Oleh: Jannerson Girsang
Lembaga
survey yang sengaja melakukan tafsiran yang salah dari data yang tersedia, bukan saja buta matanya, tetapi juga hatinya. Berbohong!
Yang
jelas, dari sekian lembaga survey dalam Pilpres kemaren, pasti ada
yang berbohong dalam menerapkan metode, proses pengumpulan data dan
menarik kesimpulan.
Sayangnya, negeri ini tidak mampu mengujinya, secepat melakukan Quick Count, hingga membuat rakyat bingung!.
Hebatnya
lagi, menggunakan data Quick Count, dua Capres mengklaim diri sebagai
pemenang Pilpres 2014. Akibat kebutaannya, rakyat pendukung kedua
Capres, ikut-ikutan saja. "Hidup Jokowi, hidup Prabowo". "Hidup
Presidenku".
Wah! Untuk sementara, kita punya dua Capres mengklaim diri sebagai pemenang. Kalau Pilgub DKI,
disitu Quick Count mengumumkan hasil di atas 80%, maka Poke langsung
mengucapkan selamat kepada Jokowi. Demikian juga Pilpres lima tahun lalu. Quick Count diakui sebagai referensi menentukan pemenangKali ini memang beda!
Melihat hasil survey yang dikeluarkan
lembaga survey Quick Count dalam Pilpres kemaren, saya teringat cerita
enam orang buta menggambarkan gajah.
Saya mengutip kisahnya dari sebuah blog. (http://resourceful-parenting.blogspot.com/2011/09/kisah-enam-orang-buta-melihat-gajah.html). Begini kisahnya.
Dahulu
kala hiduplah enam orang buta. Mereka sering mendengar tentang gajah.
Namun karena mereka semua belum pernah melihatnya, mereka ingin sekali
tahu seperti apa gajah itu. Maka mereka beramai-ramai pergi melihat
gajah.
Orang buta pertama mendekati gajah. Ia tersandung
dan ketika terjatuh, ia menabrak sisi tubuh gajah yang kokoh. “Oh,
sekarang aku tahu!” katanya, “Gajah itu seperti tembok.”
Orang
buta kedua meraba gading gajah. “Mari kita lihat...,” katanya, “Gajah
ini bulat, licin dan tajam. Jelaslah gajah lebih mirip sebuah tombak.”
Yang
ketiga kebetulan memegang belalai gajah yang bergerak
menggeliat-geliat. “Kalian salah!” jeritnya, “Gajah ini seperti ular!”
Berikutnya,
orang buta keempat melompat penuh semangat dan jatuh menimpa lutut
gajah. “Ah!” katanya, “Bagaimana kalian ini, sudah jelas binatang ini
mirip sebatang pohon.”
Yang kelima memegang telinga gajah. “Kipas!” teriaknya, “Bahkan orang yang paling buta pun tahu, gajah itu mirip kipas.”
Orang
buta keenam, segera mendekati sang gajah, ia menggapai dan memegang
ekor gajah yang berayun-ayun. “Aku tahu, kalian semua salah.” Katanya.
Gajah mirip dengan tali.”
Demikianlah keenam orang buta
itu bertengkar. Masing-masing tidak mau mengalah. Semua teguh dengan
pendapatnya sendiri, yang sebagian benar, namun semuanya salah.
Mereka
semua hanya meraba bagian tubuh gajah yang berlainan, mereka tidak
melihat keseluruhan hewan gajah itu sendiri. Dia bisa mengatakan gajah
itu seperti ular, karena hanya memegang ekornya. Atau gajah itu seperti
meja, karena yang dipegangnya hanya punggungnya.
Di
negeri ini sudah terbiasa seseorang melihat sesuatu seperti orang buta
melihat gajah. Kalau orang-orang yang seperti ini masih tidak apa-apa.
Mereka bisa diajar semakin pintar, karena kemampuan pengetahuan dan
nalarnya yang rendah,
Orang buta salah menafsirkan gambaran gajah, karena mereka buta, kurang mampu melihat. Mereka bukan berbohong
Tetapi
kalau lembaga survey berbohong menafsirkan data, maka bukan matanya
yang buta, tetapi hatinya sudah buta. Mereka mampu menjelaskan hasil
yang sebenarnya, tetapi karena hatinya buta, maka yang keluar adalah
hasil pengamatan orang buta.
Yang susah adalah orang itu
tidak buta, tetapi hatinya yang buta. Mereka berbohong! Jadi sulit
menjelasakan secara ilmiah, metodenya dan proses pengumpulan data serta
cara pengambilan kesimpulan.
Bisa pula dua-duanya Capres dan Cawapres jadi pemenang.
Quick
Count atau hitung cepat adalah sebuah metode ilmiah, tetapi harus
dijalankan oleh mereka yang hatinya tidak buta. Ketika hati sudah buta,
maka hasilnya akan muncul seperti dalam Pilpres 2014.
Semoga
pihak yang berwenang kiranya dapat segera mengungkap kebutaan hati
para pegawai atau pemilik lembaga-lembaga survey quick count di negeri
ini, agar rakyat tidak ikut-ikutan jadi buta.
"Karena setitik nila rusak susu sebelanga". Segelintir orang berbuat kebohongan, bangsa ini bisa dicap sebagai
pembohong. Lembaga survey kita diragukan kredibilitasnya, kita
kehilangan peluang untuk melakukan survey di dunia ini.
Jadi agar cap itu
tidak melekat, dan ketahuan siapa pembohong yang sebenarnya, maka perlu
dilakukan penyelidikan, menyusul perbedaan hasil hitung cepat Quick
Count
Medan 10 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar