My 500 Words

Kamis, 10 Juli 2014

Lembaga Survey dan Kisah Enam Buta Menggambarkan Gajah

Oleh: Jannerson Girsang

Lembaga survey yang sengaja melakukan tafsiran yang salah dari data yang tersedia, bukan saja buta matanya, tetapi juga hatinya. Berbohong!

Yang jelas, dari sekian lembaga survey dalam Pilpres kemaren, pasti ada yang berbohong dalam menerapkan metode, proses pengumpulan data dan menarik kesimpulan.

Sayangnya, negeri ini tidak mampu mengujinya, secepat melakukan Quick Count, hingga membuat rakyat bingung!.

Hebatnya lagi, menggunakan data Quick Count, dua Capres mengklaim diri sebagai pemenang Pilpres 2014. Akibat kebutaannya, rakyat pendukung kedua Capres, ikut-ikutan saja. "Hidup Jokowi, hidup Prabowo". "Hidup Presidenku".

Wah! Untuk sementara, kita punya dua Capres mengklaim diri sebagai pemenang. Kalau Pilgub DKI, disitu Quick Count mengumumkan hasil di atas 80%, maka Poke langsung mengucapkan selamat kepada Jokowi. Demikian juga Pilpres lima tahun lalu. Quick Count diakui sebagai referensi menentukan pemenangKali ini memang beda! 


Melihat hasil survey yang dikeluarkan lembaga survey Quick Count dalam Pilpres kemaren, saya teringat cerita enam orang buta menggambarkan gajah.

Saya mengutip kisahnya dari sebuah blog. (http://resourceful-parenting.blogspot.com/2011/09/kisah-enam-orang-buta-melihat-gajah.html). Begini kisahnya.

Dahulu kala hiduplah enam orang buta. Mereka sering mendengar tentang gajah. Namun karena mereka semua belum pernah melihatnya, mereka ingin sekali tahu seperti apa gajah itu. Maka mereka beramai-ramai pergi melihat gajah.

Orang buta pertama mendekati gajah. Ia tersandung dan ketika terjatuh, ia menabrak sisi tubuh gajah yang kokoh. “Oh, sekarang aku tahu!” katanya, “Gajah itu seperti tembok.”

Orang buta kedua meraba gading gajah. “Mari kita lihat...,” katanya, “Gajah ini bulat, licin dan tajam. Jelaslah gajah lebih mirip sebuah tombak.”

Yang ketiga kebetulan memegang belalai gajah yang bergerak menggeliat-geliat. “Kalian salah!” jeritnya, “Gajah ini seperti ular!”

Berikutnya, orang buta keempat melompat penuh semangat dan jatuh menimpa lutut gajah. “Ah!” katanya, “Bagaimana kalian ini, sudah jelas binatang ini mirip sebatang pohon.”

Yang kelima memegang telinga gajah. “Kipas!” teriaknya, “Bahkan orang yang paling buta pun tahu, gajah itu mirip kipas.”

Orang buta keenam, segera mendekati sang gajah, ia menggapai dan memegang ekor gajah yang berayun-ayun. “Aku tahu, kalian semua salah.” Katanya. Gajah mirip dengan tali.”

Demikianlah keenam orang buta itu bertengkar. Masing-masing tidak mau mengalah. Semua teguh dengan pendapatnya sendiri, yang sebagian benar, namun semuanya salah.

Mereka semua hanya meraba bagian tubuh gajah yang berlainan, mereka tidak melihat keseluruhan hewan gajah itu sendiri. Dia bisa mengatakan gajah itu seperti ular, karena hanya memegang ekornya. Atau gajah itu seperti meja, karena yang dipegangnya hanya punggungnya.

Di negeri ini sudah terbiasa seseorang melihat sesuatu seperti orang buta melihat gajah. Kalau orang-orang yang seperti ini masih tidak apa-apa. Mereka bisa diajar semakin pintar, karena kemampuan pengetahuan dan nalarnya yang rendah,

Orang buta salah menafsirkan gambaran gajah, karena mereka buta, kurang mampu melihat. Mereka bukan berbohong

Tetapi kalau lembaga survey berbohong menafsirkan data, maka bukan matanya yang buta, tetapi hatinya sudah buta. Mereka mampu menjelaskan hasil yang sebenarnya, tetapi karena hatinya buta, maka yang keluar adalah hasil pengamatan orang buta.

Yang susah adalah orang itu tidak buta, tetapi hatinya yang buta. Mereka berbohong! Jadi sulit menjelasakan secara ilmiah, metodenya dan proses pengumpulan data serta cara pengambilan kesimpulan.

Bisa pula dua-duanya Capres dan Cawapres jadi pemenang.

Quick Count atau hitung cepat adalah sebuah metode ilmiah, tetapi harus dijalankan oleh mereka yang hatinya tidak buta. Ketika hati sudah buta, maka hasilnya akan muncul seperti dalam Pilpres 2014.

Semoga pihak yang berwenang kiranya dapat segera mengungkap kebutaan hati para pegawai atau pemilik lembaga-lembaga survey quick count di negeri ini, agar rakyat tidak ikut-ikutan jadi buta.

"Karena setitik nila rusak susu sebelanga". Segelintir orang berbuat kebohongan, bangsa ini bisa dicap sebagai pembohong. Lembaga survey kita diragukan kredibilitasnya, kita kehilangan peluang untuk melakukan survey di dunia ini.

Jadi agar cap itu tidak melekat, dan ketahuan siapa pembohong yang sebenarnya, maka perlu dilakukan penyelidikan, menyusul perbedaan hasil hitung cepat Quick Count

Medan 10 Juli 2014

Tidak ada komentar: