Oleh; Jannerson Girsang
Dua sikap yang sama salahnya, sama jahatnya. Yang satu menyombongkan
diri, yang satu seolah-olah merendah. Dua-duanya merasa benar,
sama-sama membenarkan diri..
Sikap yang pertama, selalu merasa
benar sama seperti orang Farisi-penatua-penatua agama Jahudi dalam kisah Perjanjian Lama, yang hanya
melihat dirinya benar, kerjanya menghakimi, menyalahkan yang lain. "Terima kasih Tuhan, kami sudah berbuat baik, tidak sama dengan mereka yang lain".
Sikap yang kedua, merasa berdosa, mengaku dirinya berdosa, tapi hanya
untuk membenarkan tindakannya yang terus menerus salah dan tidak mau
berubah.. "Aku banyak dosa, tidak pantas jadi "orang baik". Biarlah
mereka yang baik-baik itu melakukan yang benar. Biarlah aku korupsi
terus, jangan munafiklah".
Sama sombongnya!
”We can't be as good as we'd want to, so the question then becomes, how do we cope with our own badness?. (Nick Hornby).
Kita tidak mampu sebaik yang kita inginkan (apalagi yang diinginkan
Tuhan), lalu pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kita mengatasi
keburukan atau kejahatan kita sendiri?.
Kata para ahli, kita
baru menggunakan otak kita 2-5% dari kapasitasnya, kita belum mau, dan
tidak mampu terus menerus menyalakan lampu kita, tidak bersinar
sebagaimana kemampuan kita.Tapi kita sudah merasa menggunakannya 100%,
merasa sudah bersinar setiap saat.
Kita semua jahat, semua bersalah, karena setiap hari melakukan kesalahan, melakukan dosa.
Mari semua berubah ke arah yang lebih baik, mari semua memperbaiki
diri, memaksimalkan otak yang banyak nganggur, menyalakan lampu kita
lebih lama dari yang sekarang.
Tugas utama kita adalah saling
mengasihi dan saling melayani. Saling mengampuni, menasehati dengan
lembut dan saling mendukung, mendorong percaya diri, memotivasi, supaya
setiap orang sadar kesalahannya, dan berubah memaksimalkan talentanya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar