bawömataluo.
Lantas, kami memulai pendakian ke puncak tangga. Sebuah keasyikan
tersendiri! Serasa olahraga menyegarkan setelah penat naik mobil sejak
pagi hari dari Gunungsitoli dan berputar-putar di sekitar Teluk Dalam,
Sorake, dan Lagundri.
Saya bergurau kepada teman saya, Ketjel, ”Mendaki tangga ini layaknya
menikmati keindahan alam dan mengungkap misteri!” Sang teman itu pun
tertawa. “Ada-ada saja Abang ini,” katanya.
Saya sebenarnya bukan bergurau. Dalam pendakian itu, beberapa kali
saya berhenti sambil melihat ke belakang. Di belakangku terbentang
pemandangan desa di bawah tangga dan pemandangan Pantai Sorake dan
kehijauan pepohonan yang menakjubkan, sementara di depanku sebuah
misteri. Rasa ingin tahu yang besar seperti apa gerangan perkampungan
Bawömataluo yang kesohor itu!
Kembali ke Alam Megalitik
Setelah mencapai tangga ke-86 atau tangga terakhir, saya berdiri
sejenak. Meski beberapa penjaja suvenir yang ramah yang mendekati kami,
perhatian saya tetap pada misteri yang ada di hati. Menikmati indahnya
pemandangan yang terhampar di depan mata ratusan meter ke depan.
Pemandangan Desa Bawömataluo
Memasuki perkampungan Bawömataluo, yang dalam bahasa Nias berarti
Bukit Matahari, adalah berada di sebuah wilayah masa megalitik yang
masih terpelihara hingga saat ini.
Tampak di atas hamparan lahan yang luas dan rata berdiri rumah-rumah
penduduk yang saling berhadapan. Bawömataluo, yang menurut Hikayat
Manaö, pemuka adat setempat, berpenduduk sekitar 1.200 kepala keluarga
itu berdiri megah di atas lahan seluas 5 hektar dan berada di perbukitan
dengan ketinggian 250 meter di atas permukaan laut.
Saya menyaksikan di sebelah kiri deretan rumah penduduk dan sebuah rumah raja (
Omo Sebua) yang atapnya terlihat menjulang tinggi. Sementara di sebelah kanan, berjejer rumah adat penduduk desa (
Omo Hada) dan sebuah balai desa, tempat musyawarah bagi warga Desa Bawömataluo.
Beberapa referensi mengatakan jumlah rumah-rumah itu sekitar 250-300
buah. Jalan yang membatasi deretan rumah tersusun rapi oleh bebatuan,
berbeda dengan kampung yang biasanya tertutup dengan tanah.
Melangkahkan kaki beberapa meter ke depan, di sebelah kanan tampak
sebuah meriam yang dibuat pada zaman Belanda, letaknya di depan balai
musyawarah warga Desa Bawömataluo. Di sebelah meriam tersebut terletak
beberapa batu berwarna hitam dengan panjang masing-masing kurang lebih
10 meter.
Ratusan rumah adat yang masih terpelihara keasliannya berjejer rapi,
layaknya sebuah kota kecil di atas bukit. Bedanya, di kampung ini tidak
ada mobil atau kenderaan bermotor, karena mencapai desa itu harus
melalui tangga.
Jalan kaki sambil melirik keunikan di kiri kanan, rasa senang tak
terlukiskan saat saya mendekati sebuah batu dengan ukuran panjang
sekitar 90 sentimeter, lebar 60 sentimeter, dan tinggi mencapai 2 meter.
Sebuah arena lompat batu atau oleh masyarakat setempat disebut Hombo
Batu—olahraga yang sudah berusia ratusan tahun.
Bagi saya, orang yang berada di luar Nias, Hombo Batu inilah wisata
populer dari Desa Bawömatoluo, di samping rumah-rumah adat dan
peninggalan megalitik yang lain.
Hombo Batu menunjukkan betapa Nias memiliki seleksi yang
luar biasa untuk meloloskan para prajurit perangnya. “Siapa yang mampu
melompat dan melewati batu, boleh menjadi prajurit, ikut perang,” ujar
Hikayat Manaö, pria berusia 52 tahun dan salah seorang pelompat batu di
masa mudanya. Menurut dia, bagi masyarakat Desa Bawömataluo, suatu
kebanggaan dan kehormatan jika berhasil melompati batu tersebut.
Sayangnya, saat itu tidak ada acara lompat batu. Sehingga tidak
menyaksikan bagaimana laki-laki perkasa kampung Bawömataulo beraksi.
Khusus di Desa Bawömataluo, pelancong bisa menikmati sajian Tari Perang (
Baluse) dan lompat batu (
hombo batu),
dua tradisi Nias yang amat terkenal itu.
Dua tradisi ini sekarang kerap
diperagakan khusus untuk menjamu para pelancong.”Diperlukan biaya
jutaan rupiah untuk memperagakan tarian yang melibatkan para pemain yang
jumlahnya mencapai 50 orang,” kata Hikayat Manaö kepada NBC sore itu di
rumahnya.
Kini, meski masih berusaha mempertahankan keaslian bangunan, beberapa
rumah di Bawömataluo sudah merubah atap rumah aslinya dari pohon rumbia
menjadi atap seng. Kampung itu kini sudah dimasuki modernisasi dan
penduduk sudah menikmati kemajuan teknologi.
Menjelang mentari terbenam di ufuk barat, kami pun bergegas
meninggalkan Bawömataluo untuk kembali ke Gunungsitoli. Remaja laki-laki
yang membawa kami menaiki tangga sudah berdiri di samping mobil.
Setelah memberikan tip, tanpa tau berapa isinya, saya memasukkan ke
kantongnya. “
Saohagölö”, begitu ujar anak itu berterima kasih
tanpa bertanya berapa uang yang saya masukkan.
“Ya’ahowu”, kami
mengangkat tangan dan mereka senang!
Dalam hati, terbersit kapan-kapan saya pasti kembali lagi ke
Bawömataluo, bagaimana dengan Anda! Mungkin, menyaksikan pesta budaya
yang akan digelar 13-15 Mei 2011 ini adalah sebuah kesempatan besar bagi
Anda dengan hanya membayar tiket yang relatif murah.
[JANNERSON GIRSANG].
Artikel ini masih bisa diakses di http://www.nias-bangkit.com dan http://travel.detik.com.