Oleh: Jannerson Girsang.
Pagi hari,
18 Oktober 2014, saya sedang menulis dan artikelnya ingin dikirim,
tiba-tiba listrik mati. Wah…..batal deh. Teman yang menunggu di
seberang pulau terpaksa ngedumel. “Kenapa sih listrik di Sumut mati,
seperti jadwal makan obat?”. Saya keluar rumah, riuh suara genset
khususnya rumah usaha terdengar dimana-mana.
Saya
maklum dan tidak akan pernah protes dengan kekerasan, tapi hati saya
sungguh tersiksa. Berbeda dengan masyarakat lainnya dan sangat
berbahaya kedepan adalah masyarakat yang sudah bereaksi sampai merusak
kantor PLN di berbagai tempat. Krisis listrik di provinsi Sumatera Utara
sudah berlangsung sejak 2005.
Dalam hati saya
berfikir, untuk apa kami memiliki 100 orang anggota DPRD tingkat I dan
ratusan lainnya di Kabupaten/Kota?. Bukankan mereka wakil rakyat, wakil
kami, penyuara jeritan kami, sahabat kami?. Mereka harus memiliki
lidah setajam taji “ayam kinantan”. Mereka yang baru saja dilantik
seharusnya merasakan dan mampu menjembatani jeritan rakyat soal
listrik.
Dua Pemilu Hidup Padam, Masih Ku Maafkan!
Kelangkaan
listrik yang dialami masyarakat Sumatera Utara di era teknologi
informasi ini sudah dan akan menimbulkan dampak negatif besar, karena
dengan berkembangnya teknologi dan kemajuan ekonomi yang terus
meningkat akan meningkatkan kebutuhan listrik.
Pemadaman
listrik bergilir di wilayah ini sudah sangat meresahkan masyarakat,
pengusaha, dengan perlakuan pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang
memadamkan listrik bukan sekali sehari, bahkan sudah seperti memakan
obat 3x1 hari.
Listrik bukan lagi sekedar alat
penerangan, tetapi telah menjadi darah bagi berbagai kegiatan vital
masyarakat dan dunia bisnis. Mulai dari memasak, setrika,
mengoperasikan komputer dan peralatan elektronik lainnya, semua butuh
listrik.
Pemadaman listrik menimbulkan aktivitas warga
terganggu, ibu rumah tangga mengeluh kegiatan di rumah sering
terbengkalai karena listrik padam sembarangan. Begitu juga dunia usaha
industri rumah tangga menjadi terhenti. Kota menjadi gelap gulita dan
lalu lintas menjadi semrawut.
Konsumen adalah raja,
tidak berlaku di daerah ini. Dengan sistem penyediaan listrik sekarang,
rakyat sebagai konsumen, seharusnya diperlakukan sebagai raja. Ini
sudah terbalik. Jadi, perlu wakil-wakil rakyat yang mampu mengembalikan
hak mereka sebagai pelanggan.
Sejak 2005, masyarakat
Sumatera Utara sudah mengalami krisis listrik, tetapi hingga saat ini
pemenuhan kebutuhannya tetap tersendat-sendat.
Saya
masih ingat saat itu sedang bekerja di Tsunami dan Gempa Nias dan
berkantor di daerah Medan Baru. Di tengah-tengah pekerja asing kita
sedikit malu karena negeri ini tidak mampu menyediakan listrik yang
cukup bagi warganya. Kantor kami terpaksa membeli genset, karena
pemadaman listrik bergilir.
Hampir sepuluh tahun
kemudian, ketika Dahlan Iskan menjabat sebagai Dirut PLN, saya dan
jutaan penduduk provinsi ini berharap listrik akan beres. Harapan itu
ternyata masih mimpi. Hingga beliau diangkat menjadi Menteri BUMN,
krisis tak kunjung berhenti. Malah semakin sering mati.
Beliau rajin memang datang ke Sumut, tetapi kunjungan-kunjungan beliau belum memberikan hasil yang signifikan.
Rumah
saya masih mengalami pemadaman listrik, hampir setiap hari. Kita
selalu berkata, hayo-hayo cepat ngetiknya, nanti listrik mati. Kalau
ada kebaktian malam, hayo siapkan lilin, bentar lagi listrik mati!
Kita
juga terbelalak, ketika suatu kali beliau berkunjung, membaca berita
di media di harian-harian lokal bahwa PLN harus membayar Rp 700 miliar
per bulan menyewa genset untuk menghindari pemadaman. Logika saya
berfikir, dalam satu tahun PLN di provinsi ini sebenarnya mampu
membangun 2 proyek listrik berkapasitas 2 x 200 MW.
Pertanyaan
saya, mengapa tidak membangun pembangkit listrik yang baru saja.
Kebijakan penyewaan genset senilai Rp 700 miliar per bulan untuk
memenuhi defisit listrik di Sumatera Utara (Sumut) dikritik oleh Wakil
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, karena dinilai bukan
merupakan solusi yang tepat.
Saya membaca komentar
Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Chaidir Harahap SH,
kepada para wartawan Hari Senin, (3 Pebruari 2014) mengatakan,
kebijakan tersebut malah makin menambah beban anggaran negara dan LBH
Medan beranggapan penggunaan dana negara untuk penyewaan genset itu
adalah sia-sia.
“Menurut kita, penyewaan genset dengan
biaya yang cukup signifikan dan sangat besar tentu dapat berdampak
kepada pemborosan biaya anggaran belanja negara yang memakai dana
negara sebesar Rp700 miliar perbulan hanya untuk penyewaan genset saja.
Seharusnya Pemprov Sumatera Utara dalam mengambil kebijakan dilandasi
dengan pertimbangan ekonomis dan efisiensi, jangan terlalu dipaksakan,”
ucap Chaidir, seperti dikutip sebuah harian lokal terbitan Medan.
Baiklah
kalau itu memang memecahkan masalah. Namun, kenyataannya, meski sudah
menerapkan kebijakan yang terkesan pemborosan itu, kenyataan di
lapangan, hingga Jumat dan Sabtu 17 dan 18 Oktober 2014, listrik masih
mengalami pemadaman tanpa pemberitahuan di rumah saya dan tentunya
ribuan pelanggan PLN di Perumnas Simalingkar. Mungkin juga di berbagai
wilayah kota Medan dan daerah lain di Sumut.
Rakyat
sudah terlalu lama bersabar dan harus mengambil langkah sendiri
mengatasi kesulitannya berupa penyediaan genset yang cukup mahal,
khususnya rumah-rumah atau pertokoan untuk menjaga kelangsungan
usahanya atau rasa nyaman di rumah-rumah karena pemadaman listrik
terjadi tanpa pemberitahuan.
Tak heran kalau beberapa
tahun ini pelanggan unjuk gigi. Protes masyarakat yang merusak kantor
PLN muncul di berbagai tempat, seperti yang dilakukan Pancurbatu,
Binjai, atau Nias Utara, dan tempat tempat lain di provinsi ini adalah
bentuk keresahan yang sudah terjadi, dan bukan diharapkan oleh
siapapun, termasuk PLN.
Selain kebijakan yang terkesan
boros, saya dan jutaan rakyat di daerah ini juga membaca di media soal
isu korupsi di kalangan pejabat PLN di provinsi ini, hingga beberapa
pejabatnya ditahan. Sungguh sebuah ironi. Oknum-oknum pegawai PLN yang
melakukan korupsi jelas tidak memiliki sense of crisis.
Selain
itu pelayanan di tingkat pelanggan seperti rekening listrik yang
sering naik mendadak, seperti dianggap anjing menggonggong kafilah
berlalu.
Pelayanan distribusi listrik, sistem pendataan pemakaian
listrik, pencatatan jumlah pembayaran listrik yang sering tidak sesuai
dengan pemakaian sudah banyak dikeluhkan masyarakat, harus secara
bertahap di atasi.
Alangkah eloknya, kalau kerusakan
tidak terjadi lebih parah. Rakyat merindukan wakil-wakilnya yang mampu
menyuarakan jeritan mereka. Taji wakil-wakil rakyat di DPR RI, DPRD
Tingkat I , DPRD Tingkat II selama ini belum setajam taji ayam
kinantan.
Untuk mengawasi dan menyadarkan PLN, rakyat
di daerah ini butuh wakil-wakil yang berani dan bertaji tajam, mampu
memahami, memonitor, mengevaluasi dan menyuarakan listrik ke publik dan
mendesak pengambil keputusan mengatasi krisis listrik.
Mereka
harus memahami jumlah kebutuhan, persediaan listrik dan kebutuhan
pengembangan untuk memenuhi pelayanan listrik ke masyarakat dengan
standar kualitas yang dijanjikan PLN..
Okelah. Pemadaman, korupsi di PLN dan pelayanan yang belum memadai dalam dua pemilu terakhir kita maafkan deh!.
Jangan Sampai Tiga Kali
Barangkali
analogi lagu Ciptaan Tagor Pangaribuan berjudul “Jangan Sampai Tiga
Kali” perlu disimak dan dinyanyikan untuk PLN. “Satu kali pemilu kau
sakiti, masih kumaafkan, dua pemilu kau sakiti hati ini juga kumaafkan,
tapi jangan kau Coba sampai tiga pemilu…..jangan oh jangan…………….”
Kondisi
perlistrikan di provinsi ini dalam dua periode Pemilu terakhir rasanya
masih kurang disuarakan dengan keras. Kita butuh anggota legislatif
yang menjadi pahlawan kelistrikan dan memiliki taji setajam taji ayam
kinantan. Provinsi ini membutuhkan tokoh yang menjadi icon pengaduan
listrik rakyat. Parlemen listrik!.
Mereka adalah
penyuara-penyuara yang dengan sigap memaparkan data yang benar dan
mampu memberi masukan, mempengaruhi bahkan menekan para pengambil
keputusan di perusahaan-perusahaan penyedia listrik, dan para regulator
kelistrikan yang pro rakyat. Program-program yang sudah dicanangkan
dikawal dan harus berjalan dengan baik.
Seorang
pahlawan kelistrikan harus mampu menyuarakan bagaimana kelangkaan
kebutuhan listrik bisa dipenuhi. Dia rajin dan mampu mengikuti dan
mengawal tahapan-tahapan pelaksanaannya, serta hingga sampai diujung,
yakni pemenuhan kebutuhan listrik, tidak lagi byar pet.
Mereka
harus paham proyek yang sedang berjalan seperti PLTU di Pangkalan Susu
misalnya. Pembangunannya sudah dimulai sejak 2008, tetapi hingga
sekarang belum dapat berjalan karena berbagai masalah. Anggota
legislatif hendaknya menyuarakan persoalan untuk menyelesaikan
persoalan, bukan justru menimbulkan masalah baru. Kalau kedua pembangkit
ini bisa beroperasi, sedikit banyak dapat mengatasi kelangkaan listrik
di Sumatera Utara.
Dalam lima tahun ke depan, Pembangkit Listrik
Tenaga Air Lau Renun yang tidak mampu beroperasi dengan kapasitas
maksimumnya 2 x 42 MW tentu masih bisa diatasi dengan penghijauan di
hulunya.
Anggota DPRD juga perlu mengawal pelaksanaan
proyek-proyek PLT Panas Bumi di Sarulla, PLTA Asahan III dan lain-lain.
Kalau ini bisa berjalan baik, tentu masyarakat akan menilai DPRD
periode ini sebagai pahlawan.
Proyek-proyek itu sudah
berjalan bertahun-tahun. Harus ada orang yang terus menerus mendesak
proyek-proyek ini bisa selesai lima tahun ke depan.
Rakyat sangat
berharap anggota-anggota DPRD yang baru dilantik ini memiliki sense of
crisis dan terus menerus menyuarakannya. Rakyat sudah bosan dengan
anggota parlemen yang meributkan listrik hanya untuk popularitas,
kemudian hilang tanpa ujung yang jelas.
Janganlah
kiranya suara anggota parlemen layaknya iklan mobil Panther, “Hampir
tak terdengar”, dilakukan pula secara sporadik dan tidak substansial.
Selamat
buat anggota parlemen yang baru dilantik. Hayo… muncullah jadi
pahlawan, berani bersuara untuk memenuhi kebutuhan vital rakyat:
LISTRIK! Jadilah penyuara listrik dengan lidah setajam ayam kinantan.
***