Oleh: Jannerson Girsang
Pagi ini, saya membaca status temanku yang baik Remon Pakpahan,
mantan teman se kantor di Perusahaan Telekomunikasi, PRAMINDO--joint
venture France Telecom dan Astra International. Dia kini bekerja di
perusahaan lain dan tinggal di Jakarta..
Dia menulis tentang
filosofi pohon karet. Dilukai, tetapi malah mengeluarkan getah yang
berharga. Tulisan singkatnya menginspirasi saya menuliskan artikel ini. Terima kasih lae Remon!
Setiap kali bepergian ke Siantar dari Medan, saya melintasi perkebunan karet Good Year, seluas 17,000 hektar.
Good Year--sebuah perusahaan perkebunan asal Amerika itu, tidak akan
membangun perkebunan karet seluas itu, seandainya pohon karet--tanaman
hutan, tidak tahan dilukai.
Perkebunan besar ini ternyata menyimpan pelajaran penting bagi saya sendiri, tentang arti sebuah luka!.
Tanpa getah, karet hanya bernilai pohon. Paling-paling bisa dijadikan kayu api, atau lebih kerennya, sebagai perabot.
Pohon Karet menjadi sangat terkenal, karena setiap hari kulitnya
dilukai untuk mendapatkan getah. Getahnya dapat digunakan untuk berbagai
keperluan umat manusia. Yang paling banyak kita saksikan digunakan
untuk ban kenderaan,
Seluruh dunia akhirnya tau, manfaat karet
dan setiap hari tidak bisa telepas dari bahan yang terbuat dari karet.
Penduduk dunia sangat tergantung kepada karet, yang setiap hari terluka.
Mereka berguna karena tahan dilukai.
Saling mendukung dan
menyayangi, itu baik. Tetapi jangan salah. Meskipun kadang kita terluka
oleh seseorang, jangan langsung menilai jelek, dan memusuhinya. Sebab,
mereka adalah tangan Tuhan menguji ketahanan mental kita.
"Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?"
Makian, cercaan, bahkan ancaman dalam sejarah umat manusia, bukan sesuatu yang pernah membuat manusia punah.
Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, terluka selama 27 tahun
di penjara. Beliau mendoakan para sipir penjara yang pernah
menyiksanya, bahkan mengencinginya.
Dalam sejarah umat
manusia, mereka yang tahan terluka, menjadi orang besar, menjadi
pemimpin besar. Dilukai adalah kodrat manusia yang ingin berbuat baik,
dan menghasilkan sesuatu yang baik. Tak ada pemimpin besar, tanpa
mengalami luka, tahan dan mampu menyembuhkan sendiri luka-luka yang
dialaminya!
Mereka, para pemimpin besar umumnya memaknai mereka yang melukai dirinya sebagai "guru" yang baik bagi ketahanan mentalnya.
Maka, sikap kita, "Ketika dimaki, memberkati; ketika dianiaya, sabar;
ketika difitnah, menjawab dengan ramah," tulis teman saya Remon di
Facebooknya hari ini..
Menutup artikel ini, sebuah surat untuk
Prabowo mengingatkan saya akan filosofi karet. Kita beruntung kalau
seseorang melukai kita, ketika kita melakukan sesuatu dengan niat yang
baik dan benar.
"Pak Bowo yang saya hormati, saya melihat
ujian yang anda berikan kepada presiden saya adalah ujian yang terbaik
untuk menjadikan presiden pilihan saya siap memimpin indonesia, ujian
yang terbaik untuk kami pendukung bapak Joko Widodo mengerti arti kerja
sama dan gotong royong memberikan perlawanan terhadap ujian bapak dan
tentunya ujian terbaik untuk rakyat indonesia secara keseluruhan
mengerti arti kata persatuan Indonesia" tulis salah seorang pengirim
surat ke Prabowo. .
Selamat menikmati luka! .
Medan, 17 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar