My 500 Words

Sabtu, 25 Agustus 2012

Lea Willsen: "Jangan Berdiri di Luar Pagar"


 
(Analisa/istimewa) Dari kiri ke kanan: Erlina Sari (istri penulis), penulis dan Lea Willsen.

Oleh: Jannerson Girsang. 

 "Selamat pagi, Pak. Saya Lea. Hari ini mau bertemu ya? Tapi sepertinya hari ini tidak bisa Pak. Hari Senin-Jumat biasanya keluarga kerja sampai malam dan tidak ada yang buka pintu. Bagaimana kalau hari Sabtu ini jam 10 pagi saja?". Itulah bunyi sms dari Lea Willsen saat memastikan pertemuan kami Sabtu 11 Agustus 2012.

Siapa tidak kenal laki-laki berusia 23 tahun itu. Seorang penulis buku Teknik Dasar Blogspot untuk Blogger Kreatif, menulis artikel, cerpen, membuat illustrasi gambar di berbagai media. Hati saya terharu karena Lea bukan orang seperti saya yang sehat walafiat. Dia adalah seorang yang memiliki keterbatasan fisik, tetapi memiliki prestasi luar biasa.

Dia tidak sempat mengenyam pendidikan formal walau di Sekolah Dasar sekalipun, apalagi lulusan perguruan tinggi. "Saya belajar dari kakak-kakak saya dan saudara-saudara dan selebihnya dengan membaca dan searching di internet," ujar Lea. Kisah Lea Willsen mengajarkan kita memaknai keterbatasan dengan bersyukur dan belajar terus menerus agar tidak berada di "luar pagar".

Illustrator, Desain Kaver dan Penulis


"Manusia dikenal bukan karena tubuhnya sehat atau sakit, cacat atau sempurna. Mereka dikenal dari karya-karya mereka yang bermanfaat bagi orang lain," kata Lea di awal pembicaraan kami di rumahnya di bilangan Jalan Duyung Medan.

Ungkapan di atas setidaknya memberi visi Lea yang sesungguhnya. Dia ingin dirinya dinilai dari karya-karyanya, bukan dikasihani karena kelemahan fisiknya. Dari ruang kerjanya di rumah Koppel, Lea bekerja dan meluncurkan pemikiran-pemikirannya kepada dunia sekelilingnya.

Dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya Lea tidak mempunyai banyak pilihan pekerjaan. Tapi itu tidak membuatnya larut dalam kesedihan atau rasa putus asa akibat cacat yang dimilikinya.

Awalnya, Lea bekerja sebagai illustrator free lance berbagai media cetak dan desain kaver. Di luar pekerjaan sehari-harinya itu, saat memasuki usia enambelas tahun, yakni pada 2007, Lea menceburkan dirinya dalam dunia tulis menulis dan aktif menulis fiksi di berbagai media.

Karya-karyanya meluncur tahun demi tahun. Lea menerbitkan buku antologi puisi "Suara-suara Adam" bersama para sastrawan dari 4 negara Asia Tenggara (Indonesia, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam), awal 2010. Kemudian menyusul antologi puisi "Simfoni Imaji" (12 Mei 2010) dan antologi prosa dan puisi "Imagine of Souls" bersama para sastrawan Sumatera Utara (27 Juli 2010), antologi puisi solo "Apollo’s Tears" (Maret 2011).

Pada 2011, Lea, meluncurkan buku Teknik Dasar Blogspot untuk Blogger Kreatif yang diterbitkan Elex Media Komputindo, Jakarta. Tak banyak lelaki normal seusianya di Medan menulis buku tutorial teknologi oleh penerbit terkenal dari Jakarta, Elex Media Komputindo. Lea bukan lulusan perguruan tinggi, padahal buku yang ditulisnya adalah pengetahuan baru di era internet. Tutorial Blogspot!.

Secara rutin, Lea juga diminta mengisi sebuah majalah agama Buddha dengan keahliannya membuat illustrasi gambar dari sebuah cerita. "Saya membuat gambar-gambar untuk sebuah cerita yang sudah ada," ujarnya. Selain itu Lea aktif mengisi kolom remaja di Harian Analisa, serta menulis artikel di rubrik Opini.

Catatan kami yang terakhir, dalam menyambut Hari Ulang Tahun RI ke-67, 17 Agustus 2012, Lea menulis sebuah artikel berjudul: "Bersatu untuk Satu Tujuan" (Analisa, 16 Agustus 2012). "Kita semua memiliki jiwa dan kekuatan masing-masing. Jangan hanya mau menggerutu dan bergantung kepada ‘lokomotif’. Satukanlah jiwa dan kekuatan kita untuk tiba pada satu tujuan!"

Lea juga mengelola blog:

http://myartdimension.blogspot.com,tempatnya menuangkan pikiran-pikirannya. Artikel-artikel yang ditulisnya seputar tutorial blog dan karya-karya sastranya.

Meski keluar rumah merupakan barang mahal bagi Lea, tetapi kemampuannya memonitor perkembangan sungguh mendapat acungan jempol. Dia rajin mengikuti perlombaan-perlombaan. Pada 2012 Lea memenangkan tempat kedua penulisan program Opera 12.

Jangan di Luar Pagar dan Belajar Bertahap


Secara kreatif, Lea menempatkan diri dengan tepat dan memanfaatkan bantuan orang-orang di sekelilingnya. Dia memanfaatkan peluang dari kemajuan teknologi yang dapat menghilangkan batas-batas yang menghalanginya berhubungan dengan dunia luar. Melalui internet—yang disebutnya sebagai "rumah mewah" Lea menemukan "kunci" dan membukanya menjadi sebuah sumber pengetahuan yang tak terbatas.

Kesabaran dan kejelian menilai potensi diri dan peluang yang ada merupakan kunci keberhasilan Lea. Dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya, dia tidak mungkin mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan banyak perpindahan tubuh. Dia harus tinggal di rumah, tetapi bukan menjadi penonton di tengah kemajuan zaman.

Lea mengisahkan pengalamannya. "Jangan Berada di Luar Pagar dan Belajar Bertahap,"ujarnya

Lea menyebut berada di "luar pagar", ketika dirinya belum menguasai komputer dan internet. Kesadaran ini mendorongnya belajar secara bertahap hingga mampu berprestasi seperti sekarang ini.

Dia belajar dan menemukan talentanya, hal-hal yang bisa dikerjakannya. Awalnya dia membuat gambar atau ilustrasi secara manual. Itulah kondisnya sebelum 2007, saat dirinya belum menguasai teknologi komputer dan internet.

"2007 saya membeli sebuah komputer, 2008 belajar menggunakan apa yang disebut email, dan akhir 2010 coba belajar membuat blog, dan kemudian membuat tutorial tentang blog", ujarnya di buku Teknik Dasar Blogspot untuk Blogger Kreatif.

Tapi tunggu dulu. Lea punya pengalaman unik, ketika belajar komputer dan internet. Pengalaman yang mengajarkan kita bahwa belajar bukan instan, tetapi harus melalui tahap demi tahap.

Suatu ketika, saudara sepupunya dari Taiwan berkunjung ke rumahnya dengan mengajak seorang teman yang mahir menjalankan program Photoshop. Saat itu dirinya belum tau apa-apa tentang komputer, baru bisa menggambar secara manual.

"Dia mengajar saya untuk on-off komputer. Tapi baru belajar on-off, keinginan saya sudah mau buat desain gambar. Saat itu saya sampai tidak bisa tidur, ingin secepatnya mempraktekkan sesuatu. Padahal dasarnya saja saya belum tau"ujarnya.

Pengalaman itu memberinya pembelajaran bahwa belajar sesuatu harus tahap demi tahap. "Orang bisa belajar kalau melalui tahapan-tahapan yang benar. Kita semua mampu asal kita mau langsung memulai langkah-langkah pertama, kedua, dan seterusnya hingga tiba pada pencapaian yang diinginkan,"ujar Lea yang menyukai novel .

Kemauan kerasnya untuk mencapai sesuatu, belajar tahap demi tahap merupakan proses yang harus dijalaninya, sehingga Lea tidak menjadi penonton di tengah perkembangan zaman ini.

Kepahitan dan Rasa Syukur


Bagi Lea, pengalaman pahit akan menjadi indah, tergantung orang melihat kepahitan itu. "Semua orang punya pengalaman pahit.Hidup pasti ada yang pahit. Tetapi, tergantung kepada cara kita memaknai kepahitan itu. Orang yang pesimis akan melihat persoalan kecil sepertinya besar. Tetapi orang yang bersyukur selalu berdoa dan berserah kepada Tuhan," ujarnya.

Di balik sukses yang dicapainya, Lea mengalami sejumlah kisah pahit dalam hidupnya. Tak seorangpun menyangka kalau Lea harus mengalami cacat di tubuh bagian bawah. Pasalnya, sejak lahir sampai berusia beberapa bulan, Lea tumbuh sebagai anak yang normal.

"Awalnya, dia tumbuh sebagai bayi normal lainnya. Tapi setelah berusia beberapa bulan, kakinya tidak tumbuh normal dan kepalanya tidak bertenaga," ujar ibu Lea pagi itu.

Cobaan tidak berhenti pada kondisi kelainan fisik itu. Dalam keadaan butuh kasih sayang dari seorang ayah, justru Lea kehilangan lelaki yang sangat mencintainya itu dalam usia 49 tahun. Saat itu, usia Lea baru 10 tahun.

Dalam kondisi itu, Lea harus dirawat dan dididik seorang ibu yang single parent, disamping harus membesarkan kakak-kakaknya Lilys, Liwis dan Liven yang ketika itu masih dalam usia sekolah.

Bukan hal yang mudah merawat anak seperti Lea. "Kami harus terus menerus mengawasinya, memperhatikan waktu istirahat, dan merawat kesehatannya supaya tetap prima,"ujar Ibu Lea.

Di saat kariernya mulai bersinar, tragisnya, pada 2010 Lea jatuh sakit dan cukup parah. Padahal, saat itu dia memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. "Saya berdoa dan berharap supaya bisa melakukan sesuatu. Setelah saya sembuh, saya kembali bisa melakukan banyak hal yang berguna bagi orang lain," ujar pencinta penulis novel Ilana Tan ini.

Dia tidak menutup diri, meski dalam keterbatasan. Secara tekun Lea belajar mengatasi persoalan akibat keterbatasan itu. "Saya punya sahabat-sahabat untuk berbagi. Saya punya hobbi yang sama dengan kakak saya Liven. Menulis dan membaca. Dia banyak mengajar saya. Sepupu-sepupu saya juga banyak berbagi pengetahuan," ujar Lea.

Lea beruntung karena ibunya dan ketiga kakaknya terus memberinya semangat dan bangga memiliki dirinya. "Saya bangga punya anak seperti Lea Willsen karena dia pintar. Saya tetap sabar, dan penuh harapan pada anak saya," ujarnya.

Sejak kecil Lea diasuh kakak-kakaknya Lilys, Liwis dan Liven. Mereka menjadi guru utama baginya. Mengingatkan kita pada guru Anne Sullivan yang mengajar Heller Keller yang buta dan tuli sejak usia 19 bulan, hingga akhirnya menjadi orang terkenal. Karena kondisi fisiknya, Lea tidak bisa mengikuti pendidikan formal dan hanya memperoleh pengetahuan dan bimbingan dari kakak-kakaknya atau saudara-saudaranya. "Kakak Liven adalah partner saya menulis. Dia juga banyak mengajar Matematika dan pengetahuan yang lain,"ujarnya. Liven Riawaty adalah seorang penulis yang karya-karyanya banyak dimuat di harian Analisa.

Bahkan sampai sekarang, kakaknya Liwis membuat agenda tersendiri untuk Lea. "Setiap minggu saya ke rumah mengunjunginya. Saya bangga punya adik seperti Lea. Dia pintar," ujar Liwis yang turut mendampingi Lea dalam pertemuan kami. Liwis adalah kakak Lea nomor dua, sudah berkeluarga dan tinggal di bilangan Gatot Subroto Medan.

Bersyukur adalah kata kunci bagi Lea untuk meraih prestasi dan rasa bahagia atas prestasinya. "Saya bersyukur karena mama saya dan ketiga kakak saya, keluarga dan teman-teman selalu memotivasi saya,"ujar Lea.

Di sebuah sudut blognya Lea menitip pesan dari kutipan Helen Keller: "Happiness cannot come from without. It must come from within. It is not what we see and touch or that which others do for us which makes us happy; it is that which we think and feel and do, first for the other fellow and then for ourselves. (Helen Keller)" Apa yang membuat kita bahagia adalah kalau kita melakukan sesuatu untuk orang lain lebih dahulu, baru untuk kita. Baca juga: Siapakah Lea Willsen? (Analisa, 21 Agustus 2011)***

1. Penulis Biografi, berdomisili di Medan
 (Dimuat di Harian Analisa, 25 Agustus 2012 Hal 26) 

Beberapa hari yang lalu di FB kakaknya Liven Rianawaty, saya membaca Lea Wilsen sakit. Semoga dia tetap bersemangat dan tegar menghadapi hidup. Teman-temanmu semua mendukungmu Lea. I pray for you tonight before I go to bed! 

"Tuhan saat ini Lea sedang berbaring lemah. Saya tidak tau keadaannya, tetapi Tuhan pasti akan tetap memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Ya Bapa, lindungilah temanku yang baik dan pintar ini. Dengan segala kelemahan yang Tuhan berikan kepadanya, dia mampu bersyukur. Hanya satu permintaannya. "Setelah saya sembuh, saya kembali bisa melakukan banyak hal yang berguna bagi orang lain,", seperti diucapkannya dalam pertemuan kami yang terakhir. Tuhan kami sangat membutuhkan dia sebagai teladan seorang yang senantiasa bersyukur, apapun yang Tuhan berikan kepadanya. Kami serahkan seluruh keberadaannya, kami memohon yang terbaik untuknya. Amen!".  (01.00 dinihari, 6 Peberuari 2014)  

Kamis, 16 Agustus 2012


Cagubsu Harus Siapkan Rp 150 Miliar?
"Jangan Takut! Perbesar Jumlah Penyumbang Anda"
Oleh : Jannerson Girsang

Sumber foto: truenewsthebund.blogspot.com.
Dalam sebuah acara buka puasa beberapa hari yang lalu, Abdul Wahab Dalimunthe, Anggota DPR-RI dan mantan Calon Gubsu (2008-2013) mengungkapkan bahwa kalau ingin jadi Gubernur Sumatera Utara diperkirakan harus menyediakan Rp 150 miliar. (Analisa, 6 Agustus 2012).

Menurutnya, uang itu digunakan untuk beli perahu partai (kecuali calon independen), biaya kampanye dan banyak biaya lainnya. Abdul Wahab adalah mantan Calon Gubsu 2008-2013 dan perhitungannya tentu bukan tanpa dasar. Kita tidak heran mendengar pernyataan ini. Bahkan angka itu jauh di bawah biaya-biaya yang pernah terungkap di media. Lihat misalnya berita di http://news.okezone.com. (Jum"at, 27 April 2012)

Ketua Tim Penjaringan Pilgub DPD Gerindra Jawa Barat, Sunatra, mengatakan bahwa modal yang harus dimiliki para bakal calon untuk dapat mengikuti sebuah ajang pemilihan gubernur sebesar Rp430 miliar. Hal itu dia katakan berdasarkan data Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan FKIP Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Jawa Barat. Perhitungan ini dilakukan berdasarkan sasaran berdasarkan pemilih. "Angka itu untuk sosialisasi, survei, atribut, kampanye, dan lain-lain," katanya.

Pasti setiap orang akan "keder" mendengar angka yang gila ini. Tentu tidak bisa dibayar dengan pendapatan seorang gubernur di Indonesia. Berdasarkan perhitungan pak Abdul Wahab diatas, seorang calon gubernur Sumut yang menang akan mengalami defisit sebesar Rp 144 miliar di akhir masa jabatannya. Pasalnya, pendapatan per bulan (gaji, insentif dan tunjangan) seorang gubernur DKI hanya di bawah Rp 100 juta, atau maksimum Rp 6 miliar per lima tahun.

Tapi, perhitungan seperti ini adalah kalau calon gubernurnya orang bodoh dan tidak mau berfikir beda. Seorang calon gubernur bukan hanya mencalonkan dirinya sendiri tetapi benar-benar mendapat dukungan rakyat. Biaya yang diperlukan juga didukung oleh pendukungnya. Rakyat banyak, bukan segelintir orang.

Jadi gubernur itu memang tidak mudah!. Calon gubernur yang hebat tentu tidak bodoh dan hanya mengikuti alur pikiran orang kebanyakan. Dia adalah seorang yang mampu berfikir out box thinking!.

Biaya Minimum Rp 150 Miliar

Sistem pemilihan gubernur langsung seperti sekarang ini memang membutuhkan biaya yang sangat besar. Sementara dengan pola penggajian yang berlaku, tidak mungkin seorang gubernur mampu tanpa melakukan korupsi.

Itulah tantangannya. Tapi, seorang gubernur seharusnya tidak berfikir konvensional. Dia harus memiliki pemikiran-pemikiran yang kreatif.

Coba kita simak dulu gambaran pendapatan seorang Gubernur yang tanpa korupsi.

Mediaonline Majalah Tempo (Tempo.co.id) Maret 2012 lalu membuat perhitungan soal penghasilan gubernur DKI. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 68/2001 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Tertentu, gaji pokok kepala daerah "hanya" Rp 3 juta. Adapun tunjangan jabatan diatur dalam Keppres No 59 Tahun 2003 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Di Lingkungan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara. Tunjangan jabatan gubernur sekitar Rp 5,4 juta. Jadi, gaji total Rp 8,4 juta.

Tempo menambahkan, Gubernur memiliki sejumlah "pintu" yang menambah penghasilannya, seperti fasilitas rumah, kendaraan, insentif rapat, dan kunjungan dinas. Gubernur juga berhak mendapat insentif pajak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69/2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Hitung-hitungannya, Gubernur DKI akan mendapat tambahan paling tidak Rp 80 juta di luar gaji. Andaikan sama. Maka seorang gubernur Sumatera Utara maksimal mendapat penghasilan dari gaji Rp 8.4 juta dan tambahan penghasilan di luar gaji Rp 80 juta.

Jadi, kalau berfikirnya konvensional, maka gubernur yang mengeluarkan biaya kampanye Rp 150 miliar dan menjabat selama lima tahun (enampuluh bulan), maka dia akan defisit sebanyak Rp 144 miliar di akhir jabatannya. Karena pendapatannya selama lima tahun hanya Rp 100 juta per bulan atau Rp 6 miliar selama periode itu.

Maka dengan logika di atas, dan pengalaman-pengalaman yang kita saksikan di era zaman "korupsi" ini, kita percaya seorang yang turut mencalon dan memenangkan gubernur ternyata tidak rela "modalnya" tidak kembali. Buktinya, begitu banyak gubernur yang masuk penjara.

Perbesar Jumlah Penyumbang Anda!

Menjadi gubernur, masuk penjara?. Tidak dong. Ngapain jadi gubernur kalau untuk masuk penjara!.

Gubernur harus mencitrakan dirinya seorang yang kaya akan kreasi memimpin, termasuk meyakinkan pendukungnya untuk membangun tim dan mengumpulkan dana bagi kampanyenya. Orang banyak mengatakan belajar dari Obama, tapi sering lupa strateginya, dan keterbukaan pertanggungjawabannya.

Seorang calon gubernur harus betul-betul ada di hati masyarakat karena memang sudah berbuat di tengah-tengah masyarakat dan akan bersama mereka lima tahun ke depan.

Dengan demikian, melakukan sosialisasi bukan menawarkan "bantuan", tetapi meminta "bantuan". Gila ya. Tapi tidak asal meminta! Tentu dibarengi dengan pengalaman dan kemampuan calon itu sendiri di masa lalu dan meyakinkannya di saat-saat sosialisasi.

Di media-media cetak, elektronik atau media online saat ini kita menyaksikan puluhan tokoh yang menyebut dirinya sebagai calon gubernur Sumatera Utara sedang melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Mereka juga melakukan survey dukungan masyarakat.

Di kantor masing-masing mereka melakukan evaluasi dan kajian untuk nantinya bisa memutuskan apakah maju atau tidak. Salah satu hal yang dilupakan adalah menjawab pertanyaaan: mengapa seseorang maju menjadi calon gubernur dan bagaimana caranya menjadi gubernur.

Apakah pernah dilakukan penghitungan mereka yang berpotensi memberi sumbangan yang riel itu?. Berapa yang kita punya pendukung dan sekaligus mau mendukung dana sekarang?. Jangan abaikan memperhitungkan pendukung yang riel. Karena untuk itulah indikator kinerja sosialisasi dilakukan.

Jadi, biaya pemenangan seorang gubernur bukan "modal pribadi" sang calon. Angka Rp 150 miliar bisa diperoleh dari 2 juta kali Rp 75 ribu atau 3 juta kali Rp 50 ribu atau 4 juta kali Rp 37.500 atau 5 juta kali Rp 30 ribu, 6 juta kali Rp 25.000.

Makin besar rakyat pendukung dan memberi sumbangan, makin besar peluang seorang calon akan menang. Jadi hal penting dan menjadi prestasi sang calon adalah memperbesar jumlah pendukung, sekaligus jumlah dana. Lebih baik 150 orang penyumbang dengan jumlah Rp 150 atau 350 perusahaan menyumbang Rp 350 juta dari pada hanya satu perusahaan menyumbang Rp 350 juta.

Memang, kalau persepsi masyarakat seorang calon hanya bermotivasi sekedar meraih kekuasaan dan uang di zaman edan ini, percuma menjadi calon gubernur!. Rakyat akan menirunya dengan menawarkan: "hayo beli kami!". Mereka juga sudah pintar bilang: "Terima uangnya, tapi jangan pilih orangnya".

Kalau benar-benar sudah di hati masyarakat pendukung, mintalah mereka mendanai Anda. Bilang, supaya saya tidak korupsi. Kalau mereka tidak mau, menyumbang hanya Rp 25 ribu saja, sebenarnya mereka bukan pendukung anda yang setia. Kalau anda tidak cukup pendukung, sebaiknya jangan teruskan. Jangan berjudi di tengah dunia yang edan ini. Taruhannya: Penjara!

Transparansi Pendanaan Kampanye

Satu hal penting adalah keterbukaan para calon kepada para pendukung tentang biaya yang dibutuhkan. Di masa lalu para calon hampir-hampir tidak pernah menghargai biaya-biaya kecil yang disumbangkan para pendukungnya.

Biaya yang terungkap hanya yang dikeluarkan calon gubernur dan beberapa donatur besar (yang kadang tertutup pula). Jasa pendukungnya yang kecil-kecil hampir terlupakan, termasuk mereka yang dengan sukarela menyumbangkan tenaga, pikiran dan waktunya.

Jangan pernah membuat tim di sekitar Anda kecewa. Kampanye Anda akan buruk. Mereka perlu dihargai dengan sebuah nilai tunai meski tak dibayar dengan tunai yang tercermin dalam laporan keuangan!.

Coba lihat laporan KPU pada periode Pilgubsu 2008-2013. Saat itu pasangan Tritamtomo-Benny Pasaribu tercatat memiliki dana kampanye terbesar, yakni Rp 6.713.150.000. Berikutnya pasangan Ali Umri-Maratua Simanjuntak sebesar Rp 1.057.000.000. Pasangan RE Siahaan-Suherdi memiliki dana kampanye terbesar ketiga sebanyak Rp 940.000.000. Pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho berada di posisi keempat sebesar Rp 898.000.000. Pasangan Abdul Wahab Dalimunthe-Muhammad Syafii tercatat sebagai pasangan yang memiliki dana kampanye paling sedikit, Rp 152.000.000.

Menanggapi laporan ini, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara (Sumut) Irham Buana Nasution, KPU Sumut menangkap kesan calon gubernur tidak jujur dalam soal dana kampanye. (Analisa, 30 Maret 2008).

Keterbukaan memaparkan biaya kampanye dan sumber dana kampanye akan membantu mengumpulkan simpati serta citra baik dari calon. Disinilah keterbukaan kemampuan dan track record masa lalu terlihat. Tanpa keterbukaan, maka para pendukung tidak mengetahui berapa yang harus disumbangnya dan apakah sumbangannya tersebut bermanfaat.

Memang biaya kampanye itu mahal, tetapi bukan menjadi alasan bagi para pejabat nantinya untuk terus korupsi, karena menganggap semua pembiayaan menjadi tanggungan pribadinya. Dia harus menjadi seorang gubernur dukungan masyarakat, milik masyarakat dan membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik. .

Kita berharap, pada calon gubernur Sumatera Utara (2013-2018) mampu menantang pendapat Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, yang pernah mengatakan bahwa tak seimbangnya modal kampanye dengan gaji yang akan diterima calon gubernur akan berpotensi terjadi korupsi. "Bila balik modal, bisa jadi itu korupsi," katanya kepada Okezone, 22 Maret 2012 lalu. Balik modal saja sudah korupsi, apalagi masih pengen bangun villa atau beli mobil mewah!.

Kita juga menghimbau KPU memfasilitasi para calon secara netral dan tidak memihak, serta mendidik para pemilih untuk turut dalam Pilgubsu, tidak menjadi orang yang "golput". Rakyat Sumatera Utara tidak mau anggaran biaya pilgubsu 2013-2018 sebesar Rp 700 miliar itu ibarat membuang garam ke laut.

Kita memilih gubernur yang punya "hutang pribadi" yang besar. Ketika tiba di puncak kekuasaan. Kembalikan modal dulu, sebagai awal tindakannya, baru membangun rakyat.

Calon gubernur itu adalah orang hebat. Dia bukan berfikir biasa. Dia mampu merubah keadaan yang edan ini. Tidak hanya mengeluh dan mengeluh soal system, serta mencari pembenaran tindakan yang tidak benar, bahkan lebih buruk lagi mengajak rakyatnya makin gila.

Ide gila tak selalu tidak baik! Terima kasih pak Abdul Wahab atas keberaniannya mengungkap biaya Calon Gubernur yang menginspirasi kami menuliskan artikel ini! ***

Diterbitkan di Harian Analisa, 15 Agustus 2012 Halaman 24, 29). 

Rabu, 08 Agustus 2012


Daur Ulang Senilai Manusia dari Tong Sampah
Oleh: Jannerson Girsang
  "Jika kita punya tenaga untuk mengumpulkan sampah, mengapa kita juga tidak mendaur ulang sesuatu yang seberharga manusia," (Lou Xiaoying, seorang pemulung di Cina yang berusia 88 tahun).
(foto/int)
 
Minggu-minggu ini nama Lou Xiaoying—seorang pemulung di jalanan kota Jinghua, Cina menghiasi media-media terkenal di duna maupun di tanah air, layaknya selebiriti terkenal. Media-media membahas kisahnya karena memenolong orang lain meskipun kemampuannya terbatas dan miskin, bukan karena dirinya selebriti atau penguasa besar.
 
Detik.com menulisnya dengan judul: Pemulung Tua Penyelamat Puluhan Bayi, Kompasiana.com dengan artikel berjudul:  Pemulung Mulia bernama Lou Xiao Ying, dan berbagai media cetak yang terbit di tanah air.

Bertahun-tahun bekerja di tempat yang kumuh, minggu-minggu terakhir ini Lou muncul di media-media terkenal di dunia dengan foto-foto dirinya yang terbaring di rumah sakit dalam berbagai pose. Profesi wanita yang kini tergeletak di sebuah rumah sakit di negeri Tirai Besi itu, adalah pemulung, Pekerjaan yang tidak pernah masuk daftar cita-cita siapapun, karena tidak memberi kehidupan yang layak atau menjanjikan. Lou bekerja di tempat kotor, bau menyengat, jauh dari ruang AC yang mewarh. Namun,  dari sanalah dirinya memancarkan kasih dan perhatian kepada sesamanya.


Lou—yang oleh sebuah mediaonline disebut sebagai  “a guardian angel that saved the lives of many”, membantu tanpa pamrih, kesabaran dan konsiten membantu bayi-bayi yang ditelantarkan karena hilangnya penghargaan manusia atas bayi yang seharusnya menjadi berkat, justru ditemukannya terlantar di tong sampah.

Dia tidak mengeluh dan meratapi nasibnya, bahkan sebaliknya, sepanjang melakoni profesinya sebagai pemulung, Lou membuka panggilan jiwanya menyikapi persoalan yang muncul di sekitarnya dengan tulus dan tanpa pamrih. .

Menolong Bayi-bayi Terlantar

Lou mengerjakan sesuatu di saat negerinya mengalami banyak kemajuan. Anehnya, dia sendiri tidak pernah menikmati kemajuan itu, tetapi justru menyelamatkan orang-orang tertindas akibat dampak kemajuan itu sendiri, tanpa pamrih, tanpa peduli dia akan dihargai atau tidak.

Menggambarkan keadaan bayi yang ditelantarkan itu, dalam postingannya 3 Agustus 2012, Daily Mail mengisahkan sebuah pemandangan yang menyedihkan di Cina. “Seorang bayi ditaruh di tas plastik dan dilemparkan ke tempat sampah di kota Anshan, provinsi  Liaoning, setelah tenggorokannya terpotong. Dia terlihat dan diselamatkan oleh seorang pria yang melemparkan sampah ke tempat sampah”. Bayi itu selamat, kehidupan baru tercipta. .

Sejak 1978, pemerintah Cina mulai menerapkan  kebijakan menekan pertumbuhan penduduk dengan mewajibkan warganya membolehkan setiap keluarga hanya punya seorang anak. “Bayi perempuan yang selamat itu, diperkirakan menjadi korban dari kebijakan satu anak Cina,” tulis Daily Mail

Itulah kejadian di tong-tong sampah di Cina. Di balik gemerlapnya pembangunan ekonomi,teknologi dan berbagai prestasi lain yang dicapai negeri Cina  ternyata kisah-kisah bayi terlantar di tong sampah masih ditemukan.

Lou mulai menyelematkan bayi-bayi yang terlantar di tong sampah bersamaan dengan kebijakan itu. Bertahun-tahun Lou Xiaojing, disamping pekerjaannya sebagai pemulung, menyelamatkan 30 bayi yang dibuang ke tempat sampah di jalanan kota Jianhua, Cina.

Lou Xiaojing: Menolong Sesama dengan Panggilan Jiwa

Kisah Lou mengajarkan kita betapa setiap manusia memiliki kemampuan membantu sesamanya bagaimanapun kondisi ekonominya., sekaligus menepis hanya orang kaya dan berkuasa  dan memiliki uang untuk dibagi-bagi yang bisa menolong umat manusia. Orang miskin dan tidak punya kuasapun mampu menolong sesama

Lou Xiaoying (88 tahun) bukanlah seorang pengusaha kaya, atau seorang koruptor yang memiliki triliunan uang dan tiba-tiba menjadi seorang dermawan. Lou hanyalah seorang pemulung!.

Pemulung sama seperti yang saya temukan di bawah jembatan atau di pinggir rel kereta api di Jakarta. Hidupnya susah dan tinggal di tempat yang bau. Pasti keadaannya tidak lebih dari para pemulung yang tinggal di tempat sampah di Perumnas Simalingkar Medan dan hidup di pinggiran kota yang sepi, jauh dari segala kemewahan.

Dia menggunakan talentanya dan memaknai tindakannya menolong sesama sebagai sebuah panggilan jiwa. Tentu tindakannya itu berbeda dengan motivasi seorang koruptor yang membantu masyarakat untuk mencuci “pekerjaan kotornya” menjadi  “citra yang baik” di mata masyarakat. 

Dalam keadaan serba terbatas, Lou berhasil menyelamatkan 30 bayi, sejak pertama kali menyelamatkan bayi pertamanya pada 1978. Bersama suaminya (meninggal 17 tahun lalu), Lou membesarkan 4 orang bayi itu, disamping seorang bayi biologis mereka. Sedangkan 26 bayi lainnya diambil kemudian oleh rekan atau keluarga asuh untuk memulai hidup barunya.

Tindakan Lou didasarkan pada cinta dan kasih yang tulus, bahwa setiap orang berhak mendapat kasih dan perhatian.  "Anak-anak membutuhkan cinta dan perhatian. Mereka semua adalah nyawa yang berharga. Saya tidak mengerti mengapa orang tega meninggalkan bayi yang rentan dan tak berdaya di jalanan".

Lou tidak peduli dengan kemampuannya sebagai pemulung dan tidak menunggu kelebihan pendapatannya baru bisa membantu sesamanya.

Kemampuannya mengumpul sampah menjadi motivasi bagi dirinya untuk melakukan sesuatu yang baik: menolong sesamanya. "Jika kita punya tenaga untuk mengumpulkan sampah, mengapa kita juga tidak mendaur ulang sesuatu yang seberharga manusia,"ujarnya, seperti dikutip Daily Mail, 3 Agustus 2012.

Baginya membantu sesama adalah panggilan jiwa, segenap jiwa dan raganya untuk menyelamatkan bayi-bayi yang ditelantarkan pasangan-pasangan yang tidak memiliki nurani.

Pekerjaan baik itu dilakukannya hingga di usia diatas delapan puluh tahun. Bahkan sampai berusia 82 tahun, Lou masih melakukan pekerjaan mulia ini.
 
Anaknya paling muda, berusia tujuh tahun,  Zhang Qilin, ditemukan ditempat sampah saat Lou berusia 82 tahun. Dia membawa anak itu ke rumahnya- sebuah rumah kecil  di wilayan pedesaan, dan merawatnya kembali sehat. "Walaupun saya sudah tua  saya tidak bisa begitu saja menelantarkan bayi itu dan meninggalkannya mati di tempat sampah. Dia tampak manis dan montok. Saya harus membawanya ke rumah" ujarnya, seperti dikutip berbagai media.
 
Lou Xiaojing   telah membuat kehidupan melalui daur ulang dari tong sampah!.

Orang Kecil dengan Kisah Besar

"Masyarakat sekitarnya mengenalnya dengan baik dan menghormatinya karena pekerjaanya dengan bayi yang terlantar itu.Dia melakukan yang terbaik. Dia adalah pahlawan lokal. Tetapi sayang, terlalu banyak bayi ditelantarkan di Cina yang tidak memiliki harapan untuk bertahan hidup,” tulis Daily Mail.

Kisah orang kecil seperti Lou Xiaoyiang memberi teladan kepada kita bahwa memberi tidak harus menunggu seseorang memiliki segalanya, dan lantas member sisanya kepada yang lain. Lou memberikan seluruh miliknya untuk menolong sesama. 

“Nah, Lou Xiaoying tidak menunggu kesempatan yang sempurna untuk menyelamatkan lebih dari 30 anak yang menghadapi kematian. Dia mengambil bagian bagi lebih dari 30 anak-anak yang dibiarkan mati dan mengangkat mereka sendiririan, meskipun dia memiliki sumber daya yang sangat terbatas dan miskin,” ujar mediaonline http://miakouna.hubpages.com.
 
Ia tidak berpikir tentang sumber daya yang terbatas, tidak berpikir tentang masa depan atau apa yang akan lakukan setelah ia menyelamatkan anak-anak yang dibuang di tempat sampah. Fokus satu-satunya adalah untuk menyelamatkan anak-anak bahwa ia menemukan sementara ia mencari uang untuk makanan dan memberi mereka cinta dan pengabdian.

Perbuatan mulia itu membuka mata dunia betapa sebuah kebijakan perlu memperhitungkan ekses  negatif dimana rasa kemanusiaan tersingkirkan. Setiap kebijakan membutuhkan orang-orang yang bijak juga dalam pelaksanaannya. 

Lou menjadi begitu kuat, terkenal,  menginspirasi penduduk dunia untuk sebuah kebaikan. Menurut berbagai media, kisah Lou mampu mengungkap kenyataan di Cina dimana begitu banyak bayi yang ditelantarkan. "Dia mempermalukan pemerintah, sekolah dan orang-orang yang berdiam diri dan tidak melakukan apapun," kata salah seorang  pendukung Lou.

Kini, di usia 88 tahun, Lou Xiaoying menderita gagal ginjal, terbaring lemah di rumah sakit.

Untungnya, tindakan kemurahan hati, bekerja sendirian dengan cinta dan tanpa pamrih, akan berlanjut kepada keluarganya dan teman-temannya. “Mudah-mudahan, masyarakat akan melihat bahwa membantu seseorang tidak berarti bahwa Anda perlu uang untuk membantu orang lain. Yang Anda butuhkan adalah kasih sayang. Kasih sayang bisa membuat perbedaan bagi kehidupan orang lain,” kata mediaonline http://miakouna.hubpages.com..

Lalu, mengapa kita harus menunggu kesempatan yang tepat, menjadi kaya baru bisa memberi? Lou mengajarkan kita melakukan hal kecil di sekitar kita. Tidak perlu terlihat wah, tetapi dirasakan orang lain dan membuatnya berubah menjadi lebih baik.

Terima kasih Mother Lou!. Anda telah membuka mata dunia bahwa setiap orang wajib menolong sesamanya, tanpa memperdulikan statusnya.  (Diolah dari Berbagai Sumber)

Harian Analisa, 8 Agustus 2012, Halaman 25 (Opini). Bisa juga diakses di:  
http://www.analisadaily.com/news/read/2012/08/08/67587/daur_ulang_senilai_manusia_dari_tong_sampah/.

Koreksi: Kesalahan penulisan 24 bayi seharusnya 26 bayi.

Sabtu, 21 Juli 2012

Oleh : Jannerson Girsang


http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTlPCnuXem1tdl3muX0bOT64QKGhTWwpqwLzzQ3AkpVe2AbOQDJ0A
 sumber foto: http://t2.gstatic.com/images

Berangan-angan menjadi penulis tidak cukup membekali diri dengan kemampuan teknis menulis, tetapi juga inspirasi dan motivasi menulis. Salah satu caranya adalah belajar dari mereka yang sukses menulis!. Kali ini saya mengajak anda mengunjungi sebuah situs terkenal: http://www.pembelajar.com.

Fakta menunjukan bahwa para penulis besar umumnya bertempat tinggal di Jakarta. Di sanalah singa-singanya penulis berkumpul. Saya tidak menafikan ada penulis-penulis besar yang tinggal di daerah.

Untuk menemui salah satu diantara merekapun, tentu sangat sulit bagi kita yang berada di daerah, apalagi menemui mereka satu per satu. Syukurlah, kini kita sudah dihubungkan dengan internet, yang memungkinkan kita menjangkau dan menikmati pengalaman dan karya-karya mereka. Gratis pula! Meski Anda tinggal jauh di pedalaman, bila anda tersambung ke internet maka peluang bertemu penulis besar anda sama dengan saya yang tinggal di Medan.

Situs http://www.pembelajar.com adalah situs dimana berkumpul para penulis hebat negeri ini. Situs ini berisi artikel-artikel yang ditulis pada penulis best seller di tanah air. Mulai dari kisah sukses menulis, serta berbagai artikel-artikel motivasi. .

Rasanya berbeda belajar dari mereka yang sudah makan banyak asam garam soal tulis menulis, dari sekedar membaca teori-teori penulisan. Selain teori, Anda bisa meresapi pengalaman para penulis handal itu dalam menjalani proses menulis hingga menjadi seorang penulis professional.

Pasti anda familiar dengan nama-nama ini. Andrias Harefa—penulis lebih dari 35 buku laris, Trainer Coach pengalaman 20 tahun, dan pendiri Pembelajar.com, penulis buku Agar Menulis/Mengarang Bisa Gampang dan Mengukir Kata Menata Kalimat, Her Suharyanto—Trainer, Konsultan Penulisan dan Penerbitan, Editor Ekonomi, dan Editor, Hasudungan Sirait—Trainer Jurnalistik, Konsultan beberapa media, Editor, dan Penulis buku, Jennie S.Bev, dan Jennie S. Bev—dikenal sebagai salah satu penulis, pengusaha, dan pengajar yang sukses berkarir di Amerika Serikat, .Edy Zakeus, editor Pembelajar.com, penulis buku-buku best-seller, penerbit buku, dan konsultan penerbitan.

Ibarat Anda sedang berdiri di terminal mau ke sebuah tujuan yang belum pernah anda kunjungi. Dalam situs ini, Anda benar-benar menemukan seorang supir yang memahami jalan dan bus yang akan anda tumpangi. Anda tidak hanya bertemu seorang agen yang berteriak-teriak menawarkan penumpang menuju sebuah lokasi, padahal dia belum pernah sama sekali mengunjungi lokasi itu.

Pengalaman Jennie S Bev misalnya. Dalam situs ini dijelaskan bagaimana dirinya menjadi seorang penulis besar dan profilnya tampil di berbagai media nasional terkemuka, serta media asing seperti The New York Times dan lain-lain.

Anda juga bisa menikmati artikel-artikel yang diarsipkan dalam rubrik-rubrik Kolomnis, Writer Schoolen, Kolom Bersama, Galeri Buku Alumni, Wawancara, Galeri Foto, kita seolah menjelajah dunia penulisan di abad ini.

Pastikan anda belajar atau bertanya dari mereka yang memang seorang supir yang setiap hari membawa penumpang dan bisa merasakan apa yang dilihat dan dialami seorang supir. Saya pernah berkomunikasi dengan Jennie S Bev melalui e-mail. Dia orang yang rendah hati dan membalasnya.

Tentu, tidak mengharap dia bisa memberikan banyak waktu yang berharga mengajar saya. Tapi hanya membuktikan bahwa pengalaman itu memang benar dan orangnya ada. Dia adalah orang Indonesia asli dan kini bermukin di Amerika Serikat dan menjadi penulis terkenal di sana. Mengapa dia bisa,kok saya tidak.

Belajar menulis dari seorang penulis professional memberi kita pemantapan teori teknis menulis, dan mengisinya dengan inspirasi dan motivasi mereka menulis. Karena salah satu motivasi yang mendorong seseorang untuk menulis adalah menjadi seorang penulis besar, dan menjadikan salah satu diantara mereka menjadi idola dan meniru cara-cara mereka sukses.

Menulis secara berkelanjutan tidak cukup dibekali dengan teori, tetapi lebih pada bagaimana menguasai cara menulis dan memberi gairah menulis. Menulis secara berkelanjutan adalah menjadikan menulis sebuah profesi!.

Pelajaran itu akan sangat menolong bila Anda belajar sendiri dari yang sudah berpengalaman dan mampu mengisi diri Anda.

Berdasarkan Pengalaman Para Penulis Handal


Artikel-artikel di dalam pembelajaran.com ditulis berdasarkan pengalaman para penulis handal di lapangan yang memberi anda inspirasi mengikuti jejak mereka. Artikel-artikelnya bukan buku teks cara menulis yang banyak beredar di pasaran.

Situs ini adalah ungkapan pikiran penulis-penulis professional Indonesia dan memberi inspirasi bagi anda yang sedang menapaki cita-cita untuk menjadi penulis professional.

Situs yang didirikan dan dikelola para penulis handal ini ini berisi kumpulan artikel kreatif dan sangat inspiratif menjadikan anda menjadi seorang penulis.

Setiap artikel dilengkapi dengan e-mail para penulisnya yang memungkinkan pembaca bisa berhubungan langsung dengan penulisnya.

Selain itu, website ini juga menampilkan beberapa even-even training penulisan dan motivasi yang mungkin bsa diikuti para penulis. Pembelajaran.com juga menawarkan anda jadwal training penulisan dan motivasi. Anda ingin seperti mereka?. Silakan kunjungi situs: http://www. pembelajar.com. ***

Penulis adalah penulis Otobiografi.
Dimuat di Harian Analisa Cetak, 24 Juli 2012 

Jumat, 13 Juli 2012

Buku Kisah Hidup:
Obat dan Warisan

Oleh : Jannerson Girsang.
 Biografi Prof Dr Sutan Hutagalung, 2005
Anda mungkin sudah sering membaca buku-buku biografi atau otobiografi. Tapi pernahkah Anda membaca kisah tentang makna buku itu bagi sang tokohnya atau pembacanya?

Pat McNess, seorang penulis terbaik National Association of Government Communicators, USA) mengatakan, "Proses mengulang kembali kisah kehidupan merupakan pengobatan alternatif, khususnya pada usia lanjut, dan membuat kisah hidupnya terekam (bagaimanapun sederhananya atau mewahnya paket itu) adalah sebuah hadiah sangat bagus kepada generasi yang berikutnya, dan kepada generasi sesudahnya".

Menulis kisah orang berusia lanjut merupakan obat bagi sang tokoh dan warisan yang bagus bagi keturunannya. Sayangnya, perhatian pada penulisan kisah hidup para orang tua yang sudah lanjut, tak begitu berkembang dari tahun ke tahun.

Banyak penulisan justru dilakukan saat pencalonan gubernur, bupati, walikota, parlemen yang sebenarnya jauh bergeser dari makna yang sebenarnya. Bahkan saya belum membaca biografi tokoh terkenal seperti Marah Halim Harahap—tokoh olahraga terkenal di Sumatera Utara yang sudah berusia lanjut. Mudah-mudahan kisahnya bisa segera bisa dinikmati dan menjadi kisah menginspirasi.

Orang Biasa dengan Kisah yang Luar Biasa

Jangan kecil hati kalau orang tua Anda hanya biasa-biasa saja. Mungkin kisahnya sederhana tetapi tak lepas dari kemungkinan jadi sebuah buku yang terkenal. Orang yang sering luput dari perhatian, ternyata tidak sedikir memiliki kisah hidup yang memberi inspirasi yang luar biasa.

Nilai sebuah kisah hidup tidak semata-mata pada tokohnya seorang pejabat, orang kaya atau tokoh terkemuka, tetapi lebih pada inspirasi yang pernah dihasilkan tokohnya dalam mengatasi permasalah hidup mampu merubah pandangan pembacanya dan membuatnya berfikir dan bertindak ke arah yang lebih baik bagi kehidupan umat manusia.

Tak terbayang dalam pikiran Anne Frank seorang anak berusia 15 tahun, atau Demetri seorang pembantu rumah tangga kulit hitam di Amerika pada era 60-an kalau kisah mereka dibukukan dan menjadi bacaan yang banyak menginspirasi dunia ini.

Bagi Anda yang pernah membaca buku catatan Anne Frank—catatan harian seorang anak kecil pada masa perang dunia kedua menjadi sebuah buku legendaris sepanjang abad. Novel The Help (2009), karya Kathryn Stockett, menjadi buku laris di harian terkemuka di Amerika Serikat, The New York Times. Kini buku ini sudah difilmkan dan dbintangi aktor dan aktris terkenal.

Jadi jangan buru-buru mengatakan bahwa: "Ah dia kan orang tak dikenal ...kok biografinya ditulis?".

Obat dan Warisan

Dalam artikelnya berjudul Writing Your Memoir Telling Your Family Story Saving Lives, on story at a Time, Pat McNess yang juga penulis beberapa buku biografi mengungkapkan kisah di balik buku karyanya An American Biography.

Buku tersebut adalah kisah orang sederhana, tetapi menjadi buku laris (best seller) di toko buku online Amazon.com. Warren Webster, tokoh di dalam buku An American Biography adalah seorang pelaku bisnis di Ohio, dan kisahnya ditulis saat usianya menjelang 80an.

Dia kehilangan kedua kakinya karena kencing manis (diabetes). Penderitaannya diperparah dengan kehilangan isterinya setelah 70 tahun perkawinan. Dia sangat tertekan. .

Webster adalah seorang pekerja pabrik yang kemudian menapaki kariernya masuk ke deretan eksekutif. Ia pensiun dari keadaan yang disebutnya sebagai "karier sederhana" pada sebuah pabrik.

Dia bingung mengapa seseorang menginginkan kisah hidupnya. "Tetapi dengan menceritakan kisahnya sendiri, seperti dikisahkan Pat Mc Nees, cerita itu merubahnya—sinar kembali terbawa ke matanya, membuatnya merasa sepenting itu untuk diketahui keluarga," tulis Pat Mc Ness.

Saat seseorang merasa dirinya gagal, kisah hidupnya yang mengesankan bisa merubah keadaannya sendiri. Ketika Pat Mc Ness selesai menulis sebuah cerita atas wawancara dengan Webster, dia membacakannya keras-keras di hadapannya, saat merasa dirinya gagal. Saat membacakan itu Pat Mac Ness berkata "Webster memutuskan bahwa sebuah kehidupan dengan kuku jari tangan yang kotor (dirty fingernails) bukanlah dirinya," ia berkata, "Anda dapat berhenti tepat disana. Inilah inti seluruh cerita."

Pat Mc Nees, mungungkapkan hal yang jauh lebih bermakna: "Cerita karier Webster mencerminkan perubahan di dalam kultur Amerika dan industri transportasi abad ke duapuluh. Bab yang mengisahkan tentang isterinya Mary adalah perjuangan keras puluhan tahun mengatasi kekacauan yang bipolar, menawarkan sebuah pandangan sekilas tentang sikap Amerika terhadap penyakit mental pada pertengahan abad ke dua puluh".

Itulah kisah di balik An American Biography yang dijual di Amazon.Com. Buku itu menjadi sebuah memorial yang mengesankan dalam hidup penulisnya sendiri.

Pengalaman kami dalam menulis beberapa buku biografi atau otobiografi sejalan dengan pernyataan Pat McNess. Prof Dr Sutan Hutagalung, pemilik biografi berusia di atas 80-an pernah mengungkapkan bahwa di usia lanjut dirinya memerlukan teman bicara. Dirinya tidak ingin dilupakan begitu saja, apalagi dirinya pernah menjadi orang penting. Orang usia lanjut merasa bangga ketika dia didengar dan merasa bernilai saat cucu-cucunya atau orang lain bercerita tentang dirinya.

Dalam proses penulisannya sekitar pada tahun 2004, kami mendengar kesaksiannya bahwa wawancara dan diskusi tentang masa lalunya adalah obat yang sangat manjur. Ketka dia membaca kisah dirinya sendiri menambah rasa percaya dirinya. Dari unek-uneknya yang terpendam dan kemudian ada yang mendengar rasanya plong!. Walau tentunya tidak semua layak bisa ditulis.

(Ingat, biografi atau otobiografi, bukan menghakimi orang lain atau membenarkan diri sendiri. Apa yang dilihat, dirasakan dan memberi makna bagi diri sendiri dan orang lain. Bukan seperti banyak buku yang diterbitkan justru dimaksudkan untuk menempatkan seseorang (tokohnya) dalam posisi benar dan yang lain salah).

Memutar kembali memori saat penulisan buku "Hanya Oleh Belas KasihNya" beberapa tahun lalu.

Kisah paling berkesan adalah saat kami mewawancarainya pertama kali. Dia terbaring di tempat tidur dan susah bergerak. Sampai-sampai istri almarhum (sekarang masih hidup) mengingatkan saya bahwa suaminya sakit, dan tidak boleh bicara terlalu lama.

Apa yang kemudian saya saksikan dan juga menjadi kesaksian keluarga adalah tidak terjadi sesuatu yang pernah dikhawatirkan mereka. Malah sebaliknya, pertemuan pertama kami berjalan lebih dari empat jam terus menerus. tanpa istirahat.

Dalam pertemuan-pertemuan kami selanjutnya, beliau beberapa kali mengatakan kalimat ini. "Kau jadi seperti dokter buatku,"ujar almarhum Prof Dr Hutagalung, mantan Sekjen Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) itu. Hal yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya

Saya bukan dokter, tetapi pengalaman menulis biografi dan otobiografi seorang berusia lanjut, penulis biografi bisa membuat tokohnya lebih bersemangat. Sang tokoh yang saya tulis justru merasa sakitnya berkurang dan mendorong fisiknya bertambah sehat dan segar.

Sebuah buku kehidupan (biografi atau otobiografi) memberi obat dan hadiah khusus bagi tokohnya, serta warisan berharga bagi keturuannya dan orang-orang di sekitarnya. Buku itu menjadi tugu hidup, bukan sekedar sebuah kado mati.

"Saya belajar banyak dari buku-buku biografi, " ujar Agnes Monica—seorang penyanyi sukses Indonesia, pada acara Indonesian Idol di sebuah televisi swasta, Malam Minggu 8 Juli 2012 lalu. Orang-orang sukses ternyata banyak terinspirasi dari buku-buku biografi, atau otobiografi.

Tulisan ini merupakan pengamatan kami setelah menulis sekitar 14 buah buku sejenis. Meski masih memerlukan pembuktian yang lebih mendalam.

Dokumentasikanlah kisah-kisah orang tua yang sudah berusia lanjut, selain memberinya obat, juga merupakan sumbangan warisan peradaban bagi dunia ini. ***. 

Dimuat di Harian Analisa Cetak 13 Juli 2012, Halaman 28..

Rabu, 04 Juli 2012

Cagubsu dan Cawagubsu Perempuan, Muncullah!
Oleh : Jannerson Girsang
 
Sumber foto: http://www.doelindramayu.blogspot.com

Sampai artikel ini ditulis, belum satupun calon perempuan maju sebagai calon Gubsu maupun Wagubsu sebagai pilihan bagi lebih dari 9 juta pemilih dari provinsi yang berpenduduk 13 juta jiwa ini. Padahal, jumlah perempuan diperkirakan lebih dari 50 persen pemlih. Selain itu, masa pelaksanaan Pilgubsu akan berlangsung 7 Maret 2012. Sayang sekali kalau peluang itu berlalu begitu saja.

Perempuan sangat potensial memimpin sebuah perubahan. Tak ada lagi orang yang meragukannya. Buktinya, beberapa tahun terakhir ini pemimpin perempuan telah menunjukkan kiprahnya dalam memimpin perubahan bangsa ini. Dekade pertama abad 21 Indonesia berhasil melahirkan seorang gubernur pertama di Indonesia, Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Provinsi Banten.

Artikel ini bermaksud membuka mata dan mengajak kaum perempuan di provinsi ini dan mengajak untuk menyimak pengalaman Ratu Atut Chosyiah. .

Teori Berenang tidak Cukup, tapi Terjunlah ke Kolam RenangBeberapa artikel telah menyatakan keprihatinannya atas alpanya calon perempuan meramaikan bursa Cawagub dan Cagubsu dalam Peilbugsu 2012. Kami tertarik dengan artikel yang ditulis Lusiah, SE, MM dan Halim Loly, SE, MM (Analisa, 20 Juni 2012).

Lusiah dan Halim Loly berpendapat pemberdayaan politik perempuan yang dilakukan selama ini belum maksimal. "Ke depan perlu didukung pemberdayaan politik perempuan dengan ikut serta dalam suksesi kepemimpinan. Perempuan sangat potensial dalam memimpin karena menggunakan perpaduan rasio dan perasaan perempuan. Kepemimpinan seperti ini sangat dibutuhkan oleh rakyat. Perempuan sendiripun perlu membenahi dirinya dan meningkatkan dirinya agar bisa bersaing dengan kaum laki-laki," demikian penulis artikel ini dalam kata penutupnya.

Satu catatan tambahan bahwa pemberdayaan itu sendiri hanya sebuah stimulant terciptanya seorang pemimpin, penentunya adalah pilihan orang yang diberi pemberdayaan itu.

Belajar teori tidak cukup, tetapi harus praktek. Sekali lagi, materi pelatihan yang diberikan kepada perempuan hanyalah pengetahuan yang membekali dirinya memberi tanggapannya atau respons terhadap sebuah rangsangan (kepekaannya terhadap persoalan masyarakat di sekitarnya).

Artikel Lusiah, SE, MM dan Halim Loly, SE, MM menyebut materi pemberdayaan perempuan yang mencakup banyak hal dan dibagi dalam materi pokok (mencakup pendidikan politik seperti UUD 1945; Paket undang-undang bidang politik, serta materi tentang peranan perempuan dalam pembangunan politik dan demokrasi) dan materi penunjang (tata pemerintahan yang baik (good governance); retorika publik; pemberdayaan perempuan; otonomi daerah dan sistem pemerintahan daerah; komunikasi yang efektif; citra diri; perempuan dan peluang global; kebijakan serta pemerintah dalam pembangunan dan pemberdayaan perempuan). Bahkan dilengkapi materi lokal seperti budaya perempuan berdasarkan adat istiadat daerah, pembentukan organisasi perempuan di daerah; peranan Ormas dan LSM dalam pemberdayaan perempuan.

Materi-materi itu ibarat pelajaran berenang di depan kelas. Sama seperti seorang anak yang belajar teori berenang di depan kelas, maka dia tidak akan bisa berenang tanpa membuat pilihan dirinya terjun ke kolam renang. Kalau si anak takut kedinginan atau takut tenggelam, maka sampai kapanpun si anak tidak akan pernah bisa berenang. Pemimpin harus berani melintasi tantangan, tidak hanya mengeluh dan mencari alasan.

Sangat menarik menyimak pendapat Dr Noel Tichy penulis buku terkenal The Leadership Engine. Pemimpin tidak dilahirkan tetapi diajar. Walau kemudian ditegaskan kembali oleh Steven R. Covey, bahwa sekali lagi, dalam hal inipun berlaku pilihan seseorang atau sang tokohnya sendiri. Bukan ajaran itu yang menentukan, tetapi orang tertentu yang mau diajar, dan mau mengikuti ajaran itu.

Pelajaran yang sudah didapat dari pemberdayaan harus digunakan untuk mengasah kemampuan mengidentifikasi persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat serta memberi solusi atas persoalan. Itulah sebenarnya "kolam renangnya".

Belajar dari Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Perempuan Pertama di Indonesia

Seorang pemimpin tidak dilahirkan atau dibuat (dalam arti bukan hasil didikan dan pelatihan lingkungannya). Pemimpin itu "dibuat sendiri" (self made) oleh seseorang melalui kemampuannya menanggapi atau merespons situasi di sekitarnya.

Kepemimpinan adalah pilihan dan pembentukan pemimpin memerlukan proses. Seseorang akan terbentuk menjadi pemimpin pada bidangnya dengan mempraktekkan wilayah kepedulian atau responnya dengan prinsip-prinsip yang benar serta mengembangkan kemampuan, pengetahuan atau disiplin ilmu yang dimilikinya.

Dari pengaruh yang kecil lama-lama membesar. Ingat bagaimana pemimpin informal Ibu Theresia di India, Presiden Pertama Perempuan Nigeria, Ellen Johnson Sirleaf, atau "The Mother of Revolution", Tawakkol Karman dari Yaman. Mereka adalah perempuan-perempuan berpengaruh, peraih Nobel atas kegiatan-kegiatan baik yang dilakukannya menuju keadilan dan perdamaian dunia ini. .

Mereka muncul dengan area of concernnya dan menjadi pemimpin di sana, kemudian mendapat dukungan dari kalangan yang lebih luas. Tokoh-tokoh seperti ini bahkan tidak mencalonkan dirinya, tetapi dicalonkan orang lain.

Bukan muncul tiba-tiba, hanya berteriak ketika musim Pilgubsu.

Seorang perempuan maju menjadi gubernur, bermodalkan ide, keinginan serta keberanian untuk maju. Itulah prinsip yang dipegang Ratu Atut Chosyiah, gubernur pertama perempuan di Indonesia. Ia terpanggil menjadi gubernur (Lihat blog pribadinya: http://ratuatutchosiyah.wordpress.com/perihal/).

Menjadi seorang gubernur adalah panggilan. Tidak didorong-dorong atau diciptakan lingkungan. Ada keinginan besar dari seseorang untuk menjadi pemimpin, untuk memimpikan perubahan.

Perempuan berparas cantik kelahiran Serang, Banten, 16 Mei 1962 menjadi Gubernur Perempuan Indonesia pertama, didampingi wakil gubernur Muhammad Masduki. Keduanya dilantik pada Sidang Paripurna Istimewa DPRD Banten di Cipocok Jaya, 11 Januari 2007.

Sebelum mencalonkan diri menjadi gubernur, Ratu Atut Chosiyah menapaki jalan panjang dan berliku.

Ratu Atut menjalani masa kecil, tumbuh dan berkembang bersama lingkungan masyarakat agraris dan agamis. Ia menamatkan Sekolah Dasar di kampungnya di Serang dan melanjutkan pendidikannya (SMP, SMA, Perguruan Tinggi) di Kota Bandung.

Di Kota Kembang ini, selain belajar ia merintis bisnisnya. Mulai dari usaha kecil-kecilan sebagai supplier alat tulis dan kontraktor, kemudian berkembang pesat ke berbagai bidang, terutama perdagangan dan kontraktor.

Dia memang berbakat sebagai pemimpin dan dikenal luas di kalangan pengusaha di daerah pemilihannya. Sebagai pengusaha, Ratu Atut pernah menduduki sejumlah jabatan prestisius, antara lain, bahkan pernah menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah (KADINDA) Provinsi Banten, Ketua Asosiasi Distributor Indonesia (ARDIN) Provinsi Banten dan aneka organisasi lain.

Sebagai putri Banten, Ratu Atut merasa terpanggil untuk membangun Provinsi Banten, yang terbentuk pada pertengahan tahun 2001, dengan terlibat langsung sebagai pemegang kebijakan dalam pemerintahan.

Awalnya, dirinya tidak mencalonkan langsung menjadi gubernur. Dalam usia masih muda (40 tahun), ia terjun ke dunia birokrasi dengan mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Banten periode 2002 – 2007, dan dalam pemilihan di DPRD Banten, Ratu Atut bersama calon gubernur Djoko Munandar terpilih untuk memimpin Provinsi Banten.

Situasi politik mendongkrak popularitasnya. Ketika Djoko Munandar dicopot dari jabatannya karena terkait kasus korupsi, Ratu Atut ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Banten.

Sebagai pelaksana tugas gubernur, ia mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah 2006.

Setelah merasa memiliki pengaruh dan kemampuan yang cukup, maka dalam pilkada 2006, ia mencalonkan diri sebagai gubernur dan berpasangan dengan calon wakil gubernur Mohammad Masduki.

Pencalonan mereka didukung Partai Golkar, PDI-P, PBR, PBB, PDS, Partai Patriot, dan PKPB. Ini bukan hal yang mudah. Dia pasti punya lobby-lobby yang kuat, memiliki jaringan yang luas. Hebat tokh, seorang perempuan bisa mendapat dukunan dari partai-partai besar seperti itu. Kita semua tau, mencari dukungan satu partai saja bukan hal yang mudah.

Berdasarkan hasil penghitungan manual yang dilakukan KPU Provinsi Banten, bersama pasangan wakil gubernur, ia memperoleh 1.445.457 (40,15 persen) dari 3.599.850 suara sah. Suara tidak sah mencapai 177.141 suara.

Dengan demikian, tingkat partisipasi pemilih mencapai 60,83 persen dari total warga yang menggunakan hak pilih sebanyak 3.776.385 atas 6.208.951 pemiluh terdaftar.

Tentu sang Ratu tidak mulus-mulus saja melenggang menikmati hasil pemilihan yang memenangkannya menjadi gubernur. Hasil pemilihan gubernur itu ditolak tiga pasangan calon gubernur, yakni Zulkieflimansyah - Marissa Haque, Tryana Sjam’un - Benyamin Davnie dan Irsjad Djuwaeli - Mas A. Daniri.

Mereka menolak dan menggugat Komisi Pemilihan Provinsi Banten, Biro Pemerintahan Provinsi Banten, dan Dinas Kependudukan Provinsi Banten. Bahkan, selain menggugat Komisi Pemilihan Umum Provinsi Banten, pasangan Irsjad-Daniri juga mengajukan gugatan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Proses gugatan berjalan, tetapi sang Ratu melenggang menjadi gubernur.

Kisah menuju tangga gubernur, Hajjah Ratu Atut seharusnya menjadi inspirasi berharga bagi kaum perempuan menuju tangga gubernur!.

Apapun ceritanya, Ratu Atut telah membuka sejarah di Indonensia, bahwa perempuan layak memimpin provinsi.

Adakah perempuan sekaliber Ratu Atut dari kalangan perempuan Sumatera Utara. Kalau ada, majulah jangan tunggu!. Kalau tidak menjadi Cagubsu, yah paling tidak Cawagubsu. Sebuah tantangan yang hanya bisa dijawab sendiri oleh kaum perempuan di provinsi ini. 

Dimuat di Harian Analisa, 4 Juli 2012 dan bisa diakses di http://www.analisadaily.com/news/read/2012/07/04/60808/cagubsu_dan_cawagubsu_perempuan_muncullah/#.T_RZv5Ee6Fr. 

Catatan: Ratu Atut kemudian dimasukkan ke penjara karena korupsi. Gubenur Banten itu dijemput penyidik  KPK, Jumat (27/12/2013), karena dugaan korupsi dalam jumlah besar. Dia ratu korup, bukan contoh yang baik untuk ditiru.

Jumat, 02 Maret 2012

Bincang-bincang dengan Idris Pasaribu (2) “Dulu, Medan Ibukota Sastra Indonesia” (Batak Pos, 1 Maret 2012)


Oleh: Jannerson Girsang

novel pincalang 
Sumber foto: www.antaranews.com

Bincang-bincang kami makin hangat dan menarik. Tak terasa gelas kopi pesanan pertama sudah kosong. “Tambah kopinya bang,”pintanya kepada lelaki pemilik kedai setengah umur itu. Sedikit membuat heran pelanggan yang duduk di samping kami.

Idris kembali menarik asap rokoknya dalam-dalam, seolah memikirkan sesuatu. Lantas, pria yang masih punya segudang mimpi di usia enampuluhan itu berkisah keadaan masa lalu sastra dan musik di Sumatera Utara.

“Sebelum Indonesia merdeka hingga tahun enampuluhan, Medan adalah ibu kota sastra Indonesia,”ujarnya mantap!. Memang, sastrawan-sastrawan asal Medan di masa lalu cukup punya nama di negeri ini. Sebut saja misalnya Khairil Anwar, Sanusi Pane, Armyn Pane dll!.

(Bahkan jauh sebelumnya, pada dekade 1920-an, atau jauh sebelum Indonesia Merdeka buku sastra dari sudah banyak menerbitkan sarta baik yang berbahasa Melayu maupun Batak. Tak usah jauh jauh, baca buku William Iskandar, sastrawan dari bangsa Mandailing itu, Sutan Hasundutan Pane, atau riwayat penerbitan buku yang kontroversial, Tuanku Rao. Jejak-jejak kejayaan sastra di Sumatera Utara masih bisa terlihat. Misalnya Penerbit Sastra Leo, warisan sangat berharga dari penyair Aldian Arifin).

Di mata Idris novel-novel Matu Mona merupakan karya sastra yang sangat bermutu yang dipublikasikan di era 50-an. “Hanya novel karya Pramoedya saja yang bisa menyaingi novel itu,”ujar sastrawan Sumut yang seangkatan dengan Eddy D Iskandar Pipit Senja, Mazza Yudha, Foeza Hutabarat, Iwan Lubis, Ishari Munir, As Atmadi ini.  

Idris merindukan terbukanya mata para masyarakat dan pejabat daerah ini kepada seni dan budaya. “Para pejabat buta seni, buta budaya. Negara yang menghargai sastra umumnya kehidupan dan kemajuan negaranya lebih bagus. Lihat misalnya Eropa dan Malaysia. Sastrawan sangat dihormati di sana” ujarnya.  

Kenapa kita perlu sastra?. ”Sastra adalah penyeimbang perilaku dan pikiran, pikiran dan hati (logika dan non-logika). Bisa berbicara apa saja. Spesialisasi sastrawan adalah generalis. Sidney Seldon, seorang sarjana filsafat. Dia bisa berbicara tentang pesawat Concord, jenis senjata dan lain-lain. Sastra adalah areanya semua disiplin ilmu”.

Idris menaikkan nada suaranya dan sedikit lebih bersemangat.  “Jurnalis bisa dibungkam tetapi karya sastra tidak bisa dihambat, karena dia fiksi. Saya bermimpi jadi presiden, tidak bisa dituntut,”ujarnya.
.
Kejayaan masa lalu sastra di Medan, membuat dirinya optimis bisa terwujud. “Saya bermimpi, ibu kota sastra harus kembali lagi ke Medan”ujar Idris.


Tapi tentunya tidak mudah. Bahkan Idris sendiri menyebut hambatan-hambatan berkembangnya sastra di daerah ini.

Perhatian para sponsor memang sangat sedikit ke dunia seni. ”Di Medan belum ada sponsor sastra yang mau, karena kembalinya modal cukup lama,sementara kebanyakan masih berpandangan pragmatis” katanya.

Sambil meletakkan gelasnya ke meja setelah menghirup kopi hitamnya, bang Idris beralih ke perbincangan soal seni.

Sambil matanya menerawang  ke atas, Idris bercerita tentang Tapian Daya dan Studio Film di Sunggal, serta kejayaan musik Sumut masa lalu..

“Itu studio film terbaik di Sumut. Dibangun oleh Marah Halim, diberdayakan oleh EWP Tambunan. Gubernur-gubernur sesudahnya hampir tidak memperdulikannya lagi,”ujarnya dengan rasa pesimis. . .

Menerawang ke masa lalu, Idris menyebut Sumut kaya grup-grup musik dan ensamble. Misalnya  ensamble Bukit Barisan, Orkes Studio Medan, RTM Orkes. Juga banyak Band yang populer dan sangat dikagumi. The Rithm Kings, The Mercys, Destroyer, Bayangkara, Nias Nada Band, Para Nada Band (milik PTP II.

”Kalau orang Sumut show di Jawa mendapat sambutan yang luar biasa. Kini kita bangga menonton Band dari luar Sumatra,”ujarnya

Semua itu harus dikembalikan. ”Medan juga harus menjadi ibu kota musik,”ujarnya.

Satu lagi keprihatinan Idris adalah penulisan budaya yang dikaitkan dengan keindahan alam dan budaya provinsi ini. Dia sangat gerah melihat miskinnya eksplorasi alam dan budaya kita yang kaya untuk promosi wisata daerah ini.

Dia membandingkan dengan Bali. Setelah bom Bali 1 dan 2, pemerintah mendukung SCTV membuat film TV. Para seniman digerakkan untuk menulis tentang Bali. Di sana ada Ubud Writers. Padahal, Sumatera Utara sangat potensial dan banyak keindahan alam dan budayanya.

Hardy seorang pelukis terkenal dari Yogya, mengatakan: ”Dari manapun Danau Toba Indah. Sambil buang air, memandang kemanapun Danau Toba Indah. Kenapa tidak ditata. Kalau alam seperti ini ada di Yogya, wah pasti sudah luar biasa. Dari pesawat terlihat indah, tiba di darat suasananya indah dan menyejukkan”.

“Saya akan menggagasi adanya Toba Literary Festival yang dilaksanakan setiap tahun. Rencananya dilaksanakan Juni 2012,” ujarnya. Selain mengangkat budaya, menurut Idris, festival seperti ini juga mengangkat wisata di wilayah Toba dan daerah wisata lainnya..

Menggali potensi keindahan alam dan budaya dengan melibatkan para penulis, seniman di Bali cukup berhasil untuk promosi wisata, memperbaiki citra wisatanya. Citra Bali yang sempat mundur setelah bom Bali 1 dan 2 kini pulih. Mengapa pula Sumut tidak bisa? 

Mimpi-mimpi dan harapan-harapan ini tentunya bukan hanya milik Idris, tetapi milik masyarakat Sumatera Utara. Mari, membuka mata!.