Oleh: Jannerson Girsang
KPU sudah
menetapkan pemenang Pilpres, 22 Juli 2014, malam.
Tak bisa dipungkiri, malam ini mungkin
sebagian warga bangsa ini masih merasa terluka, atau kurang puas. Sebuah
hal yang wajar dalam sebuah kompetisi.
Semuanya dapat diselesaikan
melalui proses hukum, atau dengan jalan musyawarah mufakat, sebuah
prinsip hidup bangsa Ini yang kesaktiannya sudah teruji.
Kalau ada perasaan tidak puas, ada dugaan pelanggaran selama Pilpres,
silakan menggunakan haknya sesuai prosedur menurut hukum negeri ini dan
tidak perlu lagi membuat polemik yang berkepanjangan. Sudah capek, capek
sekali.....!
Marilah melihat ke depan, jangan ke belakang melulu. Mata diciptakan lebih banyak melihat ke depan, bukan lebih banyak ke belakang. Tengkuk bisa tegang.
Cepat selesaikan persoalan hukum dan sembuhkan
kalau ada yang terluka. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu
menyembuhkan luka-lukanya sendiri, mampu melakukan konsolidasi diantara
sesamanya. .
Kita kini meninggalkan kampanye, meninggalkan polemik Pilpres.
Kalau selama ini pendukung Jokowi bilang Salam No 2, Jokowi, maka mulai
hari ini pendukung Jokowi harus mengucapkan Salam Persatuan Indonesia.
Tidak ada lagi pendukung Jokowi, tidak ada lagi pendukung Prabowo
(kalau masih ke MK, silakan. Tapi kata Mahfud, sudah tak banyak menolong
lagi).
"Lupakanlah No 1, Lupakanlah No 2, Marilah kita ke
Indonesia yang Satu, Indonesia Raya. Kita kuat karena bersatu, kita
bersatu karena kuat. Salam 3 Jari. Persatuan Indonesia." kata Jokowi
dalam pidatonya malam ini.
FB saya tidak lagi pendukung Jokowi, tetapi Pendukung Persatuan Indonesia.
Kata yang ada dalam hati sabubaru kita, tetapi sudah hampir-hampir kita
lupakan dalam kehidupan berbangsa danbernegara. Jangan biarkan diri
kita terkotak-kotak dalam lingkup-lingkup kecil yang mengungkung
kreativitas dan kebebasab berfikir. dan bertindak kita.
Kita harus memulai kehidupan yang lebih membuka diri satu dengan yang lainnya.
Setiap individu bangsa Indonesia memiliki identitas agama, suku, tidak
salah mereka melaksanakan agamanya dan memelihara dan mengembangkan
budayanya. Tapi harus diingat, kita hidup dan tumbuh di Indonesia,
dengan alam dan lingkungan Indonesia, bukan satu agama, bukan satu suku,
tapi beragam agama dan beragam suku.
Negeri ini beruntung,
karena memiliki empat pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 45, Bhinneka
Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sanalah kita
bersandar, itulah yang melindungi kita dalam kehiduoan berbangsa dan
bernegara. . .
Bangsa-bangsa lain sangat salut terhadap
Pancasilanya Indonesia, salut melihat demokrasi yang sedang berlangsung,
salut melihat toleransi bersamanya. Mari kita semua mengembangkan dan
memeliharanya dengan baik.
Jangan sampai pilar emas itu kita
lupakan, identitas kita hilang dan kita kehilangan arah, lalu dengan
mudah diombang ambingkan pengaruh-pengaruh luar.
Kita jangan sampai terjebak!. Agama, suku bukan sebagai pemisah, tetapi adalah alat perekat agar bangsa ini semakin kuat.
Itulah harapanku ketika memilih Jokowi sebagai presiden. Semoga Jokowi
mampu mengembalikan identitas Indonesia lima tahun ke depan.
Bangsa yang toleran, bangsa yang memahami dan melaksanakan ajaran agama
dengan baik, menghormati pemeluk-pemeluk agama yang berbeda, memahami
budaya sukunya dan menghormati budaya suku-suku yang ada di Indonesia.
Marilah mencari kesamaan-kesamaan yang bisa membuat hidup lebih
harmonis, jangan terjebak dalam perbedaan yang memisahkan kita satu
dengan yang lain. Perbedaan itu Indah, kelolalah perbedaan, menjadi
sebuah kekuatan perekat bangsa.
Mencari-cari kesalahan, kelemahan dan menjadikan itu senjata pamungkas menundukkan lawan, bukan budaya Indonesia.
Menutup artikel ini, saya menyajikan pepatah yang sangat populer di
Indonesia. "Gajah di pelupuk mata tidak tampak, jarum di seberang
lautan kelihatan".
Sebuah kritik untuk orang yang suka
mencari-cari kesalahan orang lain. Sikap yang bukan menggambarkan budaya
orang Indonesia, karena Indonesia memiliki prinsip Musyawarah untuk
Mufakat dalam menyelesaikan konflik, mencari titik temu perbedaan
pendapat. . .
Sudah terbukti juga, bahwa orang-orang yang
suka mencari kesalahan, dan menggunakan kesalahan itu alat menjatuhkan
lawan, kurang mampu melihat kesalahannya sendiri.
Jadikan kelemahan, kesalahan sebagai berkat. Sehingga kita akan menjadi bangsa yang besar dan bersatu.
Hayo, sama-sama mengucapkan. "SALAM PERSATUAN INDONESIA!"
Medan, tengah malam, 22 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar